• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

PENGATURAN MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN

C. Hukum Perlindungan Konsumen 1. Pengertian konsumen

Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (Inggris- Amerika), atau Consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah ( lawan produsen) setiap orang yang menggunakan barang,98

Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.99

Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dikemukakan bahwa “ konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan / atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

97 https://www.mncplay.id/broadband/ di akses pada 22 Mei 2021

98 Celina Tri Siwi Kristiyanti,Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta:Sinar Grafika,2016) hlm 22

99 Az. Nasution,Hukum Perlindungan Konsumen suatu pengantar,(Jakarta: Diadit Media,2001), hlm. 3

47

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak diperdagangkan”.100

Dalam pengertian konsumen menurut menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat unsur-unsur defenisi konsumen:101

a. Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Bila dilihat pada pengertian untuk “pelaku usaha”

dalam pasal 1 angka (3), yang secara eksplisit membedakan kedua defenisi persoon diatas, dengan menyebut kata-kata: “ orang perorangan atau badan usaha”. Tentu paling tidak yang paling tidak tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada perseorangan. Namun, Konsumen harus juga mencakup badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen tampaknya berusaha menghindari kata “ produsen” sebagai lawan kata “konsumen”. Untuk itu, digunakan kata “pelaku usaha” yang bermakna lebih luas. Istilah terakhir ini dipilih untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur (penyedia dana), produsen, penyalur, penjual, dan terminologi

100 Pasal 1 ayat ( 2) Undang-Undang No. 8 tahun 1999

101 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta:Grasindo,2000), hlm. 4

lain yang lazim diberikan. Bahkan, untuk kasus-kasus yang spesifik seperti dalam kasus periklanan,pelaku usaha ini juga mencakup perusahaan media, tempat iklan itu ditayangkan.102

b. Pemakai

Sesuai dengan bunyi penjelasan pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai”

menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah

“pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan / atau jasa yang dipakai tidak sera-merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu.

Dengan kata lain hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract). Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer atau koper) tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengonsumsi jasa dan/atau barang. Jadi, yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikamatan dalam menggunakannya.

Transaksi konsumen memliliki banyak sekali metode. Dewasa ini, sudah lazim terjadi sebelum suatu produk dipasarkan, terlebih dulu dilakukan pengenalan produk terhadap konsumen. Istilahnya product knowledge. Untuk itu, dibagikan sampel yang diproduksi khusus dan sengaja tidak diperjualbelikan. Orang yang

102 Op.cit., Celina Tri Siwi Kristiyanti, hlm 27

49

mengonsumsi produk sampel juga merupakan konsumen. Oleh karena itu wajib dilindungi hak-haknya.103

c. Barang dan/atau Jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang. Dalam dunia perbankan, misalnya istilah produk dipakai juga untuk menamakan jenis-jenis layanan perbankan. UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan konsumen. UUPK tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “ dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”. Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dianfaatkan oleh konsumen. Pengertian

“disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus lebih satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut.

Kata-kata “ditawarkan kepada masyarakat” itu harus ditafsirkan sebagai bagian dari transaksi konsumen. Artinya, seseorang yang karena kebutuhan mendadak lalu menjual rumahnya kepada orang lain, tidak dapat dikatakan perbuatannya itu sebagai

103 Ibid.,hlm.28

transaksi konsumen. Si pembeli tidak dapat dikategorikan sebagai “konsumen”

menurut UUPK.104

d. Yang Tersedia dalam Masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis transaksi konsumen tertentu, seperti futures trading, keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.105

e. Bagi Kepentingan Diri Sendiri,Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup lain

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri,keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam defenisi itu mencoba untuk mempeluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekadar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain,

104 Ibid.,hlm.29

105 Ibid

51

seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari kepentingannya. Oleh sebab itu, penguaraian unsur itu tidak menambah makna apa-apa karena pada dasarnya tindakan memakai suatu barang dan/atau jasa ( terlepas ditujukan untuk siapa dan makhluk hidup lain), juga tidak terlepas dari kepentingan pribadi. Seseorang yang membeli makanan untuk kucing peliharaannya, misalnya, berkaitan dengan kepentingan pribadi orang itu untuk memiliki kucing yang sehat.106

f. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan

Pengertian dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara.

Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.107

Batasan mengenai konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang dan atau jasa untuk semua kegunaan tertentu.

Sedangkan Hondius, seorang pakar hukum konsumen Belanda menyimpulkan pengertian konsumen adalah pemakai atau pengguna produksi terakhir dari benda dan jasa.108

106 Ibid

107 Ibid

108 Loc.cit.,Shidarta.

Dari rumusan ini dikemukakan bahwa ada konsumen akhir dan konsumen antara. Artinya ada konsumen yang membeli barang dan/atau jasa itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta keluarganya melainkan untuk diperdagangkan untuk menambah penghasilan, disamping itu juga terdapat konsumen yang membeli barang dan atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya dengan tujuan melangsungkan kehidupan. Untuk itu, batasan pengertian konsumen perlu dibedakan,yaitu:109

1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.

2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan atau jasa yang digunakan dengan membuat barang dan atau jasa lain atau untuk diperdagangkan ( tujuan komersil)

3. Konsumen akhir adalah setiap orang yang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).

2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen merupakan dua bidang hukum yang sulit dipisahkan. Pada intinya hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan.

109 Loc.cit.,AZ.Nasution.

53

Baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen ternyata belum dibakukan menjadi satu pengertian yang resmi, baik dalam perundang-undangan maupun kurikulum akademis.

Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk tidak dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain yang mempunyai keterkaitan dan ketergantungan antara konsumen, pengusaha dan pemerintah.110

Perlindungan Konsumen adalah perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri.111

Hukum perlindungan konsumen menurut merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas. Secara definitif dikemukakan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen.112Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dana atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup.

110 Erman Rajagukguk,Hukum Perlindungan Konsumen,(Bandung:Mandar Maju,2000),.Hlm.7

111 Op.cit.,Zulham,hlm.16

112 Kelik Wardiono,Hukum Perlindungan Konsumen(Yogyakarta:Ombak,2014),hlm.4

Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa “perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.113

Pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam pasal 1 ayat(1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut belum cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenangan yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.114

Merujuk pada konsideran angka (4) undang- undang Perlindungan konsumen, kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/ atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab.

Tujuan yang ingin dicapai perlindungan konsumen umumnya dapat dibagi dalam tiga bagian utama, yaitu:115

113 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen. Pasal 1 ayat (1)

114 Ahmad miru dan Sutarman Yodo,Hukum perlindungan Konsumen(Jakarta:Rajawali pers,2010), hlm.1

115 Adrian Sutedi,Tanggung Jawab produk dalam Perlindungan konsumen,(Bogor:GhaliaIndonesia,2008),hlm.9

55

a. Memberdayakan konsumen dan memilih, menentukan barang dan atau jasa kebutuhannya, dan menuntut hak-haknya.

b. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsur-unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk mendapatkan informasi itu.

c. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur an bertanggung jawab.

Pada hakikatnya perlindungan konsumen menyiratkan keterpihakan kepada kepentingan-kepentingan (hukum) konsumen. Adapun kepentingan konsumen menurut Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 39/284 tentang guidelines for consumer protection, sebagai berikut:116

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;

b. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen;

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

116 N.H.T. siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab produsen,(Jakrta;Pantai rei,2005), hlm. 92-95

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan pada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.