• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis-Jenis Perjanjian

Dalam dokumen TINJAUAN PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA PE (Halaman 48-67)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Perjanjian

2.4. Jenis-Jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menjadi menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut :58

a. Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya : perjanjian jual beli.

b. Perjanjian Cuma-cuma dan Perjanjian atas Beban

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya : hibah.

Perjanjian atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang selalu terdapat prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

c. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama

Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya adalah perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V s.d. XVIII Buku Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Diluar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tetapi banyak terjadi dalam masyarakat. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian yang berlaku dalam Hukum Perjanjian. Misalnya : perjanjian sewa beli.

d. Perjanjian Campuran

57

Ibid, hlm.33

58

Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa- menyewa), tetapi menyajikan makanan (jual-beli) dan juga memberikan pelayanan.

e. Perjanjian Obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan). Menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata, perjanjian jual-beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain, yaitu penyerahan. Perjanjian jual belinya tersebut dinamakan perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban (obligatoir) kepada para pihak untuk melakukan penyerahan (levering). Penyerahannya sendiri merupakan perjanjian kebendaan.

f. Perjanjian Kebendaan (zakelijke overeenkomst)

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda dialihkan/diserahkan (transfer of title) kepada pihak lain.

g. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Riil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian di antara kedua belah pihak yang telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Namun demikian di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Misalnya : perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai. h. Perjanjian-perjanjian yang Istimewa Sifatnya

1. Perjanjian Liberatoir

Perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya : Pembebasan hutan (Pasal 1438 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

2. Perjanjian Pembuktian

Perjanjian antara para pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.

3. Perjanjian Untung-untungan

Misalnya perjanjian Asuransi (Pasal 1774 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

4. Perjanjian Publik

Perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintahan). Misalnya : Perjanjian ikatan dinas dan perjanjian pengadaan barang pemerintah.

2.5. Hapusnya Perikatan

Menurut Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perikatan- perikatan hapus dengan cara-cara sebagai berikut:

a. karena pembayaran;

b. karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;

c. karena pembaharuan hutang; d. karena perjumpaan hutang; e. karena percampuran hutang; f. karena pembebasan hutang;

g. karena musnahnya barang terutang; h. karena pembatalan atau kebatalan; i. karena berlakunya suatu syarat batal; j. karena lewatnya waktu.

3. Perlindungan Konsumen

Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud hukum yaitu:59

“Kumpulan peraturan atau kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah-

kaedah.”

Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah suatu hal atau perbuatan untuk melindungi subjek hukum berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku disertai

59

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty, 1991, hal.38

dengan sanksi-sanksi bila ada yang melakukan Wanprestasi. Pengertian perlindungan hukum juga menurut Soedikno Mertokusumo yang dimaksud perlindungan hukum adalah adanya jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun didalam hubungan dengan manusia lain. Kata perlindungan di atas menunjuk pada adanya terlaksananya penanganan kasus yang dialami dan akan diselesaikan menurut ketentuan hukum yang berlaku secara penal maupun non penal dan juga adanya kepastian-kepastian usaha-usaha untuk memberikan jaminan-jaminan pemulihan yang dialami.60

Hukum dapat dikatakan berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi juga dapat terjadi karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakkan hukum inilah hukum menjadi kenyataan.

Hukum merupakan wujud dari perintah dan kehendak negara yang dijalankan oleh pemerintah untuk mengemban kepercayaan dan perlindungan penduduk, baik di dalam maupun di luar wilayahnya. Pemerintah sendiri mendapat wewenang untuk menjalankan tugasnya yang diatur dalam Hukum Nasional, yang mana Hukum Nasional berguna untuk menyelaraskan hubungan antara pemerintah dan penduduk dalam sebuah wilayah negara yang berdaulat, mengembangkan dan menegakkan kebudayaan nasional yang serasi agar terdapat kehidupan bangsa dan masyarakat yang rukun, sejahtera dan makmur. Hukum juga berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan

manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan.

Pengaturan mengenai klausula baku dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan konsekuensi dari upaya kebijakan untuk memberdayakan konsumen supaya dalam kondisi yang

60

seimbang, yakni terdapatnya suatu hubungan kontraktual antara produsen (pelaku usaha) dan konsumen dalam prinsip kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak adalah bila para pihak di kala melakukan perjanjian berada dalam situasi dan kondisi yang bebas menentukan kehendaknya dalam konsep atau rumusan perjanjian yang disepakati.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pun berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), dan bukan Undang-Undang tentang Konsumen. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan :

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Berdasarkan pengertian hukum di atas, maka yang dimaksud dengan perlindungan hukum bagi konsumen adalah perlindungan terhadap kepentingan konsumen melalui kaedah hukum untuk menjamin kepastian pelaksanaan kepentingannya baik secara preventif maupun secara represif. Kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum atau hak.

Rumusan tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. Kesewenang- wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar selalu upaya memberikan jaminan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam UUPK dan undang-undang lainnya yang dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan konsumen, baik dalam Hukum Privat (Perdata) maupun bidang hukum publik.61

61

Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 1-2.

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Dalam bidang hukum, istilah ini masih relatif baru, khususnya di Indonesia, sedangkan di negara maju, hal ini mulai dibicarakan bersamaan dengan berkembangnya industri dan teknologi.62 Berbicara tentang perlindungan konsumen berarti mempersoalkan jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya hak-hak konsumen. Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa itu. Berkaitan dengan perlindungan konsumen, untuk memperoleh kesatuan persepsi dalam penulisan ini maka perlu dijelaskan istilah yang berkaitan dengan konsumen, pelaku usaha, hak dan kewajiban dari konsumen, hak dan kewajiban dari pelaku usaha, serta tanggung jawab dari pelaku usaha.

3.1.Konsumen

a. Pengertian Konsumen

Kata konsumen berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer. Dalam bahasa Belanda, istilah konsumen disebut dengan consument.

Konsumen secara harfiah adalah “orang yang memerlukan,

membelanjakan atau menggunakan; pemakai atau pembutuh.”63

62

Janus Sidabalok, Op. Cit., hal.9.

63

N.H.T Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta, 2005, hal.23.

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pengertian konsumen telah dirumuskan secara khusus yaitu :

“Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun

makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.”

Dalam pengertian sehari-hari sering dianggap bahwa yang disebut konsumen adalah pembeli. Pengertian konsumen secara hukum tidak hanya terbatas kepada pembeli. Bahkan kalau disimak secara cermat pengertian konsumen sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1 butir 2 UUPK, disitu tidak ada disebut kata pembeli.64

Berbagai pengertian konsumen dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu :

1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

2. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa lain untuk memperdagangkannya dengan tujuan komersial. Konsumen antar ini sama dengan pelaku usaha.

3. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

UUPK mengatur mengenai perlindungan bagi konsumen akhir. Konsumen akhir dapat dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu :

64

1. Pemakai adalah setiap konsumen yang memakai barang yang tidak mengandung listrik atau elektronika, seperti pemakaian pangan, sandang, papan, alat transportasi, dan sebagainya;

2. Pengguna adalah setiap konsumen yang menggunakan barang yang mengandung listrik atau elektronika seperti penggunaan lampu listrik, TV, ATM, dan sebagainya;

3. Pemanfaat adalah setiap konsumen yang memanfaatkan jasa-jasa konsumen, seperti : jasa kesehatan, jasa angkutan, jasa pengacara, jasa pendidikan, jasa perbankan, jasa transportasi, jasa rekreasi, dan sebagainya.

b. Hak dan Kewajiban Konsumen

Secara historis mengenai hak-hak dasar konsumen pertama kali

dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy “Presiden yang pertama kali mengangkat martabat konsumen” saat menyampaikan pidato

revolusioner di depan kongres (US Congress) pada tanggal 15 Maret 1962

tentang Hak konsumen. Ia berujar, “Menurut definisi, konsumen adalah kita

semua. Mereka adalah kelompok ekonomi paling besar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap keputusan ekonomi Publik dan swasta, tetapi mereka hanya sekelompok penting yang suaranya nyaris tak

didengar.” Yang di dalam pesannya kepada Kongres dengan judul A Special Massage of Protection the Consumer Interest.

Presiden J.F. Kennedy menjabarkan empat hak konsumen sebagai berikut:65 (1). the right to safety (hak atas keamanan)

(2). the right to choose (hak untuk memilih)

(3). the right tobe informed (hak mendapatkan informasi) (4). the right tobe heard (hak untuk didengar pendapatnya).

Selanjutnya dalam perkembangannya hak-hak tersebut dituangkan di dalam Piagam Hak Konsumen yang juga dikenal dengan Kennedy’s Hill of Right. Kemudian muncul beberapa hak konsumen selain itu, yaitu hak ganti rugi, hak pendidikan konsumen, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas lingkungan yang sehat. Selanjutnya, keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada pasal 3, 8, 19, 21 dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union- IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, hak untuk memperoleh ganti rugi, hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Setelah itu, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa nomor 39/248 tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi:

65

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 27.

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;

b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen; c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk

memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah memberikan kekuatan hukum bahwa konsumen mempunyai kedudukan yang sama dengan pelaku usaha, karena sebelum ditetapkannya undang-undang ini kedudukan konsumen lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.

Menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki hak sebagai berikut:

1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan yang dijanjikan;

3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan/atau jasa;

4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, serta tidak diskriminatif;

8. hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa tidak membahayakan konsumen penggunaannya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar,jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.66

Selain memperoleh hak tersebut, konsumen juga diwajibkan untuk: a. membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau;

b. pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; c. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

d. membayar sesuai denan nilai tukar yang disepakati;

e. mengikuti upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Itu dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya.

66

3.2.Pelaku Usaha

a. Pengertian Pelaku Usaha

Pernyataan tidak untuk diperdagangkan yang dinyatakan dalam definisi konsumen ini dibuat sejalan dengan dengan pengertian pelaku usaha yang diberikan oleh Undang-Undang, dikatakan bahwa :

Pelaku usaha adalah “setiap perseorangan atau badan usaha, baik

yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

UUPK tidak hanya mengatur hak-hak konsumen tetapi juga mengatur perilaku pelaku usaha sehingga secara tidak langsung juga akan turut mempengaruhi perilaku dunia usaha untuk melakukan persaingan yang lebih sehat dan jujur. Untuk mengatur perilaku pelaku usaha, maka Pasal 6 UUPK telah mengatur hak-hak dan kewajiban pelaku usaha yang diatur sebagai berikut :

a. Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Hak ini menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih

banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menuntut harga berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktek yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang serupa, maka para pihak perlu menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian hak ini adalah harga yang wajar.

c. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad baik;

d. Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

e. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

f. Menyangkut hak pelaku usaha pada butir b, c, d merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/ pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan pelaku usaha dapat dihindari.67

g. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

h. Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Udnang-Undang Pangan, dan undang-undang lainnya juga mengatur hak-hak pelaku usaha. Berkenaan dengan berbagai undang-undang tersebut, maka harus diingat bahwa UUPK merupakan payung bagi semua aturan lainnya berkenaan dengan perlindungan konsumen.68

Sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan pada uraian terdahulu, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban- kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUPK yaitu:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;

67

Ahmadi Miru Op.Cit., hal.51

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompenasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Perbuatan yang dilarang bagi para pelaku usaha diatur dalam Bab IV UUPK, yang terdiri dari 10 pasal, mulai dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 17. Jika diruntut, terlihat bahwa pada dasarnya deluruh larangan yang berlaku bagi pelaku usaha pabrikan juga dikenakan bagi pelaku usaha distributor, dan tidak semua larangan yang dikenakan bagi pelaku usaha distributor (dan/atau jaringannya) dikenakan bagi pelaku usaha pabrikan.69

Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.

Oleh karena itu dalam ketentuan Bab IV UUPK Pasal 8 sampai dengan 17 menyebutkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Pasal 8 UUPK mengatur ketentuan umum yang berlaku secara general bagi kegiatan usaha dari pelaku usaha pabrikan atau distributor di Indonesia. Dalam Pasal 8 UUPK, yang termasuk perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh pelaku usaha adalah :

1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

69

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

Dalam dokumen TINJAUAN PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA PE (Halaman 48-67)

Dokumen terkait