• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGERTIAN DI LUAR PERKAWINAN MENURUT HUKUM

C. Hak Anak di Luar Perkawinan

1. Hubungan Hukum antara Orang Tua dengan Anak di Luar

Dalam Islam terdapat hak dan kewajiban timbal balik hubungan orang tua dengan anak, anak merupakan perhiasan dunia yang harus dijaga oleh orang tuanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Kahfi (18) ayat 46 yang berbunyi:

ُلاَمۡلٱ

َو

َنوُنَلۡٱۡ

ُةَنيِّز

ِّةَٰوَيَلۡٱۡ

ٰٓۖاَيۡنُّلدٱ

َو

ُتَٰ َيِّقَٰ َبۡلٱ

ُتَٰ َحِّلَٰ َّصلٱ

ٌۡيَۡخَو اٗباَوَث َكِّ بَر َدنِّع ٌ ۡيَۡخ

ٗ

لَٗمَأ

٤٦

Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” (Q.S Al-Kahfi [18]: 46)

Dalam konsep hukum Islam hubungan anak dengan orang tua di kenal dengan istilah nasab. Wahbah Zuhaili mendefinisikan nasab dengan suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah dan pertimbangan bahwa yang satu merupakan bagian dari yang lainnya.46

Fachrudin mengatakan bahwa anak mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarga. Orang tua berkewajiban atas nafkah hidup, pendidikan, pengawasan dalam ibadah dan budi perketi terhadap anak dalam kehidupannya sampai ia dewasa.47

46 Yufi Wiyos Rini, “Implikasi Hubungan Perdata Anak Luar Perkawinan Dengan

Laki-Laki Sebagai Ayahnya”, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Vol. 9 No. 2, 2016, h., 37. 47 Fuad Fachrudin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991), h., 36.

Menurut Wahbah Zuhaili, hak-hak anak terhadap orang tua terdiri dalam lima macam, yaitu hak nasab (keturunan), hak radha’ah (menyusui), hak

hadhanah (pemeliharaan), hak walayah (wali), dan hak nafaqah. Dengan

terpenuhinya lima kebutuhan ini, orang tua akan mampu mengantarkan anaknya dalam kondisi yang siap untuk seorang anak menjadi anggota keluarga melalui garis nasab, sehingga secara hukum anak berhak atas hubungan hukum tersebut.48

a. Nasab

Nasab adalah pertalian kekeluargaa berdasarkan hubungan darah, baik ke atas, ke bawah, maupun ke samping yang semuanya itu merupakan salah satu akibat dari perkawinan yang sah, perkawinan yang fasid dan hubungan badan secara syubhat. Dengan demikian nasab merupakan sebuah anugerah besar yang diturunkan Allah kepada hambya-Nya.49 Allah SWT berfirman dalam Q.s.

Al-Furqaan (25): 54:

اٗريِّدَق َكُّبَر َن َكََو ۗاٗرۡه ِّصَو اٗب َسَن ۥُهَلَعَجَف اٗ َشََب ِّءٓاَمۡلٱ َنِّم َقَلَخ يِّلَّٱ َوُهَوَّ

٥٤

Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa” (Q.S Al-Furqan [25]: 54)

Dalam rangka menjaga nasab atau keturunan, Islam mensyariatkan nikah sebagai cara yang dipandang sah untuk menjaga dan memelihara kemurnian nasab. Islam memandang bahwa kemurnian nasab sangat penting, karena hukum Islam sangat terkait dengan struktur keluarga, baik hukum perkawinan, maupun masalah kewarisan dengan berbagai derivasinya yang meliputi hak perdata dalam hukum Islam, baik menyangkut hak nasab, hak perwalian, hak

48 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, jilid 10, Penerj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h., 25.

memperoleh nafkah dan hak mendapatka warisan, bahkan konsep kemuhriman dalam Islam akibat hubungan perkawinan.50

b. Radha’ah

Rukun-rukun radha’ dalam mayoritas ulama selain Hanafiyah ada tiga, yaitu:

1) Wanita yang menyusui. 2) Susu.

3) dan anak yang disusui.

Para fuqaha sepakat bahwa menyusui anak itu hukumnya wajib bagi seorang ibu, karena nanti hal itu akan ditanyakan di hadapan Allah, baik wanita tersebut masih menjadi istri ayah dari bayi maupun sudah dicerai dan sudah selesai iddahnya.51

Untuk menjamin bahwa anak diberi makan, pakaian, dan dipelihara, Al-Qur’an menetapkan ketentuan-ketentuan tentang radha’ah. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah (2): 233:

َّمِّتُي نَأ َداَرَأ ۡنَمِّل ِِّۖ ۡينَلِّمَكَ ِّ ۡينَلۡوَح َّنُهَدََٰلۡوَأ َنۡعِّضۡرُي ُتََٰدِّلََٰوۡلٱَو۞

ِّدوُلۡوَمۡلٱ َ َعَلَو َۚةَعاَضَّرلٱ

اَهِّلدَوِّب ُُۢةَ ِّلدَٰ َو َّرآ َضُت َ لَ ۚاَهَعۡسُو َ لَِّإ ٌسۡفَن ُفَّ َّلَكُت َلَ ِۚ ِّفوُرۡعَمۡلٱِّب َّنُهُتَوۡسِّكَو َّنُهُقۡزِّر ۥَُلَ

ا َصِّف اَداَرَأ ۡنِّإَف ۗ َكِّلََٰذ ُلۡثِّم ِّثِّراَوۡلٱ َ َعَلَو ۚۦِّهِّ َلدَوِّب ۥَُّلَ ٞدوُلۡوَم َلََو

اَمُهۡنِّ م ٖضاَرَت نَع لًَ

ۡمُكۡيَلَع َحاَنُج َلَٗف ۡمُكَدََٰلۡوَأ ْآوُع ِّضۡ َتَ ۡسَت نَأ ۡمُّتدَرَأ ۡنوَإِ ۗاَمِّهۡيَلَع َحاَنُج َلَٗف ٖرُواَشَتَو

ُلَمۡعَت اَمِّب َ َّللَّٱ َّنَأ ْآوُمَلۡعٱَو َ َّللَّٱ ْاوُقَّتٱَو ِۗ ِّفوُرۡعَمۡلٱِّب مُتۡيَتاَء ٓاَّم مُتۡمَّلَس اَذِّإ

ِّصَب َنو

ٞيۡ

٢٣٣

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang

50 Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h., 9.

51 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, jilid 10, Penerj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h., 43.

ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Q.S Al-Baqarah [2]: 233)

Selama masa penyusuan anak mendapatkan dua hal yang sangat berarti bagi pertumbuhan fisik dan nalurinya, yaitu sebagai berikut:52

1) Anak mendapatkan makanan berkualitas yang tidak ada bandingannya. Air susu ibu (ASI) mengandung semua zat gizi yang diperlukan anak untuk tumbuh dan berkembang sekaligus mengandung antibodi yang membuat anak tahan terhadap serangan penyakit.

2) Anak mendapatkan dekapan kehangatan, kasih sayang, dan ketenteraman yang akan mempengaruhi suasana kejiwaannya pada masa mendatang. Perasaan hangat dan penuh cinta kasih yang dialami anak ketika menyusu pada ibunya akan menumbuhkan rasa kasih sayang yang tinggi kepada ibunya.

c. Hadhanah

Para fuqoha mendifinisikan hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggungjawab. Karena itu, hadhanah hukumnya wajib sebagaimana juga wajibnya memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan.53

52 Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), h., 87.

53 Zaenal Arifin dan Anshori, Fiqh Munakahat, (Madiun: CV Jaya Star Nine), h., 150-151.

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian. Terkait dengan hal ini, terdapat hukum yang disepakati oleh sebagian besar Imam Madzhab yang menerangkan bahwa hak

hadhanah baiknya di pegang oleh ibu, selama ibu belum bersuami (belum

menikah dengan yang lain), sesudah bercerai dengan ayah (anak yang dipeliharanya). Kalau sudah bersuami dan sudah disetubuhi maka gugurlah hak ibu dan memeliharanya.54

Bagi orang yang hendak memelihara atau menjadi hadhin, terdapat syarat-syarat tertentu baik laki-laki maupun perempuan ditetapkan sebagai berikut:55 1) Baligh dan Berakal;

2) Merdeka;

3) Beragama Islam, orang kafir tidak boleh diserahi untuku memelihara anak; 4) Terpercaya dan berbudi luhur;

5) Orang yang mengasuh hendaknya dalam kondisi yang aman; 6) Mampu mendidik;

7) Orang yang mengasuh hendaknya tidak mempunyai penyakit yang tidak bisa di sembuhkan

8) Menetap (tidak musafir)

Adapun yang berhak mengurus hadhanah, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian pengikut Hanafiyah berpendapat bahwa hadhanah adalah haknya mahdun (anak) sedangkan menurut Syafi’i, Ahmad, dan sebagian pengikut madzhab Maliki berpendapat bahwa yang berhak terhadap

hadhanah adalah hadhin (orang yang memelihara). Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa hadhanah nerupakan hak hadhin dan mahdun. Dalam

54 Zaenal Arifin dan Anshori, Fiqh Munakahat, (Madiun: CV Jaya Star Nine), h., 152.

55 Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), h., 80.

pelaksanaannya tentu perlu diperlukan kebijaksanaan sehingga tidak perlu memberatkan kepada masing-masing pihak.56

Pada dasarnya hadhanah anak adalah hak ibu. Menurut Zakaria Ahmad,

Hadhanah termasuk hak kuasa, hanya hak tersebut lebih layak dimiliki oleh

seorang wanita karena kasih sayangnya lebih besar dalam mendidik dan mengasuh anak. Wanita lebih mampu dari laki-laki untuk mengurus anak, memeliharanya serta lebih lembut dan sabar.57 Pada prinsipnya hadhanah akan berakhir ketika anak tidak memerlukan perawatan lagi, atau sudah dapat berdiri sendiri atau sudah baligh. Bagi perempuan yaitu ketika ia sudah menikah, sedangkan bagi laki-laki apabila sudah bekerja. Menurut Imam Syafi’i, tidak ada batasan yang jelas dalam pengasuhan anak, tetapi apabila anak sudah berusia 7 dan 8 tahun atau sudah dianggap baligh, ia memilih antara ibu atau ayahnya. Jika anak memilih ibunya maka nafkah terhadap anak tetap dipikul oleh ayahnya.58

d. Perwalian

Dalam literatur fiqh Islam, perwalian disebut dengan al-walayah yakni orang yang mengurus atau menguasai sesuatu. Seperti kata ad-dalalah yang juga bisa disebut dengan ad-dilalah. Secara etminologis, dia memiliki beberapa arti, diantaranya adalah al-mahabbah (cinta) dan an-nashrah (pertolongan) dan juga berarti kekuasaan atau otoritas yang di sebut as-saltah wa al-qudrah, seperti dalam ungkapan al-wali yakni orang yang mempunyai kekuasaan. Hakikat dari al-walayah adalah “tawalliy al-amr” (mengurus atau menguasai sesuatu).59

Urutan wali atas diri seseorang menurut Ulama Hanafiyah adalah anak, ayah, kakek, saudara laki-laki, dan paman. Adapun dalam madzhab Maliki,

56 Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), h., 81-82.

57 Zakaria Ahmad, Hukum Anak-Anak Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h., 51-59.

58 Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, h., 97.

59 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h., 134-135.

urutan perwaliannya adalah anak, bapak, orang yang diwasiati, saudara laki-laki, kakek, dan paman.60 Kewenangan wali atas diri seseorang adalah mendidik dan mengajar, menjaga kesehatan, mengawasi perkembangan fisik, menyekolahkan, dan mengurus pernikahannya.

Dalam Hukum Islam, hukum terhadap anak kecil tetap berlaku sampai anak itu dewasa, sebagaimana firman Allah dalam Q.s. An-Nisa (4): 6:61

َ

أ ۡمِّهۡ َلِّۡإ ْآوُعَفۡدٱَف اٗدۡشُر ۡمُهۡنِّ م مُتۡسَناَء ۡنِّإَف َحَكَِّ لٱ ْاوُغَلَب اَذِّإ ى َّتََّح َٰ َمَََٰتَ ۡلۡٱ ْاوُلَتۡبٱَو

ۡم

ٰٓۖۡمُهَلََٰو

اٗيِّۡقَف َن َكَ نَمَو ٰٓۖ ۡفِّفۡعَت ۡسَيۡلَف اٗ يِّنَغ َنَكَ نَمَو ْۚاوُ َبَۡكَي نَأ اًراَدِّبَو اٗفاَ ۡسِّۡإ ٓاَهوُلُكۡأَت َلََو

ٗبيِّسَح ِّ َّللَّٱِّب َٰ َفََكَو ۚۡمِّهۡيَلَع ْاوُدِّهۡشَأَف ۡمُهَلََٰوۡمَأ ۡمِّهۡ َلِّۡإ ۡمُتۡعَفَد اَذِّإَف ِۚ ِّفوُرۡعَمۡلٱِّب ۡلُكۡأَيۡلَف

ا

٦

Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” Mengenai habisnya masa perwalian atas diri seorang anak, Ulama Hanafiyah berpendapat ketika ia mencapai usia lima belas tahun, atau munculnya tanda keremajaan secara natural, dan anak tersebut berakal serta dapat dipercaya untuk mengurus dirinya sendiri. Adapun menurut madzhab Malikiyah, habisnya masa perwalian atas diri seseorang itu jika sebabnya sudah

60 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, jilid 10, Penerj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h., 83.

61 Zahratul Idami, “Tanggung Jawab Wali Terhadap Anak Yang Berada di Bawah

hilang. Sebab itu adalah usia anak-anak atau sejenisnya seperti gila, idiot, dan sakit. Adapun bagi perempuan, masa perwaliannya tidak habis kecuali setelah ia menikah atau melakukan hubungan badan dengan suaminya.62

e. Nafkah

Pemberian nafkah diwajibkan karena adanya anak yang lahir dari hubungan mereka. sebagaimana Allah berfirman di dalam Q.s. Al-Baqarah (2): 233:

وُلۡوَمۡلٱ َ َعَلَو َۚةَعا َضَّرلٱ َّمِّتُي نَأ َداَرَأ ۡنَمِّل ِِّۖ ۡينَلِّمَكَ ِّ ۡينَلۡوَح َّنُهَدََٰلۡوَأ َنۡعِّضۡرُي ُتََٰدِّلََٰوۡلٱَو

ِّد

اَهِّلدَوِّب ُُۢةَ ِّلدَٰ َو َّرآ َضُت َ لَ ۚاَهَعۡسُو َ لَِّإ ٌسۡفَن ُفَّ َّلَكُت َلَ ِۚ ِّفوُرۡعَمۡلٱِّب َّنُهُتَوۡسِّكَو َّنُهُقۡزِّر ۥَُلَ

َو

ۚۦِّهِّلدَوِّب ۥَُ لَ ٞدوُلۡوَم َّ لََ

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.” (Q.S Al-Baqarah [2]: 233)

Ayat tersebut mengajarkan bahwa ayah berkewajiban memberi nafkah kepada ibu dan anak-anak dengan ma’ruf. Seseorang tidak dibebani kewajiban kecuali menurut kadar kemampuannya. Seorang ibu jangan sampai menderita karena anaknya. Demikian pula seorang ayah jangan sampai menderita karena anaknya dan ahli warisnya. Kewajiban memberi nafkah tersebut disebabkan karena adanya hubungan saling mewarisi dengan orang yang diberi nafkah.63

Menurut Shiddiiq Hasan Khan, Nafkah orang tua terhadap anaknya merupakan suatu kewajiban. Memberikan nafkah wajib bagi orang tua yang mendapatkan kelapangan kepada anak yang mengalami kesempitan. Dalil yang

62 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid 10, Penerj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h., 83-84.

63 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), h., 164.

menguatkannya adalah wajibnya seorang kepala keluarga mengeluarkan zakat untuk anak dan istrinya.64

Anak-anak yang wajib dinafkahi menurut pendapat mayoritas ulama adalah anak-anak yang langsung dari ayah, kemudian cucu dan seterusnya ke bawah. Menurut Imam Malik, nafkah anak yang wajib hanyalah anak yang langsung saja, sedangkan cucu tidak wajib diberi nafkah.65

Terlepas dari hak-hak anak anak diatas, jika perkawinan orang tuanya sah menurut agama Islam, maka segala akibat hukumnya pun mesti sah pula. Hal ini berimplikasi terhadap sempurnanya hak-hak yang didapatkan oleh anak dari ayah dan ibunya. Dengan demikian, kedudukan anak yang dibuahkan di luar perkawinan dan anak yang dibuahkan di luar perkawinan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah, menurut Hukum Perkawinan Islam, hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.66

Mengenai nasab, sebagaimana dikutip oleh Nurul Irfan, Ibnu Hazm menegaskan bahwa anak yang lahir akibat perzinaan hanya ada hubungan saling mewarisi dengan ibu kandungnya. Ia juga hanya memiliki hak-hak seperti perlakuan baik, pemberian nafkah, hubungan ke mahram-an dan berbagai macam ketentuan hukum lain dengan ibu kandungnya saja. Anak di luar perkawinan tidak dapat mewarisi dari seorang yang telah membuahi ibu kandungnya. Ia juga tidak memiliki hubungan saling mewarisi dengan ayah kandungnya dan berbagai hak lain seperti hak perbuatan baik, nafkah, dan hubungan ke mahram-an dengan ayah kandungnya dan berbagai macam hak lain.67

64 Shiddiq Hasan Khan, Fiqih Islam Dari Al-Kitab dan As-Sunnah, Jilid 2, Penerj. Abu Zakariya & Tim Griya Ilmu, (Jakarta: Griya Ilmu, 2012), h., 501.

65 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid 10, Penerj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h., 136-137

66 Neng Dzubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) cet.2, h.,

67 Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h., 152.

Artinya, hubungan hukum antara orang tua dengan anak di luar perkawinan hanya dapat di hubungkan dengan ibunya yang melahirkan dan ibu berkewajiban untuk memenuhi hak-hak anaknya. Oleh karena itu, anak di luar perkawinan atau anak hasil zina juga mempunyai kewajiban untuk melaksanakan kewajiban seorang anak terhadap orang tua sebagaimana mestinya.

2. Hubungan Hukum antara Orang Tua dengan Anak di Luar Perkawinan menurut Hukum Positif

Dengan lahirnya seorang anak maka timbullah hak dan kewajiban antara ibu terhadap anak hasil zinanya sebagai orang tua, karena hubungan hak dan kewajiban terhadap anak hasil zina atau anak di luar perkawinan hanya terdapat pada ibu. Juga sebaliknya terdapat pula hak dan kewajiban antara anak terhadap ibunya.

Hak keperdataan anak merupakan hak yang melekat pada setiap anak yang diakui oleh hukum dengan orang tua dan keluarga orang tuanya, meliputi hak mengetahui asal-usulnya, hak mendapat pemeliharaan dan pendidikan dari orang tua, hak diwakili dalam segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan dan hak mengurus harta benda anak, serta hak mendapatkan warisan.68

Menurut Mahmudin Bunyamin, anak mempunyai hak-hak sebagaimana orang tua menjalankan kewajibannya, diantaranya:69

a. Hak untuk hidup.

b. Hak penyusuan dan pengasuhan. c. Hak mendapatkan kasih sayang.

d. Hak mendapatkan perlindungan hukum dan nafkah dalam keluarga. e. Hak pendidikan dalam keluarga.

68 Abnan Pancasilawati, “Perlindungan Hukum Bagi Hak-Hak Keperdataan Anak Luar

Kawin”, Jurnal Fenomena, Vol. 6 No. 2, 2014, h., 186.

69 Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), h., 86.

f. Hak medapatkan kebutuhan pokok sebagai warga negara.

Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur pada Bab X Tentang Hak Dan kewajiban antara Orang Tua dan Anak.

Dalam Pasal 45 ayat (1) mengenai kewajiban orang tua dinyatakan bahwa: “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.” Kemudian, dalam ayat (2) ditegaskan bahwa kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.” artinya hak dan kewajiban orang tua dalam hal ini tidak hanya sebatas dalam masa perkawinan saja, jika terjadi putusnya perkawinan kewajiban orang tua terhadap anak masih terus tersambung. Hal ini berkaitan dengan hadhanah.

Kemudian dalam Pasal 46 mengenai kewajiban anak kepada orang tua di dalam ayat (1) dinyatakan bahwa: “Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.”

Anak juga berhak mendapatkan hak perwalian dari orang tuanya, sesuai dengan Pasal 47 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.” Kemudian dalam ayat (2) dinyatakan bahwa: “Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan”.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga diterangkan mengenai hak-hak yang didapatkan oleh anak dari orang tuanya. Diantaranya terdapat pada pasal 98, 104, 105, dan 106, bab XIV tentang Pemeliharaan Anak.

Pasal 98 menjelaskan bahwa anak berhak diwakili oleh orang tuanya mengenai perbuatan hukum yang dialaminya, hal ini juga berkaitan tentang batas usia anak yang mampu berdiri sendiri di usia 21 tahun. Dalam ayat (1) dinyatakan bahwa “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa

adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.” Kemudian, ayat (2) dijelaskan bahwa “Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar.”

Selanjutnya, Pasal 104 KHI pada ayat (1) menegaskan mengenai kewajiban orang tua terhadap anak, bahwa “Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya setelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.”

Kemudian, dalam hal terjadinya perceraian, KHI juga mengatur mengenai hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak apabila terjadinya putus perkawinan orang tuanya, pada Pasal 105 dinyatakan bahwa:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Kemudian, dalam Pasal 106 dinyatakan bahwa:

(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.

(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).

53

BAB III

DESKRIPSI PENETAPAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN DAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT TERHADAP PERKARA PERMOHONAN PENETAPAN ASAL-USUL ANAK A. Pengadilan Agama Jakarta Selatan Penetapan No.635/Pdt.P/2019/PA.JS

1. Duduk Perkara

Pada Penetapan Nomor 635/Pdt.P/2019/PAJS, Pemohon yang mengajukan Permohonan asal usul anak yaitu ibu dari anak tersebut bertempat tinggal di Kecamatan Jagakarsa Kota Jakarta Selatan, lahir di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1967, bekerja sebagai Wiraswasta dan berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.1

Dalil-dalil yang diajukan oleh pemohon yaitu, pemohon sangat membutuhkan penetapan Pengadilan tentang asal-usul anak sebagai dasar dikeluarkannya akta kelahiran dengan tercantum nama bapak bagi anak Pemohon. Pemohon mendasarkan dalil ini karena berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi anak yang lahir di luar perkawinan juga mempunyai hubungan hukum perdata dengan pemohon dan keluarga pemohon, dalam hal ini adalah suami dari pemohon I atau bapak dari anak tersebut.

Pemohon dan suami pemohon sebelumnya telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam pada tanggal 18 Agustus 2005 di wilayah kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Pemohon menikah dengan wali nikah yang merupakan wali Hakim dari Pemohon, disaksikan dengan 2 (dua) orang saksi serta maskawin berupa uang sebesar USD 100 di bayar tunai.

Dalam perkawinan tersebut Pemohon I dan Pemohon II telah melakukan hubungan suami istri dan telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang lahir di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2005 di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta

Selatan. Kemudian, setelah kelahiran anak, Pemohon dan suami Pemohon telah dibuatkan Akta Kelahiran anak. Akan tetapi, nama ayahnya tidak tercantum karena perkawinan Pemohon dan Suami Pemohon sampai anak tersebut lahir belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama.2

Adapun petitum yang diajukan Pemohon yaitu Pemohon meminta kepada Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk segera memeriksa dan mengadili permohonan ini. Selanjutnya, pemohon meminta agar Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon untuk menetapkan anak laki-laki dari pemohon yang lahir di Jakarta tanggal 25 Maret 2007 adalah anak sah dari Pemohon dan almarhum Suami Pemohon.3

Selanjutnya, pada hari dan tanggal sidang yang telah ditetapkan, Pemohon telah hadir sendiri menghadap persidangan, kemudian Majelis Hakim telah

Dokumen terkait