• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Afektif

Dalam dokumen PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL (2) (Halaman 31-200)

BAB V. PEMBAHASAN

C. Aspek Afektif

yaitu dilakukan dengan penilaian instrumen pilihan ganda dan uraian sesuai indikator yang ingin dicapai dari tingkat pengetahuan (C1), pemahaman (C2) dan penerapan (C3), karena guru pamong bidang studi sosiologi memberikan pendapatnya kepada peneliti bahwa pada aspek kognitif mata pelajaran sosiologi kelas X SMA Negeri 02 Junrejo, Kota Batu indicator yang dicapai hanya dari tingkat pengetahuan (C1), pemahaman (C2) dan penerapan (C3).

c. Aspek afektif dalam penelitian ini kami batasi dengan mata pelajaran sosiologi kelas X yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan, yaitu: 1) penerimaan, 2) partisipasi, 3) penentuan sikap, 4) organisasi, dan 5) penentuan pola hidup. Karena pada aspek afektif siswa kelas X.5 SMA Negeri 02 Junrejo, Kota Batu kurang aktif dalam proses belajar mata pelajaran sosiologi.

F. Definisi Istilah

1. Menurut Johson dalam Lie mengatakan bahwa pada umumnya hasil penelitian dari penggunaan metode pembelajaran kooperatif akan menghasilkan prestasi yang lebih tinggi, hubungan yang lebih positif, dan penyesuaian psikologis yang lebih baik dari pada suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan memisah-misahkan siswa10. Maka diketahui bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang didasarkan atas kerja kelompok, yang menuntut keaktifan siswa untuk saling bekerjasama dan membantu dalam menyelesaikan masalah atau tugas yang diberikan oleh guru. Melalui pembelajaran kooperatif siswa didorong untuk bekerjasama secara maksimal sesuai dengan keadaan kelompoknya. Kerjasama yang dimaksud dalam pembelajaran kooperatif adalah setiap anggota kelompok harus saling membantu menguasai bahan ajar. Bagi siswa yang mempunyai kemampuan tinggi harus membantu siswa yang berkemampuan rendah agar dapat menguasai materi yang sedang dipelajari sehingga kelompoknya dapat berhasil karena penilaian akhir ditentukan oleh keberhasilan kelompok. Oleh karena itu setiap anggota kelompok harus mempunyai tanggung jawab penuh terhadap kelompoknya.

2. Model two stay two stray (TSTS) adalah dengan cara siswa berbagi

pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain. Sintaknya adalah sebagai berikut: (1) kerja kelompok secara heterogen, (2) setelah selesai, dua siswa dari masing-masing kelompok bertamu ke kelompok lain, (3) dua orang

10 Anita Lie, Mempraktekkan Cooperative learning di Ruang-ruang Kelas, (Jakarta: PT. Gramedia, 2002), hlm. 7

yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi ke tamu mereka dari kelompok lain, (4) tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dengan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain, (5) kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka11. 3. Aspek kognitif dalam penelitian ini adalah nilai siswa berdasarkan tes yang

diberikan pada akhir tindakan terdiri dari tiga tingkat yaitu pengetahuan (C1), pemahaman (C2), dan penerapan (C3)12.

4. Aspek afektif adalah perubahan sikap positif siswa terutama pada aspek perilaku: 1) penerimaan, 2) partisipasi, 3) penentuan sikap, 4) organisasi, dan 5) penentuan pola hidup13.

G. Sistematika Penulisan

Dalam pembahasan skripsi ini dijadikan beberapa bab pembahasan sebagai kerangka yang dijadikan acuan dalam berpikir secara sistematis. Adapun sistematika pembahasan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I: Pada Pendahuluan yang merupakan gambaran umum isi penelitian meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, definisi Istilah dan sistematika penulisan.

11 Ibid., hlm. 60-61

12 Mulyasa, E, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 139

Bab II: Kajian pustaka, berisi: hakikat sosiologi, pembelajaran kooperatif, Model Two Stay Two Stray (TSTS), Aspek Kognitif dan Aspek Afektif, Penerapan Pembelajaran Kooperatif model Two Stay Two Stray (TSTS) untuk Meningkatkan Aspek kognitif dan aspek afektif siswa, pembelajaran kooperatif dalam perspektif Islam, dan penelitian terdahulu.

Bab III:Metode penelitian, berisi: pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan data, tahap-tahap penelitian dan indikator kinerja.

Bab IV: Pemaparan data, berisi: lokasi penelitian, sarana prasarana, deskripsi kelas, rencana tindakan siklus I, II dan III, tindakan observasi siklus I, II, dan III, refleksi penelitian siklus I, II, dan III.

Bab V: Analisa pembahasan.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hakikat Sosiologi

Dapatkah dikatakan bahwa Sosiologi adalah ilmu? Jawabannya, ya dan hampir semua ahli mengatakan demikian. Tetapi apakah yang dimaksud dengan ilmu? menurut Soerjono Soekamto Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran (logika)14.

Kemudian Sosiologi sudah memenuhi syarat-syarat ilmu dan dapat didefinisikan Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antar manusia yang hidup dalam kelompok (seperti keluarga, kelas sosial, atau masyarakat, dan produk-produk yang timbul dari interaksi-interaksi tersebut seperti nilai, norma, serta kebiasaan,-kebiasaan yang dianut oleh kelompok atau masyarakat tersebut.

Selain itu, ruang lingkup sosiologi adalah masyarakat yang hidup dalam waktu yang relatif lama, hidup bersama yang dalam satu kesatuan, dan mempunyai sebuah sistem yang dapat menimbulkan kebudayaan di mana setiap anggota masyarakat merasa dirinya masing-masing terikat dengan kelompoknya.

Dalam meneliti kasus dan konflik yang terjadi dalam masyarakat, pemerintah banyak melibatkan sosiolog dan antropolog karena sosiolog dan antropolog dianggap sebagai ahli riset di mana mereka lebih menaruh perhatian pada pengumpulan data dan penggunaan data. Dengan data tersebut para sosiolog dan antropolog harus mampu menjernihkan berbagai anggapan keliru yang

berkembang dalam masyarakat. Selain ahli riset, para sosiolog dan antropolog juga berperan sebagai konsultan kebijakan, teknisi, dan sebagai guru atau pendidik15.

Ilmu-ilmu sosiologi yang diterapkan di SMA kelas X yaitu tentang memahami perilaku keteraturan hidup sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Nilai adalah konsepsi abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Dengan demikian, nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat. Norma sosial merupakan patokan perilaku manusia dalam kehidupan di masyarakat, macam-macam norma yang berlaku di masyarakat adalah norma agama. Norma hukum, norma kesopanan dan norma kesusilaan.

Syarat terjadinya interaksi sosial menurut soekanto adalah kontak sosial dan komunikasi16. Kontak sosial bisa terjadi tanpa adanya komunikasi, tetapi tanpa komunikasi kontak sosial tidak bermakna apa-apa dalam sebuah interaksi, karena masing-masing pihak tidak bisa saling memahami maksud dan perasaan masing-masing.

Dengan demikian, mereka disatukan oleh nilai-nilai dan norma-norma sosial yang diterima bersama oleh masyarakat. Nilai Sosial adalah hal-hal yang dianggap berharga oleh suatu masyarakat, sedangkan norma sosial adalah ukuran

15

Kun Maryati dan Juju Suryawati.2006, Buku Guru Sosiologi SMA Kelas X, (Bandung: Esis, 2006), hlm. 60

(benar atau salah, tepat atau tidak tepat, pantas atau tidak pantas) perilaku seseorang dalam masyarakat17.

Kemudian, sosialisasi sebagai proses dalam pembentukan kepribadian, sosialisasi adalah proses belajar seorang anak untuk menjadi anggota yang berpartisipasi di dalam masyarakat, yang dipelajari dalam proses sosialisasi adalah peran nilai, dan norma sosial itu sendiri. Pembentukan kepribadian dalam sosiologi disebut diri, diri merupakan produk sosial. Oleh karena itu sosiologi lebih memusatkan perhatian pada faktor lingkungan kebudayaan, pengalaman kelompok, dan pengalaman unik sebagai faktor-faktor pembentuk kepribadian dan cenderung tidak melihat faktor warisan biologis dan lingkungan fisik. Nilai dan norma sosial bukan hanya sebagai isi atau materi yang diajarkan dalam proses sosialisasi, tetapi juga dapat menentukan pola sosialisasi yang terjadi di masyarakat.

Lemert menyatakan bahwa perilaku menyimpang terjadi karena pemberian julukan, cap, atau merek tertentu yang dianggap menyimpang dalam suatu masyarakat18. Ia membagi penyimpangan kedalam dua bentuk, yakni penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder. Penyimpangan terjadi karena ketidaksepadanan pesan-pesan yang disampaikan oleh masing-masing agen sosialisasi, pengambilan peran yang salah, atau karena belajar subkebudayaan yang menyimpang.

17 Saptono, Bambang Suteng S, SOSIOLOGI Untuk SMA Kelas X, (Jakarta: PT. Phibeta Aneka Gama, 2006), hlm. 3

Upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat disebut pengendalian sosial. Tujuan pengendalian sosial adalah mencapai keserasian antara stabiltas dan perubahan di dalam masyarakat. Sifat pengendalian sosia lada dua macam, yaitu preventif ialah penegendalian sosial dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran. Represif ialah pengendalian sosial yang ditujukan untuk memulihkan keadaan seperti sebelum terjadinya pelanggaran. Peran lembaga resmi dan tidak resmi dalam masyarakat seperti polisi, pengadilan, adat dan tokoh masyarakat sangat penting untuk pengendalian sosial yang terjadi di masyarakat agar tidak terjadi perilaku menyimpang.

Dengan demikian, Ilmu-ilmu sosiologi yang diterapkan di SMA kelas X memahami perilaku keteraturan hidup sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat dan sosialisasi sebagai proses dalam pembentukan kepribadian dianggap berharga oleh suatu pendidikan SMA, Sehingga siswa-siswi mampu menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat dengan segala dampaknya terhadap lingkungan maupun perkembangan peradapan manusia itu sendiri, yang tergantung pada individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan masyarakat, itulah yang dikaji dalam sosiologi SMA kelas X.

B. Pembelajaran Kooperatif

Penelitian tentang kooperatif telah dilakukan pada tahun 1920 oleh Social

Psychological tetapi penelitian secara aplikasi khusus dari pembelajaran

kooperatif dalam kelas baru dimulai pada tahun 1970. Pada saat itu empat kelompok peneliti mulai meneliti dan mengembangkan metode pembelajaran

kooperatif dalam kelas. Sejak saat itu para peneliti diseluruh dunia mulai menerapkan pembelajaran kooperatif dalam kegiatan belajar mengajar didalam kelas, dan pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang sangat cocok19.

Ada beberapa definisi pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan. Menurut Holubec pembelajaran koperatif (cooperative

learning) merupakan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil

siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dan mencapai tujuan belajar20. Menurut Johson pada umumnya hasil penelitian dari penggunaan metode pembelajaran kooperatif akan menghasilkan prestasi yang lebih tinggi, hubungan yang lebih positif, dan penyesuaian psikologis yang lebih baik daripada suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan memisah-misahkan siswa21. Menurut Sharan pembelajaran kooperatif didasarkan pada asumsi pembelajaran “konstruktivis” dan tujuan serta penugasan peran utama pada motivasi intrinsik siswa22.

Sedangkan cooperative learning merupakan sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas terstruktur. Lie juga menyebut “cooperative learning sebagai sistem pembelajaran gotong-royong”. Dalam sistem pembelajaran ini,

19 Robert E. Slavin, Cooperative Learning Teori Riset dan Praktik, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 9

20

Nurhadi, dkk, Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK, (Malang; UM Press, 2004), hlm. 60

21 Anita Lie, Mempraktekkan Cooperative learning di Ruang-ruang Kelas, (Jakarta; PT. Gramedia, 2002), hlm. 7

22 Shlomo Sharan, Handbook of Cooperative Learning, (Yogyakarta: IMPERIUM, 2009), hlm. 195

guru hanya bertindak sebagai fasilitator23. Dengan ringkas Abdurahman dan Bintoro mengatakan bahwa “pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang silih asah, silih asih, dan silih asuh antar sesama siswa sebagai latihan hidup di dalam masyarakat nyata24.

Dari beberapa pengertian di atas dapat diketahui bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang didasarkan atas kerja kelompok, yang menuntut keaktifan siswa untuk saling bekerjasama dan membantu dalam menyelesaikan masalah atau tugas yang diberikan oleh guru. Melalui pembelajaran kooperatif siswa didorong untuk bekerjasama secara maksimal sesuai dengan keadaan kelompoknya. Kerjasama yang dimaksud dalam pembelajaran kooperatif adalah setiap anggota kelompok harus saling membantu menguasai bahan ajar. Bagi siswa yang mempunyai kemampuan tinggi harus membantu siswa yang berkemampuan rendah agar dapat menguasai materi yang sedang dipelajari sehingga kelompoknya dapat berhasil karena penilaian akhir ditentukan oleh keberhasilan kelompok. Oleh karena itu setiap anggota kelompok harus mempunyai tanggung jawab penuh terhadap kelompoknya.

1. Unsur-unsur Dasar Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang didalamnya terdapat elemen-elemen yang saling terkait. Adapun berbagai elemen dalam pembelajaran kooperatif adalah adanya: “(1) saling ketergantungan positif; (2) interaksi tatap muka; (3) akuntabilitas individual, dan (4) keterampilan untuk menjalin hubungan

23 Anita Lie, op.cit., hlm. 12

antar pribadi atau keterampilan sosial yang secara sengaja diajarkan” Abdurahman dan Bintoro25 Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Saling Ketergantungan Positif (Positive Interdependence)

Dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan suasana yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhkan inilah yang dimaksud dengan saling ketergantungan positif. Saling ketergantungan positif menurut adanya interaksi promotif yang memungkinkan sesama siswa saling memberikan motivasi untuk meraih hasil belajar yang optimal. Saling ketergantungan tersebut dapat dicapai melalui: (a) saling ketergantungan pencapaian tugas, (c) saling ketergantungan bahan atau sumber, (d) saling ketergantungan peran, dan (e) saling ketergantungan hadiah.

b. Interaksi Tatap Muka (Face to Face)

Interaksi tatap muka menurut para siswa dalam kelompok dapat saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog secara langsung, tidak hanya dengan guru, tetapi juga dengan sesama siswa dalam kelompok tersebut.

c. Akuntabilitas Individual (Individual Accountability)

Pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok. Meskipun demikian, penilaian ditunjukan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran secara individual. Hasil penilaian secara individual tersebut selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua kelompok mengetahui siapa anggota kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa anggota kelompok yang dapat memberikan bantuan. Nilai kelompok

didasarkan atas rata-rata tes dan nilai rata-rata aspek afektif semua anggotanya, karena itu tiap anggota kelompok harus memberikan keaktifan belajarnya demi kemajuan kelompok. Penilaian kelompok yang didasarkan atas rata-rata penguasaan semua anggota secara individual inilah yang dimaksud dengan akuntabilitas individual.

d. Keterampilan Menjalin Hubungan antar Pribadi (Interpersonal Skill

Promotive Interaction)

Dalam pembelajaran kooperatif keterampilan sosial seperti tenggan rasa, sikap sopan santun terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, berani memepertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri, dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi (Interpersonal relationship) tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja hanya memperoleh teguran dari guru tetapi juga dari semua siswa26.

2. Perbedaannya dengan Pembelajaran Tradisional

Dalam pembelajaran tradisional dikenal pula adanya belajar kelompok. Meskipun demikian, ada sejumlah perbedaan esensial antara kelompok belajar kooperatif dengan kelompok belajar tradisional. Abdurrahman dan Bintoro mengemukakan sejumlah perbedaan tersebut yang sangat menonjol antara kelompok belajar tradisional dengan kelompok belajar kooperatif. Kooperatif lebih menekankan pada keterampilan proses dan kelompok belajar tradisional

menekankan pada hasil sedangkan kelompok belajar kooperatif selain menekankan dalam proses juga pada hasil belajar27.

Tabel 2.1 Perbedaan antara Kelompok Belajar Kooperatif dengan Kelompok Belajar Tradisional28

Kelompok Belajar Kooperatif Kelompok Belajar Tradisional Adanya saling ketergantungan

positif, saling membantu, dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif.

Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pembelajaran tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan.

Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan.

Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memerlukan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok.

Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong-royong seperti kepemimpinan, berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan.

Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung, guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan interverensi jika terjadi masalah dalam kerjasama antar anggota kelompok.

Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan

Guru saling memberikan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok.

Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok lainnya hanya “enak-enak saja” di atas keberhasilan temanya yang dianggap “pemborong”.

Kelompok belajar biasanya homogen.

Pimpinan kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih pimpinannya dengan cara masing-masing.

Keterampilan sosial sering tidak secara langsung diajarkan.

Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung.

Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.

27 Ibid., hlm. 62

interpersonal (hubungan antar pribadi yang saling menghargai)

Sumber: Nurhadi, dkk

Ada banyak alasan mengapa pembelajaran kooperatif dikembangkan. Hasil penelitian melalui metode meta-analisis yang dilakukan oleh Johson dalam Nurhadi dkk menunjukkan adanya berbagai keunggulan pembelajaran kooperatif sebagaimana terurai sebagai berikut:

1. Memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial. 2. Mengembangkan kegembiraan belajar yang sejati.

3. Memungkinkan para siswa saling belajar menegenai sikap, keterampilan, informasi, perilaku sosial, dan pandangan atau pendapat.

4. Memungkinkan terbentuk dan berkembangnya nilai-nilai sosial dan komitmen.

5. Meningkatkan keterampilan metakognitif.

6. menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri atau egois dan egosentris.

7. Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan sosial.

8. Menghilangkan siswa dari penderitaan akibat kesendirian atau keterasingan.

9. Dapat menjadi acuan bagi perkembengan keperibadian yang sehat dan terintegrasi.

10.Membangun persahabatan yang dapat berlanjut hingga masa dewasa. 11.Mencegah timbulnya gangguan kejiwaan.

12.Mencegah terjadinya kenakalan dimasa remaja. 13.Menimbulkan perilaku rasional dimasa remaja.

14.Berbagai keterampilan sosial yang diperlukan untuk memelihara hubungan saling membutuhkan dapat diajarkan dan dipraktekkan. 15.Meningkatkan rasa saling percaya dan positif kepada semua manusia. 16.Meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari

berbagai prespektif.

17.Meningkatkan perasaan penuh makna mengenai arah dan tujuan hidup.

18.Meningkatkan keyakinan terhadap ide atau gagasan diri sendiri. 19.Meningkatkan kesediaan menngunakan ide orang lain yang dirasakan

lebih baik.

21.Meningkatkan kegemaran berteman tanpa memandang perbedaan kemampuan, jenis kelamin, normal atau cacat, etnis, kelas sosial, agama, dan orientasi tugas29.

Menciptakan suasana belajar kooperatif bukan pekerjaan yang mudah. Untuk menciptakan suasana belajar tersebut diperlukan pemahaman filosfis dan keilmuan yang cukup disertai dedikasi yang tinggi serta latihan yang cukup pula.

3. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif

Adapun beberapa ciri-ciri pembelajaran kooperatif yang sudah diterapkan dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolahan adalah sebagai berikut:

a. Belajar dalam Kelompok

Pembagian Kelompok Belajar diarahkan untuk mencapai keberhasilan dalam menguasai suatu konsep yang diajar. Tujuannya agar hasil yang dicapai melalui usaha bersama dari seorang wakil yang dipercayakan di dalam kelompok tersebut. Dalam kelompok ini setiap wakilnya mempunyai peranan tertentu dan jelas dalam usaha kelompok mencapai tujuan yang ditetapkan, kelompok yang dibentuk guru bukan kelompok besar tetapi paling banyak terdiri dari 5 orang, juga diperhatikan keberadaan personil tiap kelompok dan diatur secara homogen maupun heterogen agar jalannya pembelajaran efektif dan efisien.

b. Interaksi Sosial Ditekankan

Setiap wakil dari kelompok akan bertemu dalam satu kelompok dan membahas secara bersama-sama yang selanjutnya hasil yang diperoleh akan dibawakan kembali dalam kelompoknya semula, dengan demikian pembahasan menjadi berkembang, wakil kelompok mempunyai tanggung jawab memajukan

pemahaman anggota kelompoknya maka dia dianggap sanggup untuk menerima dan memberi suatu informasi/konsep pelajaran pada anggota kelompoknya.

c. Kerja Sama antar Siswa dalam Mencapai Tujuan

Keberhasilan kelompok akan tergantung kepada pemahaman individu-individu anggotanya. Setiap anggota mempunyai tanggung jawab untuk dapat memberi suatu masukan yang berarti pada kelompoknya. Ini dikenal sebagai prinsip kerja sama kelompok untuk mencapai keberhasilan. Dalam prinsip ini, tugas diberikan kepada semua wakil dari kelompok untuk kemudian dipresentasikan. Tanggung jawab tiap wakil kelompok tersebut dimaksudkan agar setiap pelajar dapat aktif dalam kelompoknya. Selanjutnya agar setiap pelajar mendapat kesempatan yang sama untuk mengambil bagian dalam pembahasan kelompoknya, dengan begitu kecakapan seorang anggota dapat diberikan kepada anggota lain30.

C. Model Pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS)

Salah satu teknik atau model pembelajaran kooperatif adalah model two

stay two stray (TSTS) atau dua tinggal dua tamu dikembangkan oleh Spencer

Kagan (1992), model pembelajaran struktur dua tinggal dua tamu ini memberi kesempatan kepada siswa untuk membagikan hasil informasi dengan kelompok lain31. Hal ini dilakukan karena banyak kegiatan belajar mengajar yang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan individu. Siswa bekerja sendiri dan tidak diperbolehkan

30 Isjoni, Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta Didik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm 59-63

melihat pekerjaan siswa yang lain. Padahal dalam kenyataan hidup di luar sekolah, kehidupan dan kerja manusia saling bergantung satu sama lainnya32.

Pembelajaran dengan metode ini diawali dengan pembagian kelompok. setelah kelompok terbentuk guru memberikan tugas berupa permasalahan-permasalahan yang harus mereka diskusikan hasilnya.

Adapun menurut Lie langkah-langkah pembelajaran kooperatif model two

stay two stray (TSTS) adalah sebagai berikut:

1. Siswa bekerjasama dalam kelompok secara heterogen seperti biasa.

2. Setelah selesai, dua siswa dari masing-masing kelompok akan meninggalkan kelompoknya dan bertamu ke kelompok lain.

3. Dua siswa yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan infomasi mereka ketamu mereka.

4. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain.

Penyajian gambar skema diskusi model two stay two stray (TSTS) yang akan dilakukan dalam kelas secara lebih rinci seperti pada Gambar 2.1 tentang alur perpindahan diskusi dengan model two stay two stray (TSTS)33.

Dalam dokumen PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL (2) (Halaman 31-200)

Dokumen terkait