• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 GAMBARAN UMUM WILAYAH

2.1.7 Aspek Lingkungan Hidup

A. Ruang Terbuka Hijau

Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit adalah 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota dengan komposisi 20 (dua puluh) persen RTH publik dan 10 (sepuluh) persen RTH privat. Proporsi 30 % merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Berdasarkan hasil interpretasi citra SPOT tahun 2016, luas RTH di Kota Bandung yang berhasil diidentifikasi seluas 1.008,1 ha atau sekitar 6,0% dari wilayah Kota Bandung (16.731 ha) (Dewi, 2018). Hasil interpretasi tersebut mengindikasikan bahwa Kota Bandung masih kekurangan RTH publik seluas 2.338,1 ha dari proporsi 20% yang disyaratkan UU Nomor 26 Tahun 2007.

B. Pengelolaan Persampahan

Kota Bandung merupakan salah satu kota yang mengalami permasalahan di bidang pengelolaan sampah karena kondisi kurang optimalnya sistem pengangkutan sampah khususnya pada sub bagian pelayanan pengangkutan sampah. Masih banyak sampah

yang belum terangkut dan terjadi penumpukan di beberapa daerah di Kota Bandung.

Masa pakai TPA Sarimukti akan habis pada akhir tahun 2017 sehingga ada rencana pemindahan ke TPSA Legok Nangka yang berada di Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung. Pemindahan lokasi TPA ini diikuti dengan rencana sistem pengangkutan sampah yang baru menggunakan Stasiun Peralihan Antara (SPA). Dengan menggunakan sistem baru ini setiap kendaraan pengangkut sampah akan menuju Stasiun Peralihan Antara (SPA), dimana terdapat 2 SPA yang akan beroperasi di kota Bandung, yaitu SPA Gedebage dan SPA Leuwigajah. Untuk wilayah operasional Bandung Selatan dan Bandung Timur akan dilayani oleh SPA Gedebage sedangkan untuk wilayah operasional Bandung Utara dan Bandung Barat akan dilayani oleh SPA Leuwigajah. Volume sampah yang dihasilkan di Kota Bandung berasal dari kegiatan rumah tangga (domestik) dan berasal dari kegiatan fasilitas sosial, perkantoran, pasar, pertokoan dan kegiatan lainnya (non domestik). Mengacu pada standar produksi sampah untuk kota kecil adalah 2,5 liter/orang/hari (SNI 3242:2008) dan jumlah penduduk Kota Bandung tahun 2017 adalah 2.412.458 jiwa (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bandung, 2018) maka volume sampah yang dihasilkan adalah 6.031,15 m3/hari. Bila diasumsikan cakupan pelayanan sebesar 80% maka timbulan sampah yang harus ditangani adalah sebesar 4.824,92 m3/hari.

Sementara itu kapasitas TPA yang ada pada tahun 2009 hanya 3.837.899 m3 (PD Kebersihan Kota Bandung, 2009). Sehingga saat ini TPA Sarimukti berstatus overload (Bandung TV, 2018).

Sampai dengan tahun 2017, tersedia sebanyak 132 unit Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) dan 9 unit Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) di Kota Bandung. Lokasi tempat pembuangan sampah terpadu tersebar di 6 kecamatan Kota Bandung yaitu Coblong 2 unit, Kiaracndong (1 unit), Anstana Anyar (1 unit), Sumur Bandung (1 Unit), Antapani (3 unit) dan Bandung Wetan (1 unit), sedangkan TPSS terbanyak terdapat pada kecamatan Batununggal yaitu 14 unit.

C. Potensi dan Ketahanan Bencana di Kota Bandung

Kota Bandung berada di Cekungan Bandung yang dikelilingi oleh gunung berapi yang masih aktif dan berada di antara 3 (tiga) daerah sumber gempa bumi yang saling melingkup, yaitu (i) sumber gempa bumi Sukabumi-Padalarang-Bandung, (ii) sumber gempa bumi Bogor-Puncak-Cianjur, serta (iii) sumber gempa bumi Garut-Tasikmalaya-Ciamis. Daerah-daerah tersebut berada di sepanjang sesar-sesar aktif, sehingga sewaktu-waktu dapat terjadi gempa tektonik. Selain itu, Kota Bandung memiliki jumlah penduduk dan kepadatan yang cukup serta kerapatan bangunan yang cukup tinggi pula sehingga berisiko tinggi pada berbagai bencana yang terjadi.

Ancaman bencana geologis bagi Kota Bandung sangat besar karena dikelilingi patahan (sesar/fault) dari 3 (tiga) penjuru, setiap sesar menyimpan potensi kegempaan. Di utara Sesar Lembang, di barat patahan Cimandiri, dan di selatan patahan dengan jalur Baleendah dan Ciparay hingga Tanjungsari. Selain itu, dasar Cekungan Bandung memiliki tingkat sedimentasi yang tinggi sehingga akan memberikan efek yang lebih besar apabila terkena rambat gelombang gempa.

Sedimentasi tertinggi terdapat di Kawasan Cibiru, Gedebage, Soekarno-Hatta, dan Tol Purbaleunyi.

Beberapa wilayah rawan bencana di Kota Bandung yang terindentifikasi antara lain sebagai berikut:

1. Daerah rawan banjir: di utara jalan tol Purbaleunyi dan 68 (enam puluh delapan) lokasi; terutama daerah-daerah yang dilewati oleh 5 (lima) aliran sungai, yaitu aliran sungai Cipaku, Cikapundung, Cibeunying, Cipamokolan, dan Cipadung.

2. Daerah rawan bencana gempa bumi: Bandung Kulon, Bandung Wetan, Batununggal, Bojongloa Kaler, Cicendo, Cinambo, Coblong, Kiaracondong, Lengkong, Regol, Sukajadi, Sukasari dan Sumur Bandung.

3. Daerah rawan longsor: Cibiru, Mandalajati, Ujungberung, Cibeunying Kaler, Cidadap, dan Coblong.

4. Daerah rawan kebakaran di permukiman padat, diantaranya: Kecamatan Babakan Ciparay dan Cicendo merupakan kecamatan dengan jumlah kejadian yang terbanyak, kemudian disusul Kecamatan Astana Anyar, Bandung Kidul, Bandung Wetan, Sukajadi, Bandung Kulon, Batununggal, Bojongloa Kaler, Cibeunying Kidul, dan Cibiru.

5. Daerah rawan terkena dampak bencana letusan gunung berapi.

6. Menurut hasil kajian yang dilakukan Bappeda pada tahun 2016, gambaran tingkat ketahanan secara keseluruhan untuk Kota Bandung, ketahanan dari aspek sosial, fisik dan kelembagaan relatif cukup memadai dibandingkan dengan ketahanan dari aspek alam (pengelolaan lingkungan hidup) dan ekonomi. Jika dilihat secara lebih mendalam terhadap parameter tiap aspeknya, parameter kesehatan, kelistrikan dan modal sosial merupakan yang tertinggi dengan nilai indeks di atas 4. Sedangkan parameter Sanitasi dan Limbah Padat, Fungsi Ekosistem, Keuangan dan Tabungan, Frekuensi Bahaya, serta Anggaran dan Subsidi merupakan yang terendah dengan nilai indeks di bawah 3. Dari 88 pertanyaan terkait kapasitas daerah dalam penanggulangan bencana, Kota Bandung hanya 19 pertanyaan yang terpenuhi. Dengan demikian, sesuai dengan kriteria Perka BNPB 3/2012, maka Kota Bandung berada pada Level 2, yakni

“Daerah telah melaksanakan beberapa tindakan pengurangan risiko bencana dengan pencapaian-pencapaian yang masih bersifat sporadis yang disebabkan belum adanya komitmen kelembagaan dan/atau kebijakan yang sistematis”.

Kota Bandung perlu memutakhirkan dan mendetailkan pemahaman risiko bencana (multi bahaya), pada unit analisis yang lebih rinci, yakni kelurahan, yang sampai saat ini belum dimiliki.

2.2 KONDISI SUMBER DAYA KELITBANGAN