• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I Pendahuluan

C. Isu Hak Asasi Manusia di ASEAN

Kehidupan politik dan kebudayaan negara Asia kurang begitu kental berpadu jika dibandingkan dengan kehidupan politik dan kebudayaan negara lain di benua lainnya. Suatu pentunjuk kehidupan politik dan kebudayaan yang tidak terpadu ini adalah tidak ada organisasi internasional wilayah yang mencakup seluruh Asia. Asia terdiri atas sekumpulan negara dengan struktur sosial yang berbeda-beda dan tradisi keagamaan , falsafah dan kebudayaan yang beraneka

ragam.32

Pada tahun 1993 negara-negara ASEAN menetapkan untuk mengangkat seorang pelapor wilayah untuk masalah hak-hak asasi manusia. Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak Rakyat di Dunia Arab bukan dokumen pemerintah

Dalam bidang hak-hak asasi manusia Asia jugs tidak memperlihatkan keseragaman. Orang dapat membayangkan tradisi Cina , Hindu, atau Islam, tetapi hampir tidak ada yang disebut tradisi Asia yang menghubungkan aneka ragam negara seperti Cina, Jepang, Pakistan, India, Iran, dan yang lainya. Tidak ada perjanjian tentang hak-hak Asasi manusia untuk tingkat Asia. Upaya telah dilakukan untuk menyusun suatu deklarasi hak-hak manusia Asia Barat atau Asia Tenggara tetapi upaya ini hingga kini belum membawa hasil. Para wakillembaga swadaya masyarakat telah membentuk ‘Badan Wilayah untuk Hak-hak Asasi Manusia di Asia ‘, yang telah menghasilkan sebuah deklarasi tentang kewajiban dasar dari rakyat dan pemerintah negara-negara ASEAN. ASEAN adalah sebuah wadah kerja sama wilayah sepuluh negara Asia Tenggara dengan titik berat pada bidang ekonomi.

32 Hiroko Yamane, ‘Asia and Human Rights’ dalam K. Vasak , The International Dimensions of Human

Rights, Paris : UNESCO 1982 hlm 651 dalam Peter R.Baehr , Hak-hak asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri hlm 150

melainkan dibuat oleh para ahli perseorangan. Dalam bidang hak-hak asasi manusia lembaga swadaya masyarakat di ASEAN tampaknya lebih maju daripada pemerintahnya. Selama persiapan untuk Konferensi Dunia tentang Hak-Hak Manusia di Wina , pemerintah tertentu , termasuk pemerintah Cina, India, Malaysia, Singapura, dan Indonesia mmeperlihatkan derajat kebersamaannya lebih besar, tetapi kebersamaan ini lebih banyak untuk membalas apa yang mereka anggap sebagai usaha negara-negara Barat yang tidak semestinya untuk mendesak pemantauna hak-hak asasi manusia yang lehi efektif oleh PBB dan organ lainnya. ‘Deklarasi Bangkok’ yang lahir dari suatu pertemuan wilayah yang diselenggarakan pada musim semi tahun 1993 ditafsirkan secara luas dalam arti menolak sifat universal dari hak-hak asasi manusia , seperti dilukiskan oleh

kutipan berikut: Menyadari bahwa sungguhpun hak-hak asasi manusia bersifat

universal, hak-hak asasi manusia harus dipertimbangkan dalam kerangka latar belakang sebuah prose pembentukan norma internasional yang dinamis dan terus berkembang , dengan mempertimbangkan ciri-ciri khas nasional dan wilayah serta

berbagai latar belakang sejarah, kebudayaan, dan agama.33

Selama Konferensi Dunia itu sendiri, para delegasi dari sejumlah negara Asia terkesan lebih aktif dalam usaha menghambat kemajuan ke ara memperkuat prosedur pengawasan daripada mengupayakan kemajuan lebih jauh lagi. Dalam beberapa tahun belakangan ini semakin bertambah jumlah negara Asia yang meratifikasi Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik dan tentaj Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Kebudayaan, sementara itu dua puluh negara lainnya belum ikut meratifikasinya. Negara Asia tengah berjuang mengatasi

berbagai masalah termasuk masalah dalam bidang hak asasi manusia.34

Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) mendefinisikan “anak” secara umur sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun, namun diberikann juga

33 Deklarasi Bangkok ayat 8 34 Baehr Peter.R,

Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta 1998 hlm 150-151

pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam

perundangan nasional35

Mengenai Protokol Opsional, hanya sedikit negara yang telah meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak (OPSC) dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (OPAC). Bahkan, dua negara yang telah meratifikasi Protokol Opsional kedua, yaitu Filipina dan Thailand masih menghadapi banyak masalah dengan jumlah korban dalam penjualan, prostitusi dan pornografi dan banyak masalah serius pada anak-anak terlibat dalam konflik . Sehubungan dengan akhir pengamatan yang diberikan oleh Komite Hak Anak (KHA), setiap negara anggota ASEAN masih belum termasuk empat prinsip-prinsip KHA, khususnya prinsip-prinsip non-diskriminasi dan menghormati pandangan anak (partisipasi anak) ke dalam sistem hukum nasional mereka. Komite juga menekankan perlunya harmonisasi perundang- undangan dan kebijakan nasional masing-masing negara ASEAN akan cocok atau sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam KHA. Komite merekomendasikan negara pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menyelaraskan definisi anak, termasuk penggunaan istilah, dalam hukum nasional sehingga dapat mengurangi inkonsistensi dan kontradiksi. Setiap negara juga didorong untuk melakukan perbaikan dalam peraturan dan kebijakan nasional dalam memberikan jaminan hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga terutama masalah perawatan alternatif, adopsi, dan hak-hak dasar seperti hak atas pendidikan dan kesehatan terutama bagi anak-anak cacat, dan anak yang tergabung dalam kelompok minoritas. Negara-negara ASEAN juga masih memiliki banyak masalah pada sistem perlindungan anak, kekerasan terhadap anak dan masalah trafiking dan pornografi yang melibatkan anak-anak. Negara- negara ASEAN diminta untuk bekerja sama dengan sesama anggota atau badan- badan internasional dalam rangka memperkuat sistem perlindungan anak, terutama dalam isu-isu anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus.

bersenjata. Negara-negara ASEAN juga harus didorong untuk membangun sistem perlindungan anak yang tidak hanya dibangun atas dasar sistem hukum dan kebijakan yang kuat, tetapi juga dapat diterapkan ke dalam pemecahan program berorientasi masalah.

Hampir semua negara telah mengeluarkan Rencana Aksi Nasional untuk masalah-masalah tertentu, seperti pencegahan dan penghapusan perdagangan manusia, pencegahan dan penghapusan eksploitasi seksual komersial, penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (mengikuti Konvensi ILO 182). Namun, rencana aksi nasional belum diikuti oleh langkah-langkah progresif dan afirmatif dalam anggaran dan kebijakan regional dan masih lemah dalam koordinasi antara instansi terkait atau antara pemerintah pusat dan daerah.

ASEAN masih membutuhkan kerjasama antar anggota untuk mengatasi masalah perdagangan manusia, eksploitasi seksual komersial anak, penjualan anak dan penculikan, pornografi, adopsi ilegal yang sering memerlukan kerjasama antar negara, baik bilateral maupun multilateral. Negara-negara ASEAN pada umumnya belum cukup baik dalam pembuatan dan pelaksanaan standar pelayanan minimum. Kurangnya fasilitas pelatihan yang memadai tersedia untuk penegakan hukum, pekerja sosial, konselor dan pendidikan eksekutif sebagaimana diatur dalam pedoman internasional tentang penanganan rehabilitasi, pemulihan atau reintegrasi korban. Setiap negara ASEAN masih kekurangan dari sistem pengumpulan data yang komprehensif dan integratif untuk digunakan dalam pemetaan masalah, pencegahan dan solusi untuk berbagai pelanggaran hak-hak anak. ASEAN telah memperoleh komentar positif dari Komite Hak Anak karena kemajuan yang dicapai. Pertama, itu adalah kemauan negara untuk menarik pemesanan pada artikel CRC.

Secara umum, negara-negara ASEAN telah menetapkan peraturan tentang perlindungan hak-hak anak, badan-badan khusus dan hak-program berorientasi perlindungan anak. Beberapa negara seperti Indonesia, Thailand, Malaysia dan

Filipina telah memiliki badan independen hak asasi manusia (NHRI). Indonesia bahkan memiliki Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia serta Komisi Nasional Perempuan. Beberapa negara juga telah meratifikasi Konvensi ILO 182 dan Konvensi ILO 138 meskipun undang-undang nasional tentang pekerja anak belum cukup kuat untuk menjamin perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi mungkin dan kerja. Adapun isu HAM yang terjadi di negara ASEAN yaitu :

1. MALAYSIA

Pemerintah Malaysia mengkhawatirkan tingginya kasus kekerasan fisik dan pelecehan seksual yang menimpa anak-anak di bawah umur di negeri itu. Mengutip catatan Kantor Kementerian Pembangunan Wanita, Keluarga dan Masyarakat Malaysia , kasus pelecehan seksual yang melibatkan anak perempuan begitu mengkhawatirkan, bahkan angka kasus anak laki-laki yang dilecehkan secara seksual cukup signifikan. Pun anak-anak di bawah umur yang disiksa secara fisik dan ditelantarkan oleh pengasuhnya, mengalami peningkatan.

Data statistik pada kementerian tahun 2010 menunjukkan, sebanyak 3.257 anak menjadi korban pelecehan, dengan 1.019 di antaranya anak laki-laki. Angka tersebut menunjukkan kenaikan pada 2011 menjadi 3.428 kasus. Anak laki-laki yang menjadi korban juga meningkat menjadi 1.253 orang. Tahun lalu, kasus pelecehan anak membengkak menjadi 3.831 kasus yang dilaporkan. Sementara korban perempuan muda mencapai 2.544 orang. Sementara itu, ada sekitar 1.000 kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat hingga Maret tahun 2013 ini. Kementerian menyatakan, anak-anak mengalami penganiayaan fisik, seperti yang diklasifikasikan dalam Pasal 17 (1) (a) dan (b) Anak Act 2001, terdiri jumlah tertinggi kasus yang dicatat. Sebanyak 846 dari 3.257 kasus yang terjadi pada tahun 2010 diklasifikasikan sebagai "kekerasan fisik", dengan 32 kasus yang tercatat sebagai "pelecehan emosional". Kasus kekerasan fisik meningkat menjadi 1.062 kasus pada 2011, dan 1.080 kasus pada 2012. Pada tahun 2010, sebanyak 871 perempuan dan 66 anak laki-laki mengalami pelecehan seksual. Catatan pada

tahun berikutnya menunjukkan, 789 perempuan dan 35 laki-laki anak mengalami penganiayaan. Jumlah tersebut meningkat dari tahun lalu menjadi 908 perempuan dan 55 laki-laki. Selama triwulan pertama 2013 saja, ada 268 kasus pelecehan seksual yang melibatkan anak-anak perempuan, sementara pada korban anak laki- laki ada 13.

Kementerian juga mengungkapkan adanya peningkatan kasus anak-anak yang ditelantarkan. Tahun lalu, 1.051 anak-anak yang ditinggalkan oleh pengasuhnya dan kebutuhan dasar mereka, seperti pakaian, makanan dan pendidikan, diabaikan.Menurut pihak kementerian, ini merupakan peningkatan dari 927 kasus penelantaran pada tahun 2010 dan 814 kasus pada tahun sebelumnya. Data tersebut juga mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap anak biasanya terjadi dalam keluarga yang memiliki kombinasi "faktor risiko", yang termasuk orang tua atau wali dengan stres yang berhubungan dengan pekerjaan, masalah keuangan, dan perkawinan.

Orang tua dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah lebih rentan terhadap pelanggaran, seperti status ekonomi keluarga. "Ketidakmampuan orang tua untuk mengasuh anak-anak mereka dan diri mereka sendiri sambil menyeimbangkan pekerjaan yang penuh tekanan, adalah salah satu alasan mengapa mereka melampiaskan rasa frustrasi mereka kepada anak-anak mereka," demikian pernyataan dari kementerian. "Faktor eksternal, seperti jenis lingkungan, latar belakang keluarga, dan pengaruh media, juga saling berkait." Data tersebut menunjukkan, jumlah kasus penganiayaan yang tertinggi berada di perumahan liar dan perumahan murah. Selain itu, faktor himpitan ekonomi juga memberikan

kesempatan bagi predator seksual untuk mengambil keuntungan dari anak-anak.36

36Kasus Kekerasan Terhadap Anak di Malaysia Mengkhawatirkan, diakses dari :

http://m.batamtoday.com/berita32152-Kasus-Kekerasan-Terhadap-Anak-di-Malaysia-Mengkhawatirkan.html editor : Dodo pada tanggal 21 agustus 2013

2. MYANMAR

Pemberitaan terkait pengungsi suku minoritas Rohingya Myanmar mengundang perhatian masyarakat internasional, setelah ratusan manusia perahu yang melarikan diri dari Myanmar terdampar di Aceh dan mengungkapkan perlakuan buruk yang mereka terima selama berada di Thailand. Pada awal tahun 2009 lalu, Angkatan Laut Thailand telah menangkap manusia perahu Rohingya di perairan Andaman dan kemudian memaksa sekitar 1000 manusia perahu kembali ke laut dalam perahu-perahu tanpa mesin serta tanpa perbekalan air dan makanan yang memadai. International Organization for Migration (IOM) juga menemukan bukti pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat militer Thailand tersebut. Tidak heran apabila kemudian Thailand menuai kritik dan kecaman dari berbagai negara, termasuk Indonesia.

Perlakuan militer Thailand tersebut tergolong tindakan tidak manusiawi bahkan untuk alasan penerapan hukum terhadap para pelanggar batas atau illegal entry sekalipun. Organization of the Islamic Conference (OIC) juga telah meminta Pemerintah Thailand untuk memberikan perlindungan yang diperlukan terhadap

manusia perahu sebagaimana yang tercantum dalam the 1951 UN Convention on

Refugees. Kasus manusia perahu tersebut muncul ditengah-tengah kentalnya isu-

isu HAM dan memunculkan pertanyaan mengenai kesungguhan negara-negara ASEAN dalam penegakan HAM dan pembentukan ASEAN Human Right Body. Penanganan kasus manusia perahu juga diwarnai berbagai perbedaan kepentingan negara-negara di kawasan.

Bagi Thailand keberadaan manusia perahu Rohingya di wilayahnya adalah illegal dan merupakan bagian dari kejahatan penyeludupan dan perdagangan manusia. Tidak berbeda dengan Thailand, Indonesia juga berpendapat bahwa

gelombang pengungsian tersebut merupakan kegiatan human trafficking dan

people smuggling. Namun, Pemerintah Indonesia tidak dapat menutup mata

terhadap penderitaan etnis Rohingya dan berupaya untuk mencari solusi terbaik sesuai yang diamanatkan oleh UUD 1945.

Myanmar sebagai negara asal, mengambil sikap tidak peduli terhadap nasib etnis minoritas tersebut dan bersikeras bahwa Rohingya bukanlah warganya. Sementara itu, Bangladesh sebagai negara miskin di kawasan Asia Selatan merasa terbebani dengan besarnya arus pengungsian dari Myanmar tersebut. Australia yang menjadi salah satu negara tujuan berkepentingan dalam mencegah masuknya pengungsi dikarenakan alasan kepentingan keamanan nasionalnya. Muncul pertanyaan bagaimana kasus ini akan ditangani, mekanisme apa yang dapat digunakan dalam penyelesaiannya? Bagaimana instrumen hukum dapat memberikan perlindungan terhadap manusia perahu ini? Baik Thailand maupun Indonesia menyadari bahwa manusia perahu ini memerlukan penanganan komprehensif yang melibatkan hampir semua negara di kawasan karena

merupakan cross border issues.Siapa etnis Rohingya ini? Bagaimana gelombang

pengungsian etnis Rohingya bermula?Etnis Rohingya telah mendiami dua kota di

Utara Negara Bagian Rakhine, yang dulu dikenal dengan nama Arakan, wilayah bagian barat Myanmar sejak abad ke-7 Masehi.

Saat ini masih terdapat sekitar 600.000 orang Rohingya yang tinggal di Myamar. Etnis Rohingya secara fisik, bahasa danbudaya lebih mendekati bangsa Asia Selatan, dan sebagian dari mereka adalah keturunan Arab, Persia dan Pathan. Selama bertahun-tahun mereka mendapatkan perlakuan buruk dan diskriminatif

dari Pemerintah Myanmar, terlebih lagi paska operasi Militer King Dragon,37

37 Pada tahun 1978 Pemerintah Myanmar dibawah kepemimpinan Jenderal Ne Win melakukan operasi militer

King Dragon di Negara bagian Rakhine (Arakan) dalam upaya memberantas para mujahidin di wilayah tersebut.Namun, operasi militer tersebut juga berdampak pada masyarakat muslim lainnya, terutama dari etnis Rohingya.

yang telah memaksa mereka mengungsi ke Bangladesh. Menurut data Amnesti Internasional pada periode 1991-1992, kurang lebih 250 ribu orang Rohingya mengungsi dan memasuki wilayah Bangladesh. Sedangkan menurut data UNHCR, saat ini terdapat sekitar 28 ribu orang Rohingya yang tinggal di kamp- kamp pengungsi di Bangladesh. Ironisnya etnis muslim Rohingya tersebut tidak diakui baik oleh Myanmar maupun Bangladesh sebagai warganya.

Pemerintah Myanmar menganggap orang Rohingya sebagai orang Bengali (Bangladesh) yang tinggal di Myanmar. Pemerintah Junta Militer Myanmar menyatakan bahwa sekalipun mereka tinggal di Arakan, Myanmar, tetapi etnis Rohingya bukanlah rakyat Myanmar dan tidak termasuk dalam salah satu dari 135

kelompok etnis yang tergabung dalam Uni Myanmar.38

Menurut Amnesti Internasional, orang Rohingya telah mengalami penderitaan yang cukup panjang akibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemerintah Junta Myanmar. Kebebasan orang Rohingya sangat dibatasi, mayoritas dari mereka tidak diakui kewarga-negaraannya. Mereka hanya sedikit dan bahkan tidak diberikan hak kepemilikan atas tanah dan rumah serta diperkerja paksakan pada sejumlah pekerjaan pembangunan infrastruktur di Myanmar.

Pemerintah Myanmar juga tidak mengakui kewarganegaraan mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa etnis

Rohingya ini adalah orang-orang tanpa kewarganegaraan atau stateless.

Perlakuan diskriminatif tersebut telah memaksa mereka memilih untuk menjadi manusia perahu dan meninggalkan Myanmar untuk mencari keamanan dan penghidupan yang lebih baik di negara lain. Negara-negara yang menjadi tempat transit dan tujuan mereka antara lain adalah Bangladesh, Malaysia, Pakistan, Saudi Arabia, Thailand, Indonesia dan Australia. Hingga pada awal tahun 2009 perhatian dunia internasional kembali tertuju pada etnis Rohingya ketika sekitar 1000 manusia perahu tersebut ditangkap pada saat akan memasuki wilayah Thailand.

Namun, menurut perwakilan UNHCR di Bangkok, meskipun tidak diketahui jumlah pastinya, setidaknya masih terdapat sekitar 78 orang Rohingya yang ditahan di Ranong, di bagian selatan Thailand dan belum dapat diketahui

38 Pernyataan dikeluarkan pada Press Realese Kemlu Myanmar pada 26/02/1992. Pernyataan tersebut

ditegaskan lagi

dalam Political Situation of Myanmar and its Role in the Region, Col. Hla Min, Office of Strategic Studies, Ministy of Defense of Myanmar, February 2001, p. 95-99. Pemberitaan Media Indonesia, 12/02/2009, hal 6, bahwa

Perwakilan Pemerintah Myanmar di Hongkong melalui surat kabar setempat yang meminta agar masyarakat internasional, khususnya media untuk tidak menyebut etnis Rohingya sebagai salah satu etnis di Myanmar. Dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN,

keadaannya apakah mereka juga memerlukan perlindungan internasional. Pemerintah Thailand menyatakan bahwa manusia perahu Rohingya sebagai pelintas batas illegal dan dikategorikan sebagai migran ekonomi, bukan pencari suaka yang berhak mendapatkan status pengungsi. Namun, bagaimana kedudukan manusiaperahu Rohingya ditinjau dari pandangan hukum?. Ada 2 perangkat

hukum internasional yang mengatur masalah pengungsi yaitu the 1951 UN

Convention on Refugees dan the 1967Protocol on Status of Refugees.

Konvensi tersebut dalam artikel 1 butir A (2) mendefinisikan

pengungsi 39sebagai:"A person who owing to a well-founded fear of being

persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular

social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is

unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it.." Menurut hukum internasional, pengungsiadalah

orang yang berada di luar negara atau tempat tinggal asalnya, mengalami

ketakutan terhadap penuntutan dikarenakan oleh ras, agama, kewarganegaraan,

keanggotaan padakelompok sosial tertentu atau memiliki pandangan politik yang

berbeda, dan tidak memilikikewarganegaran dan tidak mampu atau tidakbersedia

untuk mendapatkan perlindungan dari negaranya atau kembali ke negaranya

dikarenakan adanya ketakutan tersebut. Sedangkan definisi migran menurut

PedomanPenetapan Prosedur dan Kriteria Pengungsisesuai Konvensi tahun 1951

adalah orang yang, selain dari alasan ras, agama, kewarganegaraan,keanggotaan

pada kelompok sosial tertentu dan perbedaan pandangan politik, secara sukarela

meninggalkan negaranya untuk menetap dinegara lain.40

39The 1951 UN Convention on Refugees yang diamandemen dalam Protokol 1967dalam jurnal Irma D.

Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009,

40

Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status under the 1951 Convention and the 1967 Protokol relating to the Status of Refugees paragraph 62, UNHCR document, Geneva, Januari 1992 dalam jurnal Irma D. Rismayati ,Manusia Perahu Rohingya : Tantangan Penegakan HAM di ASEAN, Jurnal Opini Juris Vol 1 Edisi Oktber 2009,

Sedangkan motivasinya untuk berpindah tempat tinggal, adalah karena

menginginkan perubahan atau petualangan, atau karena alasan keluarga maupun

pribadi. Apabila secara khusus motivasinya adalah pertimbangan ekonomi untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, maka orang tersebut adalah seorang migran ekonomi dan bukan termasuk kategori pengungsi. Namun, perbedaan antara migran ekonomi dengan pengungsi seringkali rancu dan tidak jelas. Memang bukanlah perkara yang mudah untuk menetapkan standar ukuran apakah ekonomi atau politik yang menjadi latar belakang atau motif dari perpindahan seseorang, karena bukan tidak mungkin apabila motif ekonomi tersebut dipengaruhi oleh isu rasial, agama atau politik yang dihadapi oleh satu kelompok

tertentu di negara asalnya.41

Seperti halnya manusia perahu Rohingya, lalu apakah dengan demikian mereka dapat dikategorikan sebagai pengungsi? Ada berapa fakta terkait manusia perahu tersebut, yaitu: pertama, etnis Rohingya jelas tidak diakui sebagai rakyat Myanmar (stateless). Pengertian stateless ini dinyatakan dalam artikel 1 the 1954 Convention Relating to the Status of Stateless Persons adalah “a person who is not considered as a national by any state under the operation of its law”. Kedua, mereka mengalami perlakuan diskriminatif dan rasis baik secara ekonomi, sosial maupun politik. Secara ekonomi diskriminasi tersebut meliputi tidak diberikannya Disamping itu, pada prakteknya, penentuan apakah orang tersebut adalah pengungsi atau bukan, seringkali diserahkan pada lembaga- lembaga atau badan-badan Pemerintah dari negara penerima, negara transit atau negara kedua. Akibatnya adalah terjadinya kecenderungan untuk menolak memberikan status pengungsi dan bahkan para pencari suaka tersebut seringkali diperlakukan sebagai pendatang illegal. Sehingga sulit untuk dapat menggaransi adanya suatu perlindungan bagi para pencari suaka tersebut.

41The distinction between an economic migrant and a refugee is, however, sometimes blurred in the same way as

the distinction between economic and political measures in an applicant’s country of origin is not always clear...” Dikutip dari Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status under the 1951

Dokumen terkait