• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: AJIE SUPRIYATNA NIM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: AJIE SUPRIYATNA NIM."

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VII/2010 TERHADAP STATUS ANAK DI LUAR PERKAWINAN: Pendekatan Normatif dan Sosiolegal Penetapan Pengadilan Agama di Jakarta

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

AJIE SUPRIYATNA NIM. 11160440000086

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1442 H/2020 M

(2)

Sosiolegal Penetapan Pengadilan Agama di Jakarta SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh: AJIE SUPRIYATNA NIM. 11160440000086 Pembimbing: NIP. 9920113024

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1442 H/2020 M WINDY TRIANA, M.A.

(3)

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VII/2010 TERHADAP STATUS ANAK DI LUAR PERKAWINAN (PENDEKATAN NORMATIF DAN SOSIOLEGAL PENETAPAN PENGADILAN AGAMA DI JAKARTA)” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 19 Oktober 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Keluarga.

Jakarta, 19 Oktober 2020 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. NIP. 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag. (...) NIP. 19760213 200312 2 001

2. Sekretaris : Achmad Chairul Hadi, M.A. (...) NIP. 19720531 200710 1 002

3. Pembimbing : Windy Triana, M.A. (...) NIP. 9920113024

4. Penguji I : Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag. (...) NIP. 19760213 200312 2 001

5. Penguji II : Achmad Chairul Hadi, M.A. (...) NIP. 19720531 200710 1 002

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1) Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2) Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3) Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tangerang Selatan, Oktober 2020

(5)

ABSTRAK

Ajie Supriyatna. NIM 11160440000086. IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VII/2010 TERHADAP STATUS ANAK DI LUAR PERKAWINAN (PENDEKATAN NORMATIF DAN SOSIOLEGAL PENETAPAN PENGADILAN AGAMA DI JAKARTA). Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M. Ix + 120 halaman + 38 lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui implementasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Agama Jakarta Barat tentang status anak di luar perkawinan. Perbedaaan pertimbangan Majelis Hakim serta dasar hukum yang diterapkannya menyebabkan dua penetapan ini mempunyai dampak hukum yang berbeda terhadap hubungan perdata antara anak di luar perkawinan dengan ayah biologisnya, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Selain itu penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan sosiolegal yang mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta mengaplikasikan keilmuan sosial terhadap studi hukum yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian terhadap peraturan Undang-Undang, buku-buku, dan wawancara Hakim.

Hasil penelitian menunjukan bahwa, implementasi putusan Mahkamah Konstitusi di lingkungan peradilan agama, dalam hal ini Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Agama Jakarta Barat memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam menerapkan putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010. Penetapan No. 635/Pdt.P/2019/PA.JS tidak seutuhnya menggunakan dasar putusan MK untuk menetapkan asal usul anak di luar perkawinan, hal ini dikarenakan, Majelis Hakim mengartikan anak di luar perkawinan hanya sebatas anak biologis, bukan anak sah, yang berimplikasi hanya memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya secara terbatas, akibat perkawinan yang tidak sah secara Undang-Undang. Sedangkan dalam Penetapan No. 282/Pdt.P/2019/PA.JB, berdasarkan norma putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010, maka anak berhak memiliki hubungan perdata dengan ayah bioogisnya tanpa ada pembatasan hak keperdataan yang didapatkan oleh anak di luar perkawinan. Majelis Hakim tidak melihat Pasal 2 UU Perkawinan sebagai halangan anak mendapatkan perlakuan yang berbeda, dalam hal ini masalah hak keperdataan. Untuk itu anak tidak berhak menanggung kerugian akibat perkawinan kedua orang tuanya yang tidak tercatat.

Kata Kunci: Anak di Luar Perkawinan, Status Anak, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010.

Pembimbing Skripsi : Windy Triana, M.A.

(6)

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari aksara Arab ke dalam aksara latin. Pedoman ini digunakan untuk beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata dalam bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.

A. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan

ب B Be

ت T Te

ث Ts te an es

ج J Je

ح H he dengan garis bawah

خ Kh ka dan ha د D De ذ Z de dan zet ر R Er ز Z Zet س S Es ش Sy es dan ye

ص S es dengan daris bawah

ض D de dengan garis bawah

ط T te dengan garis bawah

(7)

vii

ع ‘ koma terbalik di atas hadap kanan

غ Gh ge dan ha ف F Ef ق Q Qo ك K Ka ل L Ef م M Em ن N En و W We ه H Ha ء , Apostrof ي Y Ya B. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ A Fathah

َ I Kasrah

(8)

viii

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan -َ ى Ai a dan i -َ و Au a dan u C. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

-َ ا â a dengan topi di atas

-َ ي Î i dengan topi di atas

-َ و Û u dengan topi di atas

D. Kata Sandang

Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam (لا ,( dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf

qamariyyah, misalnya:

داهتجلإا = al-ijtihâd

(9)

ix

E. Tasydîd (Syaddah)

Dalam alih aksara, tasydîd atau syaddah dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

ةعفشلا = al-syufah, tidak ditulis asy-syuf’ah

F. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1. ةعيرش Syarî’ah

2. ةيملاس لإا ةعيرشلا Al-syarî’ah al-Islâmiyyah

3. بهاذملا ةنراقم Muqâranat al-madzâhib

G. Ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan

Huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia. Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: يراخبلا = al-Bukhâri, tidak ditulis Al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam Ejaan Bahasa Indonesia juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia

(10)

x

Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin Raniri, tidak ditulis Nûr Din al-Rânîri.

H. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

1. تاروظحمل حيبت ةرورضلا al-darûrah tubîhu al-mahzûrat

2. يملاسلإا داصتقلاا al-iqtisad al-islâmî

3. هقفلا لوصأ usûl al-fiqh

4. ةحابلإاءايشلأا يف لصلأا al-asl fî al-asyyâ` al-ibâhah

(11)

xi

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VII/2010

TERHADAP STATUS ANAK DI LUAR PERKAWINAN (PENDEKATAN NORMATIF DAN SOSIOLEGAL PENETAPAN PENGADILAN AGAMA DI JAKARTA)” Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulisan karya tulis penulis. Maka dari itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga yang selalu membantu penulis.

3. Bapak Chairul Hadi, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga.

4. Ibu Windy Triana, M.A. dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan banyak waktu, membimbing penulis, memberi banyak masukan kepada penulis, serta memberikan banyak tambahan pengetahuan untuk penulis.

5. Bapak Afwan Faizin, MA. dosen pembimbing akademik yang telah memberikan konsultasi akademis, serta memberikan masukan terkait judul proposal skripsi kepada penulis.

6. Bapak Hakim Cece Rukmana Ibrahim, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang sudah menyediakan waktu kepada penulis untuk melakukan wawancara. 7. Bapak Hakim Mustar, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat yang sudah

menyediakan waktu kepada penulis untuk melakukan wawancara.

8. Pimpinan Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

(12)

xii

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi fasilitas kepada penulis untuk melakukan studi kepustakaan. Serta bagian Akademik Fakultas hingga pusat yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan administrasi yang penulis butuhkan. 9. Bapak dan Ibu Dosen tercinta yang sudah memberikan banyak ilmu kepada penulis.

Banyak pengalaman yang penulis dapatkan, semoga manfaat hingga berkah dari ilmu yang telah diberikan dapat penulis implementasikan di luar kampus.

10. Orang Tua tercinta, Bapak, Mama, yang selalu memberikan dukungan tak terhingga berupa moril hingga materil, motivasi tak henti, dan doa yang tak pernah putus dipanjatkan untuk penulis serta saudara-saudara penulis yang selalu memberikan motivasi dan nasihat kepada penulis. Terima kasih.

11. Teman-teman yang selalu mengingatkan penulis dalam hal kebaikan, memberikan dukungan, serta pengalaman empat (4) tahun yang sangat berharga, semoga terus tersambung hingga seterusnya jalinan silaturahmi anggota grup yang kami namakan The I’tikaf. Mereka adalah, Sulaeman Ramdani, Muhammad Ainurrifqy, Fachry Alfan, Ade Nur Arif Putra, Paisal Pulungan, dan Abd. Rahman Razak. Terima kasih, kebaikannya tidak dapat penulis sampaikan satu persatu disini.

12. Anggota D’SAS PERCUSSION, Adit, Aini, Andi, Awal, Brian, Fachry, Fiqih, Imad, Saogi, Sulaeman yang telah membuat pengalaman penulis menjadi bernada selama masa perkuliahan. “Jangan sampai kuliah mengganggu perkusimu” selogan yang tepat dilontarkan pada saat panggilan tampil di jam kuliah.

13. Teman-teman angkatan 2016, serta teman-teman KKN 038 yang juga sudah memberikan banyak kenangan indah, pengalaman baru, serta semua hal yang membersamai penulis.

14. Bapak Ustadz Abdul Aziz yang telah memberikan kekuatan tersendiri kepada penulis.

15. Dan yang terakhir ucapan terima kasih ini disampaikan, to the most special person,

irreplaceable, Mrs. H. N. Z. Special Thanks for you. Terima kasih untuk segalanya

(13)

xiii

Demikian penulis ucapkan terimakasih, semoga Allah membalas kebaikan kalian dengan berkali-kali lipat. Aamiin.

Tangerang Selatan, 16 Oktober 2020

(14)

xiv

DAFTAR ISI

COVER ...i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ...iv

ABSTRAK ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ...vi

KATA PENGANTAR ...xi

DAFTAR ISI ...xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ... 8

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II PENGERTIAN DI LUAR PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian dan Asal Usul Anak di Luar Perkawinan ... 15

1. Pengertian Anak di Luar Perkawinan ... 15

2. Asal Usul Anak di Luar Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam ... 17

3. Asal Usul Anak di Luar Perkawinan dalam Perspektif Hukum Positif ... 23

B. Kedudukan Anak di Luar Perkawinan ... 30

1. Kedudukan Anak di Luar Perkawinan menurut Hukum Islam ... 30

2. Kedudukan Anak di Luar Perkawinan menurut Hukum Positif ... 37

C. Hak Anak di Luar Perkawinan ... 41

1. Hubungan Hukum antara Orang Tua dengan Anak di Luar Perkawinan menurut Hukum Islam ... 41

(15)

xv

2. Hubungan Hukum antara Orang Tua dengan Anak di Luar

Perkawinan menurut Hukum Positif ... 50

BAB III DESKRIPSI PENETAPAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN DAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT TERHADAP PERKARA PERMOHONAN PENETAPAN ASAL-USUL ANAK

A. Pengadilan Agama Jakarta Selatan Penetapan No. 635/Pdt.P/2019/PA.JS ... 53 1. Duduk Perkara ... 53 2. Ijtihad Majelis Hakim Tentang Penetapan Asal Usul Anak ... 56 B. Pengadilan Agama Jakarta Barat Penetapan No. 282/Pdt.P/2019/PA.JB

... 63 1. Duduk Perkara ... 63 2. Ijtihad Majelis Hakim Tentang Penetapan Asal Usul Anak ... 66

BAB IV ANALISIS PENETAPAN ASAL USUL ANAK TERHADAP ANAK DI LUAR PERKAWINAN

A. Analisis Penulis tentang Penetapan Asal Usul Anak berdasarkan Dua Penetapan Pengadilan Agama di Jakarta ... 71 B. Analisis Implementasi Tujuan Hukum ... 81

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 97 B. Rekomendasi ... 99

(16)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan yang sah adalah jalan satu-satunya dalam tanggungjawab terhadap keturunan atau nasab, baik ditinjau dari segi nafkah yang wajib, bimbingan, pendidikan maupun warisan. Anak/bayi dari kandungan ibunya, tetapi hasil perzinaan tidak menjadi anak kandung yang sah. Pria pelaku (Ayah) dalam perzinaan tidak mempunyai tanggungjawab secara legal dan begitu pula dari segi material atas anak yang lahir dari perbuatannya itu sekalipun ada tanggungjawab moral dan spiritual.1 Persoalan nasab dalam kajian hukum di Indonesia akhir-akhir ini menjadi menarik dan penting untuk diperhatikan. Terlebih putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 ini sudah dijadikan sebagai dasar Hakim Pengadilan Agama dalam pertimbangannya untuk menetapkan status anak di luar perkawinan.

Berdasarkan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki (Ayah) yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. Sehingga harus dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

1 Fuad Mohd Fachrudin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam “Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat, dan Anak Zina”, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991), h., 33.

(17)

teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan ayahnya”.2

Penyebab putusan ini lahir salah satunya dikarenakan pemohon yang dalam permohonannya menemukan hal yang bertentangan di dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dengan UUD 1945. Yakni mengenai upaya perlindungan terhadap anak yang dalam Konstitusi UUD 1945 disebutkan secara spefisik bahwa hak anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Hal ini termuat dalam Pasal 28B ayat (2), bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”3

Dengan bagitu, menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka kedudukan dan hak anak luar kawin termasuk hak anak biologis/nasab dalam hukum perkawinan sirri beserta hukum kewarisannya memiliki kedudukan dan hak yang sama sebagaimana anak sah (hasil perkawinan yang sah).

Putusan Mahkamah Konstitusi ini merevisi Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mendiskriminasikan anak luar kawin. Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 diwarnai dengan kontroversi. Ada yang menerima karena itu demi kepentingan anak seperti Komnas HAM, Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak. Selain itu ada yang menolak karena ditakutkan sebagai jalan melegalkan zina serta menyalahi syari’at dengan menasabkan anak di luar perkawinan kepada ayahnya.4

Para Ulama dari berbagai kalangan mazhab sepakat bahwa perzinaan itu sama sekali tidak akan berpengaruh terhadap sebab-sebab ketetapan nasab antara anak dengan ayah biologis yang menzinai ibunya.5 Implikasi dari tidak

2 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VII/2010.

3 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h., 27. 4 Ahmad Farahi, “Keadilan Bagi Anak Luar Kawin Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010”, Jurnal hukum dan Syari’ah, Vol. 8 No. 2, 2016, h., 80.

(18)

adanya hubungan nasab antara anak dengan ayah sangat terlihat dalam beberapa aspek yuridis, di mana laki-laki yang secara biologis adalah ayah kandungnya itu berkedudukan sebagai orang lain, sehingga tidak wajib memberi nafkah, tidak ada hubungan waris-mewarisi, bahkan seandainya anak hasil perzinaan itu perempuan maka laki-laki (ayah) pezina itu tidak menjadi wali dalam pernikahan anak perempuannya, sebab antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali dalam syari’at Islam.6

Bahkan MUI pusat mengeluarkan Fatwa Nomor: 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya. Dalam fatwa tersebut anak di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya7. Sedangkan hak-hak anak di luar perkawinan yang wajib diberikan ayah biologisnya adalah biaya tumbuh kembang anak hingga dewasa, selain itu anak tersebut tidak berhak mendapatkan harta warisan dan hak kewalian dalam pernikahan (jika perempuan). Sebagai ganti ketiadaan hak waris, maka MUI memberikan kewajiban pada ayah untuk memberi wasiat wajibah bagi anak di luar perkawinannya.8

Beralih dari pada substansi putusan Mahkamah Konstitusi ini dan implementasinya di pengadilan Agama, sebetulnya ada permasalahan lain dan menarik untuk dibahas. Yakni mengenai kepastian hukum yang saat ini dinyatakan bahwa pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini dikarenakan putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 belum di akomodir kedalam revisi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasalnya palu persetujuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan sudah diketuk pada 16 September lalu dan di sahkan 14 Oktober 2019. Fokus DPR dan Pemerintah lebih pada materi muatan yang diubah, yakni Pasal 7 dan

6 Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h., 115. 7 Ibid., h., 256.

8 Ahmad Farahi, “Keadilan Bagi Anak Luar Kawin Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010”, Jurnal hukum dan Syari’ah, Vol. 8 No. 2, 2016, h. 80.

(19)

tambahan Pasal 65A Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana sekarang telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.

Perubahan UU Perkawinan ini dilakukan guna mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XV/2017 tentang naiknya batas minimal usia perkawinan. Putusan ini menegaskan batas usia nikah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki adalah diskriminasi. Karena itu Mahkamah Konstitusi menyatakan batal ketentuan pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Mahkamah Konstitusi juga memerintahkan agar DPR dan Pemerintah merevisi UU Perkawinan paling lambat 3 tahun sejak putusan dibacakan.

Namun yang sangat disayangkan putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 tentang status anak di luar Perkawinan tidak ikut diubah ke dalam revisi Undang-Undang Perkawinan. Padahal masalah status anak di luar perkawinan juga menyangkut Hak Asasi Manusia yang membutuhkan perlindungan dari sebuah hukum yang tertulis.

Tidak diketahuinya alasan DPR dan Pemerintah tidak memasukan Putusan Mahkamah Konstitusi ke dalam revisi Undang-Undang Perkawinan ini yang membuat penulis rasa perlu untuk di kaji dan di teliti. Pasalnya Putusan MK yang terbaru No. 22/PUU-XV/2017 tentang naiknya batas minimal usia perkawinan sudah di akomodir kedalam Undang-Undang Perkawinan, namun jauh sebelum itu putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 tidak ikut di akomodir kedalam revisi Undang-Undang Perkawinan. Dan hal ini tentu menimbulkan permasalahan mengenai kepastian hukum dari pasal yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tersebut setelah Mahkamah Konstitusi menetapkan pasal 43 ayat (1) harus dibaca “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

(20)

Di sini penulis ingin meneliti implementasi putusan No. 46/PUU-VII/2010 di Pengadilan Agama yang ada di Jakarta. Penulis akan menganalisis dua penetapan yang berbeda terhadap status anak di luar perkawinan. Dalam dua penetapan ini, hakim berbeda dalam pertimbangan hukumnya ketika menetapkan status anak di luar perkawinan. Yang pertama terhadap penetapan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 635/Pdt.P/2019/PA.JS dan yang kedua penetapan di Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor 282/Pdt.P/2019/PA.JB.

Dalam kedua penetapan tersebut, Hakim mengabulkan permohonan pemohon terhadap pengesahan status anak di luar perkawinan. Namun dalam penetapan Nomor 635/Pdt.P/2019/PA.JS ada pengecualian terhadap hak-hak keperdataan yang didapatkan oleh anak di luar perkawinan tersebut, yakni ditolaknya hak nasab dan hak wali nikah antara anak luar kawin perempuan dengan ayah biologisnya. Tentu menarik pertimbangan hukum yang diambil oleh Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengenai permasalahan tersebut, di mana hak yang diterima oleh anak di luar perkawinan terhadap ayah biologisnya ialah hanya meliputi nafkah, pendidikan, kesehatan maupun kebutuhan lainnya sampai anak tersebut dewasa dan mampu berdiri sendiri serta hak dari harta peninggalan ayah biologis berupa wasiat wajibah. Artinya anak tersebut tidak mendapatkan waris dari ayah biologisnya tetapi diganti dengan wasiat wajibah.

Namun jika bertolak pada penetapan Nomor 282/Pdt.P/2019/PA.JB, Hakim Pengadilan Jakarta Barat ini sepenuhnya menerima atau mengesahkan status anak di luar perkawinan berdasarkan norma hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010. Sehingga anak tersebut selayaknya mendapat perlindungan hukum berupa penetapan Pengadilan sebagai anak biologis dari kedua orang tuanya yang akibat hukumnya dapat dicatatkan sebagai catatan pinggir pada register akta kelahiran dan kutipan akta kelahiran. Selanjutnya, menurut hukum, anak tersebut mempunyai hubungan darah,

(21)

termasuk hubungan perdata dengan ayah dan ibunya termasuk keluarga ayah dan ibunya.

Hal ini yang dijadikan alasan utama penulis ingin meneliti mengenai permasalahan seputar putusan MK No. 46/PUU-VII/2010, dari segi Normatifnya yakni mengenai Undang-Undang dan peraturan-peraturan terkait dan Sosialegalnya terhadap implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Jakarta Barat. Pertama, apakah yang dijadikan dasar oleh Majelis Hakim sebagai pertimbangannya dalam menetapkan hak-hak keperdataan terhadap status anak di luar perkawinan? Kedua, Apakah penetapan Pengadilan Agama di Jakarta terhadap status anak di luar perkawinan sudah mencerminkan aspek Normatif, dan aspek Sosiolegal?

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah di paparkan diatas, penulis memberikan identifikasi masalah yang akan dijadikan bahan penelitian sebagai berikut:

1. Apa yang menjadikan alasan DPR dan Pemerintah tidak melakukan revisi UU Perkawinan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VII/2010?

2. Apa yang menjadikan alasan DPR dan Pemerintah hanya mengakomodir Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 untuk di revisi kedalam UU Perkawinan?

3. Apakah yang dijadikan dasar oleh Majelis Hakim sebagai pertimbangannya dalam menetapkan hak-hak keperdataan terhadap status anak di luar perkawinan?

4. Apakah pendekatan yang diterapkan oleh Majelis Hakim dalam menetapkan perkara tersebut?

5. Apakah pertimbangan Majelis Hakim dalam penetapannya sudah sesuai dengan pendekatan Normatif dan Sosiolegal?

6. Apa landasan yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam berfilsafat hukum untuk menetapkan perkara tersebut?

(22)

7. Apakah penetapan Pengadilan Agama di Jakarta terhadap kasus status anak di luar perkawinan sudah mengimplementasikan putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VII/2010?

8. Apa saja hak keperdataan anak luar kawin terhadap ayah biologisnya yang diterima oleh hakim dalam menetapkan status anak di luar perkawinan? 9. Bagaimana pertimbangan hukumnya dalam menetapkan status anak di luar

perkawinan!

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

a. Batasan Masalah

Melihat luasnya pembahasan yang telah penulis paparkan pada identifikasi masalah, maka penulis memberikan batasan masalah terhadap permasalahan yang akan dikaji sehingga tidak melebar dan dapat berfokus pada: Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 terhadap kasus status anak di luar Perkawinan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 635/Pdt.P/2019/PA.JS dan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor 282/Pdt.P/2019/PA.JS.

b. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 dalam penetapan Nomor 635/Pdt.P/2019/PA.JS dan Nomor 282/Pdt.P/2019PAJB?

Rumusan Masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah yang dijadikan dasar oleh Majelis Hakim sebagai pertimbangan hukumnya dalam menetapkan hak-hak keperdataan terhadap status anak di luar perkawinan?

2. Apakah dalam Penetapan Nomor 635/Pdt.P/2019/PA.JS dan Nomor 282/Pdt.P/2019PAJB terhadap status anak di luar perkawinan sudah mencerminkan aspek Normatif, dan aspek Sosiolegal?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

(23)

a. Untuk mengetahui Penetapan Hakim Pengadilan Agama di Jakarta Terhadap status anak di luar perkawinan apakah sudah mencerminkan aspek Normatif, dan aspek Sosiolegal.

b. Untuk mengetahui yang dijadikan dasar oleh Majelis Hakim sebagai pertimbangannya dalam menetapkan hak-hak keperdataan terhadap status anak di luar perkawinan.

2. Manfaat Penelitian

a. Mampu memberikan jawaban daripada permasalahan hukum yang ada pada putusan No. 46/PUU-VII/2010.

b. Memberikan jawaban daripada setiap pertimbangan Majelis Hakim dalam menetapkan status serta kedudukan anak di luar perkawinan. c. Mempunyai dasar konkrit sebagai bahan kajian dalam setiap penetapan

hakim tentang status anak di luar perkawinan.

d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan suatu rujukan maupun masukan untuk penelitian selanjutnya.

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Studi pustaka yang penulis peroleh yaitu berupa skripsi-skripsi yang mempunyai korelasi dengan materi yang ingin penulis buat. Diantaranya: Pertama adalah karya Mesraini yang berjudul, (2017) “Interkoneksi Mahkamah

Konstitusi Dengan Mahkamah Agung; Studi Implementasi Putusan Tentang Anak Nasab”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yang

bersifat yuridis-normatif, yakni metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa interkoneksi antara PA-PTA dengan MK cukup baik dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai Putusan MK No. 46/PUU-VII/2010. Namun, MA cenderung tidak mendudukkan putusan MK sebagai putusan final-mengikat, sehingga antara MA dengan MK belum menunjukan hubungan semestinya. Sebagai uraian singkat, dinyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh Penggugat yakni Machica dan Iqbal ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengenai status anak di luar perkawinan dari Machica dan Alm.

(24)

Moerdiono, menuai hasil yang di mana gugatan tersebut di tolak oleh Majelis Hakim PA. Selanjutnya, Machica kembali mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Agama dan menuai hasil yang sama, yakni PTA menguatkan putusan pada PA. Mengenai hal ini, PA dan PTA sama-sama menggunakan putusan MK sebagi dasar hukum dalam pertimbangannya. Kemudian, Penggugat mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung, yang mana dalam hal ini MA membuat keputusan yang bertolak belakang dengan putusan MK, MA tidak mengakui status anak di luar nikah, karena mengenai status anak di luar nikah harus dikembalikan pada kesepakatan ulama dan cendikiawan muslim Indonesia yang telah tertuang pada Kompilasi Hukum Islam bidang hukum perkawinan.

Selanjutnya adalah karya Siti Nur Malikhah yang berjudul, (2012) “Analisis

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Kedudukan Anak di Luar Perkawinan”. Penelitian ini menggunakan metode

pendekatan yuridis normatif dengan peraturan Perundang-undangan dan pertimbangan para hakim dalam memutuskan putusan tersebut. Penelitian dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (dokumen) dan data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mengacu pada pasal 28B ayat 1 UUD 1945 tentang hak-hak yang harus didapatkan anak sebagai warga negara maka MK memberikan hak yang sama antara anak yang terlahir dalam hubungan di dalam perkawinan dan di luar perkawinan. Hal ini karena tidak adil bagi MK jika anak yang tidak berdosa juga diikutkan dalam penanggungan dosa orangtuanya. Dalam hal ini MK memberi peluang bagi anak-anak yang terlahir di luar perkawinan mendapat hubungan perdata dengan ayah biologisnya dengan dibuktikan oleh alat teknologi yang menunjukkan bahwa itu adalah ayahnya. Untuk anak hasil zina yang juga termasuk anak di luar kawin, hukum Islam memberikan alternatif lain mengenai hak waris yang bisa diberikan yaitu menjadikan anak hasil zina sebagai penerima hibah melalui 1/3 dari harta pewaris yang dialokasikan untuk hibah dan menjadikan anak hasil zina tetap pada posisinya yaitu bukan ahli waris.

(25)

Studi Rianzani Aminullah yang berjudul “Dampak Putusan Mahkamah

Konstitusi No.46/PUU-VII/2010 Terhadap hak waris anak dalam perspektif hukum Islam” membahas tentang hak waris terhadap anak di luar perkawinan

serta dampaknya setelah putusan MK ini di keluarkan dan dijadikan sebagai bahan pertimbangan hukum. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi terhadap status anak di luar kawin adalah adanya hak mendapatkan hak keperdataannya di antaranya hak waris. Pada pengaturan awalnya dalam hukum waris perdata, anak luar kawin mendapat warisan jika telah diakui dan disahkan. Dengan begitu, berdasarkan pertimbangan tersebut dan putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 yang sudah final dan mengikat maka status anak luar kawin berhak mendapatkan hak keperdataan yang termasuk di dalamnya saling waris mewarisi secara sah antara anak tersebut dengan kedua orang tuanya terutama dengan pihak ayah dan keluarga ayahnya.

Skripsi yang berjudul ”Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi No.

46/PPU-VIII/2010 tentang status anak luar nikah prespektif Hukum Islam dan hukum positif”, oleh Ridho Akmal Nasution membahas tentang status anak luar nikah

pasca putusan Mahkamah Konstitusi, pandangan hukum Islam dan positif terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, serta dampak putusan Mahkamah Konstitusi. Pengertian anak luar nikah/kawin, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, adalah anak yang dilahirkan dari akibat pergaulan/hubungan seks antara pria dan wanita yang tidak dalam perkawinan yang sah antara mereka dan dari perbuatan ini dilarang oleh pemerintah maupun Agama. Selanjutnya anak itu disebut anak luar nikah. Beda keduanya adalah bahwa anak zina dapat diakui oleh orangtua biologisnya, sedangkan anak luar kawin dapat diakui oleh orangtua biologisnya apabila mereka menikah. Pada kasus kedua, dalam akta perkawinan dapat dicantumkan pengakuan di pinggir akta perkawinannya.

Selanjutnya, studi Adi Guna Sakti, tahun 2014, berjudul “Hak waris anak di

(26)

(Analisis Putusan No. 0156/Pdt.P/2013/PA.JS)”. Di dalam skripsi ini, penulis

menggunakan konten analisis yaitu menganalisa dengan cara menguraikan deksripsik putusan dan menghubungkannya dengan hasil wawancara, serta analisa yurispudensi hakim pengadilan agama. Skripsi ini menjelaskan bahwa Hukum Islam merupakan lembaga sakral, maka kedudukan anak yang lahir dari atau akibat di luar perkawinan yang sah jelas memiliki perbedaan dengan anak yang lahir dalam perkawinan sah dalam hak waris, dan hak wali nikah bagi anak perempuan. Sangat tidak adil apabila seorang anak, karena kesalahan ibu dan bapak biologisnya, harus menanggung beban dengan kehilangan hak-haknya sebagai seorang anak. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini dan Penetapan Pengadilan Agama No. 0156/Pdt.P/2013/PA.JS, maka anak luar nikah/kawin (hasil bologis) diakui sebagai anak yang sah yang memilki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, tetapi dalam masalah waris anak tersebut mendapat wasiat wajibah maksimal 1/3 bagiannya.

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam peelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, penelitian kualitatif ini merupakan suatu penelitian yang menekankan pada pencarian makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol, maupun tentang suatu fenomena.9 Adapun sifat kualitatif ini merupakan sekumpulan data yang dihasilkan dari berfokus kepada ciri-ciri, sifat, mutu objek atau subjek yang pastinya saling berkaitan.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan hukum normatif dan sosiolegal. Pendekatan hukum normatif bermaksud untuk mengetahui

9 Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,

(27)

sumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan pembahasan yang akan diteliti. Sedangkan pendekatan sosiolegal digunakan untuk mengaplikasikan keilmuan sosial terhadap studi hukum yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian terhadap peraturan Undang-Undang, buku-buku, dan wawancara Hakim

Pendekatan hukum normatif ini juga meneliti tentang kaidah atau aliran hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum. Penelitian ini bertujuan dalam rangka memberikan suatu argumentasi hukum terhadap suatu peristiwa sebagai bahan pertimbangan apakah menurut hukum kasus atau peristiwa tersebut sudah benar atau belum.10

3. Sumber Data

Terdapat data primer yang dipakai oleh penulis yaitu berupa studi terhadap dua penetapan pengadilan, yaitu penetapan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 635/Pdt.P/2019/PA.JS dan yang kedua Penetapan di Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor 282/Pdt.P/2019/PA.JB. Selanjutnya, peneliti melakukan wawancara dengan hakim yang menetapkan perkara terkait. Penulis mewawancarai para hakim yang menetapkan perkara tersebut guna mendapatkan data akurat mengenai alasan-alasan para hakim membuat pertimbangan hukum dalam penetepannya. Para hakim tersebut yaitu, Drs. Cece Rukmana Ibrahim, S.H., M.H. dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Dr. Mustar, M.H. dari Pengadilan Agama Jakarta Barat. Selanjutnya terdapat sumber data sekunder yakni data yang diperoleh langsung dari objek yang bersangkutan atau yang diteliti. Data penelitian ini, diperoleh langsung dari dokumen-dokumen yang meliputi objek penelitian yang bersangkutan. Dalam hal ini dokumen-dokumen resmi dan buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan.

10 Mukti Fajar, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka

(28)

Bahan hukum terhadap penelitian ini antara lain: UU No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

4. Teknik Penulisan dan Analisis Data

Teknik penulisan yang penulis pakai yakni menggunakan Pedoman Penelitian Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum tahun 2017. Sedangkan analisis data yang digunakan yakni analisis data kualitatif berupa pengumpulan data, penyaringan data, perangkuman data dan penarikan kesimpulan.

H. Sistematika Penulisan

Agar penelitian ini mempunyai gambaran yang jelas dan terarah, penulis menjadikan sistematika penulisan ini menjadi lima bab, di mana masing-masing bab berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:

BAB I, berisikan pendahuluan yang menguraikan latar belakang

masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan studi (review) terdahulu, dan sistematika penelitian.

BAB II, menjelaskan tentang tinjauan umum tentang anak di luar

perkawinan yang terdiri dari pengertian, asal-usul anak di luar perkawinan, lalu terdapat kedudukan serta hak anak di luar pekawinan.

BAB III, akan Menjelaskan uraian deskripsi data berkenaan dengan

penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Agama Jakarta Barat terhadap perkara permohonan penetapan asal-usul anak.

BAB IV, merupakan analisis yuridis terhadap Penetapan Pengadilan

Agama Jakarta Selatan perkara No. 635/Pdt.P/2019/PA.JS dan Pengadilan Agama Jakarta Barat No. 282/Pdt.P/2019/PA.JB, alasan Majelis Hakim dalam memutus perkara serta akibat hukum dari putusan tersebut pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.

(29)

BAB V, adalah bagian akhir dari penulisan skripsi ini, yang didalamnya

akan berisikan kesimpulan dan rekomendasi berupa saran yang bersifat kontribusi membangun dunia akademis.

(30)

15

BAB II

ANAK DI LUAR PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Pengertian dan Asal Usul Anak di Luar Perkawinan

1. Pengertian Anak di Luar Perkawinan

Anak di luar perkawinan merupakan anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, namun perempuan tersebut tidak dalam ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang menyebabkan anak tersebut lahir.1 Sedangkan yang dimaksud di luar perkawinan adalah hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang dapat melahirkan keturunan, namun mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dianutnya.2

Dalam praktik hukum perdata, anak di luar pekawinan memiliki dua kategori perbedaan, Pertama, apabila pasangan suami istri masih terikat perkawinan yang sah namun melakukan hubungan seksual dengan laki-laki atau perempuan lain yang menyebabkan hamil hingga melahirkan anak, maka anak tersebut dinamakan anak zina, bukan anak luar kawin. Kedua, apabila orang tua anak di luar kawin itu masih sama-sama belum menikah, mereka mengadakan hubungan seksual dan hamil serta melahirkan anak, maka anak itu disebut anak di luar perkawinan.3

Anak di luar perkawinan akibat perzinaan yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah dapat dikatakan anak zina, hal ini karena perzinaan merupakan bentuk pelanggaran dari suatu perkawinan yang sah, sehingga anak yang lahir dari akibat perzinaan merupakan bentuk satu pelanggaran terhadap ketentuan perkawinan.4

1 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Kencana: Jakarta,

2014), h., 80.

2 Ibid. 3 Ibid., h., 81.

4 Fuad Fachrudin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya,

(31)

Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan pekawinan yang sah dikatakan zina. Secara terminologi zina merupakan hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan melalui vagina bukan dalam akad pernikahan yang sah. Zina dapat juga didefinisikan sebagai hubungan seksual antara laki-laki dan seorang wanita yang tidak, atau belum menikah atau diikat oleh suatu perkawian tanpa disertai unsur keraguan dalam hubungan seksual tersebut dan tidak ada hubungan kepemilikan, seperti tuan dan hamba sahaya wanita.5

Jadi terdapat dua macam istilah mengenai pengertian zina, yakni zina

muhsan dan zina ghairu muhsan. Zina muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh

orang yang telah atau pernah menikah, sedangkan zina ghairu muhsan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka/perawan. Hukum Islam tidak menganggap bahwa zina ghairu muhsan yang dilakukan oleh perjaka/perawan itu sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap sebagai perbuatan zina yang harus di kenakan hukuman. Hanya saja hukuman itu kuantitasnya berbeda, bagi pezina muhson dirajam sampai mati sedangkan yang ghairu muhson dicambuk 100 kali. Anak yang dilahirkan akibat zina ghairu muhson dapat dikatakan anak di luar perkawinan.6

Faktor penyebab terjadinya anak di luar perkawinan, diantaranya adalah:7 a. Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita tetapi wanita tersebut

mempunyai ikatan perkawinan dengan pria yang menyetubuhinya dan tidak mempunyai ikatan perkawinan dengan pria atau wanita lain; b. Anak yang lahir dari seorang wanita, kelahiran tersebut di ketahui dan

dikehendaki oleh salah satu atau ibu bapaknya, hanya saja salah satu atau kedua orang tuanya itu masih terkait dengan perkawinan yang lain;

5 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islâmî wa Adillatuh, (Damaskus: Dar Al-Fiqr, 1986),

jilid 7, h., 110.

6 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

2014), h., 82-83.

(32)

c. Anak yang lahir dari seorang wanita tetapi pria yang menghamilinya itu tidak diketahui, misalnya akibat korban perkosaan;

d. Anak yang lahir dari seorang wanita dalam masa iddah penceraian, tetapi anak yang dilahirkan itu merupakan hasil hubungan dengan pria yang bukan suaminya. Ada kemungkinan anak di luar kawin ini dapat diterima oleh keluarga kedua belah pihak secara wajar jika wanita yang melahirkan itu kawin dengan pria yang menyetubuhinya;

e. Anak dari yang lahir dari seorang wanita yang ditinggal suami lebih dari 300 hari, anak tersebut tidak diakui oleh suaminya sebagai anak yang sah;

f. Anak yang lahir dari seorang wanita, padahal agama yang mereka peluk menentukan lain, misalnya dalam agama Katolik tidak mengenal adanya cerai hidup, tetapi dilakukan juga, kemudian ia kawin lagi dan melahirkan anak. Anak tersebut dianggap sebagai anak di luar kawin; g. Anak yang lahir dari seorang wanita, sedangkan pada mereka berlaku

ketentuan negara melarang mengadakan perkawinan, misalnya WNA dan WNI tidak mendapat izin dari Kedutaan Besar untuk menyelenggarakan perkawinan, karena salah satu dari mereka yang mempunyai istri, tetapi mereka tetap campur dan melahirkan anak tersebut merupakan anak luar kawin;

h. Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita, tetapi anak tersebut sama sekali tidak mengetahui kedua orang tuanya;

i. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama;

j. Anak yang lahir dari perkawinan secara adat, tidak dilaksanakan secara adat, tidak dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya serta tidak didaftar di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama Kecamatan.

2. Asal Usul Anak di Luar Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam

Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki makna yang penting, diantaranya dapat diketahuinya hubungan mahram (nasab) antara

(33)

anak dengan ayahnya melalui penetapan ini. Kendatipun anak pada hakikatnya lahir dan berasal dari sperma seorang laki-laki yang sejatinya harus menjadi ayahnya, namun dalam hal ketentuan lain hukum Islam memberikan spesifik mengenai penetapan asal usul anak tersebut.

Anak dapat dikatakan sah apabila terlahir dari perkawinan yang sah sehingga memiliki hubungan nasab dengan ayahnya. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut anak yang sah, dan dapat di kategorikan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.8

Berkenaan dengan anak yang sah, fiqh Islam menganut pemahaman yang cukup tegas, kendatipun tidak ditemukan pengertian yang jelas dan terjabar tegas berkenaan dengan anak yang sah. Namun berangkat dari pengertian ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist, dapat diberikan batasan anak yang sah adalah anak yang lahir dari sebab dan di dalam perkawinan yang sah. Selain itu disebut sebagai anak zina yang hanya memiliki hubungan dengan ibunya.9

Secara implisit dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ (17) ayat 32 yang berbunyi:

ٗ

لٗيِّبَس َء

ٓاَسَو ٗةَشِّحََٰف َنَكَ ۥُهَّنِّإ ٰٓۖى َنِّ زلٱ ْاوُبَرۡقَت َلََو

٣٢

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S Al Isra [17]: 32) Selanjutnya di dalam surat Al-Mu’minun (23) ayat 5-6:

َنو ُظِّفَٰ َح ۡمِّهِّجوُرُفِّل ۡمُه َنيِّ

لَّٱَو

َّ

٥

ۡمُهَّنِّإَف ۡمُهُنَٰ َمۡي

أ ۡتَكَلَم اَم ۡو

َ

َ

أ ۡمِّهِّجَٰ َوۡز

َ

أ ى

َ َعَل َّلَِّإ

َينِّموُلَم ُ ۡيَۡغ

٦

8 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.,

62.

9 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,

(34)

Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Q.S Al-Mu’minun [23]: 5-6)

Larangan-larangan Al-Qur’an diatas, tidak saja dimaksudkan agar setiap orang menjaga kehormatan dirinya, tetapi juga yang lebih penting menghindarkan dampak terburuk dari pelanggaran larangan-larangan Allah akibat dari lahirnya anak zina.

Dari kalangan empat Mazhab, Imam Abu Hanifah menegaskan bahwa sahnya status anak zina dinasabkan pada ayah biologisnya apabila kedua pezina itu menikah sebelum anak lahir. Dalam Mazhab Syafi’i ada dua pendapat. Pertama, bahwa nasab anak zina tetap kepada ibunya bukan kepada ayah biologisnya walaupun keduanya sudah menikah sebelum anak lahir. Pendapat kedua, status anak zina dalam kasus ini dinasabkan kepada ayah biologisnya apabila anak ini lahir diatas enam bulan pasca pernikahan kecuali apabila suami melakukan ikrar pengakuan anak. Selanjutnya, menurut Mazhab Hambali dan Maliki mengatakan bahwa tidak sah menikahi wanita hamil dan status anaknya tetap anak zina atau disebut bukan anak sah.10

Pembahasan mengenai nasab khususnya yang berkaitan dengan sebab-sebab timbulnya nasab dan cara menetapkannya, tidak bisa lepas dari masalah masa kehamilan, baik yang berkaitan dengan batas minimal masa kehamilan maupun batas maksimal masa kehamilan. Oleh sebab itu mengenai masa kehamilan ini, sangat perlu diuraikan terlebih dahulu sebelum mengetahui tentang sebab-sebab dan cara menetapkan nasab.

Muhammad Jawwad Mughniyah dalam bukunya mengatakan bahwa batas maksimal masa kehamilan ini bukan termasuk disiplin ilmu fiqh, melainkan hal ini merupakan kompetensi paramedis dan wewenang dokter. Sehingga dalam masalah ini kita tidak berkewajiban menerima pendapat-pendapat fuqoha kalau

10 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al- Al-Islâmî wa Adillatuh, (Damaskus: Dar Al-Fiqr,

(35)

sekiranya pendapat yang di kemukakan berlawanan dengan fakta dan kenyataan sesungguhnya dalam dunia kedokteran.11 Namun demikian, persoalan masa kehamilan seorang wanita dalam perspektif fuqoha tetap harus diuraikan dalam rangka membandingkan dan mentarjih pendapat yang paling sesuai dengan ilmu kedokteran.

Terdapat dua pembahasan mengenai masa kehamilan dari batas minimal dan maksimalnya.

a. Batas Minimal Masa Kehamilan

Dalam hal batas masa kehamilan, para fuqaha dari mazhab mana pun, bahkan dari golongan Syi'ah telah sepakat bahwa batas minimal masa kehamilan adalah enam bulan. Batas minimal kehamilan ini didasarkan atas firman Allah dalam Surah Al-Ahqaf (46) ayat 15 dan Surah Luqman (31) ayat 14. Dari gabungan pemahaman kedua ayat tersebut dapat diketahui bahwa minimal yang dibutuhkan oleh seorang ibu untuk mengandung anaknya adalah enam bulan.12 Dalam Surah Al-Ahqaf (46) ayat 15 Allah berfirman:

ۚاًرۡهَش َنوُثََٰلَث ۥُهُلَٰ َصِّفَو

Artinya: “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (Q.S Al-Ahqaf, 15)

Adapun dalam Surah Luqman (31) ayat 14 Allah berfirman:

ِّ ۡينَم َعَ ِّفِ ۥُه

ُلَٰ َصِّفَو

Artinya: “Dan menyapihnya selama dua tahun.” (Q.S Luqman [31]: 14)

Atas dasar ayat pertama, seorang ibu memerlukan waktu tiga puluh bulan untuk mengandung dan menyapih seorang anak. Sedangkan waktu yang

11 Muhammad Jawwad Mugniyah, Ahwâl Asy-Syakhsiyyah ‘alâ Madzâhib

Khamsah (Ja'fariyah, Hanafî, Asy-Syafi'î, Mâlikî, Hambalî), (Beirut: Dâr Ilmi li Al-Malâyîn, 1964), cet. pertama, h., 76. dalam Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam,

(Jakarta: Amzah, 2012), h., 33.

(36)

diperlukan untuk menyapih saja dua tahun atau dua puluh empat bulan, sehingga tiga puluh dikurangi dua puluh empat sama dengan enam, artinya enam bulan. Inilah yang merupakan batas masa kehamilan.13

Berkaitan dengan masalah batas minimal masa kehamilan ini, Imam Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa di zaman Khalifah Utsman bin Affan ada seorang lelaki yang menikah dengan seorang wanita, dalam masa enam bulan sejak melaksanakan akad nikah tiba-tiba wanita itu melahirkan anak. Maka permasalahan ini dilaporkan kepada Khalifah Utsman, sehingga beliau pun berniat menjatuhi hukuman rajam. Pada saat itu Ibnu Abbas berkata: “Seandainya aku diminta menyelesaikan masalah kalian atas dasar Al-Qur’an niscaya permasalahan kalian akan terselesaikan, betapa Allah telah berfirman ‘mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan’ sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mengandung cukup dengan enam bulan”. Maka Utsman akhirnya mengambil pendapat Ibnu Abbas di atas sebagai dasar penyelesaian kasus tersebut dan akhirnya Utsman melarang pelaksanaan sanksi zina kepada wanita itu dan menetapkan anak itu sebagai anak sah dari suami wanita itu.14

Dengan demikian, masalah batas minimal masa kehamilan para ulama dari kalangan mazhab mana pun telah sepakat bahwa batas minimal kehamilan adalah enam bulan. Hal ini didasarkan atas pemahaman dari dua ayat Al-Qur’an di atas.

b. Batas Maksimal Masa Kehamilan

Tidak halnya seperti batas minimal masa kehamilan yang memang terdapat dalil nash Al-Qur’an secara tegas, sehingga dapat disepakati oleh para ulama. Berkaitan dengan batas maksimal masa kehamilan ini penuh dengan kontradiksi persepsi dan perbedaan pendapat di kalangan para ahli hukum Islam. Ini tidak dapat dihindarkan, karena di samping tidak terdapat dalil naqli yang disepakati, para ulama dalam memberikan argumentasinya didasarkan atas

13 Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h., 34. 14 Ibid., h., 35.

(37)

pengalaman yang sifatnya temporer dan kasuistik. Dalam hal ini, ada beberapa pendapat yang pada setiap argumentasinya mempunyai pemahaman yang berbeda-beda. Diantaranya sebagai berikut:15

1) Menurut Ibnu Hazm Azh-Zhairi yang disandarkan kepada pendapat Umar bin Khattab bahwa batas maksimal masa kehamilan adalah sembilan bulan Qamariyah.

2) Menurut pendapat Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, salah seorang fuqoha yang menganut mazhab Maliki, menyatakan bahwa batas maksimal masa kehamilan adalah satu tahun Qamariyah.

3) Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, bahwa batas maksimal masa kehamilan adalah dua tahun. Hal ini dikemukakan atas dasar perkataan Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa seorang bayi tidak mungkin akan berada dalam Rahim atau kandungan ibunya lebih dari dua tahun. 4) Menurut pendapat Al-Laits, seorang ahli fiqh Mesir pada abad kedua

Hijriah, bahwa batas maksimal masa kehamilan adalah 3 tahun.

5) Dalam pendapat Imam Syafi’i mengatakan bahwa batas maksimal kehamilan adalah empat tahun. Dalam hal ini sebagian ahli fiqh golongan Hanafiah bahkan mengatakan bahwa Imam Malik dan Imam Ahmad juga berpendapat demikian.

6) Menurut pendapat yang paling terkenal yakni dari ulama golongan Maliki, Al-laits, Ibnu Sa’ad, dan Abad bin Al-Awwam bahwa batas maksimal masa kehamilan adalah lima tahun.

7) Dan menurut pendapat sebagian ulama Mazhab Maliki bahwa batas masa kehamilan adalah tujuh tahun.

Dari berbagai pendapat para ahli hukum Islam di atas, dapat diketahui bahwa masalah batas maksimal masa kehamilan ini tidak satu pun yang di dasarkan atas dalil baik dalam Nash Al-Qur’an maupun Hadist. Pendapat yang

15 Musthafa As-Siba’i, Syarah Qânûn Al-Ahwâl Asy-Syakhsiyyah, (Damaskus: Matba’ah Jâmi'ah, 1972), jilid 1, h., 290. dalam Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam,

(38)

dimunculkan oleh mereka bersifat temporer dan kasuistik, sehingga tidak ada standar pasti yang dapat dipegang sebagai pendapat yang paling benar.

Mengenai hal ini, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa permasalahan ini harus berpulang kepada adat atau kebiasaan dan realita masyarakat yang ada. Dalam hal ini, pendapat Abdullah bin Abdul Hakam dan Kaum Zhahiriyah lebih dekat kepada kenyataan yang biasa terjadi dan dinilai sebagai pendapat yang sesuai dengan kasus nyata, bukan kasus yang mustahil terjadi sehingga dalam penetapan hukum hanya dapat didasarkan atas kasus yang sebenarnya, bukan yang jarang terjadi.16

Dengan demikian, pendapat Ibnu Rusyd tersebut dapat dijadikan sebagai

hujjah atau argumentasi yang paling tepat untuk menentukan suatu hukum

dalam kasus diatas dengan didasarkan kepada kasus yang pada umumnya terjadi.17 Karena wanita hamil biasa berkisar antara delapan, sembilan sampai

sepuluh bulan. Bahkan di Syiria ditentukan secara jelas tentang batas minimal kehamilan yakni berkisar 180 hari dan batas maksimalnya adalah satu tahun Syamsiyyah.18 Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa batas minimal masa

kehamilan telah disepakati enam bulan atau 180 hari dan batas maksimalnya selama satu tahun Syamsiyyah sama dengan 365 hari, walaupun pada umumnya berkisar antara delapan, sembilan, sampai sepuluh bulan.

3. Asal Usul Anak di Luar Perkawinan dalam Perspektif Hukum Positif Jika kita beralih pada hukum positif di Indonesia, Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 telah mengatur mengenai asal usul anak. Di mana anak adalah hasil dari adanya hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan. Jika anak tersebut lahir dari perkawinan yang sah menurut hukum Islam, maka anak tersebut juga menjadi anak sah. Demikian juga sebaliknya, apabila anak tersebut lahir dari perkawinan yang tidak sah, maka anak tersebut

16 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid 2, Penerj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman,

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h., 718.

17 Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h., 39. 18 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al- Al-Islâmî wa Adillatuh, (Damaskus: Dar Al-Fiqr,

(39)

juga berkedudukan sebagai anak tidak sah, sehingga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkawinan yang diakui adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan dicatatkan di instansi pemerintah yang menangani bidang tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan. Mengenai kedudukan anak, Undang-Undang hanya mengenal dua golongan anak yakni:

a. Anak sah dari kedua orang tuanya.

b. Anak yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga si ibu yang melahirkan.

Jika merujuk pada pengertian anak sah yang diatur dalam pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang beisi ketentuan: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan, bahwa anak yang sah adalah:19

a. Anak yang dilahirkan dalam dan selama perkawinan.

b. Anak yang kelahirannya harus dari hubungan perkawinan yang sah.

c. Diketahui dengan jelas bapak dan ibunya yang telah resmi secara hukum terikat dalam suatu perkawinan yang sah.

Pasal 42 di atas jika diperhatikan didalamnya memberikan toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas waktu minimal usia kandungan. Jadi selama bayi itu lahir pada saat ibunya dalam perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak yang sah. Secara eksplisit, Undang-Undang tidak mengatur batas minimal usia kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasannya. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), ditegaskan dan dirinci apa yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

19 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: CV Zahir Trading, 1975), h.,

(40)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah bidang hukum perkawinan di Indonesia, dalam pasal 99 KHI dijelaskan bahwa anak yang sah adalah:20

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.

b. Hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Pasal 100 berbunyi:

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pasal 101 berbunyi:

Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an.

Muhammad Bagir mempunyai pendapat bahwa kalimat “dalam atau akibat perkawinan yang sah” dalam pasal 99 KHI dapat menimbulkan kerancuan penafsiran. Kalimat tersebut seolah-olah mencakup anak yang lahir dalam masa perkawinan yang sah meskipun sebelumnya telah diketahui secara pasti, bahwa anak tersebut telah tumbuh dalam rahim ibunya sebelum ibu melangsungkan perkawinan dengan suaminya. Selanjutnya, Muhammad Bagir mengatakan bahwa pemahaman seperti itu jelas bertentangan dengan kesepakatan para ulama dari semua madzhab, bahwa apabila telah diyakini anak tersebut merupakan hasil perzinaan, maka ia tidak boleh dihubungkan nasabnya kecuali dengan ibunya dan keluarga ibunya, dan sama sekali tidak dengan ayahnya, walaupun ada kemungkinan bahwa itu adalah ayah biologisnya. Oleh karena itu, pasal 99 KHI mengandung kontradiksi dengan pasal 100 KHI yang

20 Zaenal Arifin dan Anshori, Fiqh Munakahat, (Yogyakarta: CV Jaya Star Nine, 2019),

(41)

menyebutkan: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab ibunya dan keluarga ibunya.21

Pasal 99 KHI di atas juga mengandung pembaruan hukum dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya bayi tabung, yaitu proses ovulasi yang direkayasa di luar rahim, melalui tabung yang disiapkan untuk itu, kemudian dimasukkan kembali ke dalam rahim istri, dan dilahirkan juga oleh istri tersebut. Jadi tetap dibatasi antara suami dan istri yang terikat oleh perkawinan yang sah.22

Adapun di dalam Undang-Undang Perkawinan bab XII telah diatur tentang pembuktian asal usul anak dalam pasal 55 yakni:

(1) Asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.

(2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.

(3) Atas dasar penetapan Pengadilan Agama tersebut dalam ayat (2), maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Asal-usul anak ini dapat dibuktikan antara lain dengan akta kelahiran. Bagi anak yang lahir dari perkawinan yang sah, untuk mendapatkan akta kelahiran hanya tinggal mengurus sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ditentukan, sehingga anak yang lahir dari perkawinan yang sah mendapatkan perlindungan yang sempurna berkaitan dengan hifz an-Nasli (pemeliharaan keturunan) dengan segala akibat hukumnya. Namun bagi anak yang dilahirkan tidak dari perkawinan yang sah, maka untuk mengetahui asal-usul anak harus

21 Neng Dzubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2012) cet.2, h., 310.

22 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

(42)

melalu penetapan Pengadilan. Pengadilan hanya mengabulkan permohonan asal-usul anak jika permohonan tersebut terbukti berdasarkan dan beralasan hukum. Maka dari itu, tidak semua permohonan asal-usul anak dapat dikabulkan oleh pengadilan. Apabila permohonan tersebut tidak berdasarkan dan beralasan hukum, dengan demikan permohonan tersebut dapat ditolak.23

Dalam pemeriksaan perkara penetapan asal-usul anak, terdapat syarat-syarat yang harus dibuktikan dalam permohonannya. Apabila syarat-syarat-syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh hukum Islam sudah terpenuhi, maka sahlah pengakuan tersebut. Tetapi jika terdapat satu syarat yang tidak terpenuhi, maka pengakuan tersebut tidak dapat dibenarkan dan permohonan penetapan asal-usul anak yang di ajukan tersebut ditolak. Meskipun dalam literatur fiqh tidak terdapat secara khusus pembahasan tentang pengakuan dan penetapan asal-usul anak secara lengkap. Akan tetapi, secara substansial dapat ditemukan dalam bab yang membahas tentang hukum-hukum kekeluargaan, khususnya bab tentang

da’waan nasab. Hampir semua Kitab membahas tentang perlunya perlindungan

terhadap anak terlantar, anak di luar perkawinan, anak yatim piatu, dan sebangsanya.

Oleh karena masalah ini belum terbiasa dalam kehidupan masyarakat, maka hakim diharapkan dapat menciptakan putusan yang berbobot dengan pertimbangan yang cukup. Lembaga pengakuan anak ini dapat tempat dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia dan dihargai sebagaimana mestinya. Hakim dalam menetapkan asal usul anak, khususnya pengakuan anak, perlu memerhatikan ijtihad tathliqy dengan metodologi muqaranah li mazahib wa

talfieq.24

Perkara penetapan asal-usul anak termasuk perkara voluntair. Oleh karena itu, pemeriksaannya sama dengan pemeriksaan perkara voluntair yang lain dengan produk penetapan, bukan putusan. Perkara penetapan asal-usul anak

23 Asrofi, Penetapan Asal-Usul Anak dan Akibat Hukumnya dalam Hukum Positif,

(Ponorogo: Artikel Pengadilan, 2019), h., 1.

24 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Kencana: Jakarta,

Referensi

Dokumen terkait

Merujuk pada penelitian sebelumnya yaitu Gokulakrishnan (2013) menyatakan minyak atsiri nilam mampu memberikan perlindungan 100% selama 280 menit, selain itu penelitian Ridwan

Namun demikian jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya, Kabupaten Parigi Moutong masih berada pada peringkat yang buruk. dimana pada tahun 2004 berada di peringkat ke

Perencanaan penilaian hasil belajar PPKn terdapat sepuluh indikator, yaitu guru memiliki dokumen, guru mencantumkan kompetensi dasar yang dinilai dalam kisi-kisi,

Bagan Struktur Organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Mesuji Kepala Dinas Kelompok Jabatan Fungsional Sekretariat Subag Perencanaan Subag Umum dan Kepegawaian

berghei sebesar 30,198% (Hapsari, 2012) sedangkan secara in vitro konsentrasi inhibitory concentration 50 (IC50) terhadap P. Berdasarkan temuan kebiasaan masyarakat di atas,

Tindak lanjut : Dilakukan penyidikan tindak pidana Kepabeanan, diduga melanggar Pasal 102 huruf (a) UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dengan Tersangka ZE selaku Nahkoda

Responden yang diperlukan untuk kebutuhan kuesiner ini terdiri dari 100 orang dengan perhitungan menggunakan rumus pada sub bab III.3 dimana terdapat jumlah populasi