• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Hukum Antara Konsumen Dengan Pelaku Usaha Jasa

Dalam dokumen TINJAUAN PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA PE (Halaman 69-77)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Perjanjian

4.4. Hubungan Hukum Antara Konsumen Dengan Pelaku Usaha Jasa

Secara teoritik hubungan pelaku usaha dengan konsumen dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu: 78

a. Contractual liability

Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (privity of contract) antara pelaku usaha dengan konsumen dan tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Contractual Liability, yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian/ kontrak dari pelaku usaha (barang/ jasa), atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikannya.

b. Product Liability

Dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian (no privity of contract) antara pelaku usaha (produsen barang) dengan konsumen dan tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggungjawaban produk, yaitu tanggung jawab perdata secara langsung (strictliability) dari pelaku

78

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, 2007, hal.38.

usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan.

c. Profesional Liability

Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (privity of contract) antara pelaku usaha (pemberi jasa) dengan konsumen, tetapi prestasi pemberi jasa tersebut tidak terukur sehingga merupakan perjanjian ikhtiar (inspanningsverbintenis) dan tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggungjawaban profesional yang menggunakan tanggung jawab perdata secara langsung (strictliability) dari pelaku usaha (pemberi jasa) atas kerugian yang dialami konsumen akibat memanfaatkan jasa yang diberikan.

Dengan demikian, jika dalam hal terdapat hubungan perjanjian (privity of contract), dan prestasi memberi jasa tersebut terukur sehingga merupakan perjanjian hasil (resultaatsverbintenis), maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada profesional liability yang merupakan tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian/kontrak (contractual liability) dari pelaku usaha (pemberi jasa) atas kerugian yang dialami konsumen.

Konsumen sebagai pengguna yang terdiri dari orang pribadi (manusia alami), keluarga, kelompok masyarakat, dan masyarakat secara keseluruhan. Konsumen dalam hal ini pengguna jasa laundry, sebelum memberikan kesepakatan atau persetujuan kontrak atas pembelian atau pemanfaatan jasa laundry, pengguna jasa tersebut harus memperoleh hak-haknya dan dapat melakukan kewajiban-kewajibannya sehingga dalam mengkonsumsi dan/atau memanfaatkan jasa laundry dapat memberikan kenyamanan, keamanan dan keselamatan bagi konsumen tersebut atas jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha jasa laundry, mengingat kepentingan konsumen adalah juga merupakan kepentingan masyarakat luas.

4.4.1 Perjanjian untuk Melakukan Jasa-Jasa Tertentu

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak disebutkan adanya perjanjian laundry, tetapi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku ke III tentang perikatan Titel VIIA mengatur tentang perjanjian-perjanjian untuk melakukan pekerjaan oleh karena itu perjanjian usaha jasa laundry termasuk dalam perjanjian bernama yaitu perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pasal 1601 Bab VII Buku III KUHPerdata menyatakan bahwa :

Selain perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara jasa-jasa, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syarat- syarat yang diperjanjikan, dan jika itu tidak ada, oleh kebiasaan, maka adalah dua macam perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainnya dengan menerima upah; perjanjian perburuhan dan pemborongan pekerjaan. Menurut Subekti, berdasarkan pasal tersebut pembuat Undang-undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam yaitu :79

a. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu:

Adalah perjanjian dimana satu pihak menghendaki dari pihak lainnya dilakukan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali tergantung pada pihak lainnya. b. Perjanjian kerja / perburuhan

Adalah perjanjian dimana pihak yang satu, si buruh mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lainnya yaitu si majikan, untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah.

c. Perjanjian pemborongan pekerjaan

Adalah perjanjian dimana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan.

79

Dari ketiga jenis “Perjanjian untuk melakukan pekerjaan” tersebut,

KUH Perdata yang mengatur Perjanjian kerja/perburuhan dan Perjanjian pemborongan-pekerjaan, sedangkan Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu oleh undang-undang tidak diatur lebih lanjut.

Menurut Subekti, tidak diaturnya “perjanjian untuk melakukan jasa-jasa

tertentu” dalam Buku III KUH Perdata sebagai suatu bentuk “perjanjian khusus” adalah didasarkan alasan bahwa “perjanjian untuk melakukan

jasa-jasa tertentu” sudah diatur oleh ketentuan-ketentuan khusus untuk itu, yaitu dalam perjanjian pemberian perintah (kuasa) dan oleh syarat- syarat yang diperjanjikan oleh kebiasaan.80

Berdasarkan pendapat dari Subekti yakni perjanjian pemberian perintah (kuasa) masuk dalam salah satu ketentuan yang ada dalam perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu. Dalam Pasal 1792 KUHPerdata, disebutkan pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan (wewenang) kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dalam pasal tersebut yang

dimaksud “menyelenggarakan suatu urusan” adalah melakukan suatu “perbuatan hukum”, yaitu suatu perbuatan yang mempunyai akibat hukum.

Dalam prakteknya konsumen memberikan kuasa kepada pelaku usaha laundry untuk menyelenggarakan pekerjaan laundry pakaiannya tersebut. Orang yang telah diberikan kuasa (jurukuasa/kuasa) melakukan perbuatan hukum tersebut

“atas nama” orang yang memberikan kuasa atau juga dapat dikatakan bahwa ia “mewakili” si pemberi kuasa.

Posisi pelaku usaha laundry yaitu sebagai kuasa dan konsumen menduduki posisi pemberi kuasa.

80

Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa. Untuk melakukan perbuatan- perbuatan tertentu, diperlukan pemberian kuasa khusus yang menyebutkan perbuatan yang harus dilakukan. Pemberian suatu kuasa umum hanya memberi kewenangan untuk melakukan perbuatan- perbuatan pengurusan.81

Dilihat dari obyeknya, perjanjian melakukan jasa mirip dengan perjanjian lain yaitu perjanjian kerja dan perjanjian pemborongan bangunan, yaitu sama-sama menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan pihak lain dengan pembayaran tertentu. Perbedaannya satu dengan yang lainnya ialah bahwa pada perjanjian melakukan jasa tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang tugasnya secara mandiri. Perjanjian kerja dan pada pemborongan bangunan terdapat hubungan kedinasan atau kekuasaan antara buruh dengan majikan.

Bentuk perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu pada asasnya adalah bebas dalam arti untuk adanya perjanjian ini tidak terikat pada bentuk- bentuk tertentu, kecuali ada ketentuan-ketentuan khusus tersebut mengharuskan bentuk tertentu. Jadi perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu boleh diadakan dalam bentuk lisan atau tertulis.

Sedangkan menurut Vollmar dalam bukunya Pengantar Studi Hukum Perdata yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, perjanjian untuk melakukan sesuatu merupakan perjanjian dimana pihak yang satu mengikatkan diri untuk melakukan jasa-jasa tertentu untuk kepentingan pihak lainnya, tetapi tanpa di dalamnya ada suatu hubungan dinas atau hubungan dibawahkan. Orang yang mengikatkan dirinya untuk melakukan jasa-jasa tertentu didalam melaksanakan prestasi mempunyai sejumlah kebebasan, meskipun ia disitu akan memperhitungkan juga kehendak-kehendak dan harapan-harapan dari pihak untuk kepentingan mana dan atas perintah mana jasa-jasa itu

81

diperbuat. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu pada intinya yaitu mengenai prestasi kerja intelektual meskipun perjanjiannya juga mengenai kerja dengan tangan, misalnya pekerja yang mengantarkan koper-koper ke stasiun atau tukang potong rambut yang memotong rambut seseorang.82

Setelah menjabarkan dua pendapat sarjana tersebut dapat disimpulkan bahwa melihat dari praktek laundry ada pihak yang meminta agar bajunya dicuci dan dilain pihak bersedia mencuci pakaian yang dilimpahkan kepadanya maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang melandasi jasa laundry tersebut adalah perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu.

Perjanjian usaha jasa laundry termasuk macam perjanjian sub a, pihak konsumen menghendaki dari pelaku usaha melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai sesuatu tujuan yang ini merupakan hak dari konsumen, yang mana ia berkewajiban membayar upah atas pekerjaan yang sudah dilakukan oleh pelaku usaha. sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali terserah kepada pihak lawan itu. Biasanya pihak lawan ini adalah seorang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya ia juga sudah memasang tarif untuk jasanya itu. Upahnya biasanya dinamakan honorarium. 4.4.2 Hak, Kewajiban dan Tanggung Jawab Para Pihak dari Perjanjian

Melakukan Jasa-Jasa Tertentu

Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu diatur oleh ketentuan-ketentuan khusus untuk itu, yaitu dalam perjanjian pemberian perintah (kuasa) dan oleh syarat-syarat yang

82

H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata (Inleiding tot de Studie van het Nederlands Burgelijk Recht), diterjemahkan oleh I.S. Adiwimarta, CV. Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 339-340.

diperjanjikan oleh kebiasaan. KUHPerdata tidak memerinci hak-hak pemberi kuasa dan penerima kuasa, hanya mengenai kewajiban-kewajiban penerima kuasa dan pemberi kuasa (Pasal 1800-1803, Pasal 1805 dan Pasal 1807-1811 KUHPerdata). Namun demikian, dari ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban tersebut, mengandung pemahaman sebaliknya mengenai hak-hak pemberi kuasa dan penerima kuasa.

Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban para pihak. Kewajiban penerima kuasa disajikan berikut ini :83 a. Melaksanakan kuasanya dan bertanggung jawab atas segala biaya,

kerugian, dan bunga yang timbul dari tidak dilaksanakannya kuasa itu. b. Menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu

pemberi kuasa meninggal dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikan.

c. Bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya. d. Memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang apa yang telah

dilakukan, serta memberi perhitungan segala sesuatu yang diterimanya. e. Bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai

penggantinya dalam melaksanakan kuasanya:

i. bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya;

ii. bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu (Pasal 1800 s.d. Pasal 1803 KUH Perdata).

Hak penerima kuasa adalah menerima jasa dari pemberi kuasa. Hak pemberi kuasa adalah menerima hasil atau jasa dari penerima kuasa. Kewajiban pemberi kuasa adalah :

a. memenuhi perjanjian yang telah dibuat antara penerima kuasa dengan pemberi kuasa;

b. mengembalikan persekot dan biaya yang telah dikeluarkan penerima kuasa;

c. membayar upah kepada penerima kuasa;

83

d. memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian yang dideritanya sewaktu menjalankan kuasanya;

e. membayar bunga atas persekot yang telah dikeluarkan penerima kuasa terhitung mulai dikeluarkannya persekot tersebut (Pasal 1807 s.d. Pasal 1810 KUH Perdata).

4.4.3 Hapusnya Perjanjian dalam Perjanjian Melakukan Jasa Jasa Tertentu Pasal 1813 KUHPerdata memberikan bermacam-macam cara berakhirnya pemberian kuasa, yaitu :

1. Dengan ditariknya kembali kuasanya si jurukuasa;

2. Dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si juru kuasa;

3. Dengan meninggalnya, pengampuannya atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa;

4. Dengan perkawinan si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa. Pada sub d dari pasal 1813 KUH Perdata di atas, sejak dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 kedudukan seorang perempuan bersuami dinyatakan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dengan tanpa ijin atau didampingi oleh suaminya.

Dalam dokumen TINJAUAN PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA PE (Halaman 69-77)

Dokumen terkait