• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

DAFTAR PUSTAKA 44 LAMPIRAN

3 METODOLOGI 1 Waktu dan Tempat

3.3 Metode Penelitian

3.3.6 Pengamatan mikroskopik jaringan daging ikan patin

3.3.6.1 Pembuatan preparat

Pembuatan preparat histologi terdiri dari tiga tahapan besar, yaitu fiksasi jaringan dan parafinasi, pemotongan jaringan serta pewarnaan jaringan.

(1) Fiksasi jaringan dan parafinasi a) Fiksasi

Fiksasi adalah tahapan yang dilakukan untuk mencegah autolisis dan dekomposisi post-mortem dari suatu jaringan atau organ. Fiksasi juga bertujuan untuk mengawetkan morfologi dan komposisi jaringan, sehingga jaringan tetap seperti pada keadaan semula sewaktu hidup, mengeraskan jaringan agar dapat diiris serta mencegah jaringan larut selama proses pembuatan preparat. Larutan

fiksatif yang digunakan adalah larutan Bouin’s yang memiliki komposisi asam

pikrat, formalin dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15:5:1. Jaringan direndam dalam larutan fiksatif selama 48 jam. Perendaman dilakukan di dalam botol film dengan volume larutan fiksatif sebanyak 15-20 kali volume jaringan. b) Dehidrasi

Dehidrasi merupakan proses untuk mengeluarkan cairan dari dalam sel dengan cara merendam jaringan yang telah difiksasi ke dalam alkohol dimulai dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Pertama, jaringan direndam dalam alkohol 70% selama 24 jam. Perendaman dilakukan dalam botol film yang sebelumnya telah digunakan untuk perendaman dengan larutan fiksatif. Larutan fiksatif dibuang terlebih dahulu, kemudian alkohol dengan konsentrasi 70% dimasukkan ke dalam botol film hingga jaringan terendam. Selanjutnya organ diambil dari dalam botol film dan dibungkus menggunakan kain kasa. Kemudian kain kasa diikat menggunakan benang yang dibentuk seperti teh celup agar memudahkan dalam proses pergantian alkohol. Setelah 24 jam, organ yang dibungkus kain kasa diambil dan ditiriskan di atas kertas tisu. Kemudian organ tersebut dimasukkan ke dalam botol berisi alkohol 80%, 90%, 95% masing-masing selama dua jam dan alkohol 100% selama 2 jam dengan cara yang sama. Perendaman dilakukan pada suhu ruang.

c) Clearing

Clearing merupakan proses penjernihan yang bertujuan untuk menggantikan alkohol sekaligus menambahkan clearing agent (xylol) yang berfungsi sebagai pelarut parafin. Jaringan direndam dalam alkohol-xylol (1:1) selama 30 menit, dilanjutkan dengan xylol I, xylol II dan xylol III masing-masing

selama 30 menit. Perendaman dilakukan sama halnya seperti pada perendaman dengan alkohol pada suhu ruang.

d) Impregnasi

Impregnasi adalah tahap penggantian xylol dengan parafin cair yang berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 °C. Proses ini dilakukan dengan perendaman jaringan ke dalam xylol-parafin (1:1) yang diletakkan dalam gelas piala selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara yang sama seperti proses perendaman sebelumnya.

e) Embedding

Embedding merupakan proses untuk memasukkan parafin cair ke dalam sel. Proses ini berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 °C. Titik cair parafin yaitu 54-58 °C. Proses ini bertujuan agar parafin menyusup ke dalam seluruh celah antar sel dan bahkan ke dalam sel, sehingga jaringan lebih tahan saat pemotongan. Jaringan direndam secara berturut-turut ke dalam gelas piala yang berisi parafin I, parafin II dan parafin III masing-masing selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara yang sama seperti proses perendaman sebelumnya.

f) Blocking

Jaringan yang telah direndam dalam parafin cair lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair yang kemudian dibekukan. Proses ini membutuhkan cetakan yang dapat dibuat dari kertas yang kaku seperti kertas kalender dengan ukuran 2x2x2 cm3. Parafin cair dituangkan ke dalam cetakan hingga memenuhi 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan hingga sedikit membeku. Setelah itu, jaringan disusun dalam cetakan dengan bagian sayatan yang diperlukan menghadap dasar cetakan dan dituangi parafin cair hingga material jaringan terendam. Selanjutnya dibiarkan membeku dalam suhu ruang selama 24 jam.

g) Trimming

Setelah parafin beku dengan sempurna, blok parafin dikeluarkan dari cetakan lalu dipotong menggunakan silet bermata satu agar dapat disesuaikan dengan tempat blok pada alat pemotong.

(2) Pemotongan jaringan

Pemotongan jaringan dilakukan dengan menggunakan mikrotom. Ketebalan sayatan yaitu 4 mikron. Teknik pemotongan parafin adalah sebagai berikut.

a) Blok parafin yang mengandung preparat diletakkan pada tempat duduknya di mikrotom. Tempat duduk blok parafin beserta blok parafinnya kemudian diletakkan pada pemegangnya (holder) pada mikrotom yang dikunci dengan kuat. Mata pisau mikrotom harus tajam agar proses pemotongan dapat dilakukan dengan sempurna.

b) Ketebalan potongan diatur dengan cara menggeser bagian pengatur ketebalan hingga ketebalan yang diinginkan. Ketebalan sayatan yaitu 4 mikrometer. c) Blok preparat digerakkan ke arah pisau sedekat mungkin lalu balok preparat

dipotong secara teratur dan ritmis. Pita-pita parafin yang awal tanpa jaringan dibuang hingga diperoleh potongan yang mengadung preparat jaringan. d) Hasil irisan diambil dengan jarum, lalu diletakkan di permukaan air hangat

dalam 45-50 °C waterbath hingga mengembang.

e) Setelah pipa parafin terkembang dengan baik, pita parafin tersebut ditempelkan pada gelas objek yang telah diberi zat perekat, yaitu albumin dengan cara memasukkan kaca objek itu ke dalam waterbath dengan hati-hati agar pita parafin tidak melipat dan dibiarkan hingga mengering.

(3) Pewarnaan jaringan

a) Dewaxing

Sebelum dilakukan dewaxing, gelas objek yang berisi jaringan diletakkan dalam keranjang preparat yang ukurannya sesuai dengan gelas objek. Keranjang tersebut dapat diisi dengan 10 gelas objek. Dewaxing merupakan proses untuk mengeluarkan parafin. Wadah perendaman berupa wadah berbentuk persegi panjang yang ukurannya sesuai dengan keranjang untuk gelas objek. Jaringan pada gelas objek yang telah diletakkan dalam keranjang direndam ke dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama dua menit. Lilin akan terlepas dari jaringan dan jaringan akan tampak jernih.

b) Hidrasi

Hidrasi merupakan proses pemasukan air ke dalam preparat jaringan pada gelas objek setelah proses dewaxing. Jaringan pada gelas objek yang sebelumnya telah melalui proses dewaxing kemudian direndam dalam alkohol 100 % dalam wadah perendaman seperti pada proses dewaxing sebanyak dua kali, lalu secara berturut-turut dimasukkan ke dalam alkohol 95%, 90%, 80%, 70% dan 50% masing-masing selama dua menit dengan cara yang sama pula. Setelah itu, preparat jaringan direndam ke dalam akuades selama dua menit.

c) Pewarnaan hematoksilin-eosin

Setelah hidrasi, preparat jaringan diberi pewarna hematoksilin-eosin. Pertama, preparat jaringan direndam dengan pewarna hematoksilin selama tujuh menit, kemudian dicuci dengan air mengalir selama tujuh menit untuk menghilangkan kelebihan zat warna yang tidak diserap. Selanjutnya preparat jaringan direndam dengan pewarna eosin selama tiga menit dan dicuci dengan akuades. Alat dan proses perendaman yang dilakukan sama seperti proses perendaman sebelumnya.

d) Dehidrasi

Preparat jaringan kemudian direndam dalam alkohol 70%, 85%, 90% dan 100% masing-masing dilakukan selama dua menit. Selanjutnya preparat jaringan direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama dua menit. Alat dan proses perendaman yang dilakukan sama seperti proses perendaman sebelumnya.

e) Mounting

Preparat jaringan yang telah diwarnai dapat dibuat preparat yang lebih awet dengan cara mounting menggunakan mounting agent yaitu enthellan. Preparat jaringan ditutup dengan gelas penutup yang sudah ditetesi enthellan yang dikeringkan dalam oven pada suhu 40 °C selama 24 jam, kemudian diamati di bawah mikroskop.

3.3.6.2 Pemeriksaan preparat

Preparat jaringan diamati di bawah mikroskop Micros Austria MC300 dengan perbesaran mulai dari 200x hingga 400x sesuai dengan kejelasan objek. Setelah itu, didokumentasikan menggunakan kamera Kodak M863 dan hasil yang diperoleh dibandingkan dengan literatur.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ukuran dan Bobot Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)

Ikan patin yang digunakan dalam penelitian ini berwarna putih keperakan dengan sedikit warna merah di sisi sirip-siripnya. Pengukuran morfometrik dilakukan untuk mengetahui panjang, tinggi dan bobot ikan patin. Hasil pengukuran morfometrik pada 30 sampel ikan patin menunjukkan bahwa sampel patin memiliki panjang rata-rata 35,55 ± 2,83 cm, tinggi 4,85 ± 0,74 cm dan bobot sebesar 397,13 ± 36,06 gram (Tabel 2). Data hasil pengukuran morfometrik ikan patin disajikan pada Lampiran 1. Ikan patin yang digunakan berumur 5-6 bulan, dengan panjang rata-rata 35,55 cm. Hasil ini sejalan dengan Khairuman 2002 dalam Tababaka 2004 yang menyatakan bahwa panjang tubuh ikan patin saat usia 6 bulan sekitar 35-40 cm dan bisa mencapai 120 cm.

Tabel 2 Ukuran dan bobot ikan patin (Pangasius hypophthalmus)

No. Parameter Satuan Nilai ± SD

1 Panjang cm 35,55 ± 2,83

2 Tinggi cm 4,85 ± 0,74

3 Bobot gram 397,13 ± 36,06

Keterangan : digunakan 30 sampel ikan patin

Ukuran dan berat ikan patin dipengaruhi oleh pertumbuhan, jenis kelamin, umur, makanan dan lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran, baik berat, panjang maupun volume dalam laju perubahan waktu. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam merupakan faktor yang sukar untuk dikontrol, contohnya genetik. Adapun faktor luar merupakan faktor yang dapat dikontrol yaitu makanan dan suhu (Effendi 1997).

4.2 Rendemen Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)

Rendemen merupakan bagian dari suatu bahan baku yang dapat diambil dan dimanfaatkan (biasanya dinyatakan dalam persen). Tubuh ikan patin terdiri atas beberapa bagian penting yaitu daging, kulit dan jeroan, sedangkan bagian lain-lain adalah kepala dan tulang. Rendemen masing-masing bagian tubuh ikan patin disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Rendemen ikan patin (Pangasius hypophthalmus)

Gambar 8 menunjukkan bahwa rendemen terbesar ikan patin adalah bagian lain selain daging yaitu sebesar 43,28% yang merupakan bagian kepala dan tulang. Umumnya bagian kepala dan tulang ikan patin belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Kepala ikan patin dapat diolah menjadi produk lanjutan, contohnya kerupuk, sedangkan tulang ikan patin dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalsium, untuk pembuatan tepung ikan dan pembuatan pupuk karena mengandung kalsium tinggi dan kolagen.

Daging ikan patin berbentuk fillet (Gambar 9) merupakan bagian yang diambil sebagai sampel dalam penelitian ini, dengan rendemen sebesar 38,56%. Bagian kulit dan jeroan ikan patin memiliki rendemen sebesar 3,73% dan 14,43%. Kulit dan jeroan ikan patin dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk penerapan proses produksi tanpa limbah (zero waste), kulit untuk pembuatan gelatin, sedangkan jeroan dapat dimanfaatkan untuk diolah menjadi pupuk. Gelatin adalah bahan hidrogel dari polimer alami yang diekstrak dari tulang dan kulit berbagai jenis binatang (Maddu et al. 2006). Haq (2005) telah melakukan pembuatan gelatin dengan memanfaatkan kulit ikan nila dan kulit ikan tuna.

Gambar 9 Daging fillet ikan patin segar (a) dan goreng (b)

38.56% 3.73% 14.47% 43.28% Daging Kulit Jeroan Lain-lain

a

b

4.3 Komposisi Kimia Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)

Hasil analisis kimia memberikan informasi tentang kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan karbohidrat ikan patin yang digunakan pada penelitian ini (Tabel 3). Perhitungan lengkap proksimat ikan patin dicantumkan pada Lampiran 2.

Tabel 3 Hasil analisis proksimat ikan patin (Pangasius hypophthalmus)

Komposisi

Patin segar (%) Patin goreng (%) Basis basah (bb) Basis kering (bk) Basis basah (bb) Basis kering (bk) Air 82,27 - 63,56 - Abu 0,77 4,34 0,91 2,50 Lemak 0,36 2,03 7,34 20,14 Protein 15,07 84,99 19,45 53,37 Karbohidrat 1,53 8,63 8,74 23,98 4.3.1 Kadar air

Analisis kadar air dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan jumlah air yang terkandung dalam daging ikan patin segar dan goreng. Kadar air pada daging patin segar yaitu 82,27% dan daging patin goreng 63,56% (Gambar 10). Terjadi penurunan kadar air pada daging patin goreng dengan perubahan relatif sebesar 22,74%.

Gambar 10 Histogram kadar air daging ikan patin

Daging patin segar memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging patin goreng. Penurunan kadar air tersebut disebabkan oleh terjadinya penguapan air pada daging ikan patin saat digoreng. Penggorengan yang terjadi pada suhu tinggi akan menyebabkan terjadinya penguapan sebagian

82.27 63.56 0 20 40 60 80 100

Patin segar Patin goreng

K a d a r a ir (%)

air dalam bahan pangan (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010). Saat daging ikan digoreng, terjadi pindah panas dari sumber panas penggoreng ke daging melalui media pindah panas, yaitu minyak goreng. Akibat proses pemanasan tersebut, daging patin akan melepaskan uap air yang dikandungnya.

Domiszewski et al. (2011), yang melakukan penelitian mengenai pengaruh pemanasan terhadap asam lemak ikan patin, memperoleh hasil kadar air daging patin segar dan goreng sebesar 81,57% dan 63,28%. Penggorengan yang dilakukannya pada suhu 180 ˚C selama 6 menit, memberikan hasil yang relatif sama dengan penelitian ini yang menggunakan suhu 190 ˚C selama 5 menit. 4.3.2 Kadar abu

Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan tersebut. Hasil analisis kadar abu pada daging patin segar adalah sebesar 0,77% dan daging patin goreng sebesar 0,91% (Gambar 11). Data menunjukkan terjadinya perubahan proporsional kadar abu pada daging patin goreng, yaitu meningkat sebesar 18,18%.

Gambar 11 Histogram kadar abu daging ikan patin

Setiap bahan pangan memiliki kadar abu yang berbeda-beda, yang menunjukkan mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut berbeda- beda. Kadar abu ikan patin relatif berbeda dengan kadar abu catfish lainnya, mengacu pada Nurilmala et al. (2009) yang melaporkan bahwa kadar abu ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah sebesar 1,47%. Variasi komposisi kimia dapat terjadi antarspesies, antarindividu dalam suatu spesies dan antara bagian tubuh

0.77 0.91 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Patin segar Patin goreng

K a d a r a b u (%)

satu dengan yang lain (Suzuki 1981 dalam Nurjanah et al. 2009). Variasi ini dapat disebabkan beberapa faktor, di antaranya musim, ukuran, tahap kedewasaan, suhu lingkungan dan ketersediaan bahan makanan (Sudhakar et al. 2009).

4.3.3 Kadar protein

Hasil analisis proksimat untuk kadar protein menunjukkan bahwa ikan patin termasuk ikan berprotein tinggi. Kadar protein daging patin segar dan daging patin goreng adalah 15,07% dan 19,45% (Gambar 12). Ikan dikategorikan sebagai ikan berprotein tinggi jika ikan tersebut memiliki kandungan protein sebesar 15-20% (Junianto 2003).

Gambar 12 Histogram kadar protein daging ikan patin

Kadar protein daging patin setelah digoreng meningkat secara relatif sebesar 29,06%. Peningkatan kadar protein terjadi secara proporsional setelah penggorengan diakibatkan oleh pengurangan kadar air (Syarief dan Halid 1993). Daging patin yang telah melalui proses penggorengan memiliki kandungan air yang lebih kecil dibandingkan dengan daging patin segar, sehingga persentasi kadar protein dalam daging meningkat secara proporsional. Berdasarkan hasil penelitian Nurilmala et al. (2009), kadar protein jenis catfish lainnya yaitu lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah sebesar 17,71%. Kedua jenis ikan ini merupakan ikan berprotein tinggi dengan kadar protein sebesar 15-20%.

4.3.4 Kadar lemak

Analisis kadar lemak yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ikan patin merupakan ikan berlemak rendah. Daging patin segar memiliki kadar lemak sebesar 0,36% dan daging patin goreng sebesar 7,34% (Gambar 13). Ikan dengan kandungan lemak <5% termasuk ikan berlemak rendah (Junianto 2003).

15.07 19.45 0 10 20 30

Patin segar Patin goreng

K ad ar p ro tei n (% )

Gambar 13 Histogram kadar lemak daging ikan patin

Peningkatan kadar lemak daging patin goreng yang sangat signifikan ini disebabkan oleh proses penggorengan yang dilakukan. Minyak goreng yang digunakan sebagai media pindah panas pada saat menggoreng ikan, terserap oleh daging patin sehingga kandungan lemak yang terdapat pada minyak goreng juga ikut terserap. Bahan pangan akan menyerap sejumlah minyak selama penggorengan. Penyerapan yang berlebihan dapat dikurangi dengan meniriskan bahan pangan yang baru digoreng (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2000).

Berbeda dengan hasil penelitian ini, Domiszewski et al. (2011) melaporkan bahwa kadar lemak daging patin segar adalah 2,23% dan daging patin goreng 9,65%. Adanya variasi komposisi kimia dapat terjadi antarspesies, antara individu dalam suatu spesies dan antara bagian tubuh satu dengan yang lain (Suzuki 1981 dalam Nurjanah et al. 2009). Variasi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya musim, ukuran, tahap kedewasaan, suhu lingkungan dan ketersediaan bahan makanan (Sudhakar et al. 2009).

4.3.5 Kadar karbohidrat

Analisis kadar karbohidrat daging ikan patin dilakukan dengan metode by difference. Kadar karbohidrat yang terkandung pada daging patin segar adalah sebesar 1,53% dan daging patin goreng sebesar 8,74% (Gambar 14). Okuzumi dan Fuzii (2000) menyatakan bahwa kandungan glikogen yang terkandung pada produk perikanan sebesar 1% untuk ikan, 1% untuk krustasea dan 1-8% untuk kekerangan. 0.36 7.34 0 2 4 6 8

Patin segar Patin goreng

K a d a r le ma k (%)

Gambar 14 Histogram kadar karbohidrat daging ikan patin

Penelitian Maghfiroh (2000) menunjukkan bahwa kadar karbohidrat ikan patin adalah 1,43%. Dalam bahan pangan, keberadaan karbohidrat kadangkala tidak sendiri, melainkan berdampingan dengan zat gizi lain, contohnya protein dan lemak. Selain itu, dapat juga mengandung diktiosom daging yang merakit komponen karbohidrat. Karbohidrat pada produk perikanan tidak mengandung serat, kebanyakan dalam bentuk glikogen, terdiri atas glukosa, fruktosa, sukrosa dan monosakarida lainnya.

4.4 Komposisi Asam Lemak Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)

Analisis asam lemak daging patin segar dan goreng menunjukkan bahwa ikan patin mengandung asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid/SFA), asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated Fatty Acid/MUFA) dan asam lemak tak jenuh majemuk (Polyunsaturated Fatty Acid/PUFA).

Identifikasi tiap komponen asam lemak dilakukan dengan membandingkan waktu retensinya dengan standar pada kondisi analisis yang sama. Retention time merupakan waktu yang diperlukan oleh sampel mulai dari saat injeksi sampai sampel mencapai peak maksimum (Riyadi 2009). Pada peak asam lemak sampel, dihasilkan nilai retention time yang mendekati nilai retention time standar asam lemak. Nilai retention time asam lemak sampel dan standar yang digunakan pada penelitian ini dicantumkan pada Lampiran 3. Kromatogram asam lemak sampel daging ikan patin dan standar yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 15, 16 dan 17. 1.53 8.74 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Patin segar Patin goreng

K a d a r ka rb oh id ra t (%)

Gambar 15 Kromatogram standar asam lemak

Gambar 17 Kromatogram hasil analisis asam lemak daging patin goreng

Analisis asam lemak dengan GC menunjukkan bahwa daging patin segar mengandung 30 jenis asam lemak yang terdiri atas 11 jenis SFA, 8 jenis MUFA dan 11 jenis PUFA. Daging patin goreng mengandung 24 jenis asam lemak, terdiri atas 12 jenis SFA, 4 jenis MUFA dan 8 jenis PUFA. Perhitungan asam lemak daging ikan patin dicantumkan pada Lampiran 4 dan hasil akhir disajikan pada Tabel 4.

Daging patin segar mengandung asam lemak sebesar 61,64% dan daging patin goreng 79,73%. Asam lemak daging patin goreng meningkat secara relatif sebesar 29,35%. Perubahan ini disebabkan oleh proses penggorengan yang menggunakan minyak goreng, dimana proses termal yang terjadi dan kadar asam lemak yang terkandung dalam minyak goreng mempengaruhi kadar asam lemak daging ikan patin. Hasil analisis asam lemak minyak goreng yang digunakan dalam penelitian ini dicantumkan pada Tabel 5 dan kromatogramnya disajikan pada Gambar 18.

Tabel 4 Komposisi asam lemak daging ikan patin (Pangasius hypophthalmus)

No. Asam lemak Patin segar

(%) Patin goreng (%) 1 Asam kaprilat (C8:0) n.d 0,02 2 Asam kaprat (C10:0) n.d 0,02 3 Asam laurat (C12:0) 0,17 0,21 4 Asam miristat (C14:0) 0,82 0,75 5 Asam miristoleat (C14:1) 0,02 n.d 6 Asam pentadekanoat (C15:0) 0,07 0,04 7 Asam palmitat (C16:0) 18,20 28,92 8 Asam palmitoleat (C16:1) 0,36 0,17 9 Asam heptadekanoat (C17:0) 0,13 0,08 10 Asam heptadekanoat (C17:1) 0,11 n.d 11 Asam stearat (C18:0) 4,09 3,05 12 Asam elaidat (C18:1n9) 0,16 0,08 13 Asam oleat (C18:1n9) 22,16 35,14 14 Asam linolelaidat (C18:2n9) 0,03 n.d 15 Asam linoleat (C18:2n6) 8,00 9,61 16 Asam arakhidat (C20:0) 0,24 0,28 17 Asam linolenat (C18:3n6) 0,05 0,04 18 Asam eikosenoat (C20:1) 0,52 0,14 19 Asam linolenat (C18:3n3) 0,29 0,15 20 Asam heneikosanoat (C21:0) 0,02 n.d 21 Asam eikosedienoat (C20:2) 0,34 0,10 22 Asam behenat (C22:0) 0,14 0,05 23 Asam eikosetrienoat (C20:3n6) 0,68 0,04 24 Asam erukat (C22:1n9) 0,08 n.d 25 Asam eikosetrienoat (C20:3n3) 0,02 n.d 26 Asam arakhidonat (C20:4n6) 1,59 0,10 27 Asam trikosanoat (C23:0) 0,04 0,02 28 Asam dokosadienoat (C22:2) 0,02 n.d 29 Asam lignoserat (C24:0) 0,16 0,06 30 EPA (C20:5n3) 0,39 0,47 31 Asam nervonat (C24:1) 0,12 n.d 32 DHA (C22:6n3) 2,65 0,19

Keterangan : n.d = not detected (tidak terdeteksi)

Data menunjukkan bahwa minyak goreng yang digunakan mengandung 15 jenis asam lemak, terdiri atas 9 jenis SFA, 3 jenis MUFA dan 3 jenis PUFA, dimana kandungan ini mempengaruhi kadar asam lemak daging ikan patin setelah mengalami penggorengan.

Tabel 5 Komposisi asam lemak minyak goreng No. Kelompok

asam lemak

Jenis asam lemak

Kadar asam lemak (%)

1 Asam lemak jenuh Palmitat 26,00

Stearat 3,02 Miristat 0,72 Arakhidat 0,27 Laurat 0,12 Heptadekanoat 0,07 Behenat 0,05 Pentadekanoat 0,03 Kaprat 0,01

2 Asam lemak tak jenuh tunggal

Oleat 32,28

Palmitoleat 0,14

Eikosenoat 0,11

3 Asam lemak tak jenuh majemuk

Linoleat 10,88

Linolenat 0,16

Eikosedienoat 0,05

4.4.1 Asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid/SFA)

Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang tidak memiliki ikatan rangkap. Daging ikan patin termasuk salah satu jenis ikan dengan kandungan asam lemak yang tinggi. Mengacu pada data yang disajikan pada Tabel 4, daging patin segar dan goreng masing-masing mengandung 11 dan 12 jenis SFA. Data yang diperoleh menunjukkan SFA daging patin segar dan goreng sebesar 24,08% dan 33,5%, dengan peningkatan relatif yang terjadi sebesar 28,12%. Hasil penelitian Domiszewski et al. (2011) menunjukkan bahwa kandungan SFA daging patin segar adalah 47,15% dan daging patin goreng 12,76%.

Palmitat (C16:0) merupakan SFA dengan kadar tertinggi, baik pada daging patin segar maupun goreng (Gambar 19). Daging patin segar mengandung palmitat sebesar 18,20% dan daging patin goreng 28,92%. Peningkatan kadar palmitat pada daging patin goreng diduga disebabkan oleh penggorengan yang dilakukan. Minyak goreng yang digunakan ikut terserap ke dalam daging ikan patin saat digoreng, sehingga kandungan asam lemak minyak goreng pun terserap ke dalam daging ikan. Tabel 5 menunjukkan bahwa kandungan palmitat minyak goreng adalah sebesar 26,00%. Hal ini memungkinkan bahwa peningkatan palmitat pada daging patin goreng dipengaruhi oleh kandungan palmitat dari minyak goreng.

Gambar 19 Kandungan asam lemak jenuh daging ikan patin (Pangasius hypophthalmus) 0 5 10 15 20 25 30

Miristat Palmitat Stearat 0.82 18.2 4.09 0.75 28.92 3.05 Ka da r a sam lema k (% ) Daging segar Daging goreng

Kandungan asam lemak jenuh stearat (C18:0) pada daging patin segar dan goreng adalah 4,09% dan 3,05%. Daging patin goreng mengandung asam stearat yang lebih rendah dibandingkan dengan daging patin segar. Hal ini diduga disebabkan oleh oksidasi asam lemak yang terjadi saat penggorengan. Umumnya kerusakan akibat oksidasi terjadi pada asam lemak tak jenuh, tetapi bila minyak dipanaskan pada suhu 100 °C atau lebih, asam lemak jenuh pun dapat teroksidasi (Jacobson 1967). Asam stearat dapat menyebabkan trombogenik atau pembekuan darah, hipertensi, kanker dan obesitas (Grundy 1994 dalam Witjaksono 2005).

Hasil analisis asam lemak miristat (C14:0) pada daging patin segar adalah 0,82% dan daging patin goreng 0,75%. Oksidasi yang terjadi saat proses penggorengan diduga menyebabkan penurunan asam miristat pada daging patin goreng. Asam miristat terdapat dalam jumlah yang sedikit, tidak lebih dari kisaran 1-2%. Asam miristat dapat dimanfaatkan dalam pembuatan sampo, krim, kosmetik dan flavor makanan. Asam miristat dibutuhkan dalam retina dan fotoreseptor (O’Keefe et al. 2002).

Tabel 4 menunjukkan bahwa asam kaprilat (C8:0) dan asam kaprat (C10:0) merupakan asam lemak jenuh dengan persentase terkecil. Asam kaprat tidak terdeteksi pada daging patin segar, tetapi pada daging patin goreng asam lemak ini terdeteksi sebesar 0,02%. Hal ini diduga disebabkan oleh penyerapan

Dokumen terkait