• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

PENGATURAN MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN

D. Asas, Tujuan dan Prinsip Dalam Perlindungan Konsumen

Menurut Achmad Ali bahwa harus diketahui asas hukum yang melahirkan norma hukum, dan norma hukum yang melahirkan aturan hukum. Dari satu asas hukum dapat melahirkan lebih dari satu norma hukum hingga tak terhingga norma hukum dan dari satu norma hukum dapat melahirkan lebih dari satu aturan hukum hingga tak terhingga aturan hukum.117 Jadi pada hakikatnya setiap peraturan-peraturan yang ada didasari oleh sejumlah asas-asas atau prinsip-prinsip hukum. Asas hukum adalah sesuatu yang melahirkan (sumber,inspirasi, filosofis, material dan formil) dari peraturan-peraturan hukum. Dengan demikian asas hukum merupakan ratio-logis peraturan-peraturan hukum, khususnya di Indonesia.118

Dalam pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan

“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.”

117 Achmad Ali,Menguak teori hukum dan teori peradilan(Jakarta:Kencana,2009),hlm.178

118 Abdullah Marlang,Irwansyah dan Kaisaruddin, Pengantar hukum Indonesia(Makassar:A.S Center,2009), hlm.35

57

Mengacu pada penjelasan pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen maka perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5(lima) asas yang relevan dalam pembagunan nasional, yaitu:119

1. Asas manfaat yaitu segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan yaitu agar partisipasi seluruh pihak dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan yaitu untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen yaitu untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum yaitu agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

119 Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Memperhatikan substansi pasal 2 Undang-Undang Perlindungan konsumen demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut bila diperhatikan substansinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:120

1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen,

2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan 3. Asas kepastian hukum

Radbruch menyebutkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai tiga ide dasar hukum yang dapat dipersamakan dengan asas hukum. Diantara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen dengan semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha dan pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam transaksi dagang secara langsung menyertai

120 Keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai tiga ide dasar hukum

59

pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang kehadirannya tidak secara langsung diantara para pihak tetapi melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Menyangkut asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen disamping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan.121

Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan konsumen menegaskan bahwa dari kelima asas perlindungan konsumen yang telah dijelaskan diatas yaitu perlindungan konsumen dapat diibaratkan sebagai sekeping uang logam yang berbeda antar kedua sisi. Satu sisi merupakan sisi pelaku usaha dan sisi lainnya sisi konsumen, tidak mungkin jika hanya menggunakan satu sisi tanpa menggunakan kedua sisi sekaligus.122

1. Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

Di samping asas-asas yang dibutuhkan untuk mendasari semangat dari perlindungan konsumen, dibutuhkan suatu perumusan tujuan yang dapat dijadikan

121OP.cit, Ahmad Miru dan Sutarman Yodo,hlm. 26-30

122 Yusuf Sofie,Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia(bandung:Citra Aditya Bakti),hlm.154

penunjuk arah dari pelaksanaan perlindungan konsumen di Indonesia. Tujuan ini dirumuskan dalam pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu:123

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 undang-undang perlindungan konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 sebelumnya, karena

123 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pasal 3

61

tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.

Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan diatas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkn keadilan terlihat dalam rumusan angka 3, dan angka 5 sementara tujuan memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan angka 1, dan 2 termasuk angka 3, dan 4 serta angka 6. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan dalam kepastian hukum terlihat dalam rumusan angka 4. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan angka 1 sampai dengan angka 6 terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda.

2. Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Prinsip hukum perlindungan konsumen terdapat beberapa prinsip tanggung jawab, prinsip tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait124

Beberapa sumber hukum formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak

124OP.cit Shidarta,hlm.59

konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh125

Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok yaitu:

a. Adanya perbuatan;

b. Adanya unsur kesalahan;

c. Adanya kerugian yang diderita;

d. Adanya hubungan kasualitas antara kesalahan dan kerugian.

Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum.

Pengertian “hukum” tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang brerbuat salah untuk

125 Ibid.,hlm.59-61

63

mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.

Latar belakang penerapan prinsip ini adalah konsumen hanya melihat semua dibalik dinding suatu korporasi itu sebagai satu kesatuan. Ia tidak dapat membedakan mana yang berhubungan secara organik dengan korporasi dan mana yang tidak.126

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat, selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah.

Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Dasar pemikiran dari teori pembalikan beban pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah ( presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum.

Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen maka akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen selaku penggugat selalu

126 Op.cit.,Celina Tri Siwi Kristiyanti, hlm. 92-94

terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat.127

3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab ( presumption nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembahasan secara demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.128

Dalam pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1995 tentang Angkutan Udara, ada penegasan “prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab” ini tidak lagi diterapkan secara mutlak, dan mengarah pada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi (setinggi-tingginya satu juta rupiah).

Artinya, bagasi kabin/bagasi tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban sepanjang bukti kesalahan pihak pelaku usaha ( pengangkut) dapat ditunjukkan.

Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada si penumpang.

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak ( strict liability) sering di identikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut ( absolute liability). Kendati demikian ada pula ahli

127 Ibid.,hlm. 95

128 Loc.cit.,hlm.63

65

yang membedakan kedua terminologi diatas. Ada yang pendapat yang menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

Menurut R.C. Hoeber et.al., biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena:

a. Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya suatu kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks;

b. Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau dengan menambah komponen biaya tertentu pada produknya;

c. Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini, produsen bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya.

Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal:

a. Melanggar jaminan ( breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dengan kemasan produk;

b. Ada unsur kelalaian ( negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik;

c. Menerapkan tanggung jawab mutlak ( strict liability).

Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan resiko adanya kerugian itu. Namun, penggugat( konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kasualitas antara perbuatan pelaku usaha ( konsumen) dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip strict liability.129

5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi pelaku usaha untuk dicantumkan dalam klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan film yang ingin dicuci/dicetak itu hilang atau rusak ( termasuk akibat kesalahan petugas), maka kosnumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.

129 Op.cit.,Celina Tri Siwi Kristiyanti, hlm. 96

67

Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang jelas.130

Jika dilihat dari sudut pandang hukum perlindungan konsumen, prinsip yang digunakan dalam tanggung jawab, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian atau kealpaan

Tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah prinsip tanggung jawab yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawab yang ditemukan oleh perilaku produsen.131

2. Tanggung jawab berdasarkan wanprestasi

Prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi ini merupakan tanggung jawab yang didasarkan pada kontrak antara pelaku usaha dengan konsumen. Prinsip tanggung jawab ini tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan pelaku usaha dalam memenuhi prestasinya. Artinya, meskipun pelaku usaha sudah berupaya memenuhi kewajiban dan janjinya, namun konsumen tetap mengalami kerugian,

130 Ibid., hlm 97-98

131 Op.cit,Zulham,hlm.83

maka pelaku usaha tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian yang dialami konsumen.132

3. Prinsip tanggung jawab mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak dikenal dengan nama product liability.

Menurut asas ini produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang dialami konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya.133

132 Ibid, hlm.92

133 Op.cit.,Shidarta,hlm.78

69

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIHAK MNC TERHADAP KONSUMEN