• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGERTIAN DI LUAR PERKAWINAN MENURUT HUKUM

B. Kedudukan Anak di Luar Perkawinan

1. Kedudukan Anak di Luar Perkawinan Menurut Hukum Islam

Pada dasarnya setiap anak dilahirkan ke dunia dalam keadaan suci, tidak memiliki dosa di dalam dirinya termasuk tidak sedikitpun menanggung dosa dari kedua orang tuanya, sehingga ia tidak memikul beban atas dosa yang di perbuat oleh orang tuanya.29

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Najm (53) ayat 38-39, yang berbunyi:

َٰىَرۡخُأ َرۡزِّو ٞةَرِّزاَو ُرِّزَت لََّ َأ

٣٨

َٰ َعََس اَم لَِّإ ِّنَٰ َسنَِّّ لِّۡل َسۡيَّل نۡ َأَو

٣٩

Artinya: “(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (Q.S An-Najm [53]: 38-39)

Kedudukan seorang anak merupakan suatu hal yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup dari anak tersebut. Jika anak tersebut terlahir akibat perbuatan dosa orang tuanya yakni perbuatan zina yang menyebabkan anak tersebut lahir maka kedudukan anak tersebut pun menjadi tidak sempurna milik kedua orang tuanya.

29 Zaenal Arifin dan Anshori, Fiqh Munakahat, (Yogyakarta: CV Jaya Star Nine, 2019), h., 122.

Dalam hal ini, Islam sangat tegas dalam mewujudkan konsep Hifzh al-Nasl yakni memelihara keturunan. Agar jangan sampai tersia-sia, jangan didustakan dan jangan dipalsukan. Islam tidak membiarkan masalah keturunan itu diperlakukan semaunya sendiri oleh yang bersangkutan, bahwa mereka boleh mengakui adanya hubungan keturunan jika mereka inginkan.30

Maka dari itu, Islam menetapkan sahnya keturunan jika ditemukan salah satu dari tiga syarat, yaitu:31

a. Perkawinan yang sah. b. Pengakuan.

c. Bukti yang sah menurut agama Islam.

Dalam hal ini, kedudukan anak di luar perkawinan sangat bergantung pada tiga hal diatas, dan sangat berkaitan pada salah satu dari ketiganya. Disini akan lebih ditekankan terhadap syarat yang kedua yakni pengakuan. Oleh karena itu, syarat-syarat untuk menatapkan sahnya keturuan diantaranya ialah pengakuan. Terkait dengan mengakui hubungan nasab dengan seseorang, setidaknya ada 4 (empat) syarat yang ditetapkan untuk sahnya pengakuan terhadap adanya hubungan nasab seorang anak dengan orang tuanya, dan dapat dijadikan landasan untuk menetapkan hak-hak lain, yaitu:32

a. Anak yang diakui itu memang tidak diketahui keturunannya, sehingga dengan demikian ada kemungkinan menetapkan bahwa ia adalah anak dari ayah yang mengakuinya itu.

b. Ditinjau dari segi umur, anak yang diakui itu pantas sebagai anak dari ayah yang mengakuinya, dengan demikian maka pengakuannya dapat diterima, karena tidak bertentangan dengan kenyataan.

c. Ayah yang mengakui anak itu tidak mengatakan bahwa anak itu terjadi dari hubungan zina. Namun jika dalam mengakui anak itu dikemukkannya pula

30 Zakaria Ahmad, Hukum Anak-Anak Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h., 13.

31 Ibid., h., 14.

keterangan bahwa anak itu adalah hasil dari hubungan di luar perkawinan yang dilakukannya dengan ibu dari anak itu maka pengakuannya itu tidak dapat diterima, sehingga anak itu tidak dapat dihubungkan keturunannya dengan ayahnya yang menyebabkan anak itu lahir. Lebih dari itu, ia akan dikenakan sanksi zina. Hukum ini ditetapkan karena hubungan keturunan itu adalah nikmat Allah yang dianugerahkan kepada hamba-Nya. Hal ini berdasarkan Al-Qur’an surat An-Nahl (16) ayat 72, Allah berfirman:

َينِّنَب مُكِّجَٰ َوۡزَأ ۡنِّ م مُكَل َلَعَجَو ا ٗجَٰ َوۡزَأ ۡمُكِّسُفنَأ ۡنِّ م مُكَل َلَعَج ُ َّللَّٱَو

َنوُرُفۡكَي ۡمُه ِّ َّللَّٱ ِّتَمۡعِّنِّبَو َنوُنِّمۡؤُي ِّلِّطَٰ َبۡلٱِّبَفَأ ِِّۚتََٰبِّ يَّطلٱ َنِّ م مُكَقَزَرَو ٗةَدَفَحَو

٧٢

Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (Q.S An-Nahl [16]: 72)

d. Anak yang diakui itu membenarkan pengakuan ayah yang mengakui. Hal ini perlu diperhatikan kalau anak itu sudah pantas untuk membenarkan dan sudah mumayyiz, karena pengakuan seseoang tentang anak itu haruslah diterima oleh anak itu sendiri. Akan tetapi, jika anak tersebut belum

mumayyiz, maka hubungan keturunan dengan ayahnya tadi ditetapkan

berdasarkan pengakuan ayah itu saja. Karena dengan adanya pengakuan ini, maka akan berlaku pula tugas-tugas sang ayah kepada anaknya itu sebagai akibat dari pengakuannya itu.

Dengan demikian, jika melihat dari syarat-syarat pengakuan terhadap adanya hubungan nasab diatas, pada poin tiga sangatlah jelas bahwa pengakuan yang didasarkan pada anak hasil zina atau anak di luar perkawinan, maka tidak dapat dihubungkan nasabnya dengan ayahnya sehingga hanya bisa di nasabkan dengan ibunya saja.

Berbeda halnya jika hubungan nasab antara anak dengan ayahnya di tentukan melaui penetapan, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang penetapan nasab/keturunan karena pengakuan atau keputusan berdasarkan qafah (ahli nasab). Qafah dalam bangsa Arab dikenal sebagai suatu kaum yang memiliki pengetahuan tentang garis keturunan yang mirip antara sesama manusia (dalam masa sekarang dibuktikan dengan tes DNA), para ulama yang berpegang dengan putusan qafah adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur dan Al Auza’i.33

Dasar pijakan mereka yang menganut putusan qafah adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Malik dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Umar bin Khattab RA memberikan putusan atas anak-anak yang terlahir pada masa jahiliyah untuk bercampur dengan orang-orang tua mereka, yaitu mereka yang mengakuinya dalam masa Islam. Kemudian datanglah dua orang yang masing-masing mengakui anak seorang wanita, maka dia memanggil qafah (ahli nasab), lalu ia memandang kepadanya, setelah itu si ahli nasab tersebut berkata “sungguh keduanya bersekutu padanya.” Maka Umar memukulnya dengan pecutan, kemudian beliau memanggil si wanita seraya berkata, “sekarang beritahukanlah tentang keadaanmu.” Wanita itu berkata, “dahulu anak ini hasil dari pergaulan salah seorang dari mereka berdua, di mana ia datang dengan onta keluarganya. Ia tidak berpisah dengannya hingga dianggapnya (hamil) dan kami pun menganggapnya demikian, sampai terus terjadi kehamilan, kemudian ia meninggalkannya. Lantas keluar darinya darah, kemudian datang orang ini setelahnya, yaitu laki-laki yang lainnya. Maka aku tidak tahu ia milik siapa?” Maka si ahli nasab bertakbir. Lantas, Umar berkata kepada si anak, “Nak, terserah kamu pilih diantara keduanya.”34

33 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid 2, Penerj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h., 719.

34 Sanadnya terputus. HR. Malik di dalam Al Muwaththa’I (2/720). (1420), Al Baihaqi (10/263), alasannya ialah terputus antara Sulaiman bin Yasar dan Umar. Dalam Ibnu Rusyd,

Bidayatul Mujtahid, jilid 2, Penerj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman, (Jakarta: Pustaka Azzam,

Mereka mengatakan bahwa keputusan Umar tentang qafah disaksikan oleh para sahabat, tanpa ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya dan itu sama statusnya dengan Ijma’.

Para ulama Kufah dan mayoritas ulama Irak berbeda pendapat tentang hali ini, yang mana mereka menolak qufah (ahli nasab). Menurut mereka, status hukum seorang anak yang diakui oleh dua orang, maka ia akan menjadi hak keduanya. Yang demikian itu apabila masing-masing dari keduanya tidak melakukan perzinaan yang menyebabkan anak itu lahir, atau seorang wanita sebagai wanita simpanan bagi masing-masing kedunya. Hal ini seperti keadaan seorang hamba sahaya ataupun wanita merdeka yang digauli oleh dua orang pada masa satu suci.35 Khusus kepemilikan tuan terhadap hamba sahaya ataupun wanita yang dimerdekakan, di zaman sekarang ini sudah tidak ada lagi. Hal ini secara otomatis hukumnya juga tidak berlaku lagi.

Dengan begitu, status kedudukan seorang anak berdasarkan keputusan

qafah (ahli nasab) dari setiap ahli hukum diatas terdapat pendapat yang

berbeda-beda. Namun terdapat esensi yang sama, yakni dapat di sahkannya keturunan berdasarkan pengakuan dari dua orang, namun berbeda-beda dalam setiap konteksnya serta syarat-syaratnya.

Ajaran Islam itu sendiri memang mengenal “pengakuan anak” tetapi dengan syarat-syarat tertentu, dan bukan untuk dilakukan pengakuan terhadap anak hasil zina. Kedudukan anak hasil zina secara tegas ditentukan dalam hadist Rasulullah saw. Bahwa ia hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya saja. Sedangkan anak hasil perkawinan yang sah, teramat jelas pula bahwa ia atau mereka merupakan anak yang mempunyai hubungan nasab dengan kedua orang tuanya, yaitu ibunya dan ayahnya beserta keluarga dari kedua orang tuanya.36

35 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid 2, Penerj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h., 719.

36 Neng Dzubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), cet.2, h., 364.

Syarat-syarat pengakuan anak menurut Hukum Islam, sebagaimana dikemukakan dalam buku Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islam (Hukum Waris) yang disusun oleh Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, sebagai berikut:

a. Orang yang diakui sebagai anak serupa dengan orang yang mengakui. b. Orang yang diakui sebagai anak tidak diketahui nasabnya sebelum adanya

pengakuan.

c. Orang yang diakui membenarkan pengakuan tersebut, jika mengaku memang orang yang pantas untuk itu.

d. Orang yang mengakui tidak mengatakan bahwa sebab pengakuannya itu karena zina.

Syarat-syarat diatas menjelaskan bahwa ajaran Islam mengenal lembaga pengakuan terhadap anak hasil perkawinan yang sah, tetapi tidak mengenal pengakuan anak yang dibuahkan dari hasil hubungan seksual di luar perkawinan yang sah, atau anak yang lahir di luar hubungan perkawinan yang sah. Ini karena Islam telah secara tegas menentukan hubungan hukum antara anak hasil zina atau anak hasil hubungan di luar perkawinan adalah hanya dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. 37

Dalam konteks kawin hamil, para fuqoha mempunyai pendapatnya masing-masing mengenai status kedudukan anak dan akibat hukum dari kawin hamil. Istilah kawin hamil dalam hukum Islam dikenal dengan perkawinan seorang pria dengan wanita yang sedang hamil karena perzinaan. Abdul Rahman Ghozali mendefinisikan kawin hamil sebagai pengertian seorang pria yang menikahi seorang wanita dalam keadaan hamil di luar perkawinan, baik oleh pria yang menghamilinya maupun oleh pria yang bukan menghamilinya.38

Terlepas dari perbedaan pendapat para fuqoha mengenai sah atau tidaknya perkawinan dengan wanita hamil akibat perzinaan, kawin hamil merupakan

37 Neng Dzubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), cet.2, h., 364-365.

bentuk perkawinan yang akan berdampak terhadap status kedudukan anak yang akan dilahirkannya. Hal ini banyak dirumuskan oleh para fuqoha terhadap akibat hukum dari kawin hamil serta dalam hal status kedudukan anaknya. Diantaranya adalah sebagai berikut:39

a. Di kalangan madzhab Syafi'i terdapat dua pendapat. Pertama, bahwa nasab anak dari kawin hamil di luar perkawinan tetap kepada ibunya, bukan kepada ayahnya atau laki-laki yang menghamili ibunya walaupun keduanya sudah melakukan akad perkawinan sebelum anak tersebut lahir. Ini pendapat mayoritas ulama madzhab Syafi'i. Kedua, status anak tersebut dinasabkan kepada laki-laki yang menghamili lantas mengawini ibunya. Hal ini dengan syarat jika anak tersebut dilahirkan setelah 6 (enam) bulan dari perkawinan keduanya. Tapi jika anak tersebut lahir kurang dari 6 (enam) bulan dari perkawinan keduanya, maka hanya dinasabkan kepada ibunya. b. Menurut Imam Hanafi, yang membolehkan kawin hamil dengan bersyarat,

jika yang mengawini ibunya adalah laki-laki yang menghamilinya maka status anak tersebut dinasabkan kepada laki-laki tersebut, karena sebenarnya ia merupakan ayah biologisnya tanpa mempertimbangkan lamanya usia kehamilan ibunya. Hal ini karena perkawinannya tersebut sah, maka anak yang lahir mempunyai akibat hukum sebagai anak yang sah.

c. Imam Hambali dan Imam Malik menolak terjadinya kawin hamil. Bahwa anak yang lahir akibat hamil di luar perkawinan tersebut tetap menjadi anak zina dan anak yang tidak sah secara hukum. Karenanya, anak tersebut tidak ada hubungan nasab dengan laki-laki yang menghamili ibunya secara tidak sah, dan berakibat tidak akan bisa saling mewarisi dengan ayahnya, dan jika anak yang dilahirkan adalah perempuan maka laki-laki tersebut tidak dapat menjadi wali dalam pernikahannya.

Begitu juga halnya, jika yang mengawini ibunya adalah bukan laki-laki yang menghamilinya, maka anak tersebut hanya dinasabkan kepada ibunya dan keluarga ibunya, tidak kepada laki-laki yang menjadi suaminya tersebut. Dan

mengenai hak waris anak tersebut hanya berhak mendapatkan waris dari ibunya. Sedangkan wali nikah dari anak tersebut apabila anak itu perempuan maka hanya dapat menggunakan wali hakim. Hal ini sesuai dengan kesapakatan para jumhur Mazhab yang diantaranya Madzhab Syafi’i, Maliki dan Hambali. 2. Kedudukan Anak di Luar Perkawinan Menurut Hukum Positif

Hukum perlindungan anak yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia, hanya sebatas mengacu pada perlindungan anak di dalam tataran kesepakatan, seperti hak dan kewajiban anak, kewajiban orang tua memberikan nafkah kepada anak, pengakuan anak, pengesahan anak, dan lain-lainnya yang umumnya dikemukakan di dalam sistem hukum yang ada yakni sistem hukum baik menurut sistem hukum perdata, sistem hukum adat, sistem hukum Islam, maupun dalam berbagai peraturan perundang-Undangan.40

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengatur tentang cara menentukan “Pengakuan Anak”.41

Dalam Pasal 49 dan 50 menjelaskan bagaimana mekanisme Pencatatan Pengakuan Anak untuk menyelesaikan permasalahan kedudukan anak.

Pencatatan Pengakuan Anak Pasal 49

(1) Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan..

(2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir di luar hubungan perkawinan yang sah.

40 Ni Kadek Wulan Suryawati dan I Wayan Bela Siki Layang, “Kedudukan Hukum Anak

Luar Kawin Ditnjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Jurnal

Program Kekhususan Hukum Bisnis, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, (t.t., t.th.), h., 6-7.

(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud ayat (1), Pejabat Pencatat Sipil mencatat pada Register Akta Pengakuan Anak dan menerbitkan Kutipan Akta Pengakuan Anak.

Pencatatan Pengesahan Anak Pasal 50

(1) Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan.

(2) Kewajiban melaporkan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir di luar hubungan perkawinan yang sah.

(3) Berdasarkan laporan pengesahan anak sebagaimana dimaksud ayat (1), Pejabat Pencatat Sipil membuat catatan pinggir pada Akta Kelahiran. Mengenai masalah pengakuan anak, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan secara rinci tentang pengakuan anak di luar perkawinan. Hanya dijelaskan bahwa anak di luar pekawinan adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah dan ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga ibunya. Selanjutnya, pada ayat (2) dikatakan bahwa kedudukan anak tersebut selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, namun sangat disayangkan kedudukan anak di luar perkawinan hingga saat ini belum diatur secara rinci di dalam Undang-Undang Perkawinan padahal pemerintah menjanjikan akan mengatur secara rinci mengenai kedudukan anak di luar perkawinan di dalam Peraturan Pemerintah.42 Tetapi sampai sekarang Peraturan Pemerintah dimaksud belum juga diterbitkan. Kemudian, dalam Pasal 44 disebutkan bahwa seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang berzina dan anak tersebut sebagai akibat dari perzinaan tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah tidaknya anak atas

42 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Kencana: Jakarta, 2014), h., 89

permintaan pihak yang berkepentingan. Dalam pasal 42 dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga senada dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang tidak menjelaskan secara rinci dan lengkap mengenai pengakuan anak dan menimbulkan suatu kedudukan terhadap anak di luar perkawinan. Dalam Pasal 100 disebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Selanjutnya dalam Pasal 101 dijelaskan bahwa seorang suami yang mengingkari sahnya anak sedangkan istri tidak menyangkalnya dapat menangguhkan pengingkarannya dengan li'an. Kemudian dalam Pasal 102 Ayat (1) dikemukakan bahwa suami yang mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari akhirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. Dalam ayat (2) ditetapkan bahwa pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.43

Terhadap kedudukan anak di luar perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan pada bab IX tepatnya pasal 43 ayat (1), dijelaskan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Hal ini tentu sangat besar pengaruhnya terhadap perlindungan yang di dapatkan oleh anak yang lahir di luar perkawinan yang di mana perlindungan hukum, mengenai kesejahterahan anak maupun kebutuhan yang didapatkan si anak tersebut menjadi terbatasi. Tidak hanya itu, hal tersebut sangat berpengaruh juga terhadap kelangsungan hidup dari pihak ibu maupun keluarga dari sang ibu yang harus mengurus secara penuh semua kebutuhan dari anak tersebut baik secara materi, perlindungan hukum, status

43 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Kencana: Jakarta, 2014), h., 89-90.

anak tersebut menjadi pewaris, maupun kesejahterahan dari anak tersebut.44 Berbeda dengan pihak ayah dari anak yang lahir di luar perkawinan yang tidak dibebani dengan kewajiban maupun tanggung jawab apapun terhadap anaknya. Meskipun sejatinya, secara biologis, dia merupakan ayah dari anak tersebut.

Akibat hukum terhadap anak di luar perkawinan ini pun di jelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Bahwa anak di luar perkawinan tersebut tidak berhak memperoleh hubungan nasab, nafkah, hak-hak waris, hadhanah (pemeliharaan/pengasuhan anak) dan perwalian dari ayah jika anak tersebut menikah. Kedudukan anak di luar perkawinan dalam Islam tersebut kembali di tegaskan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 10 Maret 2012, yang menyatakan:45

a. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, nikah, waris dan nafkah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya.

b. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris dan nafkah dengan ibunya dan keluarga ibunya.

c. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya.

d. Pezina dikenakan hukuman had oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (Hifzh al-Nasl).

e. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk:

a. Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;

b. Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.

f. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

44 Ni Kadek Wulan Suryawati dan I Wayan Bela Siki Layang, “Kedudukan Hukum Anak

Luar Kawin Ditnjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Jurnal

Program Kekhususan Hukum Bisnis, (t.t., t.th.), h., 7-8.

45 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kedudukan Anak Hasil Zina dan

Dokumen terkait