i ABSTRAK
Dewasa ini, penggunaan klausula baku sudah menjadi hal yang lazim di dalam praktik bisnis, termasuk di dalam praktik penyaluran kredit oleh bank kepada nasabahnya. Penggunaan klausula baku seringkali menempatkan nasabah (konsumen) pada posisi yang lemah dan dirugikan. Di Indonesia, terdapat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memiliki fungsi untuk mengatur,membina, mengawasi aktivitas lembaga perbankan. Penelitian ini mengkaji bagaimana kedudukan antara bank dan nasabah dalam pemberlakuan klausula baku dalam perjanjian kredit, akibat hukum yang dapat dikenakan bagi bank atas pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan tentang klausula baku, dan peranan OJK dalam kaitannya dengan perlindungan hak nasabah.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Berdasarkan metode ini, penulis menggunakan data sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang berupa perundang-undangan dan kepustakaan hukum (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07.2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07.2014 tentang Perjanjian Baku). Dalam hal ini, dilakukan analisis terhadap asas hukum dan kaidah hukum dikaitkan dengan fakta dan kasus konkrit. Sebagian data diperoleh dari studi pustaka. Di samping itu, studi lapangan juga dilakukan untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan. Hasil penelitian yang diperoleh, bahwa kedudukan antara bank dan nasabah tidak seimbang. Akibat hukum dari pemberlakuan klausula baku dalam perjanjian kredit yang tidak sesuai dengan perundang-undangan yaitu pembatalan klausula baku berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dan dapat dijatuhkannya sanksi administratif, perdata, dan pidana. Sebagai upaya untuk melindungi hak nasabah, OJK berperan dalam mengatur, mengawasi, memeriksa, dan menyidik aktivitas lembaga perbankan.
Dalam kaitannya dengan pemberlakuan klausula baku, apabila nasabah merasa dirugikan, maka nasabah dapat melaporkan masalah tersebut kepada OJK dan OJK akan menindaklanjuti dengan tindakan pemeriksaaan sampai dengan pemberian sanksi. Sampai saat ini, tindakan yang sudah dilakukan dengan baik sebagai upaya memberikan perlindungan kepada nasabah adalah tindakan pengaturan dan pemberian sanksi. OJK telah mengeluarkan aturan terkait dengan perlindungan konsumen dan melakukan penegakan hukum berupa penjatuhan sanksi, namun OJK belum melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan secara maksimal. Saran yang diberikan, agar pemerintah dapat melengkapi berbagai peraturan terkait dengan perlindungan konsumen dan OJK dapat lebih melakukan tindakan-tindakan yang bersifat preventif untuk mencegah terjadinya kerugian konsumen.
ii
ABSTRACT
Nowadays, the use of standardized clauses already become things which are prevalent at businness practice, including in credit distribution practice between bank and customers. The use of standardized clauses often put customers (consumers) at weak position and be harmed. In Indonesia, there is Financial Services Authority which have function for regulating, educating, supervising the activity of bank. This research examines about the position of consumers and bank in credit transaction, legal consequences which bank can get in violation against rule of the law about standardized clauses, and the role of financial services authority associated with consumer’s right protection.
This thesis is focused on juridical normative method. Based on this method, researcher uses secondary data such like Indonesian Civil Code, Law on Banking, Law on Consumer Protection, and such kind of regulations. Legal principles and norm are analyzed, related to cases and facts. Data collection is also supported by field research. Conclusions that got from this research, position between bank and customers is not balanced each other. Based on applicable law, bank which do breaking rules about standardized clauses on credit transaction can get civil, administrative, and criminal sanction. As the effort for protecting consumers, financial services authority has roles in regulating, supervising, examining and investigating the activity of banks.
Related with the use of standardized clauses, if costumers feel harmed, then customers can report the problem to financial services authority and then financial services authority will follow up with examination until granting sanctions. Result from this research, based on author’s opinion, financial services authority already done action as ordered by laws, but still must have to complete some regulations, and increase educating and supervising actions in order to prevent customer’s loss.
iii Lembar Pengesahan Dosen Pembimbing
Lembar Persetujuan Panitia Sidang
Abstrak i
Abstract ii
Kata Pengantar iii
Daftar Isi v
Daftar Tabel x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Identifikasi Masalah 9
C. Tujuan Penelitian 10
D. Kegunaan Penelitian 10
E. Kerangka Pemikiran 11
F. Metode Penelitian 16
iv
1. Pengertian, Tugas, dan Fungsi Lembaga Perbankan 22
2. Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia dan Prinsip-Prinsip
Pengelolaan Perbankan 23
3. Tinjauan Umum Undang-Undang nomor 7 tahun 1992
sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang nomor 10
tahun 1998 tentang Perbankan 29
B. Pengaturan Lembaga Pengawas Keuangan di Indonesia
1. Pengertian Pembinaan dan Pengawasan Bank 33
2. Bank Indonesia 35
3. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 38
C. Otoritas Jasa Keuangan sebagai Pengawas Lembaga Keuangan
v
1. Pengertian Perjanjian 59
2. Asas-asas suatu Perjanjian 61
B. Perjanjian Kredit dalam Aktivitas Bank sebagai Lembaga Keuangan
1. Pengertian Perjanjian Kredit 63
2. Proses Pemberian Kredit 64
3. Prosedur Pemberian Kredit oleh Bank kepada Nasabah 68
C. Perkembangan Klausula Baku di dalam Pembuatan Perjanjian di
Indonesia
1. Pengertian Klausula Baku, Perjanjian Baku, dan Kontrak Baku
(Standard Contract) 74
2. Asas-asas Hukum Perjanjian yang disimpangi dengan
diberlakukannya Klausula Baku 77
D. Klausula Baku dalam Perjanjian Kredit Perbankan
1. Perkembangan Penggunaan Klausula Baku dalam Perjanjian
Kredit Perbankan 78
2. Substansi Perjanjian Kredit dalam Praktik Perkreditan 83
vi
NASABAH DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN
A. Analisis Kedudukan Kreditur dan Debitur dalam Penggunaan Klausula
Baku pada Perjanjian Kredit
1. Pokok-Pokok Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian
Kredit berdasarkan berlakunya Asas-Asas Hukum Perjanjian 90
2. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kredit
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan 94
3. Analisis Pemenuhan Hak Konsumen atau Nasabah sehubungan
dengan Pemberlakuan Klausula Baku dalam Perjanjian
Kredit………...114
B. Akibat Hukum Penggunaan Klausula Baku dalam Perjanjian Kredit
dikaitkan dengan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan………...….117
1. Analisis Substansi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang Terkait
dengan Perlindungan Konsumen dan Perjanjian Baku
a. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 01/POJK.07/2013
vii
Bank……….………..……….….130
C. Peranan Otoritas Jasa Keuangan dalam Melindungi Nasabah….….134
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN………..…...146
B. SARAN………..…150
DAFTAR PUSTAKA………..…………..151
Curicullum Vitae
viii
2. Data Bank Indonesia mengenai SBDK bank-bank di Indonesia…………105
3. Contoh klausula baku yang bertentangan dengan aturan-aturan di
Indonesia………114
4. Tindakan yang dilarang dalam praktik pemberlakuan klausula baku di
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan perekonomian merupakan kegiatan yang harus memperoleh perhatian dari negara karena berkaitan langsung dengan kesejahteraan
rakyat. Negara Indonesia mengatur kegiatan perekonomian di dalam
konstitusinya, yaitu pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945. Prinsip pengaturan kegiatan perekonomian tersebut
terdapat di dalam Pasal 33 ayat (1) yang mengatur sebagai berikut:
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan”
Dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 mengatur sebagai berikut:
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional.”
Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh lembaga keuangan merupakan
salah satu kegiatan usaha yang menunjang perekonomian di Indonesia.
Lembaga keuangan dibagi menjadi dua yaitu lembaga keuangan bank dan
lembaga keuangan bukan bank. Lembaga keuangan bank adalah lembaga
keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan,
bentuk kredit.1 Lembaga keuangan bukan bank atau LKBB adalah badan
usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan yang secara langsung
atau tidak langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat
berharga dan menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai
investasi perusahaan-perusahaan.2
Salah satu fungsi lembaga keuangan bank yaitu memberikan kredit
kepada masyarakat.3 Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut
Undang-Undang Perbankan), pada Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang
Perbankan tersebut memberikan penjelasan bahwa kredit adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu dan berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan jumlah bunga. Menurut Ch. Gatot Wardoyo,
perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
a. “Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok
1
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. 2
Pasal 1 ayat (4) Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1998 tentang Lembaga Pembiayaan .
3
Kredit berasal dari bahasa Romawi “Credere” dapat diartikan sebagai kepercayaan.
Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok berarti perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan; b. Perjanjian kredit sebagai alat bukti
Perjanjian kredit sebagai alat bukti berarti perjanjian kredit mengatur mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur;
c. Perjanjian kredit sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.”4
Kegiatan penyaluran kredit dilakukan oleh Bank kepada nasabahnya
dengan cara membuat perjanjian kredit. Dalam hal ini, bank
berkedudukan sebagai kreditur dan nasabah berkedudukan sebagai
debitur. Apabila pihak kreditur dan debitur telah setuju dan sepakat untuk
melakukan transaksi kredit, maka pihak kreditur wajib membuat
perjanjian kredit secara tertulis serta melakukan pembacaan akad kredit di
hadapan pihak debitur.5
Perjanjian harus dibuat dengan berlandaskan asas kebebasan
berkontrak. Asas kebebasan berkontrak adalah asas yang menyatakan
bahwa para pihak diberikan kebebasan untuk membuat atau tidak
membuat perjanjian, memilih dengan siapa akan membuat perjanjian,
menentukan isi dan bentuk perjanjian, dan cara untuk menutup perjanjian.
Saat ini, penggunaan perjanjian baku sangat berkembang.
Penggunaan perjanjian baku terjadi pula di dalam transaksi kredit,
4
Johannes Ibrahim, Cross Default and Cross Collateral dalam Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Bandung : Refika Aditama, 2004, hlm.30.
5
sehingga nasabah hanya dapat memilih apakah akan melangsungkan
transaksi kredit tersebut dengan pihak bank yang bersangkutan atau tidak.
Perihal isi, bentuk, dan cara penutupan perjanjian telah ditentukan oleh
pihak bank.
Klausul-klausul yang dibuat oleh bank seringkali dirasa memberatkan
pihak debitur karena pihak bank cenderung memperhatikan perlindungan
bagi kepentingan bank sendiri dan tidak memperhatikan perlindungan
bagi nasabah sebagai debitur. Sebagai contoh adanya klausul-klausul
yang memberatkan pihak nasabah sebagai berikut:
“Bank berhak tanpa alasan apapun juga untuk sewaktu-waktu menolak penggunaan lebih lanjut kredit tersebut oleh nasabah debitur”
Klausula di dalam kredit tersebut merupakan salah satu bentuk dari
klausula baku. Sebagaimana telah dijelaskan, keberadaan klausula baku
seringkali memberatkan pihak nasabah, padahal hak-hak nasabah dalam
perjanjian kredit juga harus dilindungi. Untuk melindungi nasabah dari
adanya perjanjian baku di dalam melakukan transaksi kredit, maka
Indonesia membentuk salah satu lembaga yang dapat memberikan
perlindungan kepada nasabah. Lembaga tersebut adalah Otoritas Jasa
Keuangan. Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan selanjutnya disebut
sebagai suatu lembaga yang mempunyai tugas, fungsi, dan wewenang
untuk mengatur, mengawasi, melakukan pemeriksaan, dan penyidikan
dalam sektor jasa keuangan termasuk sektor perbankan.
Di dalam Pasal 6 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan memiliki tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. “Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, dan
c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.”
Terkait dengan kegiatan penyelenggaraan kredit berdasarkan Pasal 7
Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan
mempunyai wewenang untuk:
a. “Menentukan batas maksimum pemberian kredit; b. Melakukan pengujian kredit (credit testing); dan
c. Mempersiapkan cara-cara untuk mengendalikan risiko yang muncul dari adanya perjanjian kredit.”
Otoritas Jasa Keuangan selain berwenang untuk mengatur kegiatan
penyelenggaran kredit, diharapkan juga dapat memberikan bentuk
perlindungan kepada pihak nasabah sebagaimana diatur di dalam Pasal 28
Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi :
a. “Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atau karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;
b. Meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat;
Pelaksanaan transaksi kredit dengan pemberlakuan klausula baku
merupakan suatu kegiatan perbankan yang harus diawasi. Selama ini,
penggunaan klausula baku dalam perjanjian kredit berlangsung tanpa
pengawasan. Untuk melaksanakan pengawasan tersebut, Otoritas Jasa
Keuangan harus mengawasi berdasarkan aturan hukum yang berlaku.6
Selain Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, terdapat berbagai
pengaturan tentang fungsi pengawasan Otoritas Jasa Keuangan,
khususnya terhadap perjanjian baku. Ketentuan tersebut terdapat di
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/SEOJK/07/2014 tentang Perjanjian Baku. Di dalam peraturan
tersebut dinyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) wajib
memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan
perjanjian dengan konsumen.
Terkait dengan perlindungan konsumen, berlaku ketentuan
berupa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 01/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Ketentuan
tersebut diatur di dalam Pasal 4 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 01/POJK.07/2013. Hal-hal yang diatur antara lain :
6
Sebelum dipegang oleh Otoritas Jasa Keuangan, fungsi pengawasan dipegang oleh Bank Indonesia, kemudian setelah diadakannya “Siaran Pers Bersama Nomor 15/56/DKom tertanggal 31 Desember 2013 tentang Pengalihan Fungsi Pengawasan dari Bank Indonesia kepada Lembaga Otoritas Jasa
1) “PUJK wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.
2) Informasi tersebut harus dituangkan dalam dokumen atau sarana lain yang dapat digunakan sebagai alat bukti.
3) Informasi tersebut wajib untuk :
a. Disampaikan pada saat memberikan penjelasan kepada konsumen mengenai hak dan kewajibannya;
b. Disampaikan pada saat membuat perjanjian dengan konsumen;
c. Dimuat pada saat disampaikan melalui berbagai media antara lain melalui iklan di media cetak atau elektronik.”
Dengan memberikan perlindungan kepada nasabah atas adanya
penggunaan klausula baku di dalam perjanjian kredit, diharapkan
Otoritas Jasa Keuangan dapat membantu mengurangi adanya
ketidakseimbangan dalam pemberlakuan klausula baku pada
perjanjian kredit yang dibuat oleh pihak bank sehingga perlindungan
terhadap hak nasabah sebagai konsumen dapat terlaksana.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, Nampak adanya
kesenjangan antara das sollen (apa yang seharusnya terjadi) dan das
sein (peristiwa yang konkrit terjadi di masyarakat). Kesenjangan yang
dimaksud di sini dapat dibuktikan melalui contoh kasus mengenai
adanya laporan pengaduan mengenai bunga pinjaman yang tinggi. Ada
seorang nasabah di Maluku yang melakukan pinjaman kredit kepada
suatu bank. Pada awalnya, nasabah dan bank tersebut telah sepakat
mengenai perihal jumlah pinjaman, jaminan yang digunakan, serta
adanya pemberitahuan terlebih dahulu bank tersebut menaikkan suku
bunga atas pinjaman yang dilakukan oleh nasabah tersebut. Karena
merasa dirugikan, nasabah tersebut memberikan pengaduan kepada
lembaga Otoritas Jasa Keuangan di Maluku. Kasus nasabah tersebut
merupakan salah satu dari dalam 18 pengaduan dengan kasus
menyangkut soal bunga pinjaman. Kepala OJK Propinsi Maluku,
Laksono Dwionggo menyatakan bahwa sebanyak 18 pengaduan
tersebut adalah dalam bentuk pengaduan, pernyataan, dan keluhan
terhadap bunga pinjaman di bank yang dinilai tinggi. Menurut
Laksono, konsumen yang bermasalah dengan pihak perbankan dan
mengadukan ke OJK akan difasilitasi sesuai aturan yang disepakati
oleh kedua belah pihak sehingga dapat menyelesaikan masalah yang
dihadapi. 7
Melalui hasil laporan pengaduan dari terhadap OJK tersebut dapat
menjadi bukti fakta adanya pemberlakuan klausula baku yang telah
ditentukan oleh bank di dalam memberikan pinjaman kredit kepada
nasabahnya, sehingga diharapkan perlindungan konsumen pada sektor
jasa perbankan dapat dipenuhi dengan keberadaan Otoritas Jasa
Keuangan, dan saat ini kondisi tersebut belum terlaksana. Oleh karena
7
Ismed Eka Kusuma, “OJK Maluku Terima 18 Laporan Pengaduan Konsumen”, 2009,
itu, penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan tersebut dalam
skripsi yang berjudul “TINJAUAN HUKUM PERAN OTORITAS
JASA KEUANGAN DALAM MENGAWASI PENERAPAN KLAUSULA BAKU DALAM TRANSAKSI KREDIT SEBAGAI UPAYA UNTUK MELINDUNGI NASABAH DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pembahasan masalah yang telah diuraikan pada latar belakang,
maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana hubungan hukum antara debitur dengan kreditur dalam
penggunaan klausula baku di dalam perjanjian kredit dikaitkan
dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap penggunaan klausula baku di
dalam perjanjian kredit dikaitkan dengan pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan?
3. Bagaimana Otoritas Jasa Keuangan berperan untuk melindungi
nasabah di dalam transaksi kredit terkait dengan penggunaan klausula
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut :
1. Untuk memahami hubungan hukum yang terjadi antara debitur dengan
kreditur di dalam menggunakan klausula baku di dalam perjanjian
kredit.
2. Untuk mengetahui akibat hukum yang muncul dari adanya penggunaan
klausula baku di dalam perjanjian kredit.
3. Untuk mengetahui peranan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan di dalam melindungi nasabah dari adanya penggunaaan
klausula baku di dalam transaksi kredit.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian dari skripsi ini yaitu sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis, memberikan pendalaman kepada masyarakat dan
praktisi perbankan terhadap ilmu hukum khususnya di bidang hukum
perbankan dan perlindungan konsumen serta dapat memberikan ilmu
dan pengetahuan bagi pembacanya.
2. Manfaat praktis, memberikan pemahaman bagi masyarakat dan
praktisi perbankan. Bagi praktisi perbankan, agar dapat membuat
klausula baku dari perjanjian yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bagi masyarakat, agar dapat
menentukan suatu perjanjian yang memiliki klausula baku yang tidak
E. Kerangka Pemikiran
Di dalam kehidupannya, manusia senantiasa berhubungan dengan orang
lain. Hubungan yang terjadi antar manusia di dalam masyarakat dapat
menimbulkan akibat hukum, inilah yang disebut dengan hubungan hukum.
Hubungan hukum dapat muncul salah satunya dari pembuatan perjanjian.
Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih. Ada tiga teroiri yang mendasarinya terbentuknya suatu perjanjian
yaitu:
a. Teori Kehendak (Wilstheorie)
Menurut teori ini, faktor yang menentukan adanya perjanjian adalah kehendak. Tetapi hubungan antara kehendak dan pernyataan itu tidak dapat dipisahkan sehingga suatu kehendak itu harus dinyatakan.8 b. Teori Pernyataan (Verklaringstheorie)
Menurut teori ini, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah kejiwaaan seseorang sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui apa yang sebenarnya terdapat di dalam benak seseorang. Jadi, suatu kehendak yang tidak dapat dikenali oleh pihak lain tidak mungkin menjadi dasar dari terbentuknya suatu perjanjian.9
c. Teori Kepercayaan (Vertrouwenstheorie)
Menurut teori ini, suatu pernyataan yang akan melahirkan perjanjian adalah apabila pernyataan tersebut menurut kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan memang benar dikehendaki.10
8
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2010, hlm.76.
9
Ibid, hlm.77. 10
Salah satu bentuk perjanjian yang muncul dan berkembang di dalam
praktik bisnis adalah perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan perjanjian
yang terjadi antara kreditur dan debitur. Hubungan perjanjian yang dibuat
oleh kreditur dan debitur ini bersifat privat atau pribadi, di mana kedua belah
pihak tersebut memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian. Menurut
Subekti, asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan
bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang
berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan keteriban umum.11 Munir Fuady menambahkan bahwa asas
kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasan untuk
mengatur sendiri isi kontrak tersebut.12
Subekti berpendapat bahwa perjanjian merupakan suatu peristiwa bahwa
seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.13 Berdasarkan pendapat tersebut, sebuah perjanjian
harus dibuat berdasarkan kesepakatan. Saat ini tidak semua hal dapat
disepakati terlebih dahulu oleh kedua belah pihak sebelum perjanjian dibuat,
karena transaksi bisnis yang terjadi saat ini bersifat marak. Salah satu
contohnya adalah perjanjian kredit. Untuk mengefisienkan waktu di dalam
11
R.Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta : Citra Aditya Bakti , 1987, hlm.13. 12
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 12. 13
transaksi kredit maka dikembangkan klausula baku di dalam perjanjian.
Klausula baku di dalam perjanjian seringkali dibuat secara sepihak. Hal ini
menyebabkan terlanggarnya asas persamaan hukum. Asas persamaan hukum
adalah asas yang mengandung maksud bahwa subjek hukum yang
mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang
sama dalam hukum.14
Hubungan kontraktual dalam bentuk perjanjian kredit adalah hubungan
yang sifatnya privat. Karena berdampak pada perlindungan hak masyarakat,
maka hubungan privat tersebut harus diawasi oleh negara melalui
lembaga-lembaga yang dibentuk atas dasar kekuatan perundang-undangan yang
berlaku. Salah satu lembaga tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas
Jasa Keuangan adalah salah satu lembaga yang dibentuk oleh negara untuk
melakukan kegiatan pengawasan di sektor perbankan. Hal ini sesuai dengan
teori fungsi negara yang menyatakan bahwa salah satu fungsi negara adalah
melakukan pengawasan. Hadari Nawawi mengemukakan mengenai
pentingnya suatu pengawasan:
“Fungsi pengawasan harus dilakukan terhadap perencanaan dan pelaksanaannya. Kegiatan pengawasan sebagai fungsi manajemen bermaksud untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kegagalan yang terjadi setelah perencanaan dibuat dan dilaksanakan. Keberhasilan perlu ditingkatkan dan jika mungkin ditingkatkan dalam perwujudan manajemen/administrasi berikutnya di lingkungan suatu organisasi atau
14
S Irman, “Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian”, 2009, (http:// notary-
unit kerja tertentu. Sebaliknya, setiap kegagalan harus diperbaiki dengan menghindari penyebabnya, baik dalam menyusun perencanaan maupun pelaksanaannya.15”
Selain dengan membentuk sebuah lembaga berdasarkan kekuatan
perundang-undangan, negara juga melakukan pengawasan dengan
berlandaskan pada teori “good governance” atau tata kelola pemerintahan
yang baik. Menurut Van Vollenhoven dalam bukunya “Omtrek Van Het
Administratief Recht”, fungsi pemerintahan dibagi menjadi 4 (empat) bagian:
a. “Fungsi memerintah (bestuur)
Dalam negara yang modern fungsi bestuur yaitu mempunyai tugas yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada pelaksanan undang-undang saja. Pemerintah banyak mencampuri urusan kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik.
b. Fungsi polisi (politie)
Merupakan fungsi untuk melaksanakan pengawasan secara preventif yakni memaksa penduduk suatu wilayah untuk mentaati ketertiban hukum serta mengadakan penjagaan sebelumnya (preventif), agar tata tertib dalam masyarakat tersebut tetap terpelihara.
c. Fungsi mengadili (justitie)
Adalah fungsi pengawasan yang represif sifatnya yang berarti fungsi ini melaksanakan yang konkret, supaya perselisihan tersebut dapat diselesaikan berdasarkan peraturan hukum dengan seadil-adilnya. d. Fungsi mengatur (regelaar)
Yaitu suatu tugas perundangan untuk mendapatkan atau memperoleh seluruh hasil legislatif dalam arti material.16”
Dalam kaitannya dengan kegiatan perbankan, fungsi pemerintahan
berupa fungsi polisi (politie) atau pengawasan merupakan salah satu
kegiatan yang dilakukan oleh negara untuk mengatur sistem
15
Hadari Narwawi, Pengawasan Melekat di Lingkungan Aparatur Pemerintah, Jakarta :Erlangga,
1989, hlm .6-7. 16
perekonomian agar dapat menciptakan sistem perekonomian yang sehat,
kuat, dan efisien. Untuk menciptakan sistem perekonomian yang sehat,
kuat, dan efisien, Perbankan Indonesia berupaya menegakkan 6 (enam)
pilar Arsitektur Perbankan Indonesia sebagai berikut :
1. “Menciptakan struktur domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan;
2. Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada standar internasional;
3. Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi resiko;
4. Menciptakan “good corporate governance” dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional;
5. Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat;
6. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan.17”
Dengan adanya pembuatan klausula baku yang dibuat oleh bank di
dalam transaksi kredit, negara harus dapat memberikan bentuk
pengawasan dan perlindungan kepada masyarakat sesuai dengan pilar
kedua dan keenam pada Arsitektur Perbankan Indonesia. Dalam rangka
memberikan bentuk pengawasan dan perlindungan kepada masyarakat,
negara membentuk suatu lembaga yang memiliki fungsi yang sesuai
dengan pilar kedua dan keenam dari API, lembaga tersebut adalah
Otoritas Jasa Keuangan, sehingga diharapkan dengan pengawasan yang
17
Situs Resmi Bank Indonesia, (http://www.bi.go.id), diakses Senin, 10 November 2014 pukul 09:36
baik, bank dapat menjalankan peranannya sebagai sebagai “agent of
development” yaitu sebagai lembaga yang kegiatannya menghimpun dana
dan menyalurkannya kepada masyarakat sehingga dapat membangun
sistem perekonomian Indonesia yang sehat.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Yuridis normatif adalah penelitian untuk
mengetahui bagaimana hukum positifnya mengenai suatu hal, peristiwa, atau
masalah tertentu.18 Melalui metode ini, penulis melakukan pengkajian
terhadap prinsip-prinsip dan ketentuan hukum mengenai perlindungan
nasabah terhadap adanya penggunaan klausula baku di dalam perjanjian
kredit. Di dalam penulisan ini menggunakan sifat, pendekatan, jenis data,
teknik pengumpulan data, dan analisis data sebagai berikut:
1. Sifat Penelitian
Sifat Penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitis. Deskriptif
analitis adalah penelitian yang menggambarkan peristiwa yang sedang
diteliti dan kemudian menganalisis berdasarkan fakta-fakta yang berupa
data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder, dan
tersier.19
2. Pendekatan Penelitian
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986, hlm.45. 19
Pendekatan Penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan
adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan
permasalahan atau isu hukum yang sedang dihadapi. Pendekatan
konseptual adalah suatu pendekatan yang beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu
hukum. Di dalam pendekatan ini, pemahaman terhadap
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dapat menjadi suatu pijakan untuk
membangun argumentasi hukum di dalam menyelesaikan isu hukum
juga dapat memberikan ide-ide dan pengertian hukum, konsep hukum,
maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan. 20
3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui data-data yang telah
ada dan dikumpulkan oleh pihak lain yang digunakan untuk melakukan
penelitian atas suatu permasalahan. Data Sekunder tersebut berasal
dari:
1. Data sekunder bahan hukum primer :
20
“Pendekatan dalam Penelitian Hukum”, (http://www.ngobrolinhukum.com), diakses 30 Oktober
Bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai Perbankan, Perlindungan Konsumen, dan
Lembaga Otoritas Jasa Keuangan :
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk
Wetboek);
b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan;
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998
tentang Perbankan;
d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen;
e) Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1998 tentang
Lembaga Pembiayaan;
f) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/SEOJK.07.2014 tentang Perjanjian Baku;
g) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Bahan hukum yang berupa buku-buku, jurnal, makalah, artikel
ilmiah, serta pendapat-pendapat dari para ahli hukum yang
berkaitan dengan perlindungan Otoritas Jasa Keuangan kepada
nasabah terhadap adanya penggunaan klausula baku di dalam
perjanjian kredit.
3. Data sekunder bahan hukum tersier
Bahan hukum yang berupa kamus bahasa, kamus hukum,
majalah, dan berita.
4. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data a. Teknik Pengumpulan Data
Data sekunder dapat diperoleh melalui studi kepustakaan. Studi
kepustakaan adalah suatu metode untuk mencari konsep-konsep,
teori-teori, pendapat para ahli hukum yang berkaitan dengan
permasalahan yang sedang dibahas.
b. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah mengolah melalui
data-data yang diperoleh dari studi kepustakaan melalui literatur-literatur
yang berasal dari data sekunder yang berkaitan dengan
G. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan mengemukakan tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : PENGATURAN BANK DAN OTORITAS JASA KEUANGAN
DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA
Dalam bab kedua memuat beberapa sub bab yang akan membahas
mengenai pengertian dan prinsip-prinsip bank di dalam melakukan
kegiatan usahanya serta mengenai peranan, fungsi, asas-asas, dan
kewenangan otoritas jasa keuangan di dalam melakukan kegiatan
pengawasan terhadap sektor perbankan dengan tujuan untuk memberikan
perlindungan terhadap nasabah.
BAB III : TINJAUAN TERHADAP PEMBERLAKUAN KLAUSULA
BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT
Dalam bab ini berisikan uraian mengenai objek penelitian, apa yang
menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu tentang tinjauan terhadap
penerapan klausula baku di dalam perjanjian kredit perbankan serta
membahas mengenai substansi dari klausul-klausul yang layak dan tidak
layak diterapkan di dalam pembuatan perjanjian di Indonesia.
BAB IV : ANALISIS PERAN OTORITAS JASA KEUANGAN
DALAM TRANSAKSI KREDIT SEBAGAI UPAYA UNTUK
MELINDUNGI NASABAH DIKAITKAN DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA
KEUANGAN
Pada bab ini penulis akan menguraikan dan menyajikan pembahasan
berdasarkan rumusan masalah, yaitu peran dan tindakan otoritas jasa
keuangan di dalam mengawasi pembuatan klausula baku dalam perjanjian
kredit sebagai upaya perlindungan hukum terhadap nasabah dan upaya
penegakan hukum terhadap pembuatan klausula baku dalam perjanjian.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan yang telah diuraikan dalam
Bab IV dan juga berisi saran-saran penulis sehubungan dengan hasil
146 A. KESIMPULAN
Dari pembahasan mengenai Tinjauan Hukum Peran Otoritas Jasa
Keuangan Dalam Mengawasi Penerapan Klausula Baku Dalam Transaksi
Kredit Sebagai Upaya Untuk Melindungi Nasabah Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan,
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Kedudukan Kreditur dan Debitur yang tidak seimbang dalam Penggunaan Klausula Baku pada Perjanjian Kredit
Hubungan hukum kreditur dan debitur dalam suatu transaksi
kredit didasarkan pada perjanjian kredit yang keabsahannya terikat
pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu haruslah memenuhi
syarat :
a. “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; c. suatu hal tertentu;
d. suatu sebab yang halal.”
Di dalam transaksi kredit di mana bank memberlakukan
klausula baku, unsur kesepakatan tidak tercapai secara murni,
mengingat isi, bentuk dan cara penutupan perjanjian telah ditentukan
debitur sebenarnya mengandung unsur keterpaksaan yang
disebabkan oleh kondisi debitur yang lebih lemah dibandingkan
dengan kreditur. Penggunaaan klausula baku ini menempatkan
kedudukan debitur dengan kreditur secara tidak seimbang. Hal ini
nampak dari tindakan pihak kreditur yang seringkali membuat
klausula baku dalam perjanjian dengan isi : membatasi hak-hak
debitur di dalam melakukan perjanjian kredit, mengurangi
kewajiban-kewajiban yang seharusnya dipenuhi oleh kreditur; dan
memberlakukan klausul eksonerasi.
2. Akibat Hukum terhadap Pelanggaran Penggunaan Klausula Baku dalam Perjanjian Kredit
Penggunaan klausula baku dalam perjanjian kredit yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia akan
menimbulkan akibat hukum bagi bank yang melakukan pelanggaran
tersebut. Secara konkrit, akibat hukum muncul dalam bentuk
pembatalan klausula baku tersebut dan pemberian sanksi. Akibat
hukum yang muncul dilandaskan pada Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, sebagai berikut :
a. Pembatalan klausula baku dan kewajiban penyesuaian klausula
baku
“(3) setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.”
b. Sanksi Administratif berupa peringatan tertulis sampai dengan
pencabutan izin, berdasarkan Pasal 53 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 01/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
c. Sanksi Pidana diatur di dalam Pasal 62 ayat (1) yang mengatur:
“pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
Pemberian sanksi akan mempengaruhi reputasi bank sehingga
diharapkan dapat meningkatkan ketaatan bank terhadap peraturan
mengenai pembuatan klausula baku.
3. Peranan Otoritas Jasa Keuangan di dalam melindungi nasabah Pasal 4 huruf c Undang-Undang OJK menjelaskan bahwa OJK dibentuk dengan salah satu tujuannya untuk melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat. Apabila dikaitkan dengan aktivitas
perlindungan konsumen tersebut, OJK harus menjalankan perannya
dalam bentuk tindakan pengawasan, pembinaan, pengaturan dan
memberikan sanksi kepada bank yang melakukan pelanggaran.
Adapun aturan yang terkait dengan tugas OJK di bidang
perlindungan konsumen adalah :
Pasal 9 huruf c UU OJK, menyatakan:
“OJK mempunyai wewenang melakukan pengawasan,
pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan”
Pasal 9 huruf g UU OJK, menyatakan:
“OJK mempunyai wewenang menetapkan sanksi administratif
terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan”
Sampai saat ini, tindakan yang sudah dilakukan dengan baik
sebagai upaya memberikan perlindungan kepada nasabah.adalah
tindakan pengaturan dan pemberian sanksi. OJK telah
mengeluarkan aturan terkait dengan perlindungan konsumen dan
melakukan penegakan hukum berupa penjatuhan sanksi, namun
OJK belum melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan secara
B. SARAN
1. Akademisi, agar melakukan penelitian-penelitian lebih lanjut terkait
dengan fungsi dan tugas OJK khususnya yang terkait dengan
perlindungan hukum bagi nasabah.
2. Pemerintah :
a. Diharapkan dapat membina kerjasama antara OJK dan Bank
Indonesia selaku regulator, untuk melengkapi berbagai
regulasi dalam bentuk peraturan dan surat edaran yang
substansinya mengatur secara konkrit mengenai pembatasan,
keharusan, dan larangan yang harus ditaati oleh Bank dalam
pemberlakuan klausula baku;
b. Diharapkan dapat melakukan tindakan-tindakan sebagai upaya
preventif untuk mencegah timbulnya kerugian bagi nasabah,
misalnya mewajibkan bank untuk melaporkan format klausula
baku pada OJK. Format yang disetujui oleh OJK baru dapat
diberlakukan pada transaksi dengan nasabah.
3. Masyarakat atau Pelaku Usaha
Diharapkan dapat memberikan masukan agar dalam melakukan
perikatan terdapat keseimbangan antara Bank atau Pelaku Usaha
dengan nasabah atau konsumen. Selain itu, nasabah dapat memahami
Nama Lengkap : Helen Yolanda
Tempat, Tanggal Lahir : Bandung,13 Juli 1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jalan Taman Kopo Indah 1 blok A nomor 21
Bandung
Nomor Telepon : 089611871857
Email : helenyolandaa@gmail.com
Latar Belakang Pendidikan :
Formal :
Tahun 1998 - 2000 : TKK 3 Bina Bakti Bandung
Tahun 2000 - 2005 : SDK 3 Bina Bakti Bandung
Tahun 2005 - 2008 : SMPK 1 Bina Bakti Bandung
Tahun 2008 - 2011 : SMAK 1 Bina Bakti Bandung
Tahun 2011 - : Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha
Non Formal :
Tahun 2007 : Kursus Bahasa Inggris di Lembaga Kursus AMECC Level
Beginner 2
Tahun 2008 : Kursus Bahasa Inggris di Lembaga Kursus AMECC Level
Intermediate 1
Kemampuan :
- Kemampuan Komputer : Ms.Word, Ms.Excell, Ms.Power Point
- Kemampuan Bahasa Inggris : Cukup Baik
Pengalaman Berorganisasi :
Tahun 2005 – 2007 : Anggota OSIS sebagai Seksi Kewirausahaan SMPK 1 Bina
Bakti.
Tahun 2011 : Panitia bagian LO dalam Lomba Debat Antar SMA dalam acara
dari Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha.
Tahun 2012 : Panitia bagian LO dalam Lomba Debat Fakultas Hukum Universitas
Kristen Maranatha.
Tahun 2014 : Panitia Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Kristen
Budisantoso dan Sigit, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta : Salemba Empat, 2006
Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta : Andi, 2000 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta : Intermedia, 1995 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman , Hukum Perbankan, Jakarta : Sinar Grafika,
2010
Hadari Narwawi, Pengawasan Melekat di Lingkungan Aparatur Pemerintah, Jakarta: Erlangga, 1989
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2010
Johannes Ibrahim, Cross Default and Cross Collateral dalam Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Bandung : Refika Aditama, 2004
, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif dalam
Perjanjian Kredit Bank (Perspektif Hukum dan Ekonomi), Bandung : Mandar
Maju, 2004
, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank, Bandung : Utomo, 2003
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1993
, Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia, Bandung : Citra \ Aditya Bakti, 2008
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002
Northon Joseph, Commercial Loan Documentation Guide, New York : Matthew Bender,1989
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta :
Pustaka Utama Grafiti , 2009
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : Raja Grasindo Persada, 2008
, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986
, Pengantar Peneltian Hukum, Jakarta : Grafindo, 2006
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta : Citra Aditya Bhakti , 1987
Thomas Suyatno, Azhar Abdullah, dan Tinon Yunianti Ananda, Kelembagaan
Perbankan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999
B. Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek)
Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1998 tentang Lembaga Pembiayaan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07.2014 tentang Perjanjian Baku
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang
C. Intenet
http://www.akademiasuransi.org/2013/02/pengertian-reasuransi.html http://www.aktual.co/ekonomibisnis/003334ojk-maluku-terima-18-laporan-
pengaduan-konsumen
http://bankernote.com/jenis-jenis-kredit-di-bank-pinjaman/ http://www.bi.go.id
http://www.bi.go.id/id/perbankan/suku-bunga-dasar/Default.aspx
https://erlanandard.wordpress.com/2014/12/22/peran-otoritas-jasa-keuangan-dalam- perlindungan-konsumen-produk-perbankan/
http://hendrabisnis.com/cara-/mengajukan-pinjaman-kredit-di-bank/
http://www.inilahkoran.com/read/detail/2191191/inilah-cara-pengaduan-sektor-jasa- keuangan
http://justiceforall.blogspot.com/2012/04/perjanjian-klausula-baku- menjerat.html/m=1
http://makassar.antaranews.com/berita/59082/ojk-dalam-tantangan-pengawasan- lembaga- keuangan
http://m.bisnis.com/finasial/ojk- wajibkan-cap-halal-di-produk-finasial http://m.hukumonline.com/berita/baca/ojk- tangani-64-kasus-tindak-pidana-
perbankan
http://m.news.viva.co.id/news/read/591779-ojk-bakal-batasi-suku-bunga-kredit- perbankan
http://www.msi-uii.net
http://www.ngobrolinhukum.com
http://notary-herman.blogspot.com/2009/04/asas-asas-dalam-hukum-perjanjian.htn http://www.ojk.go.id/ojk-tingkat-pengaduan-konsumen-dan-tingkat-
kesadaran-masyarakat-meningkat
http://www.pegadaian.co.id/
http://pustakadigitalindonesia.blogspot.com/2013/04/prosedur-dan-persyaratan- pengajuan-.html
http://rahmadrival.blogspot.com/2014/04/pengertian-dan-perbedaan-akta- otentik.html
D. Lain-Lain
I Nyoman Wijaya, Klausula Baku dalam Perjanjian Kredit Bank antara Bank
Pemerintah dengan Nasabah Debitur dalam Hubungannya dengan UU No.8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Tesis Program Studi Magister
Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2004
Prasasti Yoga M, Analisa Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Usaha Kecil dan Menengah, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Katolik