• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA PE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA PE"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Disusun Oleh :

HASUDUNGAN SIMANIHURUK E1A008111

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO

(2)
(3)
(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis naikkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Tinjauan Penerapan Klausula Baku Pada Perjanjian Usaha Jasa Laundry Central Purwokerto Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, oleh karena itu penulisan mengucapkan terima kasih kepada :

1) Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S, selaku pembimbing skripsi I yang telah banyak memberi nasihat serta menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini;

2) Bapak I Ketut Karmi Nurjaya, S.H., M.Hum, selaku pembimbing skripsi II yang telah banyak memberi nasihat serta menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini serta selaku pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;

3) Bapak Suyadi, S.H., M.Hum, selaku dosen penguji yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan masukan kepada Penulis;

4) Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;

5) Bapak Edi Waluyo, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;

(5)

v

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis;

7) Orang Tua penulis, yaitu Bapa B.Simanihuruk dan Mama R.Simanjuntak, kakak penulis yaitu Dame Martha, Novita Suryana, Yuni Artha dan seluruh keluarga besar penulis yang telah penuh cinta kasih memberikan banyak dukungan yang tiada terhingga kepada penulis baik secara materiil maupun moril;

8) Teman-teman seperjuangan FH Unsoed angkatan 2008, Rio, Friska, Maria, Chandra, Mario, Benny, Erni, Flora, Karol, Karisma, Gideon, Maxes, Anita, Bertha, Tiara serta teman-teman lainnya yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih untuk doa dan semangatnya selama bersama di kampus FH Unsoed;

9) Teman-teman penghuni kost “sletink doll”, Agung, Herlan, Kimpul, Mamat, Vani, Anwar, Bagus, Yislam, Mada, Bapak Bowo serta teman-teman lainnya yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih untuk doa dan semangatnya selama bersama di kost;

10)Maria Ulfa yang selalu ada di saat senang maupun susah serta tidak berhenti menyemangati dan mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan tugas akhir; 11)Momo “Geisha” yang selalu menginspirasi saya dalam pembuatan tugas

akhir;

12)Keluarga Besar PMK Fakultas Hukum Unsoed yang mengadakan doa bersama agar tugas akhir berjalan lancar, juga ALSA, JEC, UMAKA, yang sudah banyak memberi ilmu di kampus Unsoed;

13)Seluruh Pihak Laundry Central Purwokerto, atas bantuan dalam mencari data-data terkait.

14)Seluruh jajaran civitas akademik Fakultas Hukum Unsoed yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini;

(6)

vi

Akhir kata Penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Purwokerto, 26 Agustus 2013

(7)

vii ABSTRAK

Skripsi ini membahas secara normatif mengenai penerapan klausula baku dalam perjanjian usaha jasa laundry yang terdapat dalam nota pembayaran Laundry Central Purwokerto. Beberapa klausula baku tersebut merupakan klausula yang mengalihkan tanggungjawab dan resiko kerugian Laundry Central Purwokerto kepada pengguna jasa Laundry Central Purwokerto. Latar belakang penulisan skripsi ini berawal dari klausula baku yang oleh undang undang tidak diperkenankan untuk dicantumkan dalam perjanjian, tetapi dalam prakteknya klausula tersebut masih selalu digunakan dalam perjanjian yang banyak ditemukan dalam nota pembayaran Laundry Central Purwokerto.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan yang bersifat kualitatif dengan metode yuridis normatif. Pengumpulan data melalui penelitian terhadap sejumlah literatur, diinvetarisasi menurut relavansinya dengan pokok masalah yang diteliti dan kemudian dipelajari sebagai satu kesatuan. Teknik menyajian data disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis sebagai satu kesatuan yang utuh, yang didahului dengan pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan diteruskan dengan analisa data dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan.

Hasil penelitian yang mengacu pada ketentuan yang berlaku, penerapan klausula baku yang nampak dalam ketentuan yang tertuang dalam nota pembayaran yang dikeluarkan oleh Laundry Central Purwokerto belum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta dalam ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata. Oleh karena itu klausula tersebut batal demi hukum dan pihak Laundry Central Purwokerto wajib menyesuaikan klausula-klausula baku tersebut dengan aturan UUPK.

(8)

viii ABSTRACT

This thesis discuss in normative about the application of the standart contract in the laundry service agreement which contained in the payments note of Central Laundry Purwokerto. Some of those standart contract were a clause which redirect responsibility and loss risk of Central Laundry Purwokerto to the service users of Central Laundry Purwokerto. The background of this thesis writing starting from standart contract which by law are not allowed to be listed in the agreement,but in practice the clause was always used in the agreement are found in the payments note for new admissions Central Laundry.

Method of approach used in this study is a qualitative approach to regulations with normative juridical method. The collection of data through research literature,in groups according to their relevance to the subject matter which is examined and then studied as a whole.Technique of presentation of data presented in the form of narrative texts are arranged systematically as one unified whole,that is preceded by an introduction which contains background, research objectives, a review of the literature, research methods and data analysis and the results of the discussion and concludes with a summary.

The results of research that refers to the prevailing regulation, the application of raw klausula visible in the provisions stipulated in a payments note that is issued by Central Laundry Purwokerto has not been conducted in accordance with the provisions of the act of number 8 year 1999 on consumer protection as well as in the provision as regulated in the act of civil law. Hence clause is void for the sake of law and the Central Laundry Purwokerto shall be obliged to adjust the clauses raw with the rules of the constitution consumer protection.

(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ... 1

2. Perumusan Masalah ... 9

3. Tujuan Penelitian ... 10

4. Kegunaan Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Klausula Baku 1.1.Pengertian Klausula Baku ... 13

1.2.Macam-Macam Perjanjian Baku ... 16

1.3.Ciri-Ciri Klausula Baku ... 16

1.4.Akibat Hukum Perjanjian Yang Berbentuk Baku ... 17

1.5.Klausula Eksonerasi ... 19

(10)

x

2.2.Syarat Sahnya Perjanjian ... 26

2.3.Asas-asas Hukum Perjanjian ... 28

2.4.Jenis-Jenis Perjanjian ... 37

2.5.Hapusnya Perikatan ... 39

3. Perlindungan Konsumen 3.1.Konsumen ... 42

3.2.Pelaku Usaha ... 48

4. Jasa Laundry 4.1.Pengertian Jasa Laundry ... 54

4.2.Jenis Laundry ... 56

4.3.Penyelenggaraan Laundry ... 57

4.4.Hubungan Hukum Antara Konsumen Dengan Pelaku Usaha Jasa Laundry ... 58

BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan ... 66

2. Spesifikasi Penelitian ... 66

3. Lokasi Penelitian ... 66

4. Sumber Data ... 67

5. Metode Pengumpulan Data ... 67

6. Metode Penyajian Data ... 68

7. Metode Analisis Data ... 68

(11)

xi

2. Pembahasan ... 74 BAB V PENUTUP

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Jasa mencuci pakaian atau laundry sangat dibutuhkan di daerah perkotaan. Saat ini kegiatan mencuci dan setrika pakaian bisa menjadi hal yang sepele namun sangat merepotkan bagi sebagian orang yang tinggal di perkotaan dan juga bagi mahasiswa yang waktunya disibukkan oleh jadwal kuliah yang padat. Bergesernya gaya hidup dan semakin sulitnya mencari pembantu rumah tangga merupakan alasan orang untuk menggunakan jasa laundry. Adanya jasa laundry, akan membantu meringankan pekerjaan selain itu agar tenaga dan waktu lebih efisien.

Adanya perusahaan jasa laundry ini telah banyak membantu masyarakat untuk meringankan pekerjaan mereka dan biaya pun terjangkau menjadikan masyarakat bergantung pada perusahaan laundry. Masalah efisiensi waktu memang teratasi namun masalah pun juga muncul seperti konsumen mengalami kerugian akibat kelalaian pelaku usaha dalam proses penglaundryan. Bentuk kerugian yang seringkali dialami oleh konsumen adalah karena adanya cacat barang konsumen, hilangnya barang konsumen atau tertukarnya barang konsumen dengan barang konsumen lainnya.

(13)

nafkah. Sering kali kita temukan para pelaku usaha laundry dalam menjalankan usahanya menerapkan perjanjian baku.

Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya di bakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan1.

Perjanjian semacam itu cenderung secara substansi hanya menuangkan dan menonjolkan hak-hak yang ada pada pihak yang berkedudukan lebih kuat sedangkan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu karenanya posisinya yang lemah2.

Klausula baku biasanya dibuat oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat, yang dalam kenyataan biasa dipegang oleh pelaku usaha. Isi klausula baku seringkali merugikan pihak yang menerima klausula baku tersebut, yaitu pihak konsumen karena dibuat secara sepihak. Bila konsumen menolak klausula baku tersebut ia tidak akan mendapatkan barang ataupun jasa yang dibutuhkan, karena klausula baku serupa akan ditemuinya di tempat lain. Hal tersebut menyebabkan konsumen lebih sering setuju terhadap isi klausula baku walau memojokkan. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati3.

Ciri-ciri perjanjian baku adalah sebagai berikut4:

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat.;

2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu;

Rahman Hasanudin, Legal Drafting. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,2000, hal.134.

3

Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 6.

4

(14)

3. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut;

4. Bentuknya tertulis;

5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara masal atau individual.

Ciri-ciri perjanjian baku ini mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan tuntutan masyarakat. Ciri-ciri tersebut mencerminkan prinsip ekonomi dan kepastian hukum yang berlaku di negara-negara yang bersangkutan. Dengan adanya pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang diberikan oleh pengusaha.

Pelaku usaha laundry pada prakteknya tidak segan-segan mencantumkan klausula eksonerasi yang isinya mengurangi tanggung jawab akan tetapi sering kali membebaskan diri dari tanggung jawab atau pengalihan tanggung jawab yang tujuannya adalah mengarah kepada perolehan keuntungan sehingga terabaikan hak-hak konsumen.

Permasalahan ini menarik untuk ditelaah dan dibahas karena dalam praktek kehidupan sehari-hari, banyak konsumen terlibat dalam klausula baku tanpa disadarinya. Walaupun sadar, seringkali ia tidak berdaya mengatasi hambatan-hambatan dalam mempertahankan dan melindungi haknya karena ada kalanya pemenuhan kebutuhannya tidak dapat ditangguhkan.

(15)

menggunakan jasa laundry di suatu laundry yang secara tidak langsung dia telah mengikatkan dirinya dengan pelaku usaha laundry, dimana isi dari perjanjian tersebut tertuang di dalam nota pembayaran dimana isi perjanjian usaha jasa laundry tersebut memuat berbagai hak dan kewajiban para pihak serta risiko yang timbul.

Salah satu usaha jasa laundry yang ternama di Purwokerto, yaitu Laundry Central Purwokerto dalam nota pembayarannya mencantumkan secara tertulis klausula baku yang isinya antara lain:

a. Jika terjadi pertikaian sehubungan jumlah pakaian atau barang-barang yang dalam tanggung jawab kami, maka perhitungan seperti tercantum pada bukti penyerahan kami adalah benar;

b. Kami tidak bertanggung jawab atas menyusutnya pakaian, lunturnya warna atau hilangnya benda-benda berharga yang tertinggal bersama pakaian/barang;

c. Keluhan mengenai kerusakan hanya bisa diterima pada saat pengambilan barang/cucian;

d. Tanggung jawab kami terhadap kehilangan maupun kerusakan pakaian/barang terbatas sampai 5 kali biaya pencucian pakaian/barang yang bersangkutan;

(16)

f. Resiko yang dikecualikan dan tanggung jawab kami adalah disebabkan FORCE MAJURE seperti : kebakaran, huru-hara, banjir, gempa bumi dan lain-lain;

g. Pengambilan cucian harus disertai nota asli.

Sebelum menyinggung klausula baku yang ada dari 7 (tujuh) point yang tercantum dalam nota pembayaran tersebut, perlu dijelaskan bagaimana hubungan hukum yang terjadi. Dalam hal ini, hubungan hukum yang terjadi antara pelaku usaha jasa Laundry Central Purwokerto dengan konsumen adalah perjanjian untuk melakukan jasa-jasa yang subjek hukumnya yaitu pelaku usaha dan konsumen sedangkan objeknya yaitu jasa. Perjanjian ini dapat dilihat sebagai suatu perjanjian dimana pihak yang satu (Pelaku Usaha Jasa Laundry Central Purwokerto) menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan dari pihak lawannya (konsumen) yang bersedia membayar upah atas jasa yang diberikan dalam jangka waktu tertentu.

(17)
(18)

Pelaku usaha dalam mencantumkan klausula baku pada saat menjalankan usahanya seharusnya memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum positif dan norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia.

Klausula baku menurut Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Mengingat pengertian klausula baku di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen maka dapat dinyatakan bahwa klausula baku merupakan bagian dari hukum perlindungan konsumen dan secara umum dapat dikatakan suatu perjanjian.

Menurut Janus Sidabalok dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai berikut:5

Perlindungan konsumen adalah perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.

Berdasarkan mengenai paparan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perlindungan konsumen adalah suatu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dengan demikian dapat diartikan bahwa perlindungan konsumen mengandung aspek perlindungan hukum. Adapun materi yang mendapat perlindungan bukan hanya fisik investor selaku konsumen produk dan jasa investasi, melainkan juga pada hak-haknya yang bersifat abstrak. Hak-hak konsumen ini merupakan suatu bentuk cerminan

5

(19)

kepentingan-kepentingan konsumen yang harus dilindungi dan dipenuhi dengan baik oleh para pelaku usaha. Oleh karena itu, jika berbicara tentang perlindungan konsumen berarti mempersoalkan jaminan atau kepastian tentang terpenuhinya hak-hak konsumen. Perlindungan konsumen itu sendiri sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum kepada konsumen sekaligus haknya.6

Dilihat dari cakupan materinya, yang mempersoalkan masalah standar kontrak (klausula baku) dan tanggung jawab produk, maka hukum perlindungan konsumen masuk ke dalam hukum privat karena kedua masalah tersebut mempersoalkan hak-hak privat (hak keperdataan) dari konsumen yang timbul sehubungan dengan memperoleh dan memakai produk. Akan tetapi, dilihat dari konteks hidup bernegara yang berwawasan pembangunan yang menuju kesejahteraan bersama (welfare state), maka norma-norma hukum publik pun ikut dipertahankan sebab bagaimanapun juga seorang konsumen yang juga adalah warga negara, merupakan sumber daya pembangunan yang perlu dijaga kualitas hidupnya sehingga mampu melanjutkan kesinambungan pembangunan suatu negara, Oleh karena itu, hukum perlindungan konsumen juga masuk ke dalam hukum publik7.

Sebagai hak keperdataan, konsumen harus memperjuangkan sendiri haknya melalui saluran-saluran hukum dan institusi hukum perdata yang disediakan oleh negara. Jelasnya jika konsumen dilanggar haknya dan karena itu menimbulkan kerugian baginya, konsumen itu dapat mengajukan tuntutan (gugatan) secara perdata untuk mempertahankan atau mendapatkan kembali haknya itu. Tuntutan (gugatan) diajukan ke pengadilan menurut ketentuan hukum yang berlaku. Misalnya, seorang konsumen menderita kerugian setelah memakai/mengonsumsi suatu produk. Karena itu, ia berhak mendapatkan penggantian kerugian. Persoalan untuk mendapatkan kerugian adalah masalah hukum perdata dan pemenuhannya ditempuh melalui peradilan perdata. Ini erat kaitannya dengan upaya atau cara yang ditempuh konsumen untuk mendapatkan produk kebutuhannya. Umumnya produk sampai ke tangan konsumen melalui suatu peristiwa hukum yang disebut perjanjian (kontrak). Karena itulah, hukum perlindungan konsumen dapat dimasukkan ke dalam kelompok hukum perdata.8

6

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2004, hal.19.

7

Shidarta, Op.Cit., hal.55.

8

(20)

Sesuai uraian diatas, maka penelitian mengenai penerapan klausula baku pada perjanjian usaha jasa Laundry Central Purwokerto berdasar kepada hukum perlindungan konsumen yang tergolong dalam kelompok hukum perdata khususnya mengenai perikatan yakni mengatur aspek-aspek kontraktual antara konsumen dan pelaku usaha.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang diatur di Indonesia tampak muncul sedikit harapan dalam terwujudnya kepastian dan keadilan dalam hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha pada penerapan klausula baku Laundry, dan jika ada kerugian yang timbul karena kelalaian oleh pelaku usaha maka harus diminta pertanggungjawabannya kepada pihak yang salah dan juga memberikan sanksi yang tegas menurut hukum.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan skripsi dengan judul “Tinjauan Penerapan Klausula Baku Pada Perjanjian Usaha Jasa Laundry Central Purwokerto berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”, dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang

lebih jelas atas permasalahan dalam hubungan hukum yang ada antara pelaku usaha laundry dengan konsumen sebagai pemanfaat jasa laundry yang akan dibahas dalam penelitian ini.

2. Rumusan Masalah

(21)

Bagaimana penerapan klausula baku pada perjanjian usaha jasa laundry Central Purwokerto berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ?

3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan klausula baku pada perjanjian usaha jasa laundry Central Purwokerto berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

4. Kegunaan Penelitian 4.1 Kegunaan Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya di bidang perlindungan konsumen.

4.2 Kegunaan Praktis

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Klausula Baku

Manusia dalam hidup bermasyarakat membutuhkan manusia yang lain untuk memenuhi kepentingannya. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa dalam memenuhi kepentingannya, manusia menghadapi bahaya, dengan hidup bermasyarakat diharapkan akan lebih kuat kedudukannya dalam menghadapi bahaya terhadap kepentingannya dan akan lebih terjamin dalam kesejahteraannya.

Manusia mengharapkan kepentingan-kepentingannya dilindungi dari konflik, gangguan, bahaya yang mengancam, serta kepentingan dirinya dalam kehidupan bersama. Dalam hidup bermasyarakat ada interaksi atau hubungan satu sama lain, lalu mengingat banyaknya kepentingan dapat dimungkinkan terjadi konflik. Konflik dapat terjadi apabila pelaksanaan kepentingan seseorang telah merugikan kepentingan orang lain sedangkan dalam posisi tersebut manusia membutuhkan rasa aman dalam melaksanakan kepentingannya agar dapat melaksanakannya dengan tenang.

(23)

contract). Kenyataannya bahwa dalam perjanjian selalu ada kebebasan berkontrak bagi para pihak yang terlibat, maka dengan perjanjian baku ini, asas kebebasan berkontrak telah digerogoti. Konsumen hanya tinggal menerima atau menolak (take it or leave it) atas perjanjian yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Pelaku usaha merasa secara sosial, ekonomis, psikologis, dan politis berada di atas konsumen. Walaupun konsumen pergi ke pelaku usaha lain, ia tetap saja akan menghadapi kondisi yang sama ditawari perjanjian yang dibakukan.

Perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif). Namun, ada kalanya

“kedudukan” dari kedua belah pihak dalam negosiasi tidak seimbang, yang pada

akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi

salah satu pihak. Dalam praktek dunia usaha juga menunjukkan bahwa

“keuntungan” kedudukan tersebut sering terjadi penyalahgunaan dengan

pembuatan perjanjian baku dan/atau klausula baku dalam setiap dokumen atau

perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang “lebih dominan” dari pihak

lainnya. Dikatakan bersifat “baku” karena, baik perjanjian maupun klausula

(24)

tidak adanya kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut, atau atas klausula baku yang termuat dalam perjanjian yang ada.

Banyak terdapat penyebutan terhadap perjanjian baku dalam bahasa asing diantaranya yaitu Standard Contract, Standard Vourrwarden, Standard Konditionen, ataupun Standarised Contract dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenal adanya klausula baku.

1.1.Pengertian Klausula Baku

“Klausula” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu ketentuan

tersendiri dari suatu perjanjian, yang salah satu pokok atau pasalnya diperluas atau dibatasi; yang memperluas atau membatasi. Sedangkan “Baku” yaitu standar atau ukuran tertentu yang menjadi patokan. Menurut kamus Wikipedia

Indonesia “Klausula Baku” adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat

yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.

(25)

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen merasakan perlunya pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku dan/atau pencatuman klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha.

Perjanjian standar (baku), sebenarnya dikenal sejak jaman Yunani Kuno. Plato (423-347 SM), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual, tanpa memperhatikan perbedaan mutu makanan tersebut. Dalam perkembangannya, tentu saja penentuan secara sepihak oleh produsen/penyalur produk (penjual), tidak lagi sekedar masalah harga, tetapi mencakup syarat-syarat yang lebih detail. Selain itu, bidang-bidang yang diatur dengan perjanjian standar pun makin bertambah luas. Perjanjian standar tidak selamanya berkonotasi negatif. Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan.9

Tentu saja fenomena demikian tidak selamanya berkonotasi negatif. Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, bertolak dari tujuan itu, Mariam Badrulzaman lalu mendefinisikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam formulir.10

Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa perjanjian baku memiliki karakter sebagai berikut: 11

a. Ditentukan sepihak; b. Berbentuk formulir;

c. Mengandung syarat eksonerasi, yaitu syarat dari pihak kreditur untuk mengelakkan dirinya dari tanggung jawab yang seharusnya menjadi kewajibannya;

d. Dicetak dengan huruf kecil;

e. Disodorkan kepada konsumen sebagai “take it or leave it contract’s”.

Menurut Sutan Remy Sjahdeni, yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah

(26)

dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.12

Abdulkadir Muhammad mendefinisikan perjanjian baku adalah perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang distandarisasikan atau dibakukan meliputi model, rumusan, dan ukuran.13

Dalam hukum Indonesia peraturan yang secara tegas menyebutkan definisi dari perjanjian baku memang tidak ditemukan, namun dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang pencantuman klausula baku dalam setiap perjanjian sehingga dari undang-undang tersebut dapat diketahui pengertian dari klausula baku.

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memberi definisi :

Klasula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Pengaturan mengenai pencantuman klausula baku dimaksudkan oleh undang-undang sebagai usaha untuk menempatkan kedudukan konsumen secara setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

12

Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia,Jakarta, 1993, hal.66.

13

(27)

1.2.Macam-Macam Perjanjian Baku

Klausula baku dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu :14 1.2.1. Perjanjian Baku Sepihak

Merupakan perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai kedudukan ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua belah pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian kerja kolektif.

1.2.2. Perjanjian Baku yang Ditetapkan oleh Pemerintah

Merupakan perjanjian yang mempunyai objek berupa hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria, misalnya Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan.

1.2.3. Perjanjian Baku yang Ditentukan di Lingkungan Notaris atau Advokat Merupakan perjanjian yang sudah sejak semula disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan Notaris atau Advokat yang bersangkutan.

1.3.Ciri-Ciri Klausula Baku

Ciri-ciri klausula baku adalah sebagai berikut :15

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat dari debitur;

2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian tersebut; 3. Terdorong oleh kebutuhan, debitur terpaksa menerima perjanjian

tersebut;

4. Bentuknya tertulis;

5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.

Ciri-ciri tersebut mencermikan prinsip ekonomi dan kepastian hukum yang berlaku di negara-negara yang bersangkutan. Prinsip ekonomi dan kepastian hukum dalam bentuk perjanjian atau klausula baku tersebut, dilihat dari kepentingan pengusaha, bukan dari kepentingan konsumen. Dengan pembakuan syarat-syarat perjanjian, maka kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang ditawarkan oleh pengusaha.16

14

Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal.50

15

Ibid., hal.52.

(28)

1.4.Akibat Hukum Perjanjian Yang Berbentuk Baku

Pengaturan mengenai pencantuman klausula baku terdapat dalam pasal 1 ayat (10) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pengaturan mengenai pencantuman klausula baku tersebut dimaksudkan oleh undang-undang sebagai usaha untuk menempatkan kedudukan konsumen secara setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

Pencantuman klausula baku dalam hal hubungan pelaku usaha dan konsumen harus memperhatikan ketentuan pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

(29)

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan

dengan Undang-undang ini.

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen di atas, larangan penggunaan standar kontrak dikaitkan dengan dua hal, yaitu isi dan bentuk penulisannya. Dari segi isinya, dilarang menggunakan standar kontrak yang memuat klausula-klausula yang tidak adil, sedangkan dari segi bentuk penulisannya, klausula-klausula itu harus dituliskan dengan sederhana, jelas, dan terang sehingga dapat dibaca dan dimengerti dengan baik oleh konsumen.17

Setiap perjanjian dalam hal hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen, yang mencantumkan klausula baku di dalamnya, wajib memperhatikan ketentuan dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut.

Konsekuensi terhadap pelanggaran pasal 18 adalah batal demi hukum terhadap perjanjiannya, kecuali apabila dicantumkan klausula severability of provisions, maka yang batal demi hukum hanyalah klausula yang bertentangan dengan pasal 18 saja. Sedangkan terhadap perjanjian lain di luar hubungan pelaku usaha dan konsumen, pencantuman klausula baku adalah sah-sah saja.18

Klausula severability of provisions yaitu persyaratan dalam kontrak yang menyatakan bahwa setiap pasal dari kontrak merupakan pasal-pasal yang berdiri sendiri (independent), sehingga seandainya pengadilan membatalkan salah satu persyaratan kontrak, maka persyaratan-persyaratan yang lain akan tetap dianggap sah. Klausula ini menentukan bahwa apabila satu atau beberapa

17

Janus Sidabalok, Op. Cit., hal..27.

18

(30)

pasal di dalam perjanjian ini ternyata tidak sah atau tidak valid menurut peraturan perundang-undangan, maka klausul yang lain (yang sah) dapat tetap dijalankan atau berlaku seolah-olah klausula yang tidak valid tersebut tidak pernah ada.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka apabila suatu perjanjian yang mencantumkan klausula baku di dalamnya telah dibuat dengan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan memenuhi pula hal-hal dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa suatu perjanjian yang mencantumkan klausula baku di dalamnya adalah sah sepanjang terpenuhinya unsur formil dan materiil dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut.

1.5. Klausula Eksonerasi

Klausula baku tidak sama dengan klausula eksonerasi. Melihat kepada ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UUPK, dapat diperoleh jawaban sementara bahwa kedua isitilah itu berbeda. Artinya, klausula baku adalah klausula yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada eksonerasi. Pasal 18 Ayat (2) mempertegas pengertian tersebut, dengan mengatakan bahwa klausula baku harus diletakkan pada tempat yang mudah terlihat dan dapat jelas dibaca dan mudah dimengerti. Jika hal-hal yang disebutkan dalam Ayat (1) dan (2) itu tidak dipenuhi, maka klausula baku itu menjadi batal demi hukum. Di sini dinyatakan, yang batal demi hukum itu adalah klausula baku tersebut, bukan perjanjiannya secara keseluruhan. Tentu saja hal ini harus dicermati karena jika klausula baku itu terkait dengan unsur esensialia yang tunduk pada ketentuan hukum yang bersifat memaksa, maka sangat mungkin keberadaannya akan membatalkan seluruh perjanjian.19

19

(31)

Menurut Prof. Miriam Darus Badrulzaman klausula eksonerasi diartikan sebagai klausula yang berisi pembatasan pertanggungjawaban dari kreditur.20

Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa klausula eksonerasi adalah syarat khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Klausula eksonerasi dapat berasal dari rumusan undang-undang.21

Menurut DR. Sutan Remy Sjahdeni, S.H, klausula eksonerasi / klausula eksemsi adalah klausula yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggungjawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian tersebut.22 Klausul-klausul eksonerasi ini dapat muncul dalam berbagai bentuk misalnya pembebasan sama sekali dari tanggung jawab yang harus dipikul oleh pihaknya apabila terjadi ingkar janji (wanprestasi), pembatasan jumlah ganti rugi bagi orang yang dirugikan untuk dapat mengajukan gugatan atau ganti rugi.23

Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik. Eksonerasi terhadap kerugian yang timbul karena kesengajaan pengusaha adalah bertentangan dengan kesusilaan. Oleh karena itu pengadilan dapat mengesampingkan klausula eksonerasi tersebut.24

Dalam suatu perjanjian dapat saja dirumuskan klausula eksonerasi karena keadaan memaksa, karena perbuatan para pihak dalam perjanjian. Perbuatan para pihak tersebut dapat mengenai kepentingan pihak kedua

20

Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal.52

21

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal.20.

22

Sutan Remy Sjahdeni, Op. Cit., hal.75.

23

Ibid. hal.77.

24

(32)

dan pihak ketiga. Dengan demikian ada tiga kemungkinan eksonerasi yang dapat dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian.25

Dalam suatu perjanjian dapat saja dirumuskan klausula eksonerasi karena keadaan memaksa, karena perbuatan para pihak dalam perjanjian. Perbuatan para pihak tersebut dapat mengenai kepentingan pihak kedua dan pihak ketiga. Dengan demikian ada tiga kemungkinan eksonerasi yang dapat dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian:26

1. Eksonerasi karena keadaan memaksa (force majeur)

Kerugian yang timbul karena keadaan memaksa bukan tanggung jawab para pihak, tetapi dalam syarat-syarat perjanjian dapat dibebankan kepada konsumen sehingga pengusaha dibebaskan dari beban tanggung jawab. Misal dalam perjanjian jual beli, barang objek perjanjiannya musnah karena terbakar. Dikarenakan kebakaran bukan kesalahan para pihak, tetapi dalam hal ini pembeli diwajibkan melunasi harga yang belum dibayar lunas berdasarkan klausula eksonerasi.

2. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak kedua dalam perjanjian

Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha. Hal ini dapat terjadi karena tidak baik atau lalai melaksanakan prestasi terhadap pihak kedua. Tetapi dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian dibebankan kepada konsumen, dan pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab. Misalnya dalam perjanjian pengangkutan ditentukan bahwa bawaan yang rusak atau hilang bukan merupakan tanggung jawab pembeli.

3. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak ketiga Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha, namun dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian yang timbul dibebankan kepada pihak kedua, yang ternyata menjadi beban pihak ketiga. Dalam hal ini pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab, termasuk juga terhadap tuntutan pihak ketiga.

2. Perjanjian

Perikatan menunjukkan suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua atau lebih orang atau pihak, dimana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut. Perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan sehari‐hari. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat ditemui dalam ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata (KUHP)

25

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal.22-23.

(33)

yang menyatakan “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang‐undang”.27

Adapun sumber-sumber perikatan yakni perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dariundang-undang karena suatu perbuatan orang.28

2.1. Hubungan Antara Perikatan dan Perjanjian

Menurut Prof. Subekti, S.H., yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.29

Dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut. Dengan demikian, rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya merupakan pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur).

Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan.30 Perjanjian adalah sumber perikatan. Pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak (dimana hanya satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang

27

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.12.

28

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004, hal.1

29 Ibid.

30

(34)

bertimbal balik (dengan kedua belah pihak saling berprestasi). Dengan demikian, dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan dengan kewajiban berprestasi yang saling bertimbal balik. Debitur pada satu sisi menjadi kreditur pada sisi yang lain pada saat bersamaan.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang terpenting. Dari apa yang diterangkan dapat dilihat bahwa perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, maksudnya adalah bahwa perikatan bersifat tidak kasat mata, yang mana hanya dapat dibayangkan dalam alam pikiran kita. Sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa, yang mana dapat dilihat atau dibacanya suatu perjanjian tersebut ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya.31

J. Satrio, mengemukakan pendapatnya tentang pengertian perjanjian sebagai berikut:32

Perjanjian adalah peristiwa yang menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak. Atau dengan perkataan lain, perjanjian berisi perikatan.

Adapun pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan sebagai berikut:

Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Menurut R. Setiawan, definisi tersebut kurang lengkap, karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja dan juga sangat luas karena dengan

31

Subekti, Op.Cit., hal.2

32

(35)

dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Beliau memberikan definisi tersebut :33

1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;

2. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUH Perdata.

Sehingga menurut beliau perumusannya menjadi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Hukum Perdata tersebut kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi, adapun kelemahan tersebut dapatlah diperinci, sebagai berikut :34

1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja.

Disini dapat diketahui dari rumusan satu orang atau lebih terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja. Sedangkan maksud dari perjanjian itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga Nampak kekurangannya dimana setidak-tidaknya perlu ada

rumusan “saling mengikatkan diri”. Jadi jelas nampak konsensus

atau kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus atau kesepakatan. 2. Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan:

a. Mengurus kepentingan orang lain. b. Perbuatan melawan hukum.

Dari kedua hal tersebut di atas merupakan perbuatan yang tidak mengandung adanya konsensus atau tanpa adanya kehendak untuk menimbulkan akibat hukum. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat

33

R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1994, hal.49.

34

(36)

luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut adalah perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.

Pendapat yang senada juga diungkapkan oleh para sarjana hukum perdata, pada umumnya menganggap definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata itu tidak lengkap dan terlalu luas.

Menurut Abdul Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 KUH Perdata sebagai berikut:

Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.35

Selain itu juga Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan pengertian perjanjian yaitu:

Definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di KUHPerdata adalah tidak lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal janji kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga.36

Berdasarkan beberapa pengertian perjanjian diatas, maka ada persamaan pendapat diantara para sarjana atas unsur-unsur yang ada dalam perjanjian yaitu:

a. Adanya dua pihak atau lebih;

b. Adanya kata sepakat diantara para pihak;

c. Adanya akibat hukum yang timbul dari perjanjian yang berupa hak dan kewajiban.

35

Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit., hal.78.

36

(37)

2.2. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi:

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.37

Mengenai syarat sahnya perjanjian, akan dijabarkan lebih lanjut yakni: 2.2.1.Kata Sepakat

Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah penyesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.38

Secara formil suatu pernyataan kesepakatan para pihak dalam suatu perjanjian tertulis cukup dengan pembubuhan tanda tangan pada perjanjian tersebut.39

Selain itu juga harus diperhatikan pasal 1321 Kitab Undang-undang Hukum Perdata:

37

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis(BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal.. 161.

38

Ibid., hal. 162.

39

(38)

“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena

kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang barang yang menjadi objek perjanjian. Paksaan di sini, adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa bukan paksaan fisik. Sedangkan penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan palsu disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawan persetujuannya.40

2.2.2. Kecakapan

Menurut ketentuan Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata : Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :

a. orang-orang yang belum dewasa;

b. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

c. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

2.2.3. Hal Tertentu

Mengenai hal tertentu yang harus ada di dalam suatu perjanjian, diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1333 yang berbunyi :

“ Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang

yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi

40

(39)

halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”

Apabila suatu perjanjian tanpa adanya “suatu hal tertentu“ maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.

2.2.4. Sebab yang Halal

Menurut ketentuan Pasal 1335 Kitab Undang-undang Hukum Perdata:

“ Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena

suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai

kekuatan.”

Yang dimaksudkan dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. Isi dari perjanjian tersebut harus halal, tidak bertentangan dengan undang-undang, norma kesusilaan atau ketertiban umum.

2.3. Asas-asas Hukum Perjanjian

Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat para pihak, oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata diberikan berbagai asas-asas umum hukum perjanjian yaitu:

2.3.1.Asas Personalia / Kepribadian

(40)

“ Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama

sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk

dirinya sendiri.”

Dari rumusan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.

Selain menunjuk pada asas personalia, lebih jauh ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga menunjuk pada kewenangan bertindak dari seseorang yang membuat atau mengadakan perjanjian. Dalam hal orang tersebut melakukan tindakan hukum dalam kapasitas yang berbeda, yaitu untuk kepentingan dirinya sendiri,maka kewenangannya harus disertai dengan bukti-bukti yang menunjukan bahwa memang orang-perorangan tersebut tidak sedang membuat dan/atau menyetujui dilakukannya suatu perjanjian untuk dirinya sendiri.41

Salah satu pengecualian dari asas kepribadian, tercantum dalam Pasal 1317 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi:

“Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu perjanjian guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukan kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga

tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.”

Lebih lanjut mengenai pasal 1317 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut, ditindak lanjuti dengan Pasal 1340 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi:

41

(41)

“Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang

membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat

karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317.”

2.3.2.Asas Konsensualitas

Asas konsensualitas memperlihatkan bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat antara dua orang atau lebih orang telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.42

Walaupun demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitur, maka diadakanlah bentuk-bentuk formalitas atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan lebih jauh mengenai formalitas kesepakatan yang harus dipenuhi, kecuali dalam berbagai ketentuan khusus. Sebagai pengecualian diperkenalkanlah perjanjian formil dan perjanjian riil, yang dengan kesepakatan saja belum mengikat para pihak yang berjanji.

Dalam perjanjian formil, sesungguhnya formalitas tersebut diperlukan karena beberapa hal pokok, yaitu meliputi :43

1. Sifat dari kebendaan yang dialihkan, yang menurut ketentuan Pasal 613 dan Pasal 616 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, penyerahan hak milik atas kebendaan tersebut harus dilakukan dalam bentuk akta otentik atau akta di bawah tangan (tertulis).

42

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 35.

43

(42)

2. Sifat dari isi perjanjian itu sendiri, yang harus diketahui oleh umum, melalui mekanisme pengumuman kepada khalayak umum atau masyarakat luas. Jenis perjanjian ini pada umumnya dapat ditemukan dalam perjanjian yang bertujuan untuk mendirikan suatu badan hukum. 3. Hal lain yang menjadi perhatian adalah yang berhubungan dengan

penjamin kebendaan. Hal ini dikarenakan penjamin merupakan tindakan yang masuk kedalam perbuatan hukum yang menerbitkan hubungan hukum kebendaan baru yang memiliki sifat kebendaan pula, perjanjian pemberiannya harus dibuat secara tertulis dalam pengertian memenuhi persyaratan formalitas tertentu.

Contoh perjanjian formil ini antara lain adalah perjanjian perdamaian antara para pihak yang bersengketa, harus dipertegas kembali dengan bentuk tertulis. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 1851 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa perdamaian dianggap sah apabila dibuat secara tertulis.

Dalam perjanjian riil, suatu tindakan atau perbuatan disyaratkan karena sifat dari perjanjian itu sendiri yang masih memerlukan tindak lanjut dari salah satu pihak dalam perjanjian agar syarat kesepakatan bagi lahirnya perjanjian tersebut menjadi ada demi hukum.44

(43)

2.3.3.Asas Kebebasan Berkontrak dan Perjanjian Berlaku sebagai Undang-undang (Pacta Sunt Servanda)

Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang

bagi mereka yang membuatnya.”

Kebebasan berkontrak menjadi paradigma baru hukum kontrak yang sangat diagungkan para filsuf, ahli hukum, dan pengadilan. Kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda dalam kenyataannya dapat menimbulkan ketidakadilan. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. Akibatnya, pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah.46

Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Adapun asas kebebasan berkontrak ini meliputi :47

1. Kebebasan setiap orang untuk memutuskan apakah ia membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian;

2. Kebebasan setiap orang untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian;

3. Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk isi perjanjian; 4. Kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.

Suatu perjanjian yang dibuat juga tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 1338 ayat 2 yang merupakan

konsekuensi logis daripada “janji yang mengikat”. Para pihak tidak dapat

menarik diri daripada akibat-akibat perjanjian yang dibuatnya secara sepihak. Secara sepihak disini berarti tanpa sepakat dari pihak lainnya.

46

Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 1-2.

47

(44)

Secara a contrario, bahwa perjanjian dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak.48

2.3.4.Asas Itikad Baik

Setiap kegiatan masyarakat terutama bisnis selalu didahului dengan pembuatan perjanjian. Setelah isinya disepakati, maka perjanjian ini akan mengikat para pihak. Artinya, para pihak harus melaksanakan apa yang telah mereka sepakati dan tuangkan dalam perjanjian itu sebab kesepakatan di antara mereka itu menimbulkan hubungan hukum di antara keduanya. Namun demikian, perjanjian yang telah disepakati oleh dan mengikat para pihak itu seringkali menimbulkan permasalahan dan hambatan di kemudian hari. Oleh karena itu, sangat penting bagi para pihak untuk mengerti dan memahami substansi atau isi perjanjian sebelum menyetujui atau menyepakati perjanjian.

Asas itikad baik dalam suatu perjanjian terdapat dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Akan tetapi dalam pasal tersebut tidak

disebutkan secara ekplisit apa yang dimaksud dengan “itikad baik”.

Akibatnya orang akan menemui kesulitan dalam menafsirkan dari itikad baik itu sendiri. Karena itikad baik merupakan suatu pengertian yang abstrak yang berhubungan dengan apa yang ada dalam alam pikiran manusia. Sampai sekarang tidak ada makna tunggal itikad baik dalam kontrak, sehingga masih terjadi perdebatan mengenai bagaimana

48

(45)

sebenarnya makna dari itikad baik itu. Itikad baik para pihak, haruslah mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang ditengah masyarakat, sebab itikad baik merupakan bagian dari masyarakat.

Penerapan asas itikad baik dalam kontrak bisnis, haruslah sangat diperhatikan terutama pada saat melakukan perjanjian pra kontrak atau negosiasi, karena itikad baik baru diakui pada pada saat perjanjian sudah memenuhi syarat syahnya perjanjian atau setelah negosiasi dilakukan. Terhadap kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pemberlakukan asas itikad baik ini, Suharnoko menyebutkan bahwa secara implisit Undang undang Perlindungan Konsumen sudah mengakui bahwa itikad baik sudah harus ada sebelum ditandatangani perjanjian, sehingga janji-janji pra kontrak dapat diminta pertanggungjawaban berupa ganti rugi, apabila janji tersebut diingkari.49

Dalam common law Inggris dikenal dua makna itikad baik yang berbeda, yakni good faith performance dan good faith purchase. Good faith performance berkaitan dengan kepatutan (yang objektif), atau

reasonableness pelaksanaan kontrak. Di dalam makna yang demikian itu, itikad baik digunakan sebagai implide term, yang digunakan dalam hukum Romawi, mensyaratkan adanya kerjasama diantara para pihak untuk tidak menimbulkan kerugian dari reasonableness expectation. Good faith purchase, di lain pihak, berkaitan dengan a

contracting party’s subjective state of mind; apakah seseorang membeli dengan itikad baik sepenuhnya digantungkan pada ketidaktauannya, kecurigaan, dan pemberitahuan yang berkaitan dengan kontrak.50

Martijn Hasselin menyebutkan semua itikad baik yang bersifat objektif mengacu kepada konsep normatif. Sesungguhnya itikad baik seringkali dilihat sebagai suatu norma tertinggi dari hukum kontrak, hukum perikatan, bahkan hukum perdata. Itikad baik seringpula dikatakan sebagai berhubungan dengan standar moral. Di satu sisi, dikatakan menjadi suatu standar moral itu sendiri, yakni suatu prinsip legal ethical, sehingga itikad baik bermakna honesty. Dengan demikian, pada dasarnya itikad baik bermakna bahwa satu pihak harus memperhatikan kepentingan pihak lainnya di dalam kontrak. Di sisi

49

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta 2004, Hal. 5.

50

(46)

lain, itikad baik dapat dikatakan sebagai pintu masuk hukum melalui nilai moral (moral values). Dengan keadaan yang demikian itu menjadikan itikad baik sebagai norma terbuka (open norm), yakni suatu norma yang isinya tidak dapat ditetapkan secara abstrak, tetapi ditetapkan melalui kongkretisasi kasus demi kasus dengan memperhatikan kondisi yang ada.51

Kejujuran dalam pelaksanaan persetujuan harus diperbedakan daripada kejujuran pada waktu mulai berlakunya perhubungan hukum dan kejujuran dalam pelaksanaan perjanjian. Dalam kejujuran pada waktu mulai berlakunya suatu perhubungan hukum berupa pengiraan dalam hati sanubari terhadap syarat untuk memperoleh hak milik barang telah dipenuhi. Sedangkan kejujuran dalam pelaksanaan perjanjian terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi titik berat dari kejujuran ini terletak pada tindakan yang dilakukan kedua belah pihak dalam hal melaksanakan janji. Dalam melaksanakan tindakan inilah kejujuran harus berjalan dalam hari sanubari seorang manusia berupa selalu mengingat, bahwa manusia itu sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat menipukan pihak lain dengan menggunakan secara membabi buta kata-kata yang dipakai pada waktu kedua belah pihak membentuk suatu persetujuan. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal ini dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi.52

Dalam pandangan ahli hukum Belanda antara lain Hofmann dan Vollmar dianggap adanya pengertian kejujuran yang bersifat objektif dan kejujuran bersifat subjektif. Perbedaan antara kejujuran subjektif dan kejujuran objektif itu oleh para ahli hukum Belanda tadi terutama dibicarakan dalam hubungan dengan suatu persetujuan, dalam mana para pihak bersepakat untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa yang mungkin akan timbul dalam melaksanakan perjanjian, kepada pihak ketiga atau suatu badan hukum atau kepada salah seorang daripada para pihak, yaitu selaku pemberi nasehat yang mengikat (bindend advise). Dimana hakim tidak boleh meninjau lagi isi dari nasehat yang dikatakan mengikat itu.Sedangkan apabila dilihat dari kejujuran subjektif ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata dapat dianggap bersifat subjektif, sedang untuk mencapai agar isi dari nasehat yang dikatakan mengikat itu, dapat ditinjau, dapatlah dipergunakan Pasal 1339 KUH Perdata yang memperbolehkan hakim memperhatikan hal kepatutan (billikheid) di samping kejujuran (goede trouw).53

51

Ridwan Khairandy, Op. Cit., hlm.34-35.

52

R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perdata, Bandung: Sumur, 1983, hlm.104-105.

53Ibid

(47)

Sifat dari itikad baik dapat berupa subjektif, dikarenakan terhadap perbuatan ketika akan mengadakan hubungan hukum maupun akan melaksanakan perjanjian adalah sikap mental dari seseorang. Banyak penulis ahli hukum Indonesia menganggap itikad baik bersifat subjektif. Akan tetapi sebagaiman dikutip Ridwan Khairandy dalam bukunya Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, menyebutkan para kalangan ahli hukum Belanda antara lain Hofmann dan Vollmar menganggap bahwa disamping adanya pengertian itikad baik yang subjektif, juga ada itikad baik yang bersifat objektif, oleh mereka tidak lain maksudnya adalah kepatutan.54

Karena perjanjian mengikat kreditur maupun debitur, maka yang melaksanakan perjanjian juga debitur dan kreditur bersama-sama sehingga baik kreditur maupun debitur wajib untuk melaksanakan perjanjian dengan pantas dan patut. Kreditur dalam melaksanakan hak-hak akan bertindak sebagai kreditur yang baik, yang tidak akan menuntut lebih daripada apa yang memang menjadi haknya, tidak akan membebani debitur dengan biaya-biaya yang lebih daripada yang memang perlu dan debitur pun akan melaksanakan kewajibannya dengan baik, tidak akan membuat penagihan menjadi sulit dan berbelit-belit.55

Kita melihat, bahwa itikad baik disini berlainan sekali dengan iktikad baik subjektif, seperti biasa antara lain dikaitkan dengan Pasal 1977 KUHPerdata. Itikad baik yang subjektif berkaitan dengan sikap batinnya, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari atau tahu, bahwa tindakannya bertentangan dengan iktikad baik, sedang disini kita berhadapan dengan iktikad baik yang lain, yang biasanya untuk membedakannya dari subjektif disebut iktikad baik objektif, yang berkaitan dengan pendapat umum yaitu apakah umum menganggap tindakan yang seperti itu bertentangan dengan iktikad baik.56

Asas itikad baik menjadi salah satu instrument hukum untuk membatasi kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam hukum kontrak itikad baik memiliki tiga fungsi

54

Ridwan Khairandy, Op.Cit., hlm.262.

55

J.Satrio, Op.Cit., hlm. 178-179.

56Ibid

(48)

yaitu, fungsi yang pertama, semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu. Sedangkan fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking vande geode trouw). Dengan fungsi ini hakim dapat mengenyampingkan isi perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak. Tidak semua ahli hukum dan pengadilan menyetujui fungsi ini, karena akan banyak hal bersinggungan dengan keadaan memaksa, sehingganya masih dalam perdebatan dalam pelaksanaannya.57

2.4.Jenis-jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menjadi menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut :58

a. Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya : perjanjian jual beli.

b. Perjanjian Cuma-cuma dan Perjanjian atas Beban

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya : hibah.

Perjanjian atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang selalu terdapat prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

c. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama

Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya adalah perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V s.d. XVIII Buku Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Diluar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tetapi banyak terjadi dalam masyarakat. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian yang berlaku dalam Hukum Perjanjian. Misalnya : perjanjian sewa beli.

d. Perjanjian Campuran

57

Ibid, hlm.33

58

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mengkaji bagaimana kedudukan antara bank dan nasabah dalam pemberlakuan klausula baku dalam perjanjian kredit, akibat hukum yang dapat dikenakan bagi bank

untuk perjanjian jual beli yang akan dilaksanakan PT.Pertamina dengan agen elpiji memiliki ketentuan. hukum perdata dan

mengenai tata cara angsuran, hak dan kewajiban para pihak, antara lain larangan Perjanjian sewa beli merupakan perjanjian yang tidak diatur dalam Kitab. Undang Hukum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum adanya klausula eksonerasi di dalam perjanjian baku (standar), mengetahui perlindungan hukum yang dapat diberikan

dari perjanjian tertulis biasa ke perjanjian tertuJis yang di~ perjanjian balm atau perjanjian standar diterapkan oleh bank BNI Syariah dalam penerbitan kartu kredit

Akibat hukum perjanjian sewa- menyewa Safe Deposit Box Pada Bank Maybank Indonesia yang telah memenuhi syarat sahnya perjanjian di dalam Pasal 1320 KUH Perdata,

hubungan hukum perjanjian pembiayaan konsumen, apabila terjadi kesepakatan antara pihak perusahaan dengan debitur telah tercapai, maka akan timbul hak dan kewajiban diantara para

Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase