• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

2.2. Disparitas antar Wilayah dan Pembangunan Perdesaan

Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan

dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan membangun pusat- pusat pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah- wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan (massive backwash effect). Secara makro dapat kita lihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang signifikan misalnya antara wilayah desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan non Jawa dan sebagainya.

Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan bagi keseluruhan proses pembangunan. Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah (Rustiadi et. al, 2006). Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi yang luar biasa. Fenomena urbanisasi yang mampu memperlemah perkembangan kota ini dapat kita lihat di kota-kota besar di Indonesia yang dipenuhi oleh daerah- daerah kumuh (slum area), tingginya tingkat polusi, terjadinya kemacetan dan sebagainya. Perkembangan perkotaan pada akhirnya sarat dengan permasalahan- permasalahan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang makin kompleks dan rumit untuk diatasi.

Dalam konteks wilayah yang lebih luas, maka disparitas wilayah dapat pula dilihat dari ketimpangan wilayah dalam suatu wilayah kabupaten, provinsi, regional bahkan nasional. Ketimpangan wilayah dalam suatu wilayah administratif bahkan sering melatari kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah administratif, seperti yang ditunjukkan oleh munculnya kabupaten-kabupaten baru dan provinsi-provinsi baru. Secara nasional bahkan sempat muncul ancaman disintegrasi akibat ketimpangan pembangunan wilayah (Rustiadi dan Hadi, 2006).

Ketimpangan/disparitas pembangunan antar wilayah secara alamiah bisa terjadi disebabkan oleh dua faktor penentu yaitu :

1. Aspek kepemilikan sumber daya alam yang berbeda, dimana salah satu wilayah diberi kelimpahan sumberdaya alam yang lebih dibanding wilayah yang lain.

2. Aspek posisi geografis, dimana suatu wilayah memiliki keunggulan posisi geografis dibanding wilayah lain.

Disamping itu ketimpangan juga dapat disebabkan bukan karena faktor penentu alamiah diatas, tapi karena perbedaan sumberdaya manusia (SDM) dan sumberdaya sosial (SDS). Wilayah yang memiliki tradisi yang kuat dan sangat mementingkan proses pendidikan akan memiliki SDM serta SDS yang lebih, sehingga akan lebih maju dibanding dengan wilayah yang memiliki SDM dan SDS yang kurang baik.

Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan disparitas antar wilayah dan perencanaan yang mampu mewujudkan pembangunan wilayah yang berimbang. Dengan demikian jelas bahwa disparitas antar wilayah ini harus diatasi mengingat banyaknya dampak negatif yang bisa ditimbulkan. Hal ini tentunya seiring dengan tujuan hakiki dari pembangunan yaitu untuk mewujudkan efisiensi ekonomi (efficiency), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability). Karena itu diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi terjadinya urban bias, yaitu kecenderungan proses pembangunan untuk lebih memihak pada kepentingan kawasan perkotaan, dengan mulai lebih memperhatikan masalah pengembangan kawasan perdesaan.

Pembangunan kawasan perdesaan merupakan hal yang harus mendapat perhatian karena berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, kawasan perdesaan masih dihuni oleh sebagian besar rakyat Indonesia (58%). Bahkan di pulau-pulau besar kawasan Timur Indonesia seperti Sulawesi, Maluku dan Papua jumlah penduduk yang bermukim di perdesaan masih berada diatas 70 persen. Menurut Nasution (2004), pembangunan kawasan perdesaan tidak dapat dipungkiri merupakan hal yang mutlak dibutuhkan. Hal ini didasari bukan hanya karena

terdapatnya ketimpangan antara kawasan perdesaan dan perkotaan akan tetapi juga mengingat banyaknya potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong pembangunan.

Dari sisi produksi, desa menjadi penyedia sumberdaya manusia yang merupakan faktor produksi utama selain teknologi dan modal. Dari sisi konsumsi, penduduk yang besar sekaligus merupakan potensi pasar bagi produk-produk komersial. Kenyataan ini berimplikasi bahwa pembangunan kawasan perdesaan merupakan keniscayaan, kalau kesejahteraan masyarakat banyak yang menjadi sasaran akhir dari setiap upaya pembangunan.

Salah satu alternatif solusi yang ditawarkan oleh Rustiadi dan Hadi (2006), adalah dengan menciptakan peningkatan nilai tambah di perdesaan itu sendiri. Artinya, kawasan perdesaan harus didorong menjadi kawasan yang tidak hanya menghasilkan bahan primer pangan dan serat, melainkan juga mampu menghasilkan bahan-bahan olahan atau industri hasil pertanian. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Otonomi Desa memberikan peluang bagi desa untuk mengembangkan perekonomian desa dengan potensi yang dimiliki desa.

Menurut Anwar (2001), terdapat beberapa langkah atau upaya yang bisa dilakukan untuk mendorong pengembangan kawasan perdesaan sekaligus untuk mengurangi terjadinya urban bias dalam proses pembangunan yaitu:

Tahap Pertama :

1. Redistribusi aset (tanah, kapital dan sebagainya).

2. Pengembangan lembaga dan pasar finansial di wilayah perdesaan.

3. Kebijaksanaan (insentif lapangan kerja) yang membatasi migrasi penduduk dari desa ke kota.

4. Kebijaksanaan mempertahankan nilai tukar (exchange rate) yang mendorong ekspor pertanian yang selalu kompetitif.

5. Pengendalian sebagian (partial controlled) melalui kebijaksanaan perpajakan dan monitoring kepada lalu lintas devisa dan modal.

6. Pembangunan regional berbasis kepada pemanfaatan sumberdaya wilayah/kawasan berdasar keunggulan komparatif masing-masing wilayah. 7. Kebijaksanaan (insentif fiskal) mendorong produksi dan distribusi ke arah

wilayah perdesaan.

8. Investasi dalam human capital dan social capital serta teknologi berbasis perdesaan yang lebih kuat - dengan membangun trust fund di daerah-daerah untuk membiayai dua kapital di atas.

9. Industrialisasi berbasis wilayah perdesaan/pertanian (melalui pembangunan sistem mikropolitan):

• Industri pengolahan makanan dan pakan • Industri pengolahan pertanian lainnya

• Industri peralatan dan input-input pertanian, serta barang konsumsi lain

10. Secara berangsur mengurangi ketergantungan kepada kapital dan bantuan luar negeri - untuk mencoba keluar dari “The Debt Trap”.

Dengan memperhitungkan beberapa faktor yang kait mengkait yang mempengaruhi pembangunan perdesaan, terutama melalui kebijaksanaan desentralisasi, diharapkan terjadi keseimbangan ekonomi secara spatial antara wilayah perdesaan dengan kawasan perkotaan yang lebih baik dan sekaligus mampu menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

2.3. Pengembangan Kawasan Agropolitan

Secara konseptual Agropolitan terdiri dari kata agro (pertanian) dan kata politan (polis=kota) sehingga agropolitan dapat diartikan kota dilahan pertanian. Dalam pedoman ini yang dimaksud dengan agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis yang mampu melayani, mendorong, menarik, dan menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) daerah wilayah sekitarnya (Anonimous, 2002).

Konsep agropolitan berdasarkan Friedman (1975) yaitu terdiri dari distrik- distrik agropolitan sebagai kawasan pertanian pedesaan yang memiliki kepadatan

penduduk 200 jiwa per km2 dan di dalamnya terdapat kota-kota tani dengan jumlah penduduk 10.000 – 25.000 jiwa. Sementara luas wilayah distrik adalah cummuting berada pada radius 5 – 10 km, sehingga akan menghasilkan jumlah penduduk total antara 50.000 – 150.000 penduduk yang mayoritas bekerja di sektor pertanian (tidak dibedakan antara pertanian modern dan pertanian konvensional) dan tiap-tiap distrik dianggap sebagai satuan tunggal yang terintegrasi.

Menurut Saefulhakim (2004), secara terminologi agropolitan berasal dari kata agro dan metropolis/metropolitan. Agro berasal dari istilah bahasa latin yang bermakna “tanah yang dikelola” atau “budidaya tanaman”, yang kemudian digunakan untuk menunjuk berbagai aktivitas berbasis pertanian. Sementara metropolis mempunyai pengertian sebagai sebuah titik pusat dari beberapa/berbagai aktivitas. Dengan demikian agropolis atau agro-metropolis adalah lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Karena itu pengembangan agropolitan sendiri berarti pengembangan berbagai hal yang dapat memperkuat fungsi/peran AGROPOLIS sebagai lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian dimana tipologi pengembangan disesuaikan dengan karakteristik tipologi kawasan yang dilayaninya.

Pengembangan kawasan agropolitan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing. Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui :

1. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien;

2. Penguatan kelembagaan petani;

3. Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedia agroinput, pengelolaan hasil, pemasaran dan penyedia jasa);

4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu; 5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi;

Berkembangnya sistem dan usaha agribisnis di kawasan agropolitan tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga off farm-nya yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana dan prasarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya (Anonimous, 2002). Sehingga akan mengurangi kesenjangan kesejahteraan antar wilayah, kesenjangan antar kota dan desa dan kesenjangan pendapatan antara masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif serta akan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).

Menurut Rodinelli (1985), pengembangan agropolitan di wilayah perdesaan pada dasarnya lebih ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro- processing skala kecil-menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar. Segala aktivitas harus diorganisasikan terutama untuk membangun keterkaitan antara perusahaan di kota dengan wilayah suplai di perdesaan dan untuk menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian dan aksesibilitas yang mampu memfasilitasi lokasi-lokasi permukiman di perdesaan yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan lokasinya lebih menyebar. Investasi dalam bentuk jalan yang menghubungkan lokasi-lokasi pertanian dengan pasar merupakan suatu hal penting yang diperlukan untuk menghubungkan antara wilayah perdesaan dengan pusat kota. Perhatian perlu diberikan terhadap penyediaan air, perumahan, kesehatan dan jasa-jasa sosial di kota-kota kecil menengah untuk meningkatkan produktivitas dari tenaga kerja. Perhatian juga perlu diberikan untuk memberikan kesempatan kerja di luar sektor produksi pertanian (off-farm) dan berbagai kenyamanan fasilitas perkotaan di kota-kota kecil-menengah di wilayah perdesaan yang bertujuan untuk mencegah orang melakukan migrasi keluar wilayah.

Sebagai unit wilayah fungsional, kawasan agropolitan dapat saja mencakup satu kecamatan administratif yang berbeda di setiap daerah. Kawasan agropolitan bisa berada dalam satu wilayah kecamatan, beberapa kecamatan dalam satu kabupaten, beberapa kecamatan dalam lintas wilayah beberapa

kabupaten atau bahkan beberapa kabupaten dalam satu provinsi atau lintas provinsi.

Provinsi Gorontalo sebagai salah satu provinsi yang menerapkan konsep agropolitan untuk memacu pertumbuhan dan pengembangan wilayah, mengacu pada konsep agropolitan yang dikembangkan oleh pemerintah melalui Departemen Pertanian sesuai dengan pedoman umum pengembangan kawasan agropolitan. Dalam hal ini pembangunan kota-kota kecil menengah di provinsi Gorontalo diarahkan menjadi kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di desa dalam kawasan sentra produksi. Sebagai kota pertanian, kawasan ini memiliki fasilitas yang dapat mendukung lancarnya pembangunan pertanian yaitu :

- Jalan-jalan akses (jalan usaha tani)

- Alat-alat mesin pertanian (traktor, alat-alat prosesing) - Pengairan / jaringan irigasi

- Lembaga penyuluh dan alih teknologi - Kios-kios sarana produksi

- Pemasaran.

Selanjutnya implementasi program yang dijalankan adalah program agropolitan berbasis jagung, yaitu program unggulan daerah untuk memacu pembangunan pertanian sekaligus menjadi motor penggerak pembangunan perekonomian daerah. Adapun kajian dalam penelitian ini mengarah pada konsep agropolitan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia termasuk provinsi Gorontalo.

2.4. Kemandirian Melalui Penguatan Kapasitas Kelembagaan Lokal Perdesaan dan Kemitraan.

Pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berkerakyatan berarti pembangunan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dimana pemerintah harus memfasilitasinya. Akibat dari paradigma pembangunan di masa lalu banyak kelembagaan tradisional /lokal yang sebelumnya merupakan bagian dari perekonomian lokal menjadi rusak, bahkan hilang. Sebagai contoh, menurut Sadjad (2004) hilangnya perlumbungan beras di desa yang digantikan oleh BULOG menggeser kelembagaaan lokal dan mematikan desa sebagai desa

industri. Dibangunnya BULOG secara sentralistik, menyebabkan hilangnya perlumbungan di desa, pemrosesan beras oleh rakyat, transportasi beras dari desa ke kota. Kesemuanya itu merupakan proses industri yang dulunya terjadi di desa. Hal ini menyebabkan kesempatan mencari nilai tambah yang menjadi ciri industri menjadi hilang di perdesaan. Oleh karena itu kelembagaan dan organisasi lokal perlu dibangkitkan kembali dan diberdayakan untuk memperkuat pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berkelanjutan dan mandiri.

Menurut Suwandi (2004), penguatan kelembagaan dalam memberdayakan kawasan agropolitan dilakukan dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif terkait dengan input sarana dasar usaha pertanian, penguatan kelembagaan kawasan agropolitan, penguatan permodalan perdesaan dan penguatan kelembagaan ekonomi. Dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif, peranan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha cukup penting yang tentunya disesuaikan dengan proporsi kewenangan dan fungsi masing-masing, seperti terlihat pada Tabel 6 berikut :

Tabel 6 Sarana Dasar Usaha Agribisnis

URAIAN PEMERINTAH MASYARAKAT DUNIA USAHA

Input Modal, benih/bibit , Pupuk,pakan, obat Pestisida Alsin √ √ √√ Penunjang Jalan, irigasi Pasar Air bersih Pengolahan hasil √√ √√ √√ - - - - √ - √ - √√ Iptek Riset,Pengembangan Penyuluhan Sistem informasi √√ √ √ - - √ - √ √

Sumber : Kawasan Agropolitan, Konsep Pembangunan Desa-Kota Berimbang, 2006.

Selanjutnya menurut Rustiadi dan Hadi (2006), untuk menghindari adanya peluang pengaliran nilai tambah yang tidak terkendali keluar kawasan diperlukan penguatan sumberdaya manusia dan kelembagaan. Sehingga penguatan

kelembagaan lokal dan sistem kemitraan menjadi prasyarat utama yang harus ditempuh terlebih dahulu dalam pengembangan kawasan agropolitan.

Kemampuan sendiri pada dasarnya merupakan kemampuan masyarakat untuk membiayai dirinya sendiri. Oleh karena itu kemampuan masyarakat untuk melakukan saving menjadi penting dalam rangka meningkatkan akumulasi kapital yang nantinya akan berguna bagi peningkatan investasi dan pembangunan.

Mengingat rendahnya tingkat saving masyarakat perdesaan, diperlukan adanya kemitraan antara petani perdesaan, pelaku usaha bermodal dan pemerintah. Pola kemitraan seperti kemitraan permodalan, produksi, pengolahan dan pemasaran akan menjamin terhindarnya eksploitasi pelaku usaha tani di tingkat perdesaan oleh pelaku usaha yang lain dan memungkinkan terjadinya nilai tambah yang dapat dinikmati oleh pelaku usaha tani. Ini akan menjamin peningkatan pendapatan, sehingga memungkinkan kawasan perdesaan melakukan investasi baik yang berupa pendidikan maupun penciptaan lapangan usaha baru (multiplier effect). Secara ekonomi, kemandirian dapat dibangun dengan penguatan lembaga keuangan dan organisasi petani/pelaku ekonomi lokal (Rustiadi dan Hadi, 2006).

Oleh karena pelaksanaan pembangunan tidak bisa dijalankan oleh masyarakat perdesaan itu sendiri, diperlukan pola kemitraan dalam seluruh tahap pembangunan dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaannya. Kemitraan dimaksud melibatkan para pemangku kepentingan (stakehoders) yang terdiri dari masyarakat, sektor swasta dan pemerintah. Kemitraan menuntut dukungan semua stakeholder terkait sebagai refleksi dari kebersamaan public- private- community partnership.

2.5. Peran Infrastruktur dalam Pembangunan Perdesaan

Sebagian literatur menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara infrastrukur dengan tingkat perkembangan ekonomi. Beberapa berargumen bahwa jenis infrastruktur tertentu seperti transportasi merupakan hal terpenting dalam pembangunan ekonomi, disamping itu pendapat lain menyatakan bahwa faktor lain seperti sumberdaya manusia dan lokasi merupakan faktor terpentingnya. Pada dasarnya dapat dinyatakan bahwa tanpa infrastruktur pembangunan ekonomi tidak

dapat dilaksanakan. Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa infrastruktur yang canggih akan senantiasa berdampak pada pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan yang tinggi (DeRyk, et.al dalam Rustiadi,2007).

Secara umum dapat dikatakan bahwa infrastruktur merupakan syarat perlu dalam pembangunan, tidak terkecuali pembangunan pertanian dan perdesaan. Menurut GTZ (2003) dalam Rustiadi (2007), salah satu faktor untuk menjamin keberhasilan dan proses pembangunan ekonomi perdesaan yang mandiri adalah berfungsinya infrastruktur secara efektif (baik perangkat keras maupun lunaknya). Infrastruktur memungkinkan bisnis perdesaan mudah mengakses input dan pasar outputnya. Infrastruktur yang dibangun haruslah mampu meminimumkan biaya pelaksanaan bisnis dan mampu untuk memfasilitasi proses produksinya. Investasi dalam infrastruktur mendorong pertumbuhan yang berpihak pada penduduk miskin (pro-poor) melalui peningkatan akses pada infrastruktur tersebut serta mengurangi resiko dan biaya transaksi yang terkait dengan produksi dan distribusi produknya, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas usaha.

Menurut GTZ (2003) dalam dokumen Guide to REED pelaku utama dalam menjamin berfungsinya infrastruktur efektif antara lain: pemerintah pusat dan daerah, swasta dan komunitas perdesaan beserta organisasi dan asosiasi atau lembaga lembaga yang ada di wilayah perdesaan tersebut.

Namun demikian, fenomena yang terjadi di lapangan dalam pengembangan kawasan agropolitan di lokasi-lokasi rintisan seperti pada agropolitan Cianjur adalah tidak munculnya common ownership atas sarana dan prasarana serta fasilitas yang dibangun. Hal ini disebabkan karena masih dominannya pendekatan top down dan dominannya peran pemerintah sedangkan partisipasi masyarakat masih sangat terbatas. Masalah lemahnya akses masyarakat lokal atas sumberdaya-sumberdaya utama khususnya lahan serta lemahnya kapasitas kelembagaan lokal menyebabkan keadaan dimana infrastruktur dan fasilitas-fasilitas yang dibangun di perdesaan lebih dinikmati oleh orang perkotaan dibanding masyarakat setempat (Rustiadi, 2007).