• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. TAHAP PENYELESAIAN SENGKETA PERBURUAN PAUS

B. Aspek-aspek yang Ada di Dalam Program JARPA II

Di dalam sengketa mengenai perburuan paus antara Jepang dan Australia, ada beberapa aspek penting yangharus diperhatikan, yaitu :

1. Aspek waktu

Program JARPA II dilaksanakan sebagai program jangka panjang tanpa ada batasan waktunya. Hal ini dikarenakan tujuan dari program tersebut yaitu untuk melakukan monitorisasi terhadap eksosistem yang ada di Antartika. Program ini dibentuk dengan sistem revisi 6 tahun sekali dimana tiap 6 tahunnya akan diadakan perubahan dan perbaikan terhadap program tersebut apabila dibutuhkan.Hal ini sesuai dengan tujuan dari pasal 8 ayat 4 ICRW yang menyatakan bahwa “ pengumpulan dan analisis data secara berkelanjutan merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri untuk membetuk sebuah manajemen yang membangun dan dapat diterapkan dalam perburuan paus.”

Australia menanggapi hal ini sebagai suatu yang tidak wajar karena tiap program penelitian haruslah memiliki jangka waktu selesai. Ini menunjukkan bahwa JARPA II lebih ditujukan sebagai celah hukum untuk melakukan perburuan ikan paus secara komersial sampai pada peraturan moraturium perlindungan paus di Antartika dicabut. Program JARPA II juga terlihat sama sekali bukan digunakan untuk tujuan penelitian dengan tidak adanya perubahan yang berarti ketika sampel yang ditargetkannya sama sekali tidak tercapai dan cenderung berubah sesuai dengan kebutuhan pasar.

2. Aspek hasil penelitian JARPA II

Jepang menyatakan bahwa tidak ada hasil penelitian yang signifikan dari JARPA II, hal ini dikarenakan sistem evaluasi JARPA II yang dilakukan secara periodik. Namun, ada data berharaga yang telah disumbangkan oleh program ini mengenai ekosistem di antartika serta data yang diserahkan kepada badan penelitian IWC berupa data tentang genetik dan umur paus yang didapatkan dari memburu dengan cara lethal.

Australia mengakui bahwa program ini telah menunjukkan hasil yang dapat diterima oleh badan penelitian IWC. Namun, hasil tersebut diperdebatkan karena belum dapat dipastikan berguna ataupun bersifat penemuan terbaru yang dapat dikontribusikan terhadap konservasi dan manajemen paus. Mahkamah Internasional jugs sependapat dengan Australia mengenai hasil penelitian dari JARPA II. Program penelitian sejak tahun 2005 yang telah membunuh lebih dari 3,600 paus minke hanya memberikan informasi dan data yang terbatas dan tidak benar-benar signifikan.

3. Kerjasama dengan badan penelitian lainnya

Di dalam program JARPA II, jarang ada keterlibatan badan penelitian ataupun peneliti lainnya. Hal ini membuktikan bahwa JARPA II bukanlah program untuk penelitian karena beroperasi secara sendirian mengenai ekosistem di Antartika. Jepang beralasan bahwa kerjasama dengan institusi negara lain sulit di dalam hal personal dan politisnya. Hal ini tentu menimbulkan kecurigaan karena Program JARPA II tersebut dijalankan secara tertutup tanpa ada pihak asing yang melakukan monitorisasi terhadap pelaksanaan program tersebut.

4. Konklusi mengenai penerapan pasal 8 ayat 1 terhadap JARPA II

Setelah melihat seluruh data dan bukti yang ada, maka Mahkamah Internasional memberikan keputusannya bahwa penggunaan cara lethal di dalam mencapai tujuan program JARPA II sama sekali tidak dapat diterima. Selain itu, Jepang yang menangkap paus berdasarkan ukuran sama sekali tidak masuk akal ketika

salah satu tujuannya adalah untuk membuat data perbandingan. Ketika paus yang ditangkap hampir seluruhnya adalah paus minke, maka tujuan dari program tersebut tidak mungkin direalisasikan sama sekali.

Tujuan dari JARPA II yang merupakan lanjutan dari JARPA yang pertama dianggap sama saja sehingga menimbulkan kejanggalan terhadap jumlah sampel yang jauh berbedan dan mengalami peningkatan yang signifikan. Tujuan lainnya seperti untuk membuat tabel perbandingan juga tidak jelas karena Jepang tidak konsisten dalam menangkap sampel yang telah ditentukan. Target utama di dalam program ini terkesan hanya terhadap paus minke saja karena merekalah yang menjadi permintaan pasar dan juga kondisi kapal yang memang tidak dikhususkan untuk menangkap paus lainnya. Pelaksanaan program JARPA II juga tidak transparan dan terkesan mengisolasi dirinya sendiri sehingga tidak ada pihak asing yang mengetahui apa yang mereka lakukan.

Secara keseluruhan, Mahakamah Internasional menilai JARPA II masih bisa dikatergorikan sebagai program penelitian dalam arti luas. Namun, pelaksanaan program dan persiapannya sama sekali tidak ditujukan untuk penelitian seperti yang tercantum dalam pasal 8 ayat 1 ICRW tentang pembunuhan, pengambilan dan perlakukan terhadap paus demi penelitian. Oleh karena itu, Mahakamah Internasional memutuskan bahwa JARPA II bukanlah program penelitian (scientific research).

5. Konklusi mengenai pelanggaran Jepang terhadap kewajibannya

Mahkamah Internasional menetapkan bahwa Jepang telah melanggar tiga ketentuan di dalam kewajibannya sebagai anggota IWC dan bukan melakukan perburuan karena kepentingan kebudayaan, yaitu

a. Pelanggaran moraturium terhadap perburuan paus komersial yang ada di paragraf 10, yang menyebutkan bahwa seluruh perburuan komersial terhadap paus telah dihapuskan dan menjadi nol. Di dalam program JARPA II sejak tahun 2005, Jepang telah memburu sebanyak 850 paus minke, 50 paus sirip dan 50 paus bongkok. Hal ini tentu saja bukan lagi

tanpa perburuan (zero catch limit) tetapi sudah merupakan pelanggaran kewajiban sebagai anggota IWC dan penggunaan celah hukum yang terdapat di dalam program penelitian yang diizinkan ICRW.

b. Pelanggaran tentang kapal pabrik, dimana kapal Nisshin Maru digunakan sebagai kapal pemburu untuk menangkap paus yang bukan paus minke. Kapal pabrik seharusnya dimoraturium terhadap penangkapan paus sperma (sperm whale), paus pembunuh (killer whale) dan paus bergigi baleen (baleen whale) terkecuali paus minke.135

c. Pelanggaran terhadap perburuan ikan paus di cagar paus Antartika (Southren Ocean Sanctuary) dimana disebutkan bahwa dalam iklim atau musim apapun juga tidak diperbolehkan menangkap ikan paus dicagarnya. Kapal Jepang sendiri beroperasi di dalam daerah yang termasuk kedalam cagar tersebut sehingga diputuskan sebagai pelanggaran. Namun, ada pengecualian terhadap Jepang mengenai perburuan paus minke dicagar ini karena sebelumnya Jepang menolak untuk menyetujui pembentukan cagar untuk paus minke.

Penangkapan terhadap pasu sirip dan paus bongkok merupakan suatu pealnggaran kewajiban.

Dari segala bentuk penyelidikan yang dilakukan atas berkas berkas dan bukti bukti yang ada. Terlihat bahwa program JARPA II memang mealnggar ketentuan di dalam pasal 8 ICRW mengenai perburuan dengan izin khusus demi kepentingan penelitian. Oleh karena itu, Australia sebagai pihak yang mengugat, meminta kepada Mahkamah Internasional untuk :

1. Melarang pemberian dan implementasi segala izin khusus penelitian segala kegiatan perburuan yang bukan untuk tujuan penelitian sepertiu yang ditentukan dalam pasal 8 ICRW.

2. Menghentikan segala kegiatan dari program JARPA II yang masih berjalan.

3. Mencabut segala izin yang memperbolehkan implementasi kegiatan JARPA II.

135