PERLINDUNGAN TERHADAP PAUS DI SOUTHREN OCEAN
WHALE SANCTUARY MENURUT INTERNATIONAL
CONVENTION FOR THE REGULATION OF WHALING
(STUDI PADA SENGKETA PERBURUAN PAUS ANTARA
JEPANG DAN AUSTRALIA)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi
Syarat-Syarat dalam Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
100200173
TONY
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERLINDUNGAN TERHADAP PAUS DI SOUTHREN OCEAN WHALE
SANCTUARY MENURUT INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE
REGULATION OF WHALING ( STUDI PADA SENGKETA PERBURUAN
PAUS ANTARA JEPANG DAN AUSTRALIA )
S k r i p s i
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
O l e h : T O N Y 1 0 0 2 0 0 1 7 3
Disetujui oleh :
Ketua Departemen Hukum Internasional
NIP : 195612101986012001 Dr. Chairul Bariah, SH, MHum.
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H
NIP: 196207131988031003 NIP : 196403301993031002
Arif, S.H., M.H.
PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PERLINDUNGAN TERHADAP PAUS DI SOUTHREN OCEAN WHALE SANCTUARY MENURUT INTERNASTIONAL CONVENTION FOR THE REGULATION OF WHALING ( STUDI PADA SENGKETA PERBURUAN
PAUS ANTARA JEPANG DAN AUSTRALIA)
Tony *
Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H ** Arif, SH.,M.Hum *** ABSTRAKSI
International Whaling Commission (IWC), bekerja berdasarkan
International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) tahun 1946. Organisasi ini bertujuan untuk meregulasi perburuan paus sehingga populasi paus tetap ada dan dapat diambil secara berkelanjutan. Banyak negara yang bergabung menjadi anggotanya dan tunduk mengikuti regulasinya.
Namun terjadi penyimpangan di dalam implementasinya oleh Jepang di Antartika. Penangkapan paus yang mulanya untuk tujuan penelitian beralih menjadi tujuan komersial. Jepang kemudian di gugat oleh Australia ke Mahakamah Internasional atas tindakannya. Jepang dan Australia sepakat untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional untuk diadili.
Hal-hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan perburuan paus di dalam hukum internasional, bagaimana tahapan penyelesaian sengketa perburuan paus anatara Jepang dan Australia, apa putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional atas persengketaan ini.
Adapun metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah dengan pendekatan kepustakaan (library research) atau penelitian normatif, yaitu dengan upaya penyeleksian dan pengumpulan bahan-bahan dari buku, jurnal, internet, instrumen hukum internasional dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilmiah ini.
Hasil dari penelitian dari skripsi ini yaitu, ketika suatu negara menyatakan ikut serta didalam suatu organisasi maka negara tersebut terikat kepada peraturan organisasi tersebut. Apabila terjadi pelanggaran maka akan ada konsekuensi yang muncul dari negara anggota lainnya. Mahkamah International berhak mengeluarkan keputusan ketika pihak pihak yang bersengketa menyatakan setuju untuk membawa kasusnya ke Mahkamah Internasional untuk diadili.
Di dalam konvensinya, perburuan paus hanya boleh dilakukan dengan tujuan penelitian, bukan komersial. Negara sebagai subjek hukum di dalam perjanjian internasional haruslah mengikuti tujuan yang diharapkan oleh isi perjanjian tersebut, bukan mencari celah hukum dan mengambil keuntungan dari hal tersebut .Akibat hukum dari putusan mahkamah Internasional menyebabkan Jepang kehilangan izin melanjutkan program JARPA II miliknya di Antartika.
Kata kunci : IWC, ICRW, JARPA II, Paus, Mahkamah Internasional
*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa memberikan harapan, semangat, kekuatan, kesabaran, dan bimbingan
selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya
dengan baik dan tepat waktu.
Penulisan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN TERHADAP
PAUS DI SOUTHREN OCEAN WHALE SANCTUARY MENURUT
INTERNASTIONAL CONVENTION FOR THE REGULATION OF
WHALING (STUDI PADA SENGKETA PERBURUAN PAUS ANTARA
JEPANG DAN AUSTRALIA)” ini ditujukan untuk memberikan informasi
kepada para pembaca mengenai pengaturan hukum internasional tentang
perburuan paus di Antartika antara Jepang dan Australia yang juga di intervensi
oleh New Zealand. Selain itu, penulisan skripsi ini juga ditujukan untuk
memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulisan skripsi ini tidaklah terlepas dari ketidaksempurnaan sehingga
penulis berharap agar semua pihak dapat memberikan masukan berupa kritik dan
saran yang membangun demi menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik
dan lebih sempurna lagi baik dari segi substansi maupun cara penulisannya.
Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada kedua orang tua penulis, David Kwee dan Yenny, yang telah
membesarkan, mendidik, dan mendukung penulis sehingga penulis dapat
berbekal pendidikan yang penulis tempuh selama ini dapat membahagiakan dan
membanggakan keluarga tercinta.
Tak lupa juga penulis menyampaikan ucapan terima kasih
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Prof. Dr. dr. Syahril
Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K).
2. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara (USU).
3. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
4. Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM selaku Wakil Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
5. Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara (USU).
6. Arif, S.H., M.H. selaku Dosen Hukum Internasional, serta Dosen
Pembimbing II yang selalu membantu penulis dalam memberikan bimbingan
bagi penyusunan skripsi ini. Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungan yang sangat
bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.
7. Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H. selaku Dosen Pembimbing I serta Dosen
Pembimbing yang selalu membantu penulis dalam memberikan bimbingan
kasih sebesar-besarnya kepada Beliau atas segala bantuan dan dukungan yang
sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.
8. Dr. Chairul Bariah, SH, MHum selaku Ketua Departemen Hukum
Internasional.
9. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Jurusan Departemen
Hukum Internasional dan Dosen Hukum Internasional,
10. Deni Amsari Purba, S.H., L.L.M. selaku Dosen Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Dalam kesempatan ini,
penulis juga mengucapkan terima kasih atas segala ilmu yang telah dibagikan
Beliau selama menjadi dosen hukum internasional penulis.
11. Sutiarnoto S.H., M.Hum. selaku Dosen Hukum Internasional Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Dalam kesempatan ini, penulis
juga mengucapkan terima kasih atas segala ilmu yang telah dibagikan Beliau
selama menjadi dosen hukum internasional penulis.
12. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) atas
segala ilmu yang telah diberikan sejak awal perkuliahan hingga terselesainya
penulisan skripsi ini.
13. Seluruh staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
14. Teman-teman Stambuk 2010, yang merupakan teman-teman akrab, teman
segrup, dan teman satu tim klinis penulis, yaitu Hasnita Sihombing, Ekpi
Yosara Simbolon, Hotmarta Adelia Saragih, Henny Handayani Sirait,
Gunawaty, Sally Putri, Febrina Sumardy serta yang lainnya yang tidak bisa
penulis ucapkan satu per satu.
15. Teman-teman organisasi ILSA yang telah bekerja sama dan membantu
penulis dalam melaksanakan tugas dan menyelenggarakan kegiatan organisasi
kampus selama perkuliahan.
16. Senior-senior di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu Paulina
Tandiono dan lainnya yang telah memberikan banyak informasi mengenai
kegiatan perkuliahan dan membimbing penulis selama mengikuti
kegiatan-kegiatan hukum dalam organisasi kampus.
17. Junior-junior di di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu Elsha
Manaloe, Reta Puji Ulina Damanik, Jessica dan teman teman lainnya di tim
jurnalis Lintas Almamater (LASER) Fakultas Hukum USU yang tidak bisa
disebutkan satu per satu.
18. Teman-teman diluar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya
teman teman dari Filipina , yaitu Dave Hernando, Ate Irma, Ate Risa,
Helfred, Nico, Aleli, Bang Jay, Kak Asri , William dan yang lainnya yang
tidak bisa disebutkan satu per satu yang selalu memberi dukungan moral dan
spiritual hingga terselesainya penulisan skripsi ini. Thank you guys, truly
appreciated.
Salam hormat, Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vi
BAB I . PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
D. Keaslian Penuliasn ... 10
E. Tinjauan Kepustakaan ... 11
F. Metode Penelitian... 12
G. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II. PENGATURAN PERBURUAN PAUS DI DALAM HUKUM INTERNASIONAL ... 17
A. Perjanjian Internasional ... 17
1. Pengertian Perjanjian Internasional... 17
2. Kekuatan Mengikat Suatu Perjanjian Internasional ... 24
B. Sejarah Berdirinya International Whaling Commission (IWC) .. 25
D. International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) Sebagai Konvensi Dasar Internastional Whaling Commission
(IWC). ... 30
BAB III. TAHAP PENYELESAIAN SENGKETA PERBURUAN PAUS ANTARA JEPANG DAN AUSTRALIA ... 35
A. Sengketa Internasional dan Penyelesaiannya Secara Damai ... 35
B. Kepentingan Penelitian (Scientific Research) di dalam Pasal 8 ICRW ... 47
1. Pasal 8 ICRW ... 47
2. Kepentingan Penelitian (scientific research) ... 49
C. Sengketa Perburuan Paus Antara Jepang dan Australia ... 52
1. The Japanese Whale Research Program under Special Permit in the Antarctic (JARPA) ... 52
2. JARPA II Sebagai Program Penerus JARPA ... 54
D. Penggunaan Metode Mematikan di Dalam JARPA II ... 57
E. Tahapan Penyelesaian Sengketa Perburuan Paus ... 61
1. Penolakan Jepang Terhadap Rekomendasi IWC dan Negara Anggota Lainnya ... 61
BAB IV. PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL MENGENAI
SENGKETA PERBURUAN PAUS ANTARA JEPANG DAN
AUSTRALIA ... 69
A. Gugatan Australia Terhadap Jepang ... 69
B. Aspek-aspek yang Ada di Dalam Program JARPA II ... 76
C. Keputusan Akhir Mahkamah Internasional ... 80
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 82
A. Kesimpulan ... 82
B. Saran ... 83
LAMPIRAN I ... 85
LAMPIRAN II ... 88
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Antartika merupakan benua yang meliputi Kutub Selatan bumi dan merupakan
salah satu tempat terdingin di muka bumi ini dengan sebagian besar wilayahnya
tertutup es sepanjang tahun. Antartika merupakan zona bebas, yaitu zona yang
tidak boleh dimiliki oleh siapapun ataupun dijadikan objek sengketa; Antartika
hanya boleh digunakan untuk kepentingan umat manusia dan untuk tujuan damai1.
Meskipun dinyatakan demikian, sampai saat ini masih ada beberapa negara di
dunia yang mengajukan klaim kepemilikan wilayah di benua Antartik2
Antartika, merupakan satu-satunya benua di Bumi yang tidak memiliki penduduk
asli
. Di dalam
pemanfaatan sumber dayanya, Antartika diatur dalam Perjanjian Antartika ( The Antarctic Treaty) yang ditanda tangani pada tanggal 1 Desember 1959 dan mulai berlaku pada tahun 1961.
3
Antartika di dalam pengunaannya sumber daya alamnya, diatur di dalam
Perjanjian Antartika yang berisikan tentang:
, sehingga didaerah ini terdapat banyak biota laut yang menjadi perhatian
banyak negara sebagai hewan yang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan
eksistensinya; Salah-satunya yaitu paus. Antartika, menjadi rumah bagi banyak
jenis paus sehingga tempat ini merupakan loasi yang sangat strategis untuk
melakukan hal hal yang berkaitan dengan makhluk laut tersebut. Beberapa jenis
paus yang hidup di Antartika dan dilindungi adalah paus minke (Minke whale), paus bongkok (Humpback whale) dan paus sirip (Fin whale).
1
Perjanjian Antartika (Antartic Treaty 1959), “Mengakui, bahwa dengan kehendak seluruh umat manusia, melanjutkan pengunaan sumber daya Antartika dengan tujuan demi perdamaian dan tidak boleh dijadikan objek persengketaan”
2
Antartika, http://id.wikipedia.org/wiki/Antarktika , diakses pada 6 Juni 2014 pukul 09.00 WIB.
3
1. Antartika hanya boleh digunakan untuk kepentingan perdamaian. Segala
hal yang berhubungan dengan militer dan sebagainya tidak diboleh
dilakukan di Antartika.
2. Kebebasan untuk melakukan penelitian di Antartika dan segala bentuk
kerjasama atas tujuan tersebut.
3. Observasi dan hasil penelitian di Antartika harus di sumbangkan dan
tersedia untuk semua pihak. 4
Sebelumnya, telah disebutkan diatas bahwa Antartika merupakan rumah bagi
banyak jenis paus. Paus secara umum adalah sebutan untuk makhluk hidup laut
yang merupakan bagian dari bangsa Cetacea. Mahkluk ini, memiliki ciri-ciri yang unik, seperti bernafas menggunakan paru-paru walaupun hidup di laut, memiliki
ekor yang horizontal dan memiliki tulang punggung yang sedikit melengkung
dengan lubang udara diatas kepalanya. Paus juga memiliki ukuran juga beragam,
mulai dari jenis paus biru (Blue Whale) dengan ukuran tiga-puluh meter sampai dengan paus minke yang berukuran tiga koma lima meter.
Populasi Paus tersebar diseluruh lautan yang didunia dengan jumlah yang
mencapai jutaan, dengan pertambahan populasi per tahunnya berkisar antara 3%
sampai 13%. Paus juga memiliki umur yang berbeda tergantung pada jenisnya,
seperti paus punggung bongkok dengan masa hidup mencapai 77 tahun dan paus
kepala panah (Bowhead Whale) yang umurnya bisa mencapai lebih dari 1 (satu) abad. 5
Pada awalnya, banyak orang yang berpikir bahwa paus merupakan ikan yang
sangat besar, namun hal tersebut tidaklah benar karena paus tergolong ke dalam
kategori mamalia.6
4 Perjanjian Antartika (Antartic Treaty 1959), Pasal (1),(2) & (3). 5
Whale, http://en.wikipedia.org/wiki/Whale , diakses pada 6 Juni 2014 pukul 09.38.
6
Pernyataan Linneus, ahli biologi Swedia, tahun 1778,
http://www.ecokids.ca/pub/eco_info/topics/whales/mammals.cfm, diakses pada 23 Nov 2014 pukul 08.31 WIB
Paus merupakan salah satu bagian penting dari ekosistem
satu biota laut yang dilindungi oleh hukum internasional karena jumlahnya yang
terus berkurang dan ada kemungkinan terjadi kepunahan terhadap beberapa
spesiesnya. Selama ini, paus banyak diburu dan dijadikan objek komersial seperti
untuk makanan tradisional ataupun acara budaya. Tidak hanya itu, pada zaman
dahulu, paus diburu untuk diambil minyaknya yang kemudian digunakan untuk
keperluan penerangan mercusuar. 7
1. Paus memiliki suhu badan yang stabil dan panas. Suhu badan mereka tidak
berubah mengikut suhu lingkungannya. Hal ini dimungkinkan dengan
adanya lemak tebal dibawah kulitnya sehingga mereka bahkan dapat
bertahan hiddup di perairan es seperti Antartika.
Paus, sebagai objek utama di dalam sengketa yang akan dibahas nantinya
memiliki ciri ciri sebagai berikut :
2. Paus bernafas bukan menggunakan insang, tetapi paru paru. Oleh karena
itu, paus dikategorikan sebagai mamalia. Tidak seperti ikan, paus tidak
memisahkan oksigen dari air melainkan langsung bernafas melalui udara
dengan berenang ke permukaan dalam selang waktu tertentu. Tubuh paus
juga didesain sedemikian rupa dengan lubang udara diatas kepalanya
sebagai saluran pembuangan.
3. Paus pada umumnya hanya melahirkan satu anak setiap waktu dan
mempunyai kelenjar susu untuk menyusui generasi mudanya yang baru
lahir. Hal ini jauh dari ciri ciri ikan yang bertelur dalam jumlah banyak
dan bisa hidup mandiri.
4. Paus memiliki rambut, meskipun tidak sebanyak mamalia pada umumnya,
yang terdapat diatas kepalanya8
Paus juga banyak dikaitkan dengan adat istiadat seperi kebudayaan suku Makah,
negara Jepang, Iceland, Norway dan negara-negara lainnya. Suku Makah
menyatakan bahwa prosesi adat perburuan paus merupakan perayaan tradisional
7
Whale oil, http://en.wikipedia.org/wiki/Whale_oil , diakses pada 6 Juni 2014 pukul 10.40
8
yang sudah dilakukan sejak zaman nenek moyangnya, dan adat inilah yang
menjadi sumber inspirasi terhadap lagu, tarian, desain dan alat keterampilan
mereka. Bagi suku Makah, perburuan paus memberikan pelajaran mengenai
tujuan hidup dan mengajarkan kedisiplinan bagi seluruh komunitasnya; pada
tahun 1855 , suku Makah berhasil mendapatkan hak untuk berburu paus di daerah
Neah Bay sesuai dengan perjanjian dengan Amerika Serikat.9
1. Pada periode Jomon antara 7000/8000 (tujuh ribu atau delapan ribu) sampai 3000 (tiga ribu) tahun sebelum masehi sebagai sumber makanan
yang penting.
Selain dari Suku Makah, Jepang juga memiliki sejarah yang panjang mengenai
perburuan paus, seperti yang urutkan didalam kronologi berikut:
2. Pada periode Yayoi antara 3000 (tiga ribu) sampai 300 (tiga ratus) tahun sebelum masehi sebagai persembahan kepada orang yang telah
meninggal.
3. Pada periode Nara antara 710 (tujuh ratus sepuluh) sampai 784 (tujuh ratus delapan puluh empat) tahun sebelum masehi, munculnya kata
“kujira”10
4. Pada periode Muromachi/Azuchimomoyama antara tahun 1573 (lima belas tujuh tiga) sampai tahun 1600 (seribu enam ratus) setelah masehi
sebagai makanan yang disajikan di meja para kaisarnya. di dalam literature orang Jepang,
5. Pada zaman Edo tahun 1600 (seribu enam ratus) sampai tahun 1867 (delapan belas enam puluh tujuh) setelah masehi , terjadi peningkatan
terhadap minat dan konsumsi daging paus secara nasional.11
Namun di dalam perkembangannya, tradisi-tradisi lama yang mengharuskan
pengorbanan hewan ini pun mulai ditinggalkan dan diprotes keras oleh
masyarakat internasional karena dianggap tidak relevan lagi dijaman modern ini.
9
The Makah Whaling Tradition, http://makah.com/makah-tribal-info/whaling/ , diakses pada 6 Juni 2014 pukul 10.50 WIB
10
Munculnya penamaan terhadap paus dengan nama “Kujira”クジラ”di dalam bahasa Jepang.
11
HISTORY OF THE TRADITIONAL DIET: JAPANESE AND THE WHALE,
Bahkan, perburuan paus dianggap sebagai hal yang kejam dan dapat mengacam
keberlangsungan eksistensi paus dengan adanya perburuan massal dan bahaya
alami dari alam yang harus dihadapinya.12
Mengenai perlindungan terhadap eksistensi paus, ada organisasi internasional
yang bernama IWC (International Whaling Commision) yang terus mengawasi perburuan paus demi menjaga eksistensi paus dimasa yang akan datang. Negara
yang tergabung kedalamnya diharuskan mengikuti konvensi yang dianut oleh
organisasi tersebut yaitu ICRW (International Convention for the Regulation of Whaling), yang mengatur mengenai regulasi penangkapan paus. ICRW merupakan perjanjian lingkungan internasional yang disahkan pada tahun 1946
oleh negara negara yang menyetujuinya untuk menjaga ketersediaan paus dan
juga pengembangan sistem kontrol bagi industri industri yang berkaitan dengan
perburuan paus. Konvensi ini juga mencakup kepentingan komersial, penelitian
dan yang lainnya. ICRW melihat paus sebagai sebuah sumber daya alam yang
harus disimpan untuk generasi mendatang dan di hindarkan dari perburuan
massal. Paus hanya boleh ditangkap ketika jumlah batasan aman populasinya telah
terlampaui dan dapat diambil tanpa membahayakan eksistensinya. 13
Pada awalnya, IWC memiliki 59 (lima puluh sembilan) negara yang ikut serta di
dalamnya, dimana salah satunya adalah Jepang. Namun pada Januari tahun 2014
(dua ribu empat belas), beberapa negara anggotanya mengundurkan diri dari
perjanjian tersebut. Negara negara tersebut yaitu Mesir, Yunani, Jamaica,
Mauritus, Philipines, Seychelles dan Venezuela. Negara lainnya seperti Belize,
Brazil, Dominica, Ecuador, Iceland, Japan, New Zealand, dan Panama juga
mengundurkan diri. Namun, hanya untuk sementara dengan alasan melakukan
perubahan terhadap ratifikasi ketentuan di dalam ICRW. Sampai Januari 2014,
12
WDC in Action, Whaling , http://us.whales.org/issues/whaling , diakses pada 6 Juni 2014 pukul 11.32 WIB
13
jumlah negara yang tergabung kedalam badan ini sudah mencapai 89 (delapan
puluh sembilan).14
Kewajiban Australia untuk melapor ini tertulis di dalam ICRW yang berbunyi : Manusia, sebagai makhluk yang punya rasa ingin tahu yang besar, selalu berusaha
untuk mempelajari semua yang ada. Segala hal yang ada disekitarnya baik benda
mati maupun benda hidup. Semuanya dapat dijadikan manfaat apabila dilakukan
dengan tujuan yang jelas dan maksud yang baik. Untuk itulah izin untuk
melakukan penelitian dengan perburuan terhadap paus yang sedang dilindundi
diberikan. Adanya harapan bahwa data dan ilmu yang didapatkan dari penelitian
tersebut akan berguna kedepannya untuk membangun industri yang jauh lebih
efektif dan efisien serta dapat menjaga keberlangsungan eksistensi paus sehingga
dapat dilakukan pngambilan secara terus menerus ke depannya. Salah satu
contohnya seperti izin penangkapan paus yang dengan catatan untuk tujuan
khusus yang berhubungan dengan penelitian demi perkembangan ilmu
pengetahuan yang dapat membawa keuntungan bagi masyarakat banyak dan
kelangsungan hidup paus kedepannya. Namun, terkadang izin tersebut
disalahgunakan karena adanya kepentingan lain yang tersirat di dalam
pelaksanaannya.
Ketika izin untuk melakukan penelitian diberikan dan disalah gunakan oleh
negara yang bersangkutan, maka negara anggota lainnya yang juga memiliki
hubungan dengna hal tersebut, dapat melakukan protes serta mengajukan gugatan
ke organisasi yang berwenang. Salah satu contoh disini ialah antara Jepang dan
Australia, dimana Jepang yang mengeluarkan izin untuk melakukan penelitian
terhadap paus yang ada di Antartika melalui Porgram JARPA nya ternyata
difokuskan untuk kebutuhan komersial. Dalam hal ini, Australia berhak dan
berkewajiban untuk menegur, melaporkan dan menggugat Jepang sesuai dengan
aturan yang berlaku di dalam ICRW dan sebagai anggota IWC.
14
International Whaling commission, structure and membership,
“Each Contracting Government shall take appropriate measures to ensure the application of the provisions of this Convention and the punishment of infractions against the said provisions in operations carried out by persons or by vessels under its jurisdiction.”
Yang terjemahannya berbunyi :
“Setiap negara yang menyetujui harus mengambil tindakan sepantasnya untuk
memastikan seluruh peraturan yang ada terpenuhi dan segala sangsi yang muncul
dari pelanggaran atas peraturan ini dapat diaplikasikan oleh yang telah ditentukan
ataupun oleh yang diwakilkan”15
Ketika satu negara menganggap pelaksaan yang dilakukan tersebut masih wajar
dan dapat dimasukkan kedalam batas kewenangan yang diberikan oleh izinnya
dan negara lainnya menggangap hal tersebut sudah diluar izin yang diberikan,
maka dapat timbul persengketaan diantara dua negara tersebut sehingga
diperlukan jalan penyelesaian yang damai. Salah satu cara penyelesaian secara
damai tersebut ialah melalui Mahkamah Internasional apabila kedua belah pihak
menghendaki.16
Pada awalnya, pihak Jepang awalnya di beri izin untuk melakukan proyek
penelitian. Suatu program Jepang yang dapat membantu monitorisasi dan
menambah data untuk membuat sistem regulasi yang lebih efektif terhadap
populasi paus yang ada di Antartika sehingga eksistensinya terjaga; juga untuk
melakukan penelitian terhadap jenis-jenis paus disana yang bisa menambah Dalam kasus ini, negara yang berseteru adalah Jepang dan Australia. Dimana
masing-masing pihak pada saat diajukannya gugatan masih tergabung sebagai
anggota ICW, dan Jepang mengundurkan diri dari organisasi tersebut pada Januari
2014 (dua ribu empat belas) bersamaan dengan beberapa negara lainnya. Jepang
sejak lama telah melakukan penelitian mengenai paus dengan program nya yaitu
JARPA, JARPA II, JARPN, dan JARPN II.
15
ICRW 1946, pasal 9 ayat (1).
16
pengetahuan tentang ekosistem dari paus tersebut. Program ini diberi nama nama
JARPA II yang merupakan kelanjutan dari JARPA pertama yang pernah
dilakukannya.
JARPA II dimulai pada tahun 2005 dan masih berlanjut sampai hari ini (sampai
pada putusan Mahkamah Internasional mencabut kewenangan Jepang pada
tanggal 31 Maret 2014) 17, dengan beberapa tujuan yang ikut termasuk ke
dalamnya yaitu monitorisasi ekosistem di Antartika, membuat skema kompetisi
antara jenis paus , merekam perkembangan jumlah paus dan memperbaiki sistem
managemen paus antartika. 18
Australia beberapa kali mencoba melakukan diskusi ataupun memberi saran
terhadap Jepang. Namun tidak ada dampak yang muncul dari peringatan tersebut
sehingga pada akhirnya kedua negara tersebut sepakat untuk membawa kasus
tersebut ke Mahkamah Internasional dan memberikan lembaga tersebut untuk
memberikan putusan terhadap kasus ini. Masing-masing pihak berusaha
memberikan pembelaan dan gugatan mengenai kasus ini dimana Australia
mendapat dukungan dari Sea Shepherd
Namun, setelah diteliti lebih lanjut oleh Australia dengan beberapa organiasi
non-pemerintah lainnya yang memiliki kepedulian terhadap pelestarian paus,
ditemukan banyak kejanggalan dari pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh
Jepang. Di dalam misi pengawasannya, Australia mengirimkan beberapa kapalnya
membuntuti kapal penelitian Jepang yang melihat banyak paus di buru, dibunuh,
dan di potong-potong dalam bagian yang lebih kecil di tempat tersebut. Rekaman
mengenai hal ini banyak disebarkan dimedia media sehingga menarik simpati dari
masyarakat internasional yang peduli terhadap makhluk hidup, terutama paus.
19
dan intervensi dari New Zealand. 20
17
Putusan Akhir Mahkamah Internasional, 31 Maret 2014, WHALING IN THE ANTARTIC (AUSTRALIA vs JAPAN : NEW ZEALAND INTERVENING)
18
Scientific Research, http://en.wikipedia.org/wiki/Whaling_in_Japan#JARPA_II, diakses pada 7 Juni 2014 pukul 9.30 WIB.
19
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan perburuan paus di dalam hukum internasional?
2. Bagaimana tahap penyelesaian sengketa perburuan paus antara Jepang dan
Australia?
3. Bagaimana putusan Mahkamah Internasional didalam sengketa perburuan paus
antara Jepang dan Australia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tentang perjanjian internasional yang mengatur tentang
perburuan paus .
2. Untuk mengerti bagaimana tahapan penyelesaian sengketa perburuan paus
Antartika antara Jepang dan Australia.
3. Untuk mengetahui tentang putusan yang dikeluarkan oleh Mahkmaha
Internasional terhadap kasus ini dan dampaknya terhadap pihak pihak
bersengketa.
Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa
manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Secara Teoritis
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu
hukum secara umum dan khususnya untuk hukum internasional. Selain itu,
penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan
perangkat hukum internasional maupun perangkat hukum nasional dalam kaitan
20
dengan ketaatan terhadap suatu konvensi sehingga tidak menimbulkan konflik di
dunia Internasional.
2. Secara praktis
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman
yang lebih mendalam mengenai kewajiban suatu negara yang telah memutuskan
untuk ikut di dalam suatu organisasi internasional yang menganut konvensi
tertentu di dalam kegiatannya meregulasi dan memonitorisasi penangkapan paus
untuk tujuan komersial dan penelitian. Penelitian ini juga diharapkan memberikan
gambaran mengenai kemungkinan yang terjadi apabila ada negara anggota yang
tidak menaati suatu perjanjian internasional yang telah disetujuinya sehingga
diajukan gugatannya ke Mahkamah Internasional setelah rekomendasinya tidak
ditaati.
D. Keaslian Penulisan
Karya tulis ini merupakan karya tulis asli, sebagai refleksi dan pemahaman dari
apa yang telah penulis pelajari selama mengikuti perkembangan kasusnya di
media media Internasional yang ada. Penulis berupaya untuk menuangkan seluruh
gagasan dengan sudut pandang yang netral dengan mencoba melihat alasan-alasan
pembela masing-masing negara ketika dihadapkan di Mahkamah Internasional
mengenai kasus penangkapan paus ini antara Jepang dan Australia.
Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang “Sengketa Mengenai Kasus
Penangkapan Paus di Antartica Antara Jepang dan Australia” belum pernah ditulis
sebelumnya.
Khusus untuk yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Medan, keaslian penulisan ini ditunjukkan dengan adanya penegasan dari pihak
administrasi bagian/jurusan hukum internasional.
Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari buku-buku, laporan-laporan, dan
informasi dari internet. Untuk itu, diberikan penegasan dan pengertian dari judul
penelitian, yang diambil dari sumber-sumber buku yang memberikan pengertian
terhadap judul penelitian ini, ditinjau dari sudut etimologi (arti kata) dan
pengertian-pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum maupun pendapat dari para
sarjana sehingga mempunyai arti yang lebih tegas.
Pengertian perburuan paus secara umum ialah :21
(a) Whaling is the hunting of whales primarily for meat and oil in the past. (b) Modernly, whaling is the hunting of whales primarily used for
commercial and consumption needs.
Dan pengertian perburuan paus secara khusus menurut ICW ada 3 jenis , yaitu : 22
(a) The first of these is commercial whaling conducted either under objection or reservation to the moratorium.
(b) The second, called aboriginal subsistence whaling is to support the needs of indigenous peoples.23
(c) The third type is whaling under special permit.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan
dengan “Whaling” adalah segala kegiatan perburuan terhadap paus untuk diambil sumber dayanya. Sumber daya yang dimaksudkan dalam hal ini berupa : minyak
hewaninya, dagingnya dan kepentingan komersial lainnya. IWC di dalam
perburuan paus, juga membagi klasifikasinya ke dalam 3 (tiga jenis) tergantung
dari tujuan khususnya.
Menurut klasifikasi IWC, yang pertama adalah perburuan paus komersial yang
bertentangan dengan peraturan dan reservasi dari moratorium, dimana ini
merupakan pelanggaan yang paling ditentang oleh negara-negara anggota IWC.
Yang kedua, mengenai kebiasaan tradisional masyarakat tertentu yang berburu
21
Whaling, http://en.wikipedia.org/wiki/Whaling , diakese pada 7 Juni 2014 , pukul 14.00 WIB.
22
Whaling, http://iwc.int/whaling , diakses pada 7 Juni 2014 pukul 15.37 WIB
23
paus untuk kelangsungan hidupnya; Yang ketiga, mengenai perburuan paus yang
memang diizinkan oleh IWC dengan tujuan untuk menjaga stabilitas jumlah
populasi jenis paus tersebut ataupun untuk penelitian yang bermanfaat bagi
manusia. 24
F. Metode Penelitian
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, haruslah dipahami bahwa perburuan paus
yang dimaksudkan di dalam penelitian ini ialah perburuan paus yang tidak
diberikan izin oleh IWC dan dilakukan dengan tujuan yang bukan untuk
penelitian, melainkan untuk tujuan komersil yang termasuk kedalamnya
konsumsi.
Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang digunakan
sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Sebagaimana lazimnya penulisan dalam penyusunan dan penulisan karya tulis
ilmiah yang harus bersadarkan fakta-fakta dan data-data yang objektif (benar dan
layak dipercaya), demikian halnya dalam menyusun dan menyelesaikan penulisan
penelitian ini sebagai karya tulis ilmiah, juga menggunakan pengumpulan data
secara ilmiah (metodologi), guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam
penyusunan sesuai dengan yang telah direncanakan semula yaitu guna menjawab
permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya.
Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis
normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder. Penelitian yuridis
normatif digunakan dalam penelitian ini untuk meneliti norma hukum
internasional yang berlaku yang mengatur tentang pelarangan perburuan paus
sebagaimana yang telah disetujui oleh negara-negara yang telah bergabung
24
menjadi anggota International Whaling commission (IWC) dengan acuan
International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW).
Penelitian ini menggunakan metode analisis, yaitu menganalisis tentang upaya
untuk menegakkan konvensi internasional tertentu ketika terjadi pelanggaran
terhadap pasal-pasalnya oleh negara yang sebelumnya telah menyetujui
pelaksanaannya.
2. Data Penelitian
Penelitian ini memusatkan pada berbagai konvensi mengenai regulasi terhadap
penangkapan paus sebagai dasar acuan serta kebiasaan kebiasaan masyarakat
international lainnya yang memiliki kaitan dengan kasus ini. Data dalam
penelitian ini mempergunakan data sekunder yang terdiri dari :
a. Bahan hukum primer25
1) International Convention for the Regulation of Whaling, Washington 2nd December 1946
, yaitu bahan hukum yang mengikat secara
umum, termasuk di dalamnya International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) dan data data dari International Whale Commission (IWC), yaitu :
2) International Whaling commission Resolutions 3) Statute of International Court of Justice
b. Bahan hukum sekunder26
25
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari (untuk Indonesia): a. Norma atau kaedah dasar; b. Peraturan dasar; c. Peraturan perundang-undangan; d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasi; e. Yurisprudensi; f. Traktat; g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 2005, hal. 52.
26
Bahan hukum sekunder ialah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Ibid.
, yaitu tulisan-tulisan atau karya-karya
para ahli hukum dalam buku-buku teks, surat kabar, internet, dan
c. Bahan hukum tersier 27 , yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, diantaranya kamus-kamus bahasa.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku koleksi pribadi
maupun pinjaman dari perpustakaan dan dosen pembimbing, artikel-artikel yang
berasal dari media elektronik, dokumen-dokumen internasional yang resmi
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :
a. Melakukan inventarisasi hukum
internasional dan bahan-bahan hukum
lainnya yang relevan dengan objek
penelitian.
b. Melakukan penelusuran kepustakaan
melalui artikel-artikel media elektronik,
dokumen-dokumen internasional yang
resmi dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang.
c. Mengelompokkan data-data yang
relevan dengan permasalahan.
d. Menganalisa data-data yang relevan
tersebut untuk menyelesaikan masalah
yang menjadi objek penelitian.
27
4. Analisa Data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara
kualitatif 28
G. Sistematika Penulisan
. Analisis secara kualitatif berarti analisis yang memfokuskan
perhatiannya pada makna-makna yang terkandung di dalam suatu pernyataan,
bukan analisis yang memfokuskan perhatiannya pada figur-figur kuantitatif
semata. Analisa data dilakukan sedemikian rupa dengan memperhatikan aspek
kualitatif lebih daripada aspek kuantitatif dengan maksud agar diperoleh
kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
Sebagai gambaran umum untuk memudahkan pemahamanan materi penelitian ini,
maka dibagi dalam 5 (lima) Bab yang berhubungan erat satu sama lain, yaitu :
Bab Pertama merupakan pendahuluan. Pada bab ini akan diuraikan hal-hal pokok
yang menjadi latarbelakang permasalahan yang mendasari terjadinya sengketa
serta informasi yang dibutuhkan untuk menganalisa objek sengketa. Bab ini terdiri
atas perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan,
tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua mendeskripsikan tentang perjanjian internasional secara umum dan
perjanjian internasional yang mengatur tentang regulasi perburuan paus yaitu
International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW). Bab ini juga membahas sejarah International Whaling commission (IWC) agar dapat dipahami kedudukan IWC di dalam sengketa ini dan apa yang menjadi kewajiban dari
negara-negara anggota yang telah ikut meratifikasi ICRW.
28
Bab Ketiga membahas mengenai tahapan penyelesaian sengketa perburuan paus
anatar Jepang dan Australia. Didalam bab ini, di jelaskan mengenai tata cara
penyelesaian sengketa secara damai melalui litigasi maupun non litigasi. Bab ini
juga memberikan informasi dasar tentang objek yang persengketakan serta jalan
yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa perburuan paus tersebut.
Bab Keempat membahas tentang putusan akhir yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Internasional setelah melalui seluruh acara persidangannya. Didalam bab ini, juga
dicantumkan poin-poin penting dari kasus ini dan juga gugatan yang diajukan
oleh Australia terhadap Mahkamah Internasional untuk menghentikan program
penelitian yang sedang dilakukan oleh Jepang
.
Bab Kelima merupakan bab penutup dari penelitian yang berisi kesimpulan dari
keseluruhan uraian materi pembahasan dan disertai dengan beberapa saran yang
BAB II
PENGATURAN PERBURUAN PAUS DI DALAM HUKUM
INTERNASIONAL
A. Perjanjian Internasional
1. Pengertian Perjanjian Internasional
Hukum Internasional di dalam pelaksanaannya, memiliki beberapa beberapa
sumber. Di dalam Statuta Mahkamah Internasional, tertulis bahwa hukum
Internasional bersumber dari 29
1. Perjanjian / konvensi Internasional yang diakui oleh pihak pihak yang terlibat di dalamnya (international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states).
:
2. Kebiasaan International (international custom, as evidence of a general practice accepted as law).
3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh negara negara beradab. (the general principles of law recognized by civilized nations) .
4. Keputusan Pengadilan terdahulu dan pendapat para ahli yang telah diakui oleh negara negara.(judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law).
Di dalam skripsi ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai perjanjian internasional
sebagai suatu hukum internasional yang mengikat para pihak yang telah
menyepakatinya. Subjek hukum Internasional sendiri tidak hanya terbatas pada
negara saja, dimana organisasi internasional juga termasuk kedalamnya. Berikut
ini, pendapat beberapa ahli terkemuka mengenai perjanjian Internasional :
29
Menurut Wayan Parthiana, perjanjian internasional ialah:
“Kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu
objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum
atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum Internasional” 30
Di Indonesia sendiri, ada disebutkan pengertian mengenai perjanjian
internasional. Hal ini terdapat di dalam Undang-undang No.24 Tahun 2000 yang
menyebutkan perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama
tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban dibidang hukum publik” 31
Pengertian perjanjian Internasional menurut G.Schwarzenberger32
Pengertian perjanjian internasional menurut Ian Brownlie
:
“Treatie are agreement between subjects of international law. They may be bilateral (ie. Concluded between contracting parties) or multilateral (ie. Concluded more than contracting parties).”
“Perjanjian ialah suatu kesepakatan antara subjek-subjek international. Yang di
dalamnya mencakup kesepaktan bilateral dan multilateral yang menyebabkan
perikatan terhadap pihak pihak yang menyepakatinya”.
33
“Perjanjian internasional sebagai suatu kesepakatan antara negara-negara dalam
bentuk tertulis dibawah hukum internasional, baik di dalam suatu badan ataupun
beberapa badan yang terkait mengenai tujuan khusus yang ingin dicapai” :
“Treaty as an International agreement concluded between states in written form and governed by International law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.”
30
Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional, bagian 1, cet.I, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm.11.
31
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
32
G.Schwarenberger, A manual of International Law, Vol.1, Edisi ke-4, London 1960, hlm.26.
33
Mochtar Kusumaatmadja di dalam bukunya, mengartikan perjanjian internasional
sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan
bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu karena itu dapat
dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh
subjek-subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.34
Di dalam bukunya, Mochtar Kusumaatmadja tidak hanya membatasi perjanjian
internasional dalam lingkup negara saja, melainkan juga organisasi internasional
dan lain lain
35
. Perjanjian Internasional menurut Mochtar, ada kalanya dinamakan
traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention) , piagam (statuta), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, convenant dan sebagainya.36
Boer Mauna, di dalam bukunya yang berjudul Hukum Internasional, menuliskan
bahwa perjanjian internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara
sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum
internasional dan berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat hukum. 37
Pengertian lebih jauh mengenai makna dan istilah perjanjian Internasional yang
digunakan oleh para ahli hukum yaitu 38
1. Traktat, merupakan istilah yang sudah umum dipergunakan untuk
perjanjian internasional antara negara negara yang substansinya
tergolong penting bagi para pihak. :
39
34
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar hukum Internasional, Buku 1- Bagian Umum, (Bandung : Binacipta, 1990), hlm. 84
35
Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., hlm 85
36 Mochtar Kusumaatmadja, op,cit., hlm 82 37
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era DInamika Global, edisi ke-2, (Bandung: P.T, Alumni.2005), dikutip dari Myers, “The Names and Scope of Treaties”, 51 American Journal of International Law, 574,575 (1957).
38
Tenri Ariantim Andi., Istilah-Istilah hukum perjanjian internasional,
http://satutujuhsatusatu.blogspot.com/2009/11/istilah-istilah-hukum-perjanjian.html, diakses pada 2 Novermber 2014 pukul 20.06 WIB
39
2. Treaties (Perjanjian Internasional / Traktat). Umumnya, traktat ini digunakan untuk perjanjian yang materi merupakan hal-hal yang sangat
prinsipil dan memerlukan pengesahan /ratifikasi.40
3. Convention (Konvensi). Kata konvensi ini umumnya digunakan untuk perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak pihak.41 Konvensi
juga digunakan secara umum di dalam bahasa indonesia untuk
menyebut nama suatu perjanjian internasional multilateral, baik yang
dipreakarsai oleh negara-negara maupun oleh lembaga atau organisasi
internasional. Pada umumnya kovensi ini digunakan untuk
perjanjian-perjanjian internasional multilateral yang mengatur temntang masalah
yang besar, penting dan dimaksudkan untuk berlaku sebagai kaidah
hukum internasional yang dapat berlaku secara luas, baik dalam ruang
lingkup regional maupun umum. Namun, ada pula perjanjian yang
sebenarnya merupakan perjanjian bilateral tetapi diberi nama
konvensi.42
4. Persetujuan. Istilah persetujuan (agreement, arrangement) digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang ditinjau dari segi isinya
lebih bersifat teknis dadministratif. Jika dibandingkan dengan substansi
traktat (treaty) ataupun kjonvensi (convention) yang berkenaan dengan masalah masalah yang besar dan penting, substansi dari persetujuan
berkenanan dengan masalah-masalah yang besar dan penting, substansi
dari persetujuan berkenaan dengan masalah-masalah teknis yang ruang
lingkupnya relatif kecil.43 Saat ini, istilah agreement jauh lebih sering
digunakan jika dibandingkan dengan istilah arrangement. Istilah
persetujuan juga digunakan untuk perjanjian yang mengatur materi
mengenai bidang ekonomi, kebudayaan, teknik dan ilmu pengetahuan.44
40
5. Charter (piagam). Istilah charter ini umumnya digunakan untuk perangkat internasional seperti dalam pembentukan suatu organisasi
international dimana penggunaan istilah ini berasal dari kata Magna Carta.45 Istilah ini juga dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi
internasional.46
6. Protokol, jika digunakan dalam pengertian suatu instrument perjanjian
biasanya dikaitkan pada instrumen tunggal yang memberikan
amandemen atau pelengkap terhadap persetujuan internasional
sebelumnya. 47 Istilah protokol ini juga diberikan pada instrumen
perjanjian yang memperpanjang masa berlakunya suatu perjanjian atau
konvensi yang sudah hampir berakhir masa berlakunya.48
7. Declaration (Deklarasi). Isi dari deklarasi umumnya lebih ringkas dan padat serta mengenyampingkan ketentuan-ketentuan formal seperti
surat kuasa (full powers), ratifikasi, dll.49 Deklarasi, dalam bahasa Indonesia, diartikan sebagai pernyataan ataupun pengumuman. Pada
umumnya isi dari deklarasi tersebut lebih merupakan kesepakatan
antara para pihak yang masih bersifat umum dan berisi tentang hal-hal
yang merupakan pokok-pokok saja. Akan tetapi, ada pula deklarasi
yang berisikan kaidah hukum yang mnegikat secara kuat sebagai kaidah
hukum dalam pengertian yang sesungguhnya.50
8. Final Act, adalah suatu dokumen yang berisikan laporan sidang dari suatu konferensi yang mnyebutkan perjanjian-perjanjian dan terkadang
disertai anjuran dan harapan.51
9. Agreed Minutes and Summary Records, yaitu catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati oleh pihak-pihak dalam perjanjian.
Sumaryo Suryokusumo. Hukum Perjanjian Internasional. hal 23. Tatanusa, 2008.
Catatan ini selanjutnya akan digunakan sebagai rujukan dalam
perundingan-perundingan selanjutnya.52
10.Memorandum of Understanding, yaitu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknis operasional suatu perjanjian induk. Jenis perjanjian
ini umumnya dapat segera berlaku setelah penandatanganan tanpa
memerlukan pengesahan. 53
11.Arrangement, yaitu suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operasional pada proyek-proyek jangka pendek yang betul-betul
bersifat teknis.54
12.Exchange of Notes. Perjanjian ini dilakukan dengan mempertukarkan dua dokumen, yang kemudian ditandatangani oleh kedua belah pihak
pada masing-masing dokumen.55
13.Process-Verbal. Istilah ini dipakai untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan
hal-hal yang bersifat teknik administratif atau perubahan-perubahan kecil
dalam suatu persetujuan.56
14.Modus Vivendi, yakni suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud akan diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci.
Biasanya dibuat secara tidak resmi dan tidak memerlukan
pengesahan.57
15.Statuta. Istilah statuta (Statute) biasa dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu
organisasi internasional. Organisasi atau lembaga internasional yang
menggunakan istilah statuta untuk piagamnya adalah Mahkamah
Internasional Permanen dan Mahkamah Internasional yang
masing piagamnya disebut Statute of Permanent Court of International Justice, dan Statute of International Court of Justice.58
16.Kovenan. Istilah kovenan (Covenant) juga mengandung arti yang sama dengan piagam, jadi digunakan sebagai konstitusi suatu organisasi
internasional. 59
17.General Act. Suatu general act adalah benar-benar sebuah traktat tetapi sifatnya mungkin resmi mungkin juga tidak resmi.60
18.Pakta (Pact). Istilah pakta dalam bahasa Inggris pact dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional dalam bidang militer,
pertahanan, dan keamanan. Misalnya perjanjian tentang organisasi
kerjasama pertahanan dan keamanan Atlantic Treaty Organisation/NATO disebut dengan pakta atlantik.61
Di dalam kasus ini, Jepang secara langsung telah melakukan perjanjian
internasional dengan suatu organisasi internasional yaitu International Whaling commission (IWC) sehingga Jepang terikat terhadap konvensi yang dianut oleh anggota tersebut yaitu International Convention for the Regulation of Whaling
(ICRW). Segala bentuk peraturan yang telah ditetapkan tidak boleh dilanggar oleh
negara anggotanya karena bersifat mengikat meskipun sistem keanggotaannya
bersifat sukarela.
Dikarenakan adanya perjanjian internasional inilah, sengeketa antara Jepang
dengan salah satu anggota IWC yaitu Australia dapat mengajukan gugatannya
untuk diputus oleh Mahkamah Internasional dengan catatan adanya kesepakatan
bersama untuk membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional.
2. Kekuatan Mengikat Suatu Perjanjian Internasional
58
Ibid. hal 30.
59
Ibid. hal 31
60
J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional 2 Edisi Kesepuluh. hal 589.
61
Perjanjian Internasional, sejati mengacu kepada suatu prinsip dasar yang dianut
oleh seluruh masyarakat internasional, yaitu “Pacta Sun Servada”. Pacta Sun Servada merupakan norma fundamental yang menjadi jawaban atas pertanyaan, mengapa perjanjian internasional mempunyai kekuatan mengikat. Tampak bahwa
kekuatan mengikat dari perjanjian internasional tumbuh dari perkembangan
prinsip tersebut sebagai kebiasaan.62
Lauterpact, di dalam bukunya mengenai perjanjian internasional mengemukakan
“Treaties are legally binding because there exist a customary rule of internasional law that treaties are binding”. Yang dalam bahasa Indonesianya berbunyi “Perjanjian mengikat secara hukum karena ada hukum kebiasaan
intenasional yang mengikat perjanjian”.
63
Di dalam buku yang berjudul “Modern International law”
Perjanjian yang ditetapkan, mulai berlaku saat tanggal yang telah disepakati
sebelumnya dan di tuangkan kedalam Final Provision (ketentuan penutup) tercapai. Seluruh pihak yang terlibat di dalam perjanjian tersebut menentukan
kapan mulai berlakunya perjanjian tersebut dan dicantumkan sebagai salah satu
pasal atau ayat dari perjanjian itu.
64
62
Budiono,K., Suatu Studi Terhadap Apek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional, Bina Cipta, hlm. 15.
63
Oppenheim Lauterpacht, International Law of Treaties, Volume 1, Edisi 8, Longmans, 1953, hlm. 880-881.
64
R.C. Hingorani, Modern International Law, Oceana, 2 Sub edition (June 1984), the University of California
, terdapat 2
penggolongan terhadap perjanjian international. Salah satu diantaranya yaitu
tentang perjanjian multilateral, yang berlaku setelah terpenuhi jumlah dari
ratifikasi yang ditentukan atau yang tealh didepositokan/ disimpan oleh negara/
organisasi internasional yang ditugasi untuk menyimpannya kecuali dimaksud lain
oleh para pihak agar perjanjian mulai berlakunya beberapa saat setelah ratifikasi
B. Sejarah Berdirinya IWC
International Whaling commission (IWC) adalah organisasi internasional yang bergerak dibidang regulasi perburuan paus. Organisasi ini merupakan perwujudan
dari pelaksanaan International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) yang ditandatangani di Washington D.C., Amerika Serikat pada tanggal 2
Desember 1946. IWC berpusat di Impington, Inggris dan memiliki 3 komite
utama yang mencakup bagian penelitian, bagian keperluan sehari-hari, dan bagian
finansial yang juga merangkap administrasi.
Pada awalnya, IWC dibentuk dengan persetujuan bersama secara sukarela oleh
negara-negara anggota yang menyetujui International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) pada tahun 1946. Negara-negara tersebut sepakat untuk membentuk suatu organisasi independen yang bekerja berdasarkan ICRW
untuk memberikan ruang agar dapat membicarakan masalah terkait penggunaan
sumber daya paus. Disinilah awal terbentuknya organisasi untuk menciptakan
industri perburuan paus yang terorganiasir; termasuk implementasi tujuan
ekonomis dan keterjagaan linkungannya.
IWC pada mulanya beranggotakan 15 negara dan terus bertambah setiap
tahunnya.. Partisipasi sebagai anggota IWC tidak terbatas hanya pada negara yang
memiliki hubungan dengan paus., negara negara yang bersedia untuk turut serta
mendukung IWC walaupun tidak memiliki paus didaerahnya diperbolehkan untuk
bergabung dan bersama-sama memonitoring pelaksaan ICRW. Anggota IWC
telah naik dua kali lipat sejak 2001 dengan jumlah hampir 6 negara bergabung
tiap tahunnya dalam rentang waktu 2002 sampai 2008.
Pada tahun 1982, IWC mengadopsi sebuah moratorium mengenai perburuan paus
dimana Jepang dan Rusia menjadi salah satu negara yang paling menentang
diberlakukannya moratorium ini bersama dengan negara-negara oposisi lainnya.
IWC, sesuai dengan tujuan utamanya untuk melindungi keberlanjutan eksistensi
bentuk perburuan paus pada tahun 1986 dan membatasi perburuan paus hanya
untuk tujuan penelitian dengan syarat tertentu saja. 65
IWC memberikan izin khusus seperti ini karena masih diakui kebiasaan setempat
seperti kebiasaan suku Makah yang menyatakan bahwa prosesi adat perburuan
paus merupakan perayaan tradisional yang sudah dilakukan sejak zaman nenek
moyangnya, dan adat inilah yang menjadi sumber inspirasi terhadap lagu, tarian,
desain dan alat keterampilan mereka. Bagi suku Makah, perburuan paus
memberikan tujuan dan disiplin bagi seluruh komunitasnya; pada tahun 1855 ,
suku Makah berhasil mendapatkan hak untuk berburu paus di daerah Neah Bay
sesuai dengan perjanjian terhadap Amerika Serikat.
Untuk penduduk lokal yang memang masih memiliki budaya ataupun keduayaan
untuk berburu paus, seperti suku Makah, negara Jepang, Iceland, Norway dan lain
lain, IWC memberikan keringanan berupa “non-zero whaling quota” bagi penduduk asli dan setiap negara boleh mengisukan “scientific permits” kepada penduduk mereka yang berupa izin untuk melakukan penelitian terhadap paus.
66
Izin lainnya yang diberikan oleh IWC yaitu izin penelitian. Yang dimaksud
dengan izin penelitian ini ialah diperbolehkannya dilakukan penangkapan
terhadap paus dengan tujuan untuk menganalisa, mencari data ataupun untuk
memonitoring jenis paus tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan informasi
berharga yang kelak dapat disumbangkan kembali untuk membantu pelestarian
paus tersebut ataupun sebagai ilmu pengetahuan tambahan bagi umat manusia.67
IWC, sebagai organisasi yang memberikan monitoriasi dan perlindungan terhadap
paus memiliki tugas utama untuk terus mengawasi dan melakukan perubahan
terhadap konvensinya seiring dengan aktivitas perburuan paus di seluruh dunia.
IWC di dalam tindak tanduknya, juga membuat suatu wilayah perlindungan bagi
paus dengan nama “Southern Ocean Whale Sanctuary”. Tempat ini merupakan
65
IWC Resolution 1986-2, Resolution on Special Permits for Scientific Research.
66
The Makah Whaling Tradition, http://makah.com/makah-tribal-info/whaling/ , diakses pada 12 Juni 2014 pukul 09.24.
67
area seluas 50 juta kilometer persegi yang mengelilingi Antartika dimana IWC
telah menetapkan bahwa disini tidak boleh ada perburuan paus komersial dalam
bentuk dan alasan apapun. IWC sebenarnya memiliki dua tempat perlindungan
paus , dimana satunya lagi “Indian Ocean Whale Sanctuary”. 68
Dari semua tindakan yang dilakukan oleh IWC, inilah yang dianggap sebagai
tindakan terbaik dengan membuat kawasan lindung bagi paus seperti “Southern Ocean Whale Sanctuary”, sehingga dapat memberikan perlindungan total kepada jenis paus tertentu ; menentukan jumlah jenis paus yang boleh diburu didaerah
tersebut; menentukan musim untuk melepas migrasi paus; mencegah penangkapan
paus muda yang masih membutuhkan bantuan induknya.
69
a. Mendukung, merekomendasi, atau jika diperlukan, melakukan
penelitiandan invesigasi yang berkaitan dengan paus dan perburuannya. Dalam melaksanakan tugasnya, IWC juga diberikan izin untuk bekerja sama
dengan badan khusus negara anggota atau badan badan lainnya dengan catatan :
b. Mengumpulkan dan menganalisa informasi statistik mengenai kondisi
terkini dan laju pertumbuhan jumlah paus serta dampak dampak dari
perburuan paus.
c. Pembelajaran, pengamatan dan pembedahan informasi yang berkaitan
dengan metode-metode untuk mempertahankan ataupun menambah
jumlah populasi paus.70
C. Regulasi International Whaling Commission (IWC) Terhadap Perburuan
Paus
IWC sebagai organisasi international yang bergerak di bidang perlindungan paus,
tidak membatasi sepenuhnya hak-hak untuk melakukan perburuan paus. Di dalam
68
_ Southern Ocean Whale Sanctuary, http://en.wikipedia.org/wiki/Southern_Ocean_ Whale_Sanctuary ,diakses pada 12 Juni 2014 pukul 12.00.
69
Catch Limits & Catches taken, http://iwc.int/catches , diakses pada 14 Juni 2014 pukul 14.47.
70
organisasi tersebut, ada izin khusus yang bisa diperoleh yaitu izin penangkapan
untuk tujuan penelitian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pada tahun 1940-an, negara-negara menyadari bahwa perlu adanya sutau regulasi
terhadap paus agar eksistensinya tetap terjaga dan dapat tetap diburu kedepannya
secara berkala untuk kepentingan komersial. Lalu, dibentuklah melalui
kesepakatan untuk membuat pembatasan pada jumlah paus yang boleh di buru
agar ada peluang bagi paus untuk berkembang biak. Ide inilah yang mendasari di
bentuknya IWC setelah regulasi mengenai perburuan paus dituangkan dalam
ICRW 1946.
Dengan tujuan agar kedepannya masih ada paus untuk diburu secara
berkelanjutan., IWC selalu mengedepankan ilmu pengetahuan dan penelitian
sebagai bagian dari organisasi itu sendiri. Namun, setiap peraturan memiliki celah
hukum sendiri yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang salah apabila tidak
dimonitorisasi secara benar. Ada negara anggota yang dengan alasan demi ilmu
pengetahuan dan penelitian berusaha mencari celah agar dapat menggunakan izin
untuk kepentingan komersial negaranya sendiri dan melanggar regulasi yang ada.
Pada tahun 1982, IWC melakukan voting untuk membentuk suatu moratorium
terhadap perburuan paus. Di dalam voting tersebut, beberapa anggota dari IWC
menolak, namun hal tersebut tetap dilakukan dan mulai berlaku tahun 1986.
Setelah itu, para anggota IWC kembali melakukan voting untuk membentuk cagar
untuk paus di Antartika. Secara perlahan, negara-negara yang menentang
perburuan paus terus terkumpul dan mulai memberikan suaranya, IWC dianggap
sebagai badan internasional untuk perlindungan paus, yang sebenarnya bukan
tujuan utamanya. IWC pada dasarnya di berntuj untuk meregulasi perburuan paus
demi ketersedian paus di masa depannya sehingga bisa diburu secara berkala.
Konstitusi IWC yang lemah membuat banyak kontroversi. Anggota IWC sendiri
memiliki daya paksa terhadap negara-negara lain , terutama yang bukan anggota
untuk mengikuti ketentuan berburu paus. 71
Prof. Gales menyarankan IWC untuk membuat larangan bagi tiap negara
membuat izin penelitiannya sendiri. Harus ada faktor eksternal yang bukan dari
negara tersebut yang ikut menentukan pemberian izin perburuan paus untuk
penelitian. Tujuan dari penelitian itu juga harus disebutkan dengan jelas dan
bukan sekedar alasan untuk menutupi kegiatan lainnya.
Prof. Nick Gales dan tim nya di dalam tulisannya mengenai “Applying scientific principles in international law on whaling”, penerapan prinsip prinsip penelitian terhadap hukum international yang berkaitan dengan paus, menyatakan bahwa
IWC tidak benar benar memiliki kemampuan untuk memaksa negara negara yang
lain untuk patuh meskipun IWC berusaha melakukan revisi terhadap sistem
regulasi perburuan paus demi penelitiannya.
72
71 The flawed nature of the International Whaling commission's science,
http://www.abc.net.au/environment/articles/2014/09/16/4088124.htm , diakses pada 22 Juni 2014 pukul 08.52.
72
de la Mare et al 2014 Policy Forum, Prof. Gales, Australian Antarctic Division, Kingston, Tasmania 6050, Australia
IWC, di dalam kewenangannya menerapkan daerah cagar untuk paus, dipandang
lemah dalam hal kredibilitas oleh Mahkamah Internasional. Segala perkembangan
dan revisi peraturan yang ada di dalam IWC dianggap sama sekali tidak
berpengaruh apapun karena masing-masing negara punya kepentingan politik
masing-masing. IWC sebelum membuat revisi ataupun larangan haruslah
menguatkan posisinya terlebih dahulu di dunia internasional atau kedepannya
segala hal yang dilakukan IWC akan sia-sia.
D. International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) sebagai
Di dalam menjalankan fungsinya, IWC yang bergerak dibidang regulasi
perburuan paus, menggunakan ICRW sebagai dasar konvensinya untuk
menjalankan kegiatannya dan memberikan izin terhadap kegiatan perburuan paus.
ICRW sendiri merupakan sebuah konvensi internasional menyangkut
permasalahan perburuan paus yang disetujui pada tahun 1946 di Washington D.C,
Amerika Serikat. Pada awalnya, ICRW merupakan 2 perjanjian multilateral yang
berkenaan dengan paus yang kemudian digabungkan. Kedua perjanjian tersebut
yaitu konvensi mengenai regulasi paus (The Convention for the Regulation of Whaling) yang diadopsi pada tahun 1931 dan perjanjian internasional untuk regulasi paus pada tahun 1937.
Konvensi mengenai regulasi perburuan paus (Convention for the Regulation of Whaling) diadopsi pada tahun 1931 dengan alasan karena adanya kekhawatiran terhadap keberlangsungan industri paus. Industri pada saat itu berkembang pesat
karena adanya kapal yang memadai dan inovasi teknologi yang memungkinkan
untuk melakukan perburuan secara intensif dan jauh dari stasiun darat seperti di
Antartika. Di dalam konvensi awal ini, konvensi hanya mengatur mengenai
perizinan kapal dan pelarangan terhadap perburuan beberapa jenis paus.
Dikarenakan konvensi sebelumnya menyebabkan jumlah paus yang ditangkap
semakin banyak dan harga minyak paus turun. Adopsi dilakukan sekali lagi
terhadap perjanjian internasional untuk regulasi paus pada tahun 1937, yang
dalam pembukaannya tertulis bahwa tujuan dari dimunculkannya perjanjian ini
adalah untuk menjaga kemakmuran dari industri paus dan untuk itu, menjaga
ketersediaan paus. Perjanjian ini lebih kompleks dengan mengatur beberapa jenis
paus yang tidak boleh ditangkap, menjadwalkan penangkapan paus jenis tertentu
sesuai musimnya, melakukan zona larangan penangkapan dan memperkuat
regulasinya terhadap insdustri. Konvensi tahun 1937 juga menjadi fondasi
munculnya sistem perburuan paus demi penelitian dengan izin khusus dimana
dalam pelaksanaannya, setiap pihak terkait harus melaporkan seluruh informasi
penelitian internasional untuk data perburuan paus (International Bureau for Whaling Statistics) di Norwegia.
Kedua konvensi tersebut digabungkan dan menjadi dasar daripada ICRW.
Meskipun merupakan gabungan dari konvensi 1931 dan 1937, ICRW memiliki
kekhususan tersendiri, salah satunya yaitu fungsi amandemen di dalam pasalnya,
dimana ICRW dapat mengajukan sutau perubahan kepada negara anggotanya dan
para anggota tersebut akan memberikan jawaban. Pemungutan suara dilakukan
melalui voting sampai ¾ (tiga per empat) suara dari yang melakukan voting
tercapai. Negara anggota juga berhak untuk menolak amandemen sehingga
amandemen tersebut baru berlaku padanya apabila penolakan telah dicabut.
Sistem seperti ini menyebabkan regulasi ICRW bersifat dinamis dan berubah
sesuai dengan kebutuhannya.
Tujuan dasar dari ICRW ini sendiri ialah untuk melakukan konservasi terhadap
berbagai jenis paus dan membuat regulasi perburuan yang terorganisir dan
bertahahap terhadap industri komersial paus.73
73
International Convention for the Regulation of Whaling 1946
ICRW ini mulai berlaku pada
tanggal 10 November 1948 dan terus diperbaiki sampai pada tahun 1956 dimana
helicopter dan kapal juga dimasukkan sebagai alat transportasi yang dikategorikan
sebagai kendaraan untuk menangkap paus. Konvensi ini juga bertujuan untuk
untuk melakukan perlindungan seluruh jenis paus terhadap perburuan secara besar
besaran, penetapan suatu sistem internasional terhadap perburuan paus untuk
memastikan adanya konservasi yang berjalan dengan baik dan terjaganya
keseimbangan jumlah paus, dan untuk menjaga tersedianya sumber daya alam
untuk generasi kedepannya dengan paus sebagai bentuk sumber daya alam yang
dapat dieksploitasi secara berkelanjutan. Salah satu cara yang paling efisien untuk
mencapai tujuan ini adalah dengan membentuk suatu organisasi internasional