• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

10. Desa Slarang

4.2. Gambaran Umum Tari Topeng Slarang Lor

4.2.1. Asal-usul Lahirnya Kesenian Tari Topeng Slarang Lor

Kesenian yang bersifat tradisional memiliki latar belakang atau sejarah, begitu juga dengan kesenian Tari Topeng Slarang Lor. Tari Topeng Slarang Lor dilestarikan dan dikembangkan di Jln. Masjid RT 01 RW 02 Desa Slarang Lor Kecamatan Dukuhwaru Kabupaten Tegal. Seperti yang dikatakan pada wawancara dengan Purwanti tanggal 14 April 2013 tentang sejarah adanya Tari Topeng Slarang Lor yaitu:

“Tari Topeng Slarang Lor kuwe tari warisan saking Mbah kulo, Mbah Darmi. Kulo apal enam gerakan Tari Topeng sing diwarisi mbah kulo, Gemiyen Tari Topeng diarani

47

Ronggeng Warmi” (Tari Topeng Slarang Lor adalah tarian warisah dari Mbah saya yaitu Mbah Darmi . saya bisa menghafal enam Jenis Tari Topeng yang diwariskan Mbah saya, dahulu Tari Topeng disebut Ronggeng Warmi karena yang bisa menarikannya Cuma Mbah Warmi.

Tari Topeng Slarang Lor sekitar tahun 1950 dikenal dengan nama

Ronggeng Warmi oleh masyarakat Desa Slarang Lor Kecamatan Dukuhwaru Kabupaten Tegal. Hal ini karena tokoh penerus dan pelestarinya lebih dominan dikenal ketimbang nama atau jenis kesenian tersebut. Bahkan pada umumnya saat itu masyarakat belum dapat membedakan antara Ronggeng dengan Tari Topeng. Warmi memang penari Topeng Gaya Tegal yang berasal dari Desa Slarang Lor Kecamatan Dukuhwaru Kabupaten Tegal.

Warmi mewarisi 12 Jenis Tarian dan keahlian menarinya itu diperoleh dari orang tuanya yang bernama Darmi berasal dari Desa Bogares Kidul, Kecamatan Pangkah Kabupaten Tegal dan pada saat ini keahliannya itu diwariskan pada cucunya yang bernama Suwitri. Walaupun tidak semua jenis Tari Topeng Slarang Lor diwariskan pada Suwitri, karena 12 jenis tarian yang dikuasai Ibunya hanya mampu dikuasainya separuh saja. Suwitri pun sampai sekarang hanya mampu mementaskan enam Jenis Tari Topeng Slarang Lor. Seperti yang dikatakan Suwitri (66 tahun) pada wawancara tanggal 14 April 2013 yaitu:

“Tari Topeng sing diwarisi Ibu kulo asline jumlahe 12 tarian, tapi kulo mung apal enam tarian. Jaman mbiyen musik dienggo durung lengkap dadine kulo kanggelan ngapalna, asal ana musik kulo karo Ibu njoget bae (Tari Topeng yang diwarisiari Ibu saya sebenarnya ada 12 macam tetapi saya hanya menghafal enam macam tarian saja. Karena pada jaman dahulu musik yang digunakan untuk mengiringi tarianya belum selengkap jaman sekarang, hal itu menyebabkan saya sulit untuk menghafalkan gerakannya, kala itu asalkan

ada musik yang berbunyi saya dan Ibu saya akan menari saja.

Pada jaman dahulu yaitu sekitar tahun 1950 setiap pasca panen padi, Warmi bersama anggota keluarganya berkeliling dari desa ke desa untuk menjual jasa seninya sebagai tambahan penghasilan istilahnya ngamen. Kemanapun Warmi pergi berkeliling untuk menari ngamen dan mengharap (ditanggap), putrinya yang bernama Suwitri selalu dibawanya. Tentu saja dengan harapan anak perempuannya dapat mewarisi keahlian yang dimilikinya. Warmi ingin Suwitri bisa menjadi penerus seni Tari Topeng Slarang Lor. Tari Topeng Slarang Lor seringkali ditanggap oleh masyarakat untuk keperluan hajatan sunatan, temanten, turun tanah, nazar dan lainnya sebagai sarana hiburan. (wawancara, Ibu Purwanti April 2013).

Tari Topeng Slarang Lor dipentaskan dihalaman penanggap di pekarangan yang luas. Biasanya di daratan yang rata dan berpanorama pedesaan yang indah sebagai latar belakangnya. Setiap ada pagelaran Tari Topeng Slarang Lor atau yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai kesenian Ronggeng, penonton yang menyaksikan banyak sekali. Mereka terdiri dari kalangan orang tua, remaja dan anak-anak. Kondisi ini menunjukkan masa itu masyarakat pedesaan sangat haus akan hiburan.

Gerak 12 Jenis Tari Topeng Slarang Lor yang ditampilkan oleh Ronggeng

Warmi sangat indah, lincah dan dinamis serta bermakna. Begitu pula wanda

kedok yang dipakainya memancarkan aura dan mengandung makna dengan pesan tersendiri sehingga mengagumkan. Sebelum menggelar pementasan Warmi selalu melakukan ritual dengan membaca doa-doa. Hal itu dimulai tatkala Warmi

49

melakukan keramas rambut, mandi dan dalam satu minggu menjalani ngasrep

(makan, minum serba tawar), serta menyiapkan sesaji atau sesajen dengan harapan penghormatan pada roh leluhur. Pementasan Tari Topeng Slarang Lor selalu saja berjalan lancar, selamat, banyak penontonnya, banyak yang menanggap dan banyak uang yang diperoleh. Seperti yang dikatakan Purwanti (42 tahun) pada wawancara tanggal 14 April 2013 yaitu:

“Sejak jamane buyut Darem masih hidup. Setiap arep pertunjukan tari Topeng Slarang Lor dipentasna pasti wonten Rituale ndisit mbak. Sesaji sing diperlukna bangsane: pepohonan, reruawatan, wringin, cindong, tebu wulung, pring gading, sesajen berupa makanan, nasi tumpeng panggang ayam, nasi bucet 12 bucet, apem abang putih, banyu kembang tujuh rupa, kupat lupet, juanda pasar. Sampe diwarisna anak cucu adat kuwe ora bakalan ilang. (sejak jaman mbah buyut darem masih hidup. Setiap akan diadakan Tari Pertunjukan Topeng Slarang Lor pasti ada Ritual terlebih dahulu mbak. Sesaji yang diperlukan diantaranya: pepohonan, reruawatan, wringin, cindong, tebu wulung, bambu gading, sesajen berupa makanan, nasi tumpeng panggang ayam, nasi bucet 12 bucet, apem merah putih, air bunga tujuh rupa, kupat lupet, juanda pasar).

Saat Warmi berusia lanjut, Warmi memutuskan sendiri untuk berhenti menari. Semua gamelan dan topengnya dipindah tangankan pada kolektor barang-barang antik dengan kata lain dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kondisi usia, kesehatan dan ekonomi Warmi ini menjadikan masyarakat Slarang Lor merasa kehilangan sebab untuk memperolehnya kembali materi tersebut akan sulit dan sangat tidak mungkin bisa diperoleh kembali.

Namun demikian masyarakat Slarang Lor masih bisa beruntung dengan adanya anaknya yang bernama Suwitri. Meski Suwitri hanya mewarisi sebagian

dari keahlian Ibunya, enam Jenis Tari Topeng Slarang Lor yang khas dan langka itu sampai kini masih dapat digelar atau dipentaskan kembali namun bukan dalam bentuk ngamen, melainkan undangan pentas (Soipah, 2007: 11-12).

Dokumen terkait