BAB III. TAHAP PENYELESAIAN SENGKETA PERBURUAN PAUS
D. Penggunaan Metode Mematikan di Dalam JARPA II
113
Minimnya pemenuhan syarat syarat yang di lakukan oleh Jepang, membuat negara lain menjadi curiga. Penelitian yang dilakukan di dalam program JARPA jarang melakukan kerja sama dengan institusi lainnya. Banyak bukti bukti yang menunjukkan pengambilan paus yang berbeda dari data yang disampaikan serta alasan penelitian yang maknanya terlalu lebar dan tidak sesuai sejalan dengan pelaksanaannya.
. Tetapi, JARPA II hanya menghasilkan sedikit informasi dan bersifat dasar, terlihat bahwa tidak ada transparansi di dalam pembagian informasinya. Hasil penelitiannya juga sulit dibedakan antara jenis-jenis paus yang telah diteliti sehingga membingungkan dan lagipula jumlah paus yang ditangkap tidak sesuai dengan jumlah paus yang tertera di dalam laporannya.
112
"Scientific Permitwhaling: Recent SPECIFIC Scientific Permits", izin khusus penelitian, IWC, 17 Januari 2009.
113
Antartika, sebagai tempat yang telah ditetapkan sebagai cagar paus (Whale Sanctuary) dalam ketentuan IWC yang juga mengikat Jepang sebagai negara anggota, sama sekali tidak memperbolehkan untuk perburuan paus (zero catch limit) dengan pengecualian demi penelitian yang kemudian di jadikan celah hukum oleh Jepang karena Izin penelitian dapat diberikan oleh negara kepada programnya sendiri dengan tetap tunduk kepada peraturan ICRW.114
Banyaknya protes dari negara-negara anggota lainnya melalui badan penelitian dan komisi IWC terhadap JARPA menyebabkan IWC mengeluarkan resolusi untuk menghentikan program tersebut. Resolusi IWC yang dikeluarkan pada tahun 2005 dan 2007 ini utamanya disebabkan oleh metode penelitian yang digunakan JARPA serta jumlah sampel paus yang diminta tidak rasional. 115 Namun, Jepang tetap melanjutkan program penelitiannya sampai pada tanggal 31 Maret 2014, dimana Mahkamah Internasional menjatuhkan putusan terhadap Jepang agar menghentikan program penelitiannya dan memenuhi seluruh syarat yang telah ditetapkan oleh IWC sebelumnya untuk melakukan penelitian sebelum melanjutkan penelitiannya kembali.116
Sebagai bagian utama dari pelaksanaan program JARPA II, metode mematikan seperti membunuh, memburu dan melukai paus merupakan cara utama yang dipilih untuk mencapai tujuannya. Hal ini tentu saja menimbulkan sengketa dengan negara anggota lainnya. Jepang sendiri, menganggap metode yang mereka gunakan memang dibutukan untuk mencapai tujuan penelitiannya dan metode mematikan tersebut tidak dapat dipisahkan dari JARPA II karena 2 tujuan utama dari penelitian tersebut membutuhkan data dari hasil analisis secara nyata terhadap organ dalam dan isi perut paus. Penggunaan cara yang lebih ramah digunakan pada saat melakukan penelitian terhadap paus yang jauh lebih besar seperti dengna melakukan biotopsi dan pemantauan satelit, namun hal tersebut
114 ICRW 1946, pasal 8 ayat (I) & (II). 115
"Resolution 2007-1: Resolution on JARPA". International Whaling commission. Oktober 30, 2007 dan. "Resolution 2005-1: Resolution on JARPA II". International Whaling commission. Juni 24, 2005
116
tidak dapat diterapkan pada paus minke. Jepang juga menyatakan bahwa data yang didapatkan melalui metode yang ramah memberikan data yang tidak akurat dan tidak relevan , dan di dalam kasus tertentu, akan menghabiskan waktu yang sangat lama dan dana yang sangat besar.
Di sisi lain, Australia tidak melihat hal tersebut dengan pandangan yang sama. Negara anggota tersebut lebih melihat JARPA II sebagai program untuk memburu paus dengna alasan demi penelitian untuk menutupinya. Penelitian dengan menggunakan metode yang mematikan tidak perlu dilakukan karena dengan metode penelitian yang ramah juga akan membuahkan hasil yang sama seperti pelacakan melalui satelit, mengambil sampel biologis dan survey mengenai penampakan paus tersebut hasilnya juga efektif karena adanya perubahan teknologi ke arah yang lebih baik dalam kurun waktu 25 tahun sejak program JARPA diluncurkan. Walaupun begitu, Australia juga mengatakan bahwa ada beberapa tujuan yang memang membutuhkan metode mematikan, namun hal tersebut hanya dilakukan apabila tidak ada cara lain lagi yang bisa menjadi alternatif.
Mahkamah Internasional, setelah melihat data yang didapatkan melalui program JARPA II, mengatakan bahwa beberapa data mengenai organ dalam dan isi perut paus tersebut merupakan data yang tidak dapat didapatkan tanpa adanya penggunaan cara mematikan sehingga metode yang lebih ramah tidak dapat digunakan. Program penelitian yang menggunakan metode mematikan meskipun bisa menggunakan metode yang lebih ramah tidak dapat langsung dikatakan melanggar pasal 8 ICRW di dalam hal izin penelitiannya. Namun, ada ketentuan yang harus diikuti dalam pelaksanaan program tersebut seperti mencari kemungkinan untuk menggunakan metode yang lebih ramah, tidak menggunakan metode yang mematikan lebih daripada yang dibutuhkan, melihat kembali perkembangan teknologi karena hal tersebut telah merubah banyak hal termasuk efisiensi and efektifitas di dalam melkaukan penelitian dengan cara yang lebih ramah terhadap paus.
Di dalam pembuktiannya, Jepang sendiri tidak pernah melakukan konsiderasi di dalam menggunakan metode yang ramah untuk program JARPA II. Semua penjelasan mengenai hal tersebut dialihkan terhadap hal lainnya seperti dokumen-dokumen yang menjelaskan adanya kebutuhan untuk menggunakan metode mematikan. Menurut Jepang, penelitian terhadap paus menghabiskan dana yang besar sehingga mereka lebih memilih menggunakan metode yang mematikan untuk melakukan penjualan danging paus sehingga dapat membiayai keberlanjutan program tersebut. Hal tersebut menjadikan Jepang merasa sulit untuk menjalan kewajibannya sesuai ketentuan IWC yang mengatakan bahwa metode mematikan hanya boleh digunakan untuk seperlunya saja di dalam mencapai tujuan dari penelitian tersebut.
Mengenai jumlah paus yang diburu, ada perbedaan yang besar antara jumlah sample dan jumlah sebenarnya paus yang dibunuh dan diambil untuk implementasi program JARPA II, dimana dalam pelaksanaannya, kapal milik Jepang yang digunakan untuk berburu paus Nisshin Maru, banyak menemui hambatan seperti adanya kebakaran di kapal, adanya sabotasi dari organisasi non-pemerintah seperti Sea Shepherd Conservation Society dan keterbatasan kapal tersebut untuk menarik jenis paus yang lebih besar seperti paus sirip dan paus bongkok.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, dimana Australia merasakan adanya kejanggalan terhadap hasil yang dikeluarkan dari penelitian JARPA II tersebut, yaitu :
1. Ketika sampel yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil penelitian tidak tercapai, maka waktu penelitian tersebut akan diperpanjang sebelum bisa dikeluarkan hasilnya tetapi Jepang tidak melakukan hal tersebut sama sekali.
2. Kapal Jepang yang digunakan untuk penelitian dengan salah satu tujuannya untuk membuat data perbandingan antara beberapa jenis yang ada di perairan Antartika sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk
menangkap paus sirip dan paus bongkok yang ukurannya besar. Kapal tersebut hanya mampu digunakan untuk menarik paus jenis minke yang merupakan kebutuhan pasar komersialnya sehingga tidak dapat dipastikan bagaimana Jepang akan membuat tabel data kompetisi antara jenis-jenis paus hanya dengan data dari paus minke saja. Australia menilai tujuan kedua dari penelitian Jepang ini tidak masuk akal.
3. Jepang tidak memenuhi jumlah sampelnya karena adanya penurunan terhadap permintaan daging paus minke dipasar. Hal ini juga didukung oleh laporan dari petinggi Jepang yang menyatakan bahwa mereka sebenarnya tidak membutuhkan sampel sebanyak yang tertulis di dalam proposal permintaannya.
Mahkamah Internasional juga berpikir demikian, dimana pada saat sampel yang didapatkan oleh Jepang berkurang namun tidak ada perubahan terhadap jangka waktu pelaksanaan dan hasil penelitiannya, maka patut dicurigai jumlah sampel yang diminta apakah benar-benar relevan terhadap tujuan dari pelasanaan JARPA II itu sendiri. Hal ini menambah dukungan terhadap pendapat Australia bahwa jumlah target di dalam program JARPA II bukan untuk tujuan penelitian. Mahakamah Internasional juga merasa tujuan kedua dari program JARPA II tidak relevan , karena jumlah paus sirip dan paus bongkok yang ditangkap sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan jumlah paus minke. Hal ini menyebabkan patahnya kemungkinan untuk menganalisis perbandingan kompetisi dan ekosistem antara jenis-jenis paus tersebut. Termasuk di dalam hal ini, mengenai penggunaan metode mematikan, karena untuk mencapai tujuan dari JARPA II seperti pembelajaran ekosistem paus sirip dan bongkok dapat dilakukan dengan metode yang lebih ramah.