• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Keadilan Terhadap Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau

DALAM KERANGKA KEBIJAKAN TARIF

C. Aspek Keadilan Terhadap Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau

Untuk memecahkan permasalahan yang timbul mengenai ketentuan pembagian cukai hasil tembakau di Indonesia dan khususnya di Sumatera Utara sebagai daerah penghasil tembakau dan lokasi Industri Hasil Tembakau maka akan digunakan teori utilitarianisme dari Jeremy Bentham (1748-1873) yang disebut Utility

Theory (the greatest happines for the greatest number of people).191

Utilitarianisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines). Jadi, baik buruknya atau adilnya tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.192

189 Ibid.

190 Ibid.

191 Mahmul Siregar, “Modul Perkuliahan : Filsafat Hukum”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara, 2009).

192 Teori utilitarianisme mengemukakan bahwa kebenaran dan kesalahan dari setiap tindakan

seluruhnya tergantung pada hasil yang diperoleh dari suatu perbuatan. Dengan kata lain, baik niat di balik tindakan ataupun kebenaran dan kesalahan yang fundamental dari tindakan yang dilakukan, hanya sebagai konsekuensi. Pendekatan ini sangat pragmatis terhadap pembuatan keputusan etis.

Kebahagiaan yang disebut dalam teori ini seharusnya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi hal tersebut tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut. Tujuan hukum pada teori utilitarianisme adalah menciptakan ketertiban masyarakat, disamping untuk memberikan manfaat sebesar- besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Berarti hukum merupakan pencerminan perintah penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio semata.193 Setelah mendapatkan mana yang menjadi manfaat terbesarnya maka itulah yang dinamakan keadilan.

Dengan begitu dapat diterapkan dalam menentukan kegunaan dari cukai hasil tembakau yang digunakan apakah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Sebagaimana telah diuraikan pada sub bab terdahulu bahwa kebijakan pengendalian rokok melalui instrumen kebijakan cukai dengan menaikkan cukai yang tinggi, sebagaimana diterapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK 011/2009 tidak memenuhi rasa keadilan, khususnya bagi industri skala kecil. Semakin tinggi Harga Jual Eceran produk hasil tembakau, maka semakin rendah rasio kenaikan tarif cukai yang wajib dibayar kepada negara. Produk-produk Industri Hasil Tembakau skala kecil umumnya adalah produk pada kisaran Harga Jual Eceran rendah, sehingga rasio pengenaan tarif dari Harga Jual Eceran lebih besar dari produk-produk merek terkenal yang sudah mapan dan umumnya diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar dan

Semacam estimasi rasional dari hasil dibuat dan tindakan untuk memaksimalkan manfaat terbesar bagi mayoritas orang. Tentu saja, dalam pemikiran sebagian orang, pendekatan ini sering berujung pada “tujuan membenarkan cara”. Jeremy Bentham dalam Bryan Magee, The Story of Philosophy : Kisah Tentang Filsafat, Edisi Indonesia, diterjemahkan Marcus Widodo dan Hardono Hadi, (Yogjakarta : Kanisius, 2008), hal. 182-185.

multinasional. Kenaikan tarif yang lebih tinggi tersebut membuat Industri Hasil Tembakau skala kecil semakin termarginalkan dari pasar Industri Hasil Tembakau. Sementara itu, konsumen Industri Hasil Tembakau skala kecil sangat rentan dengan kenaikan harga. Apabila harga jual ke konsumen dinaikkan, maka dengan daya beli yang terbatas, maka konsumen Industri Hasil Tembakau skala kecil akan mengalihkan konsumsinya kepada produk yang lebih murah, meskipun produk tersebut diketahui ilegal. Keadaan ini diperburuk oleh banyak peredaran rokok ilegal yang harganya lebih murah dari produk Industri Hasil Tembakau skala kecil. Berbada dengan konsumen merek-merek terkenal dan produk Industri Hasil Tembakau multinasional yang secara umumnya adalah konsumen inelastis yang tidak dipengaruhi oleh kenaikan tarif dan harga jual, karena daya beli yang tinggi.194

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Industri Hasil Tembakau skala kecil memandang kebijakan tarif melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK 011/2009 tidak memenuhi rasa keadilan karena hanya mengakomodir kepentingan Industri Hasil Tembakau skala besar dan Industri Hasil Tembakau multinasional, sebagaimana disebutkan dibawah ini :

“Perusahaan kami bergerak di produk segmen menengah bawah dan sangat rentan terhadap setiap perubahan kebijakan yang dterapkan oleh Pemerintah. Perubahan Kebijakan Pemerintah atas Barang Kena Cukai dirasakan semakin memberatkan kami sebagai pengusaha lokal. Sebagai perusahaan lokal dengan jumlah produksi yang relatif kecil, kami merasa terlalu dijauhkan dari rasa keadilan. Aspirasi yang disampaikan tidak relevan dengan kebijakan/penetapan tarif yang berlaku. Pada akhirnya, Pengusaha lokal bermodal kecil hanya akan menjadi penonton di negeri sendirinya”.

“Apresiasi Pemerintah Pusat kepada Pengusaha lokal atas peran mereka dalam membantu menekan angka pengangguran dan meningkatkan taraf kehidupan

masyarakat di sekitarnya sangat kecil kalau tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Nuansa keberpihakan kepada Pengusaha bermodal besar dan PMA sangat kentara”.

“Penetapan Single Tariff hanya akan mematikan para pengusaha lokal bermodal kecil dan memperbesar peluang dari Perusahaan besar dan PMA dalam menguasai pasar di Indonesia. Dengan pemberlakuan single tarif, merek-merek lokal dengan skala produksi terbatas akan semakin sulit bersaing dan bertahan”.195

Muncul anggapan bahwa kebijakan pemerintah berpihak pada kelompok masyarakat tertentu dan menyampingkan kelompok masyarakat lainnya. Dalam konteks penerapan tarif cukai, pemerintah cenderung lebih berpihak pada pengusaha Sigaret Kretek Mesin dibandingkan pelaku usaha Sigaret Putih Mesin lokal karena penerapan tarif cukai yang tidak memperhitungkan daya beli dan kemampuan Industri Hasil Tembakau, sebagaimana dikemukakan pengelola PT. Sumatera Tobacco Trading Company berikut :

“Ketidakadilan dan ketidakseimbangan bagi Konsumen Rokok segmen menengah bawah karena dengan penerapan sistem spesifik murni dan rencana Pemerintah menuju unifikasi (single rate), tidak menutup kemungkinan beban cukai konsumen akan disamakan tanpa memperdulikan kemampuan daya beli konsumen”.

“Untuk mencegah peralihan konsumen PT. Sumatera Tobacco Trading Company yang berada pada segmen menengah bawah ke SKT (Sigaret Kretek Tangan) dan Rokok Ilegal, PT. Sumatera Tobacco Trading Company telah berusaha mengsubsidi beban konsumen tersebut sehingga harga jual rokok hanya berkisar 90% harga bagi agen. Tetapi ditengah tingginya beban-beban industri dan kenaikan beban cukai yang terus menerus, untuk jangka panjang PT. Sumatera Tobacco Trading Company tidak akan mampu mengsubsidi konsumen lagi”.

“Pemerintah telah memberikan keringanan-keringanan bagi Sigaret Kretek Tangan (SKT) dengan beban cukai yang jauh lebih rendah dari jenis rokok lainnya. Namun, Pemerintah belum memperhatikan perusahaan-perusahaan

195 Wawancara dengan pengelola PT. Stabat Industri, Medan, 5 Desember 2009, sebagaimana

rokok Sigaret Putih Mesin modal Nasional dan seolah-olah para pelaku industri di jenis Sigaret Putih Mesin seluruhnya Perusahaan Multinasional. Sehingga Perusahaan Sigaret Putih Mesin Modal Nasional dengan keterbatasan Modal dipaksa berhadapan langsung dengan Perusahaan Raksasa Multinasional tanpa perlindungan wajar Pemerintah”.

“Ada perbedaaan perlakuan kemasan Rokok Putih dengan Rokok Kretek. Untuk Rokok Putih diwajibkan 20 batang perbungkus, sedang untuk Rokok Kretek diperbolehkan 10 batang, 12, 16 dan 20 batang perbungkus”.

“Sehingga ditengah daya beli sebagian besar konsumen melemah dan elastis maka kebijaksanaan kemasan tersebut lebih berpihak dan menguntungkan Rokok Kretek”.196

Aturan-aturan dan kebijakan terkait bidang ekonomi harus berdimensi keadilan. Aturan dan kebijakan dibuat sedemikian rupa, agar tidak menutup mata terhadap fakta adanya ketidakmerataan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat. Aturan dan kebijakan harus memberikan jaminan adanya kesempatan dan perlakuan yang sama bagi pihak-pihak yang memiliki kelemahan/kekurangan secara ekonomi dan sosial. Dalam banyak hal, terkadang aturan menjadi diskriminatif positip untuk melindungi mereka yang lemah.197

Telah dijelaskan pada bagian-bagian terdahulu, bahwa Industri Hasil Tembakau, khususnya berskala kecil saat ini menghadapi permasalahan yang sangat kompleks dan rumit dalam upaya mempertahankan keberadaan usaha, yang meliputi iklim usaha dan iklim persaingan yang tidak kondusif, modal, bahan baku, pemasaran, tekanan rokok ilegal, kemampuan beli konsumen, peraturan-peraturan larangan merokok di tempat-tempat tertentu, pengaruh Framework Convention on

Tobacco Control, infrastruktur, dan sebagainya. Justru pada saat yang bersamaan

196 Ibid.

peraturan membebankan tarif cukai yang menurut mereka tidak adil dan tidak proporsional.198

Kebijakan cukai yang tinggi dan tidak proporsional menimbulkan kesulitan bagi Industri Hasil Tembakau skala kecil, karena pengaruh kemampuan beli konsumen, elastisitas konsumen dan peredaran rokok ilegal yang secara umum lebih murah dari yang mereka hasilkan. Aturan dan kebijakan semestinya merespon fakta yang demikian, sehingga output kebijakan tidak menimbulkan rasa ketidakadilan bagi sekelompok pelaku usaha (Industri Hasil Tembakau skala kecil). Dengan pola rasio kenaikan cukai yang lebih besar bagi Harga Jual Eceran yang semakin rendah, maka produk Industri Hasil Tembakau skala kecil akan menanggung rasio kenaikan cukai yang lebih besar, mengingat secara umum Harga Jual Eceran produk mereka lebih murah. Demikian pula perbedaan kenaikan antara Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret Putih Mesin juga menimbulkan rasa ketidakadilan bagi Sigaret Putih Mesin karena kenaikan cukai pada jenis Industri Hasil Tembakau ini lebih tinggi dibandingkan dengan Sigaret Kretek Mesin. Hal yang demikian menyebabkan aturan atau kebijakan menimbulkan suasana yang tidak stabil, dan penolakan.199

Dari sisi penerimaan daerah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menginginkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut dibagikan secara lebih banyak kepada daerah penghasil. Pembagian tersebut agar dapat digunakan seperti yang diamanatkan oleh peraturan menteri keuangan tentang pengalokasian dana bagi hasil cukai hasil

198 Ibid.

tembakau. Ketentuan pembagian yang 2% oleh Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai tidak berdasar. Pembagian tersebut dinilai tidak adil karena pemerintah pusat mendapatkan porsi yang lebih besar.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, maka format kebijakan cukai semestinya tidak menyimpang dari prinsip proporsionalitas dan rasa keadilan dengan mempertimbangkan fakta-fakta konkrit berupa kemampuan daya beli konsumen dan kemampuan Industri Hasil Tembakau (khususnya skala kecil) terhadap beban yang ditetapkan.200

200 Ibid., hal. 270.

BAB V