BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. Perjanjian
2.3. Asas-asas Hukum Perjanjian
Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat para pihak, oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata diberikan berbagai asas-asas umum hukum perjanjian yaitu:
2.3.1.Asas Personalia / Kepribadian
Pengaturan dari asas Personalia dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-undang hukum Perdata yang berbunyi :
“ Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk
dirinya sendiri.”
Dari rumusan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.
Selain menunjuk pada asas personalia, lebih jauh ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga menunjuk pada kewenangan bertindak dari seseorang yang membuat atau mengadakan perjanjian. Dalam hal orang tersebut melakukan tindakan hukum dalam kapasitas yang berbeda, yaitu untuk kepentingan dirinya sendiri,maka kewenangannya harus disertai dengan bukti-bukti yang menunjukan bahwa memang orang- perorangan tersebut tidak sedang membuat dan/atau menyetujui dilakukannya suatu perjanjian untuk dirinya sendiri.41
Salah satu pengecualian dari asas kepribadian, tercantum dalam Pasal 1317 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi:
“Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu perjanjian guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukan kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga
tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.”
Lebih lanjut mengenai pasal 1317 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut, ditindak lanjuti dengan Pasal 1340 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi:
41
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 15.
“Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat
karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317.”
2.3.2.Asas Konsensualitas
Asas konsensualitas memperlihatkan bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat antara dua orang atau lebih orang telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang- orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.42
Walaupun demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitur, maka diadakanlah bentuk-bentuk formalitas atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan lebih jauh mengenai formalitas kesepakatan yang harus dipenuhi, kecuali dalam berbagai ketentuan khusus. Sebagai pengecualian diperkenalkanlah perjanjian formil dan perjanjian riil, yang dengan kesepakatan saja belum mengikat para pihak yang berjanji.
Dalam perjanjian formil, sesungguhnya formalitas tersebut diperlukan karena beberapa hal pokok, yaitu meliputi :43
1. Sifat dari kebendaan yang dialihkan, yang menurut ketentuan Pasal 613 dan Pasal 616 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, penyerahan hak milik atas kebendaan tersebut harus dilakukan dalam bentuk akta otentik atau akta di bawah tangan (tertulis).
42
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 35.
43
Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 265-272.
2. Sifat dari isi perjanjian itu sendiri, yang harus diketahui oleh umum, melalui mekanisme pengumuman kepada khalayak umum atau masyarakat luas. Jenis perjanjian ini pada umumnya dapat ditemukan dalam perjanjian yang bertujuan untuk mendirikan suatu badan hukum. 3. Hal lain yang menjadi perhatian adalah yang berhubungan dengan
penjamin kebendaan. Hal ini dikarenakan penjamin merupakan tindakan yang masuk kedalam perbuatan hukum yang menerbitkan hubungan hukum kebendaan baru yang memiliki sifat kebendaan pula, perjanjian pemberiannya harus dibuat secara tertulis dalam pengertian memenuhi persyaratan formalitas tertentu.
Contoh perjanjian formil ini antara lain adalah perjanjian perdamaian antara para pihak yang bersengketa, harus dipertegas kembali dengan bentuk tertulis. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 1851 Kitab Undang- undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa perdamaian dianggap sah apabila dibuat secara tertulis.
Dalam perjanjian riil, suatu tindakan atau perbuatan disyaratkan karena sifat dari perjanjian itu sendiri yang masih memerlukan tindak lanjut dari salah satu pihak dalam perjanjian agar syarat kesepakatan bagi lahirnya perjanjian tersebut menjadi ada demi hukum.44
Contoh dari perjanjian riil ini antara lain adalah perjanjian hibah yang pada hakikatnya bersifat sepihak, datang semata-mata dari seseorang atau lebih pemberi hibah. Unsur kesepakatan dalam perjanjian mensyaratkan bahwa dalam perjanjian mensyaratkan bahwa untuk dapat diakui telah terjadinya kesepakatan antara dua pihak dalam perjanjian agar dapat mengikat para pihak dalam perjanjian tersebut, diperlukan adanya penerimaan dari suatu penawaran. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.45
44
Gunawan Widjaja , Op.Cit., hal. 272.
45
2.3.3.Asas Kebebasan Berkontrak dan Perjanjian Berlaku sebagai Undang- undang (Pacta Sunt Servanda)
Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.”
Kebebasan berkontrak menjadi paradigma baru hukum kontrak yang sangat diagungkan para filsuf, ahli hukum, dan pengadilan. Kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda dalam kenyataannya dapat menimbulkan ketidakadilan. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. Akibatnya, pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah.46
Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Adapun asas kebebasan berkontrak ini meliputi :47
1. Kebebasan setiap orang untuk memutuskan apakah ia membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian;
2. Kebebasan setiap orang untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian;
3. Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk isi perjanjian; 4. Kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.
Suatu perjanjian yang dibuat juga tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 1338 ayat 2 yang merupakan
konsekuensi logis daripada “janji yang mengikat”. Para pihak tidak dapat
menarik diri daripada akibat-akibat perjanjian yang dibuatnya secara sepihak. Secara sepihak disini berarti tanpa sepakat dari pihak lainnya.
46
Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 1-2.
47
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hal. 97.
Secara a contrario, bahwa perjanjian dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak.48
2.3.4.Asas Itikad Baik
Setiap kegiatan masyarakat terutama bisnis selalu didahului dengan pembuatan perjanjian. Setelah isinya disepakati, maka perjanjian ini akan mengikat para pihak. Artinya, para pihak harus melaksanakan apa yang telah mereka sepakati dan tuangkan dalam perjanjian itu sebab kesepakatan di antara mereka itu menimbulkan hubungan hukum di antara keduanya. Namun demikian, perjanjian yang telah disepakati oleh dan mengikat para pihak itu seringkali menimbulkan permasalahan dan hambatan di kemudian hari. Oleh karena itu, sangat penting bagi para pihak untuk mengerti dan memahami substansi atau isi perjanjian sebelum menyetujui atau menyepakati perjanjian.
Asas itikad baik dalam suatu perjanjian terdapat dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Akan tetapi dalam pasal tersebut tidak
disebutkan secara ekplisit apa yang dimaksud dengan “itikad baik”.
Akibatnya orang akan menemui kesulitan dalam menafsirkan dari itikad baik itu sendiri. Karena itikad baik merupakan suatu pengertian yang abstrak yang berhubungan dengan apa yang ada dalam alam pikiran manusia. Sampai sekarang tidak ada makna tunggal itikad baik dalam kontrak, sehingga masih terjadi perdebatan mengenai bagaimana
48
sebenarnya makna dari itikad baik itu. Itikad baik para pihak, haruslah mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang ditengah masyarakat, sebab itikad baik merupakan bagian dari masyarakat.
Penerapan asas itikad baik dalam kontrak bisnis, haruslah sangat diperhatikan terutama pada saat melakukan perjanjian pra kontrak atau negosiasi, karena itikad baik baru diakui pada pada saat perjanjian sudah memenuhi syarat syahnya perjanjian atau setelah negosiasi dilakukan. Terhadap kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pemberlakukan asas itikad baik ini, Suharnoko menyebutkan bahwa secara implisit Undang undang Perlindungan Konsumen sudah mengakui bahwa itikad baik sudah harus ada sebelum ditandatangani perjanjian, sehingga janji-janji pra kontrak dapat diminta pertanggungjawaban berupa ganti rugi, apabila janji tersebut diingkari.49
Dalam common law Inggris dikenal dua makna itikad baik yang berbeda, yakni good faith performance dan good faith purchase. Good faith performance berkaitan dengan kepatutan (yang objektif), atau
reasonableness pelaksanaan kontrak. Di dalam makna yang demikian itu, itikad baik digunakan sebagai implide term, yang digunakan dalam hukum Romawi, mensyaratkan adanya kerjasama diantara para pihak untuk tidak menimbulkan kerugian dari reasonableness expectation. Good faith purchase, di lain pihak, berkaitan dengan a
contracting party’s subjective state of mind; apakah seseorang membeli dengan itikad baik sepenuhnya digantungkan pada ketidaktauannya, kecurigaan, dan pemberitahuan yang berkaitan dengan kontrak.50
Martijn Hasselin menyebutkan semua itikad baik yang bersifat objektif mengacu kepada konsep normatif. Sesungguhnya itikad baik seringkali dilihat sebagai suatu norma tertinggi dari hukum kontrak, hukum perikatan, bahkan hukum perdata. Itikad baik seringpula dikatakan sebagai berhubungan dengan standar moral. Di satu sisi, dikatakan menjadi suatu standar moral itu sendiri, yakni suatu prinsip legal ethical, sehingga itikad baik bermakna honesty. Dengan demikian, pada dasarnya itikad baik bermakna bahwa satu pihak harus memperhatikan kepentingan pihak lainnya di dalam kontrak. Di sisi
49
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta 2004, Hal. 5.
50
lain, itikad baik dapat dikatakan sebagai pintu masuk hukum melalui nilai moral (moral values). Dengan keadaan yang demikian itu menjadikan itikad baik sebagai norma terbuka (open norm), yakni suatu norma yang isinya tidak dapat ditetapkan secara abstrak, tetapi ditetapkan melalui kongkretisasi kasus demi kasus dengan memperhatikan kondisi yang ada.51
Kejujuran dalam pelaksanaan persetujuan harus diperbedakan daripada kejujuran pada waktu mulai berlakunya perhubungan hukum dan kejujuran dalam pelaksanaan perjanjian. Dalam kejujuran pada waktu mulai berlakunya suatu perhubungan hukum berupa pengiraan dalam hati sanubari terhadap syarat untuk memperoleh hak milik barang telah dipenuhi. Sedangkan kejujuran dalam pelaksanaan perjanjian terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi titik berat dari kejujuran ini terletak pada tindakan yang dilakukan kedua belah pihak dalam hal melaksanakan janji. Dalam melaksanakan tindakan inilah kejujuran harus berjalan dalam hari sanubari seorang manusia berupa selalu mengingat, bahwa manusia itu sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat menipukan pihak lain dengan menggunakan secara membabi buta kata-kata yang dipakai pada waktu kedua belah pihak membentuk suatu persetujuan. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal ini dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi.52
Dalam pandangan ahli hukum Belanda antara lain Hofmann dan Vollmar dianggap adanya pengertian kejujuran yang bersifat objektif dan kejujuran bersifat subjektif. Perbedaan antara kejujuran subjektif dan kejujuran objektif itu oleh para ahli hukum Belanda tadi terutama dibicarakan dalam hubungan dengan suatu persetujuan, dalam mana para pihak bersepakat untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa yang mungkin akan timbul dalam melaksanakan perjanjian, kepada pihak ketiga atau suatu badan hukum atau kepada salah seorang daripada para pihak, yaitu selaku pemberi nasehat yang mengikat (bindend advise). Dimana hakim tidak boleh meninjau lagi isi dari nasehat yang dikatakan mengikat itu.Sedangkan apabila dilihat dari kejujuran subjektif ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata dapat dianggap bersifat subjektif, sedang untuk mencapai agar isi dari nasehat yang dikatakan mengikat itu, dapat ditinjau, dapatlah dipergunakan Pasal 1339 KUH Perdata yang memperbolehkan hakim memperhatikan hal kepatutan (billikheid) di samping kejujuran (goede trouw).53
51
Ridwan Khairandy, Op. Cit., hlm.34-35.
52
R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perdata, Bandung: Sumur, 1983, hlm.104- 105.
53Ibid
Sifat dari itikad baik dapat berupa subjektif, dikarenakan terhadap perbuatan ketika akan mengadakan hubungan hukum maupun akan melaksanakan perjanjian adalah sikap mental dari seseorang. Banyak penulis ahli hukum Indonesia menganggap itikad baik bersifat subjektif. Akan tetapi sebagaiman dikutip Ridwan Khairandy dalam bukunya Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, menyebutkan para kalangan ahli hukum Belanda antara lain Hofmann dan Vollmar menganggap bahwa disamping adanya pengertian itikad baik yang subjektif, juga ada itikad baik yang bersifat objektif, oleh mereka tidak lain maksudnya adalah kepatutan.54
Karena perjanjian mengikat kreditur maupun debitur, maka yang melaksanakan perjanjian juga debitur dan kreditur bersama-sama sehingga baik kreditur maupun debitur wajib untuk melaksanakan perjanjian dengan pantas dan patut. Kreditur dalam melaksanakan hak-hak akan bertindak sebagai kreditur yang baik, yang tidak akan menuntut lebih daripada apa yang memang menjadi haknya, tidak akan membebani debitur dengan biaya-biaya yang lebih daripada yang memang perlu dan debitur pun akan melaksanakan kewajibannya dengan baik, tidak akan membuat penagihan menjadi sulit dan berbelit-belit.55
Kita melihat, bahwa itikad baik disini berlainan sekali dengan iktikad baik subjektif, seperti biasa antara lain dikaitkan dengan Pasal 1977 KUHPerdata. Itikad baik yang subjektif berkaitan dengan sikap batinnya, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari atau tahu, bahwa tindakannya bertentangan dengan iktikad baik, sedang disini kita berhadapan dengan iktikad baik yang lain, yang biasanya untuk membedakannya dari subjektif disebut iktikad baik objektif, yang berkaitan dengan pendapat umum yaitu apakah umum menganggap tindakan yang seperti itu bertentangan dengan iktikad baik.56
Asas itikad baik menjadi salah satu instrument hukum untuk membatasi kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam hukum kontrak itikad baik memiliki tiga fungsi
54
Ridwan Khairandy, Op.Cit., hlm.262.
55
J.Satrio, Op.Cit., hlm. 178-179.
56Ibid
yaitu, fungsi yang pertama, semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu. Sedangkan fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking vande geode trouw). Dengan fungsi ini hakim dapat mengenyampingkan isi perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak. Tidak semua ahli hukum dan pengadilan menyetujui fungsi ini, karena akan banyak hal bersinggungan dengan keadaan memaksa, sehingganya masih dalam perdebatan dalam pelaksanaannya.57