• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

DAFTAR PUSTAKA 44 LAMPIRAN

3 Asam lemak n-9 (Omega 9)

Asam lemak omega 9 juga tergolong ke dalam jenis asam lemak non- esensial yaitu asam lemak yang dapat disintesa oleh tubuh. Asam oleat merupakan omega 9 yang tergolong asam lemak tak jenuh tunggal yang paling penting. a) Asam oleat (18:1n-9)

Asam oleat merupakan produk desaturasi Δ9 asam stearat dan diproduksi

pada tumbuhan, hewan dan bakteri. Asam oleat adalah asam lemak tak jenuh yang paling umum dan merupakan prekursor untuk produksi sebagian besar PUFA. b)Asam erukat (22:1n-9)

Asam erukat adalah asam lemak tak jenuh tunggal rantai panjang ditemukan dalam tumbuhan, terutama dalam rapeseed. Asam erukat merupakan produk elongasi asam oleat.

Asam lemak memiliki fungsi yang penting bagi tubuh. Asam lemak esensial digunakan untuk menjaga bagian-bagian struktural membran sel dan untuk membuat bahan-bahan seperti hormon yang disebut eikosanoid. Eikosanoid membantu mengatur tekanan darah, proses pembekuan darah, lemak dalam darah dan respon imun terhadap luka dan infeksi (Thoha 2004). Salah satu contoh asam lemak tak jenuh adalah omega-3.

Asam lemak omega-3 merupakan asam lemak yang memiliki ikatan rangkap pada atom C urutan ke-3 jika dihitung dari gugus C (metil). Asam lemak yang merupakan kelompok omega-γ adalah asam α-linolenat (18:3; ALA), asam

dokosaheksaenoat (22:6; DHA), dan asam (20:5; EPA). Struktur kimia EPA dan DHA dapat dilihat pada Gambar 4.

Asam linolenat (18:3) merupakan asam lemak esensial, karena dibutuhkan tubuh namun tubuh tidak dapat mensintesisnya. Turunan dari asam linolenat adalah EPA dan DHA. Ikan dapat mengubah asam linolenat menjadi EPA dan DHA, namun perubahan ini terjadi tidak efisien pada manusia (Almatsier 2000). EPA dan DHA berfungsi sebagai pembangun sebagian besar korteks cerebral otak dan pertumbuhan organ lainnya (Ackman 1994). EPA berperan dalam mencegah penyakit degeneratif sejak janin dan pada saat dewasa. Pada saat janin dalam kandungan, EPA sangat diperlukan dalam pembentukan sel-sel pembuluh darah dan jantung. EPA diperlukan dalam melancarkan pembuluh darah dan pengatur sirkulasi pada jantung pada saat dewasa (Muchtadi et al. 1993).

(a) EPA (b) DHA

Gambar 4 Struktur EPA dan DHA

(Sumber: Visentainer et al. 2005)

Asam lemak esensial yang terdapat dalam tubuh sebagai fosfolipid mempunyai fungsi (Muchtadi et al. 1993) sebagai berikut:

1 Memelihara integritas dan fungsi membran seluler 2 Mengatur metabolisme kolesterol

3 Merupakan prekursor dari senyawa yang memilki fungsi pengatur fisiologis yaitu prostaglandin, thromboksan, prostasiklin

4 Dibutuhkan untuk aksi piridoksin (Vitamin B6) dan asam pantotenat 5 Dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi.

2.5 Kromatografi Gas (Gas Chromatography)

Kromatografi gas merupakan teknik yang pertama kali diperkenalkan oleh James dan Martin pada tahun 1952, teknik ini merupakan metode analisis kuantitatif dan kualitatif yang cepat untuk menganalisis komponen lipida volatil misalnya hidrokarbon, fatty acid, ester dan sterol. Penggunaan kromatografi dibedakan antara dua metode. Pertama, kromatografi gas digunakan sebagai alat untuk melakukan pemisahan. Metode ini memerlukan pengubahan senyawa sampel menjadi senyawa volatil atau senyawa yang dapat diderivatisasi untuk menghasilkan senyawa volatil. Kedua, kromatografi gas sebagai pelengkap untuk hasil analisis yang sempurna, dalam hal ini waktu dan volume retensi digunakan untuk identifikasi senyawa, luas dan bobot peak sebagai informasi kuantitatifnya (Skoog et al. 1998 dalam Renata 2009).

Asam lemak yang terkandung dalam suatu bahan pangan dapat ditentukan menggunakan alat yang disebut Gas Chromatography (GC). Kromatografi gas adalah alat yang digunakan untuk memisahkan senyawa atsiri dengan mengalirkan arus gas melalui fase diam. Bila fase diam berupa zat padat, maka disebut kromatografi gas padat (KGP). Bila fase diam berupa zat cair, maka disebut kromatografi gas cair (KGC) (McNair dan Bonelli 1988).

Penerapan kromatografi gas pada bidang industri antara lain untuk obat-obatan dan farmasi, lingkungan hidup, industri minyak, kimia klinik, pestisida dan residunya. Di bidang pangan, kromatografi gas digunakan untuk menetapkan kadar antioksidan dan bahan pengawet makanan serta untuk menganalisis sari buah, keju, aroma makanan, minyak, produk susu dan lain-lain (Fardiaz 1989).

2.6 Penggorengan

Penyiapan makanan dalam kehidupan sehari-hari umumnya menggunakan proses pengolahan panas. Proses pengolahan makanan dapat meningkatkan daya cerna dan penampakan, memperoleh flavor dan merusak mikroorganisme dalam bahan pangan (Azizah et al. 2009). Pengolahan dengan energi panas merupakan salah satu cara paling penting yang telah dikembangkan untuk memperpanjang umur simpan. Salah satu proses pengolahan dengan energi panas yang biasa digunakan untuk mengolah hasil perikanan adalah penggorengan.

Deep frying adalah metode penggorengan dengan menggunakan minyak goreng yang banyak sehingga bahan pangan yang digoreng akan terendam seluruhnya di dalam minyak goreng tersebut (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010). Suhu normal dalam proses penggorengan adalah 163-196 °C. Minyak yang digunakan dalam proses penggorengan ini tidak boleh berbentuk emulsi dan harus mempunyai titik asap di atas suhu penggorengan. Jika pada proses penggorengan terbentuk asap, hal ini berarti minyak telah mengalami dekomposisi, sehingga menyebabkan bau dan rasa yang tidak enak (Ketaren 1986).

Bahan makanan yang dimasukkan ke dalam ketel segera menerima panas dan kandungan air dalam bahan menguap yang ditandai dengan timbulnya gelembung-gelembung selama proses penggorengan. Bersamaan dengan itu, bahan pangan menyerap minyak dengan persentase yang cukup besar, tergantung jenis bahan yang digoreng. Selain itu, akan terjadi juga pelarutan sebagian komponen bahan dan terbentuk cita rasa akibat pemanasan protein, karbohidrat, lemak dan komponen minor lainnya (Orthoefer 1989).

Ayala et al. 2005 menyatakan bahwa proses pemasakan (salah satunya penggorengan) menyebabkan perubahan penting pada komponen urat daging (air, serat daging, jaringan penghubung dan adipose). Perubahan struktural yang disebabkan oleh panas dapat mempengaruhi tekstur dan parameter lain yang berhubungan dengan kualitas daging (Hurling et al. 1996). Selain itu, pemasakan dapat mengubah struktur jaringan daging yang disebabkan oleh koagulasi termal pada protein dan perubahan yang berhubungan dengan kadar air.

3 METODOLOGI

Dokumen terkait