• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. DAMPAK AGROPOLITAN TERHADAP MASYARAKAT

7.1.3. Aspek Budaya

Budaya juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat. Dalam hal ini berkenaan dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, kebersamaan dan kegotong royongan diantara warga masih melekat dalam masyarakat tani kawasan agropolitan. Budaya gotong-royong dalam masyarakat Gorontalo dikenal dengan sebutan huyula . Di bidang pertanian budaya ini terlihat dari penyiapan lahan hingga panen yang dilakukan secara gotong-royong. Begitu pula untuk kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, hajatan maupun tertimpa musibah, masyarakat secara bersama-sama membantu mereka yang mempunyai hajatan atau tertimpa musibah.

7.2. Dampak Agropolitan terhadap Pendapatan Masyarakat Petani

Pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat petani. Untuk mengetahui dampak pengembangan agropolitan terhadap pendapatan petani dilakukan dengan membandingkan pendapatan usahatani di kawasan agropolitan dan non agropolitan. Kawasan non- agropolitan yang diambil yaitu di Kecamatan Taluditi yang merupakan daerah

hinterland-nya yang berada dalam satu kabupaten yang sama yaitu kabupaten Pohuwato. Dalam analisis ini akan dilihat apakah pembangunan infrastruktur yang

dilakukan dikawasan agropolitan berdampak terhadap peningkatan pendapatan petani. Hasil analisis usahatani pada wilayah sampel menunjukkan terdapat kecenderungan rata-rata tingkat pendapatan petani per hektar per tahun di kawasan agropolitan lebih tinggi di bandingkan dengan kawasan non agropolitan. Rata-rata tingkat pendapatan petani di kawasan agropolitan sebesar Rp.10.080.016,-/ ha per tahun, sedangkan rata-rata tingkat pendapatan petani di kawasan non agropolitan sebesar Rp. 5.506.966,- / ha per tahun. Hal ini berarti bahwa pembangunan infrastruktur agropolitan antara lain dengan pembangunan jalan dan pasar di kawasan agropolitan mempunyai efek yang berarti terhadap rata-rata peningkatan pendapatan petani. Lebih jauh hasil uji beda rata-rata dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 34 Hasil Analisis Uji t Perbandingan Pendapatan Kawasan Agropolitan dan Non Agropolitan

Uraian N Mean Standar

Deviasi Standar Error Agropolitan Non agropolitan 30 30 10080017 5506967 1727609 1000130 315417 182598 T –value T – tabel 12,55 2,045

Sumber : Hasil Olahan Data Primer 2007

Pada Tabel 34 diketahui bahwa hasil uji statistik t – test pada taraf nyata 95% memiliki pengaruh yang signifikan antara rata-rata pendapatan petani di kawasan agropolitan dan rata-rata pendapatan petani di kawasan non agropolitan. Dimana hasil perhitungan nilai statistik t hitung 12,55 lebih besar dari nilai statistik tabel 2,045. Hal ini disebabkan karena infratruktur di Kecamatan Randangan sebagai desa pusat pertumbuhan (DPP) lebih baik dibandingkan di Kecamatan Taluditi sebagai daerah belakang.

Dengan adanya program agropolitan yang diwujudkan melalui pembangunan sarana dan prasarana jalan dan pemasaran sangat membantu petani dalam pendapatkan sarana produksi berupa bibit pupuk dan pestisida. Pembangunan jalan usaha tani di desa-desa kawasan agropolitan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, dimana dapat dilihat bahwa masyarakat dapat

memasarkan produksi pertanian langsung di lahan pertanian (dikebun) sehingga mengurangi atau meminimalisasi ongkos produksi petani. Dalam hal ini biaya transportasi menjadi tanggungan dari pedagang. Hal ini tidak terjadi di desa non agropolitan, tidak tersedianya fasilitas jalan usaha tani di Kecamatan Taluditi menyebabkan tingginya biaya produksi di tingkat petani karena biaya transportasi dibebankan kepada petani. Hal ini menyebabkan share dari petani / keuntungan petani yang menjadi pendapatan petani menjadi kecil. Di desa non agropolitan transaksi atau penjualan hasil panen tidak dilakukan di lahan/lapang tetapi harus dilakukan digudang, di rumah pedagang perantara atau di jalan desa yang dapat dijangkau oleh transportasi. Biaya pengangkutan dari kebun ke tempat transaksi menjadi beban petani. Petani harus mengeluarkan biaya pengangkutan yang tinggi karena tidak tersedianya jalan akses ke pasar dari lokasi produksi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa petani di desa non agropolitan harus mengeluarkan biaya pengangkutan rata-rata Rp.1.728.667,- per hektar per tahun untuk mengangkut hasil panen.

Tabel 35 Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Jagung di Kecamatan Randangan

Tahun Luas Lahan

(Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha) 2002 3.717 8.803 2,37 2003 6.517 29.326 4,50 2004 8.418 37.881 4,50 2005 10.263 51.109 5,00

Sumber : - Kecamatan Randangan dalam Angka - Dinas Pertanian

Pelaksanaan penyuluhan pertanian, pembangunan infrastruktur pemasaran dan transportasi signifikan meningkatkan pendapatan petani. Secara hipotetik faktor yang mempengaruhi pendapatan petani diantaranya adalah meningkatnya produktivitas, menurunnya biaya usaha tani diantaranya biaya transportasi dan meningkatnya harga jual komoditi pertanian. Penyuluhan pertanian yang dilaksanakan sangat membantu petani dalam transfer teknologi sehingga terjadi peningkatan produktivitas dan hasil produksi. Ini sangat berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan petani karena sebelum agropolitan produksi jagung hanya

mencapai 1 - 2 ton per hektar namun setelah program agropolitan terjadi peningkatan produksi sebesar 5-6 ton per hektar. Hal ini disebabkan karena petani mulai menerapkan teknologi dengan menggunakan bibit unggul dan pemupukan dalam produksi.

Tersedianya infrastruktur transportasi dan pemasaran yang memadai menyebabkan petani dapat menekan biaya produksi. Di kawasan agropolitan dengan dibangunnya jalan usaha tani sampai ke sentra-sentra produksi (hamparan/kebun), memudahkan pengangkutan hasil panen petani dan menekan biaya transportasi. Fakta dilapangan juga terlihat bahwa rata-rata harga komoditi jagung di kawasan agropolitan relatif lebih tinggi dari rata-rata harga komoditi jagung di kawasan non agropolitan.

Jika dilihat dari sumber pendapatan petani responden kawasan agropolitan dan non agropolitan terlihat bahwa pendapatan dari pertanian merupakan sumber pendapatan terbesar dan 50 persen lebih sumber pendapatan petani responden berasal dari usahatani jagung. Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan infrastruktur agropolitan sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan masyarakat petani di kawasan agropolitan.

Tabel 36 Sumber Pendapatan Utama Masyarakat Petani Kawasan Agropolitan dan Non Agropolitan

Sumber Pendapatan Randangan (Rp/Tahun) % Taluditi (Rp/Tahun) % A. On Farm • Jagung • Kelapa • Kakao B. Off Farm

• Upah pertanian dan non pertanian C. Non Farm • Warung • Transportasi (musiman) 151.200.250 22.537.500 30.600.000 35.500.000 63,04 9,40 12,76 14,80 82.604.500 42.000.000 25.200.000 6.000.000 53,22 26,67 16,24 3,87 Jumlah 239.837.750 100 155.204.500 100

Jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu tentang evaluasi agropolitan terlihat bahwa pengembangan agropolitan di Kabupaten Pohuwato relatif lebih baik. Hal ini disebabkan karena adanya komitmen yang kuat dari Pemerintah Daerah untuk mengembangkan ekonomi wilayahnya melalui program agropolitan dengan menerapkan berbagai instrumen misalnya dengan aa kebijakan intervensi harga dari pemerintah.

Namun demikian meskipun terjadi peningkatan pendapatan petani, namun terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangan agropolitan di Kecamatan Randangan. Pertama, kemampuan permodalan petani yang masih terbatas sehingga penggunaan pupuk masih belum sesuai dengan dosis. Petani masih melaksanakan budidaya sesuai dengan kemampuan modal yang ada. Program agropolitan belum dapat meningkatkan akses petani terhadap permodalan. Petani masih menggunakan modal sendiri atau meminjam kepada pedagang pengumpul/tengkulak. Peran perbankan sebagai sarana penunjang pengembangan agribisnis belum terlihat, karena belum tersedianya skim kredit untuk pertanian dan petani masih enggan untuk meminjam di bank karena prosedur yang berbelit dan memerlukan agunan.

Permasalahan kedua adalah sistem pemasaran yang masih dikuasai oleh tengkulak atau pedagang pengumpul. Petani di kawasan agropolitan cenderung lebih memilih pedagang pengumpul untuk menjual hasil produksinya karena untuk menekan biaya transportasi. Dengan terbukanya jalan usaha tani, pedagang dapat mengambil hasil produksi langsung di hamparan petani/kebun sehingga ongkos transportasi menjadi beban dari pedagang. Disatu sisi keberadaan pedagang pengumpul membantu petani dalam aspek penyediaan modal namun di sisi yang lain keberadaan pedagang pengumpul/tengkulak menyebabkan petani hanya sebagai penerima harga (price taker) karena harga komoditi ditentukan oleh pedagang.

Ketiga adalah belum berfungsinya kelembagaan petani dalam proses pemasaran hasil, sehingga petani masih menjual hasil produksinya secara personal. Hal ini menyebabkan petani tidak mempunyai kemampuan dalam menegosiasikan harga dengan pedagang. Keberadaan KUD, kelompok tani dan gabungan kelompok tani (gapoktan) masih terbatas pada penyediaan saprodi dan

aspek produksi belum menyentuh aspek pengolahan hasil dan pemasaran. Padahal jika kelembagaan petani berfungsi sampai pada pemasaran maka petani akan mempunyai bargaining position yang kuat dalam menentukan harga. Faktor, tuntutan kebutuhan hidup yang mendesak merupakan alasan kenapa petani langsung menjual hasil produksi secara perorangan ke pedagang pengumpul.

Selanjutnya masalah keempat adalah masih belum berkembangnya industri pengolahan hasil di kawasan agropolitan. Industri pengolahan baik skala kecil (rumah tangga) maupun skala besar belum berkembang di kawasan agropolitan. Salah satu faktor penyebabnya adalah masalah teknologi pengolahan yang masih terbatas. Sebenarnya di kawasan agropolitan sudah mulai diupayakan pengembangan industri rumah tangga oleh BPPT dengan pembuatan dodol jagung. Namun pemasaran dari dodol jagung masih sangat terbatas karena masalah kualitas dimana dodol jagung hanya bisa bertahan sampai 1 minggu sehingga belum bisa mencapai pasar yang luas dan hanya berproduksi jika ada pesanan. Industri pengolahan skala sedang dan besar juga belum berkembang di kawasan agropolitan, sehingga belum dapat menyerap tenaga kerja diluar sektor pertanian. Padahal keberadaan industri pengolahan ini akan sangat berpengaruh terhadap multiplier effect, karena selain dapat mengatasi masalah tenaga kerja juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat diluar sektor pertanian.

Selanjutnya masalah yang tidak kalah pentingnya dikawasan agropolitan adalah masalah kurangnya koordinasi antara berbagai instansi yang terkait dalam pelaksanaan pengembangan agropolitan dan masalah degradasi lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari masih belum berfungsinya terminal Randangan yang dibangun oleh dinas Kimpraswil sebagai salah satu sarana penunjang agropolitan. Belum dimanfaatkannya terminal ini mencerminkan belum adanya koordinasi yang baik antar instansi dalam perencanaan dan pelaksanaaan proses pembangunan. Disamping itu, target pemerintah yang besar disektor pertanian menyebabkan sektor ini digalakkan terus. Petani diintroduksi untuk meningkatkan hasil produksi, keadaan ini lambat laun akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan karena lahan tidak pernah diistirahatkan. Disamping itu harga komoditi jagung yang mulai merangkak naik menyebabkan petani bergairah menanam jagung tanpa memperhatikan kelayakan dari struktur tanah, kemiringan

lereng dan sebagainya. Hal ini dapat berdampak terjadinya lahan-lahan kritis dan rawan longsor sehingga dalam jangka panjang dapat menurunkan kualitas lingkungan.

7.3. Partisipasi Masyarakat dalam Kawasan Agropolitan

Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dilakukan sebagai perwujudan dari tanggapan masyarakat atas masalah yang ada dalam masyarakat serta dilaksanakan dengan cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat tersebut. Dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam pembangunan berarti memberikan tanggungjawab kepada masyarakat untuk merumuskan masalah- masalah yang ada di masyarakat, memobilisir sumberdaya setempat dan mengembangkan kelompok organisasi masyarakat setempat. Dampak positif dari proses partisipasi ini antara lain adalah bahwa masyarakat dapat mengerti permasalahan yang muncul serta memahami keputusan akhir yang diambil. Selanjutnya partisipasi masyarakat menurut Cofen dan Uphoff (1977) dalam Harahap (2001) adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana, keterlibatan dalam pelaksanaan program dan keputusan dalam kontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program dan keterlibatan dalam evaluasi program. Berdasarkan definisi diatas, maka partisipasi yang diharapkan dalam pembangunan adalah partisipasi yang interaktif dan mobilisasi swakarsa atau partisipasi dalam bentuk kemitraan, pendelegasian kekuasaan dan pengawasan oleh masyarakat.

Peran serta atau partisipasi masyarakat dalam menunjang program agropolitan diwujudkan baik secara individu maupun kelompok. Secara individu, masyarakat dalam hal ini petani berpartisipasi dengan turut terlibat dalam setiap kegiatan yang terkait dengan program dan melaksanakan penerapkan teknologi tepat guna dan penggunaan bibit unggul dalam usahatani sehingga terjadi peningkatan produktivitas. Secara kelembagaan, melalui gabungan kelompok tani atau gapoktan adalah terjadinya pertukaran informasi antar sesama kelompok tani tentang usaha tani dan informasi harga. Namun fakta dilapang terlihat bahwa tujuan pembentukan kelembagaan dalam hal ini kelompok tani masih terbatas

pada aspek produksi melalui penerapan teknologi produksi dan masih kurang memberikan perhatian pada aspek penangananan pasca panen dan pemasaran. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Saptana,et all (2004) yang mengemukakan bahwa kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol dari pelaksana program dan kurang memperhatikan aspek pemberdayaan petani dan pelaku agribisnis lain. Kelembagaan ekonomi lokal yang ada dalam mayarakat seperti KUD belum banyak berperan karena masih sebatas sebagai penyedia sarana input produksi belum menangani masalah pasca panen dan pemasaran hasil.

Berdasarkan hasil analisis tingkat partisipasi di kawasan agropolitan diperoleh bahwa total skor untuk aspek komunikasi adalah 80,9 aspek pengetahuan masyarakat terhadap forum pengambilan keputusan dan kontrol terhadap kebijakan publik masing-masing adalah sebesar 74,8 dan 78,6.

Selanjutnya dengan membandingkan total skor dengan partisipasi arnstein diperoleh bahwa skor penilaian untuk masing-masing aspek adalah 3 (tiga) untuk aspek komunikasi, 2 (dua) untuk aspek pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan dan 3 (tiga) untuk aspek kontrol terhadap kebijakan publik. Adapun total skor untuk keseluruhan aspek adalah 8 (delapan).

Tabel 37 Hasil Analisis Derajat Partisipasi di Kawasan Agropolitan

No Aspek Variabel Total

Skor 1. Komunikasi •Informasi

•Forum pengambilan keputusan

•Jumlah orang yang berpartisipasi

•Intervensi yang dilakukan aparat

80,9

2. Pengetahuan masyarakat terhadap forum pengambilan keputusan

•Konsep partisipasi

•Tingkat kepuasan

•Prosedur untuk berpartisipasi

•Tingkat partisipasi dalam kelompok

74,8

3. Kontrol terhadap kebijakan publik

•Akses terhadap forum perencanaan

•Kriritk atas mekanisme forum perencanaan

•Keterlibatan masyarakat dalam implementasi proyek

78,6

Hasil analisis dengan menggunakan derajat partisipasi Arnstein, menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat di Kecamatan Randangan sebagai kawasan agropolitan berada pada tingkat konsultasi, ini dapat dilihat pada Tabel 38. Berdasarkan hasil analisis dan jawaban dari responden terlihat bahwa 66,6% responden mengetahui adanya program agropolitan yang dilaksanakan. Dari segi komunikasi terlihat bahwa program-program dalam lingkup desa pada dasarnya sudah melalui diskusi baik kelompok tani maupun dalam forum desa. Meskipun demikian intervensi dari pemerintah masih terlihat cukup dominan. Hal ini direpresentasikan dengan 83.3% responden yang mengemukakan bahwa masyarakat masih melakukan apa yang diinstruksikan oleh pemerintah baik melalui penyuluh pertanian maupun melalui petugas tingkat kecamatan. Dimana kegiatan masyarakat harus disesuaikan dengan program-program yang dijalankan oleh pemerintah. Keadaan SDM yang masih sangat rendah baik pendidikan dan keahlian membuat hal ini dimungkinkan terjadi. Jadi meskipun terjadi komunikasi, namun masih bersifat satu arah. Karena pada hakekatnya agar program dapat tersosialisasi sampai pada masyarakat maka cara yang digunakan adalah disampaikan melalui kelompok tani atau melalui pertemuan desa dalam penyuluhan.

Tabel 38 Derajat Partisipasi Menurut Arnstein di Kawasan Agropolitan Nilai Faktor Derajat Partisipasi A B C Indeks Kelompok Pengawasan Masyarakat 4 4 4 12 Pendelegasian Kekuasaan 4 3-4 3 10-11 Partnership/Kemitraan 4 3 2-3 9-10 Tingkat Otoritas Masyarakat Peredaman Kemarahan 4 2-3 2 8-9 Konsultasi 3-4 2 2 7-8 Menyampaikan informasi 2-3 1-2 1-2 7-8 Tingkat Tokenisme Terapi 2 1 1 4 Manipulasi 1 1 1 3 Non Partisipasi

Sumber : Data primer, hasil olahan (2007)

Dari segi pengetahuan masyarakat terhadap pengambilan keputusan masyarakat tidak mengerti dan tidak pernah terlibat didalamnya. Yang diketahui

masyarakat adalah bahwa kebijakan yang sudah ada harus mendapat dukungan masyarakat dengan keterlibatan mereka dalam setiap program yang ditawarkan. Keadaan ini disebabkan karena program agropolitan memang merupakan program pemerintah pusat. Kurangnya sosialisasi program pada waktu proses perencanaan menyebabkan kondisi ini terjadi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Satuan Kerja Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa Agropolitan (2005) yang mengemukakan bahwa masyarakat dilibatkan hanya secara prosedural, seperti pelibatan masyarakat karena status sebagai kepala dusun atau sebagai tokoh masyarakat. Pelibatan dalam artian bahwa program/ kegiatan sudah sesuai dengan apa yang diperlukan oleh masyarakat masih belum berjalan dengan baik. Pelibatan LSM dalam peranan memediasi dan mengadvokasi semua kebutuhan dan responsibitilas masyarakat dalam kawasan agropolitan juga sangat rendah. Hal ini sebagai akibat kurangnya pemahaman dari pokja mengenai peran LSM sebagai media kontrol yang cukup efektif terhadap pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi dalam pengembangan kawasan agropolitan. Seperti LSM “Pedas” Pohuwato, hanya dilibatkan dalam sosialisasi saja selanjutnya tidak lagi. Peranan kelompok swadaya masyarakat ini penting dalam kaitannya dengan keberlanjutan dari program ini. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan esensi dari perencanaan partisipatif yang terkandung dalam desentralisasi (otonomi daerah) dimana masyarakat seharusnya lebih diberdayakan melalui keterlibatannya dalam pembangunan.

Selanjutnya dari segi kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik melalui wadah kelompok tani, masyarakat bisa melakukan kritik terhadap program yang tidak sesuai dengan kondisi dan keadaan eksisting dalam masyarakat meskipun itu hanya sebagai bahan informasi karena sering tidak mendapat respon yang positif. Menurut Ahmad (2004), partisipasi berada pada tingkat konsultatif dapat disebabkan karena kekakuan kelembagaan (institutional regidities) didalam forum perencanaan, dimana pengalaman-pengalaman masa lalu menyebabkan organsisasi yang ada mengalami kekakuan atau kelembaman (inertia) dalam merespon perubahan yang ada. Perubahan konsep atau paradigma perencanaan yang lebih partisipatif tidak serta merta membuat organisasi yang ada (baik organisasi pemerintah maupun organisasi non pemerintah) menjalankan

konsep partisipasi tersebut secara benar. Kekakuan kelembagaan menyebabkan organisasi yang ada menjalankan kebiasaan yang ada dalam arti tidak mengalami perubahan. Hal ini mengindikasikan bahwa proses musrembang belum benar - benar efektif berjalan masih sebatas sebagai ritual belaka. Hal ini sejalan dengan penelitian Riyanto (2003), yang mengemukakan bahwa paradigma partisipasi yang ada ternyata belum didukung oleh praksis yang memadai bahkan cenderung bertentangan dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain, upaya pemerintah daerah untuk membuka diri ternyata tidak diikuti oleh sebuah pemberlakuan mekanisme yang baik, atau terkesan setengah hati dan malahan menciptakan sebuah program kegiatan yang bertentangan dengan prinsip paradigmanya sendiri; hasilnya adalah sebuah bentuk konsultasi yang tidak genuine dan belum partisipatif.

Program agropolitan merupakan program yang bersifat top down karena program ini merupakan program dari pusat yang ditujukan untuk mengatasi masalah disparitas pembanguan perdesaan dan perkotaan. Dalam era otonomi daerah program ini selanjutnya di delegasikan kepada pemerintah daerah untuk dilaksanakan untuk memacu perkembangan daerah perdesaan. Namun sangat disayangkan dalam pelaksanaannya di daerah sifat ini masih terus melekat, dimana keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan masih sangat kurang diakomodasi. Perencanaan partisipatif yang menjadi inti dari desentralisasi terkesan hanya sekedar untuk mencukupi syarat keharusan saja. Seperti yang terjadi di Kabupaten Pohuwato, intervensi pemerintah masih sangat besar sehingga keterlibatan masyarakat hanya terbatas dalam pelaksanaan kegiatan.

Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan merupakan merupakan keikutsertaan dan kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat di dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah tercapai. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat tidak hanya diukur dari kemauan masyarakat untuk menanggung biaya pembagunan tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk menentukan arah dan tujuan program pembangunan serta kemauan masyarakat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil program pembangunan. Sebagai bentuk kegiatan, partisipasi masyarakat dalam program pembangunan mencakup partisipasi dalam perencanaan kegiatan, pembuatan keputusan pelaksanaan

kegiatan, pemantauan dan evaluasi kegiatan serta pemanfaatan hasil pembangunan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat sangat berperan dalam keberhasilan dan keberlanjutan proyek pembangunan. Karenanya seharusnya pemerintah sebagai perencana dan pembuat kebijakan dalam pembangunan melibatkan masyarakat dalam setiap kebijakan yang ada melalui keterlibatan mereka dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

VIII. STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI

DI KAWASAN AGROPOLITAN

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya berdasarkan data-data kuantitatif yang ada diketahui bahwa sejak program agropolitan basis jagung yang dilaksanakan di Kabupaten Pohuwato telah memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap peningkatan pendapatan petani dan perekonomian wilayah. Hal ini terlihat di tingkat mikro terjadi peningkatan pendapatan petani jagung karena hadirnya berbagai fasilitas penunjang dalam kegiatan agribisnis dan di tingkat makro terjadi pergeseran struktur perekonomian dari sektor sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. Namun permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah adalah belum maksimalnya keterlibatan masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan dan masih rendahnya daya saing wilayah yang ditunjukkan oleh masih rendahnya kinerja dari masing-masing sektor unggulan yang ada di Kabupaten Pohuwato dibandingkan dengan total wilayah yaitu Provinsi Gorontalo. Rendahnya daya saing wilayah dapat menyebabkan lambatnya perkembangan ekonomi lokal wilayah Kabupaten Pohuwato. Oleh karenanya untuk memperbaiki keadaan atau kondisi tersebut perlu diketahui faktor-faktor yang menjadi penyebabnya sehingga dapat dirumuskan strategi pengembangannya.

8.1. Analisis Kondisi dan Status Pengembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Pohuwato

Untuk mengetahui apakah pengembangan agropolitan di Kabupaten Pohuwato dapat mendorong pengembangan ekonomi lokal, maka harus diketahui kondisi dan status pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato. Dan untuk mengetahui status dan kondisi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pohuwato, dilakukan analisis terhadap enam komponen atau unsur yang disebut sebagai Heksagonal PEL yaitu : kelompok sasaran PEL, faktor lokasi, kesinergian dan fokus kebijakan, pembangunan berkelanjutan, tata pemerintahan dan proses manajemen. Keseluruhan komponen PEL dalam Heksagonal tersebut bertujuan untuk mengembangkan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Dengan mengetahui faktor-faktor pengungkit dari masing-masing aspek dalam pengembangan ekonomi lokal maka dapat diidentifikasi strategi untuk

mengembangkan ekonomi pada suatu kawasan pengembangan. Hal ini karena strategi pengembangan ekonomi disusun berdasarkan faktor pengungkit tersebut.

Berdasarkan hasil analisis RALED secara keseluruhan status Pengembangan