• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Pemasaran Hasil Pertanian

Aspek pemasaran memang disadari bahwa aspek ini adalah penting. Bila mekanisme pemasaran berjalan baik, maka semua pihak yang terlibat akan diuntungkan. Oleh karena itu, peranan lembaga pemasaran yang biasanya terdiri dari produsen, tengkulak, pedagang pengumpul, broker, eksportir, importir atau lainnya menjadi amat penating. Lembaga pemasaran ini, khususnya bagi negara berkembang, yang dicirikan oleh lemahnya pemasaran basil pertanian atau lemahnya kompetisi pasar yang sempurna, akan menentukan mekanisme pasar.

Karena barang pertanian umumnya dicirikan oleh sifat: (1) diproduksi musiman;

(2) selalu segar (freshable);

(3) mudah rusak;

(4) jumlahnya banyak tetapi nilainya relatif sedikit (bulky); dan (5) lokal dan spesifik (tidak dapat diproduksi di semua tempat),

maka ciri ini akan mempengaruhi mekanisme pemasaran. Oleh karena itu sering sekali terjadi harga produksi pertanian yang dipasarkan menjadi naik-turun (berfluktuasi) secara tajam; dan kalau saja harga produksi pertanian berfluktuasi, maka yang sering dirugikan adalah di pihak petani atau produsen. Karena kejadian yang semacam ini maka petani atau produsen memerlukan kekuatan entah sendiri atau berkelompok dengan yang lain untuk melaksanakan pemasaran ini.

a. Mengapa Pemasaran?

Menurut Kotler dalam Soekartawi (2004) ada lima faktor yang menyebabkan mengapa pemasaran itu penting, yaitu;

(1) jumlah produk yang dijual menurun;

(2) pertumbuhan penampilan perusahaan juga menurun; (3) terjadinya perubahan yang diinginkan konsumen; (4) kompetisi yang semakin tajam; dan

(5) terlalu besarnya pengeluaran untuk penjualan.

Apa yang dikatakan Kotler (dalam Soekartawi, 2004)) tersebut lebih banyak pada tekanan pada produk perusahaan. Indikasi seperti jumlah produk yang dipasarkan merupakan indikasi perlunya memperbaiki mekanisme atau strategi pemasaran. Apalagi kalau penampilan

(performance) perusahaan (dalam hal keuntungan yang diterima) semakin menurun, maka manajer pemasaran harus cepat mengambil keputusan untuk memperbaiki strategi pemasaran. Perubahan strategi pemasaran dapat saja berubah bila keinginan konsumen atau consumer behaviour juga berubah. Perubahan ini dapat terjadi karena pendapatan

konsumer yang meningkat sehingga selera mereka juga berubah dan pada akhirnya mempengaruhi macam dan kualitas barang yang terjadi. Begitu pula halnya pada sistem perekonomian yang semakin maju di mana persaingan semakin meningkat, maka strategi pemasaran perlu terus dikembangkan agar mampu memenangkan persaingan tersebut. Peningkatan strategi pemasaran bukan berarti harus diikuti dengan besarnya pengeluaran untuk memenangkan persaingan tersebut dan bila terjadi hal yang demikian, maka strategi pemasarannya yang perlu diubah.

Manajemen pemasaran yang moderen memang mendahulukan kepentingan konsumen, dalam artian bahwa perubahan konsumen ini menentukan jumlah barang yang diminta. Selanjutnya agar harga tidak melonjak tinggi karena perubahan tersebut, maka produksi harus

ditingkatkan. Ini berarti produsen diminta untuk meningkatkan produksinya untuk memenuhi permintaan tersebut. Hal ini dapat dilihat di Gambar 1.

Berdasarkan Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa untuk memenuhi permintaan dari OQ, ke-OQ2, maka produsen juga hams meningkatkan produksi yang dihasilkan pada jumlah yang sama bila dikehendaki harga di pasaran tetap. Bila tidak terjadi demikian, misalnya jumlah barang yang diminta lebih banyak dari yang disediakan, maka harga akan naik. Begitu pula sebaliknya bila terjadi kelebihan produksi yang disediakan (over

supply), maka harga akan cenderung menurun bagi barang-barang atau

Gambar 1.Perubahan permintaan dan penyediaan barang pada kondisi barga tetap

Untuk komoditi pertanian, pemasaran terjadi bukan saja

ditentukan oleh lima aspek seperti yang dikemukakan oleh Kotler dalam Soekartawi (2004) tersebut, tetapi oleh aspek yang lain, yaitu:

(1) kebutuhan yang mendesak;

(2) tingkat komersialisasi produsen (petani); (3) keadaan harga yang menguntungkan; dan (4) karena peraturan.

Seringkali ditemukan bahwa karena petani sangat memerlukan uang kontan selekas-mungkin (untuk membayar utang, biaya sekolah anaknya dan lain-lainnya), maka petani memasarkan produksi pertanian-nya walaupun pada kondisi yang kurang menguntungkan. Namun seba-liknya, khususnya petani komersial, mereka memasarkan produksinya bila memang kondisi menguntungkan baginya. Apalagi kalau saat itu keadaan harga menguntungkan, maka petani yang mempunyai rasionalitas yang tinggi senantiasa memanfaatkannya. Namun ada pula dijumpai adanya petani yang menjual basil pertanian karena adanya peraturan yang mengharuskan walaupun kondisi harga tidak begitu menguntungkan.

b. Peluang Pasar

Peluang pasar barangkali dapat diartikan sebagai peluang

(probability) dari seseorang (produsen, petani atau pihak lain) untuk menjual basil pertanian dengan mendapatkan keuntungan. Karena pelaku lembaga pemasaran tidak semua mampu memanfaatkan peluang ini, maka hanya mereka yang memanfaatkan pasar saja yang memperoleh kesempatan yang baik tersebut. Dalam banyak kenyataan, maka di antara para pelaku pemasaran tersebut, maka posisi produsen atau petani adalah yang paling lemah. Berbagai faktor yang menyebabkannya, namun karena kondisi yang seperti itu, maka petani sering dirugikan. Misalnya, hanya sebagian kecil saja harga yang diterima petani dari harga yang semestinya diperoleh dari konsumen. Contohnya adalah komoditi jagung. Dui harga yang diberikan oleh konsumen (100%), maka hanya 47,5% yang diterima petani dan sisanya dinikmati atau diambil oleh para pelaku lembaga pemasaran. Dalam pemasaran komoditi pertanian, seringkali di-jumpai adanya rantai pemasaran yang panjang (bahkan dapat dikatakan terlalu panjang); sehingga banyak juga pelaku lembaga pemasaran yang terlibat dalam rantai pemasaran tersebut. Akibatnya adalah terlalu besar-nya keuntungan pemasaran (marketing margin) yang diambil oleh para pelaku pemasaran tersebut. Penjelasan Iebih lanjut tentang hal ini dapat dilihat di Gambar 2.

Beberapa sebab mengapa terjadi rantai pemasaran basil pertanian yang panjang dan produsen (petani) sering dirugikan adalah, antara lain sebagai berikut:

(1) pasar yang tidak bekerja secara sempurna; (2) lemahnya informasi pasar;

(3) lemahnya produsen (petani) memanfaatkan peluang pasar;

(4) lemahnya posisi produsen (petani) untuk melakukan penawaran untuk mendapatkan harga yang baik; dan

(5) produsen (petani) melakukan usahatani tidak didasarkan pada permintaan pasar, melainkan karena usahatani yang diusahakan

secara turun-temurun.

Kompetisi pasar yang sempurna (perfect market

competition) yang tidak bekerja semestinya, memang sering terjadi di negara-negara yang sedang berkembang; sehingga posisi petani sering dirugikan. Apalagi kalau produsen (petani) tersebut tidak mempunyai kekuatan untuk menawar harga jual basil pertaniannya, maka akan terjadi suatu transaksi jual-beli yang menguntungkan pembelinya. Lemahnya informasi pasar; lemahnya memanfaatkan peluang pasar, juga sebagai penyebab mengapa produsen (petani) sering berada pada posisi yang dirugikan. Apalagi kalau petani tersebut mengusahakan usahataninya tanpa harus memperhatikan permintaan pasar. Karena itulah, maka aspek produksi, pengolahan dan pemasaran serta kegiatan lain yang terlibat dalam konsep agribisnis adalah penting sekali dimengerti oleh produsen. Maksudnya, tentu saja agar produsen tidak terlalu banyak dirugikan.

c. Pasar Domestik dan Luar Negeri

Di Gambar 2 telah dijelaskan bahwa komoditi jagung di

Indonesia adalah 96,5% dipasarkan di dalam negeri (domestic market) dan hanya 3,5% saja yang diekspor (international market). Bahkan setelah tahun 1974 tersebut ada kecenderungan kuantitas ini menurun dan bahkan berganti dengan semakin banyak dilakukan impor. Dengan demikian, harga jagung di dalam negeri menjadi sangat tergantung dari harga di pasaran dunia. Padahal komoditi jagung itu mempunyai keunggulan komparatif yang mestinya kebutuhan pasar dalam negeri akan lebih menguntungkan kalau jagung tersebut diproduksi di dalam negeri daripada jagung diimpor (Soekartawi, 2004). Selanjutnya Soekartawi juga menjelaskan bahwa kalau saja kebutuhan jagung tersebut dapat dipenuhi dengan

peningkatan produksi di dalam negeri, maka devisa yang dapat

dihemat adalah sekitar Rp 594,- sampai Rp 1.205,- untuk setiap dollar melakukan impor pada tahun 1990. Angka ini diperoleh dari analisis biaya sumberdaya domestik dalam negeri (BSDN) seperti tertera di Tabel 1.

Tabel 1. Arus kas BSDN komoditi jagung di Jawa Timur dan di daerah penelitian

Uraian Jawa Timura) Tubanb) Probolinggoc)

1. Biaya domestik (Rp/ha) 90.885 329.785,7 237.729,8 2. Biaya asing (Rp/ha) 830 1.204 1.840 3. Total penerimaan (Rp/ha) 252.057 439.399 397.622,8 4. Rasio output-input 3,75 1,33 1,67 5. BSDNd) 0,362 0,753 0,601 Sumber: Soekartawi (2004)

a) Data tahun 1987, varitas jagung tidak dijelaskan (data BPS, 1990). b) Data penelitian tahun 1990, varitas Hibrida

c) Data penelitian tahun 1990, varitas unggul daerah

d) Makin kecil angka BSDN, masih besar keunggulan komparatif komoditi tersebut.

Dalam literatur, baik dilihat dari sisi teori ekonomi mikro maupun ekonomi makro, maka kaitan perdagangan di dalam negeri dan luar negeri memang sangat erat dan sangat mempengaruhi kebijaksanaan yang diambil oleh Pemerintah selaku pembuat keputusan (macro policy).

Secara teoritis, seperti yang dijelaskan oleh Soelistyo dalam Soekartawi (2004), maka konsepsi dasar dari teori perdagangan intemasional antarnegara adalah tidak banyak berbeda perdagangan di dalam negeri, karena perda gangan internasional merupakan kelanjutan dari perdagangan antar-daerah. Barang yang

diperdagangkan antarnegara tidaklah didasarkan. atas keuntungan alamiah saja akan tetapi juga atas dasar proporsi dan, intensitas faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang tersebut. Oleh karena itu teori H-O (Hecksker dan Ohlin), seperti yang banyak dianut adalah dikenal dengan teori proporsi faktor faktor produksi, dengan asumsi bahwa masing-masing negara

memilild faktor-faktor produksi (tanah, tenaga kerja dan modal) dalam perbandingan yang berbeda-beda untuk menghasilkan suatu barang tertentu diperlukan kombinasi faktor-faktor produksi yang tertentu pula.

Pada dasamya, teori H-O ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

(1) Suatu negara akan atau sebaiknya menghasilkan barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang relatif banyak (dalam arti relatif murah), maka barang-barang yang dihasilkan akan juga relatif murah karena biaya produksinya murah. Oleh karena itu Indonesia misalnya, yang memiliki relatif banyak tenaga kerja sedangkan modal relatif sedikit sebaiknya menghasilkan dan mengekspor barang-barang yang relatif padat karya, sedangkan Amerika Serikat sebaliknya

barang-barang yang relatif padat karya.

(2) Dengan mengutamakan produksi dan ekspor, maka bila pola per-mintaan yang sama bagi kedua negara diketahui, maka negara yang memiliki faktor produksi tenaga kerja relatif banyak cenderung untuk meningkatkan produksi barangnya yang bersifat padat karya dan mengurangi yang padat modal, sehingga negara tersebut akan mengekspor barang yang padat karya dan mengimpor barang yang padat modal. Dengan demikian perdagangan internasional akan mendorong naiknya harga produksi yang relatif lebih tinggi dan menyebabkan turunnya harga faktor produksi yang relatif sedikit. Akibatnya untuk negara yang memiliki faktor produksi modal relatif besar, maka upah akan turun sedang harga modal dan tingkat bunga akan naik. Dengan kata lain, kalau sebelum adanya perdagangan internasional upah Amerika Serikat jauh lebih tinggi daripada di Indonesia, maka sesudah perdagangan antardua negara

dilaksanakan, menurut teori H-0, maka upah akan cenderung untuk menjadi sama (upah di Amerika Serikat akan turun dan upah di Indonesia akan menjadi naik).

Oleh karena itu, maka perdagangan internasional melalui kebijaksanaan ekspor-impor, maka kebijaksanaan tersebut tidak akan dapat dikaitkan begitu saja. Sebagai contoh misalnya kebijaksanaan ekspor.

Ekspor sebagai bagian dari perdagangan internasional bisa dimungkinkan oleh beberapa kondisi, antara lain:

(1) Adanya kelebihan produksi dalam negeri, sehingga kelebihan tersebut dapat dijual ke luar negeri melalui kebijaksanaan ekspor.

(2) Adanya permintaan luar negeri untuk suatu produk walaupun produk tersebut karena adanya kekurangan produk dalam negeri.

(3) Adanya keuntungan yang lebih besar dari penjualan ke luar negeri daripada penjualan di dalam negeri. Karena harga di pasar dunia yang lebih menguntungkan.

(4) Adanya kebijaksanaan ekspor yang bersifat politik; dan (5) Adanya barter antarproduk tertentu dengan produk lain yang

diperlukan dan tak dapat diproduksi di dalam negeri.

Gambar 3. Grafik kurva perdagangan internasional antardua negara

Keterangan:

Pf : Harga keseimbangan di pasaran internasional PdA : Harga keseimbangan di negara A sebelum adanya

perdagangan internasional

PdB : Harga keseimbangan di negara B sebelum adanya perdagangan internasional

OY1A : Konsumsi di negara A sebelum adanya perdagangan internasional

OY1B : Konsumsi di negara B sebelum adanya perdagangan internasional.

Gambar4. Grafik kurva penawaran ekspor negara A

Keterangan:

Pf : Harga keseimbangan setelah adanya perdagangan internasional

DA : Penawaran setelah adanya perdagangan internasional OY2 : Konsumsi domestik setelah adanya perdagangan

internasional

OY3 : Jumlah penawaran total domestik (jumlah konsumsi domestik dan jumlah ekspor)

Y2Y3 : Jumlah ekspor.

Alasan mendesak mengapa suatu negara perlu

menggalakkan ekspor adalah untuk meningkatkan kekayaan negara yang berarti pula meningkatkan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat.

Selanjutnya, seperti yang dijelaskan oleh Soelistyo dalam Soekartawi (2004), dengan asumsi pola permintaan kedua negara diketahui maka secara grafis kurva ekspor suatu komoditas yang dilakukan oleh dua negara dapat dilihat di Gambar 4.3. Di Gambar 4.3 ditunjukkan bahwa sebelum adanya perdagangan internasional di negara A harga keseimbangan komoditas Y pada titik C dan pada titik F pada negara B. Sedangkan konsumsi di negara A sebesar OY1 dan

OY4 pada negara B. Pf adalah harga keseimbangan di pasaran internasional yaitu, di antara harga komoditas di negara A dan negara B.

Apabila harga Y naik menjadi Pf di negara A setelah adanya perdagangan internasional, maka konsumsi domestik menjadi OY2 sedang total penawaran komoditas Y sebesar OY3 atau di titik E. Dengan demi-kian jumlah komoditas Y yang diekspor sebesar O—Y atau Y2—Y3 (Gambar 4).

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor

Banyak faktor yang mempengaruhi penampilan ekspor. Menurut Darmansyah dalam Soekartawi (2004), faktor-faktor ini adalah harga internasional komoditas tersebut, nilai tukar uang (exchange rate), kuota ekspor-impor, kuota dan tarif serta nontarif.

1) Harga Internasional

Makin besar selisih antarharga di pasar internasional dengan harga domestik akan menyebabkan jumlah komoditi yang akan diekspor menjadi bertambah banyak. Naik-turunnya harga tersebut disebabkan oleh:

(1) Keadaan perekonomian negara pengekspor, di mana dengan tingginya inflasi di pasaran domestik akan menyebabkan harga di pasaran domestik menjadi naik, sehingga secara riil harga komoditi tersebut jika ditinjau dari pasaran internasional akan terlihat semakin menurun.

(2) Harga di pasaran internasional semakin meningkat, di mana harga internasional merupakan keseimbangan antara penawaran ekspor dan permintaan impor dunia suatu komoditas di pasaran dunia meningkat sehingga jika harga komoditas di pasaran domestik tersebut stabil, maka selisih harga internasional dan harga domestik semakin besar. Akibat dari kedua hal di atas akan mendorong ekspor

komoditi tersebut.

2) Nilai Tukar Uang (Exchange rate)

Menurut Branson dalam Soekartawti (2004), maka kebijaksanaan nilai tukar uang adalah dimaksudkan untuk

memperbaiki neraca pembayaran yang devisit melalui peningkatan ekspor. Efek dari kebijaksanaan nilai tukar uang adalah berkaitan dengan kebijaksanaan devaluasi, (yaitu penurunan nilai mata uang domestik terhadap mata uang luar negeri) terhadap ekspor-impor suatu negara dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah elastisitas harga untuk ekspor, elastisitas harga untuk impor dan daya saing komoditas tersebut di pasaran internasional. Apabila elastisitas harga untuk ekspor lebih tinggi daripada elastisitas harga untuk impor maka devaluasi cenderung menguntungkan dan sebaliknya jika elastisitas harga untuk impor lebih tinggi daripada harga untuk ekspor maka kebijaksanaan devaluasi tidak menguntungkan.

3) Kuota Ekspor-Impor

Dengan adanya kuota ekspor bagi negara produsen komoditi tertentu maka ekspor komoditi tersebut akan mengalami hambatan terutama bagi negara-negara penghasil komoditi yang jumlahnya relatif . sedikit. Oleh karena pads saat harga di pasaran internasional tinggi, misalnya sebagai akibat kerusakan komoditi tersebut, maka negara-negara penghasil komoditi yang relatif sedikit tersebut tidak dapat memanfaatkan keadaan tersebut.

4) Kebijaksanaan Tarif dan Nontarif

Kebijaksanaan tarif biasanya dikenakan untuk komoditi impor atau komoditi substitusi impor. Maksudnya adalah untuk menjaga harga produk dalam negeri dalam tingkatan tertentu sehingga dengan harga tersebut dapat atau mampu mendorong pengembangan komoditi tersebut.

Disamping kebijaksanaan tarif, juga dikenal kebijaksanaan non-tarif. Maksudnya untuk mendorong tujuan diversifikasi tujuan ekspor.

e. Kebijaksanaan Meningkatkan Ekspor Nonmigas

Dalam upaya meningkatkan ekspor, pemerintah dapat

menggunakan beberapa macam kebijaksanaan antara lain pemberian fasilitasfasilitas kemudahan yang menunjang kegiatan ekspor.

Fasilitas-fasilitas tersebut hams bisa berupa kredit ekspor, kebebasan eksportir untuk menggunakan devisanya, penyederhanaan tata

laksana pabean dan lainnya.

Sejak tahun 1978 sampai tahun 1986 sedikitnya pemerintah telah mengeluarkan enam kebijaksanaan penting dalam upaya meningkatkan ekspor tersebut, di mana tiga di antaranya merupakan kebijaksanaan devaluasi. Keenam kebijaksanaan tersebut berturut-turut adalah Knop 15/1978, Paket Ekspor Januari 1982, Devaluasi 30 Maret 1983, Inpres No. 4/1985, Paket Kebijaksanaan 6 Mei 1986 dan Devaluasi 12 September 1986.

Knop 15/1978 adalah kebijaksanaan pemerintah tentang devaluasi rupiah terhadap US $ dari Rp 415,- per US $ menjadi Rp 625,- per US $ atau naik sebesar 30 persen. Kebijaksanaan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk:

(1) menggalakkan ekspor komoditi tradisional maupun home industri, oleh karena dengan US $ yang sama pihak pembeli luar negeri dapat lebih banyak mengimpor barang dad Indonesia;

(2) meningkatkan daya saing produk domestik terhadap barang impor karena dengan adanya devaluasi ini harga barang impor menjadi lebih mahal; dan

(3) dengan meningkatnya ekspor maupun industri dalam negeri maka kesempatan kerja dalam negeri menjadi lebih luas.

Kebijaksanaan tersebut disusul dengan kebijaksanaan Paket Ekspor Januari 1982. Paket ini antara lain berisi:

(1) kebijaksanaan kredit ekspor dengan tingkat bunga 6 persen per tahun; (2) kebijaksanaan imbal-beli (counter purchase) yaitu kebijaksanaan yang

mengharuskan pihak penjual barang-barang ke Indonesia bersedia membeli barang produk Indonesia dalam nilai yang kurang lebih sama;

(3) kebijaksanaan yang membebaskan para eksportir untuk menggunakan devisa yang dimilikinya; dan

(4) Penyempumaan tata laksana pabean.

Kebijaksanaan ini pada awalnya menunjukkan basil yang positif, tetapi tampaknya kemudian sasaran tersebut di atas tidak dapat dicapai dengan memuaskan. Hal ini disebabkan antara lain oleh lemahnya daya saing komoditi Indonesia di pasaran internasional, baik dari segi harga maupun kualitas, tingginya inflasi di dalam negeri, resesi yang dialami oleh negara-negara pengimpor produk-produk Indonesia dan kelemahan mengikat pihak importir luar negeri untuk membeli produk Indonesia (Sagir dalam Soekartawi, 2004).

Rangkaian kebijaksanaan berikutnya adalah kebijaksanaan devaluasi 30 Maret 1983. Dari kebijaksanaan tersebut diharapkan adanya dampak positif antara lain:

(1) terjadinya peningkatan volume ekspor nonmigas sebagai akibat dari tingkat harganya yang lebih bersaing di pasaran intemasional;

(2) terjadinya penurunan volume impor barang-barang dan jasa; serta (3) terjadinya penurunan permintaan US $ atau valuta asing lainnya

karena harga valuta asing tersebut menjadi lebih mahal.

Dua tahun kemudian diikuti dengan kebijaksanaan yang didasarkan pada Inpres No. 4/1985. Secara garis besar Inpres

tersebut merupakan tindakan deregulasi yang menyangkut beberapa aspek yang berhubungan dengan lalu-lintas barang antarpulau, ekspor dan impor. Kebijaksanaan tersebut dimaksudkan sebagai perangsang bagi investor baik dalam maupun luar negeri untuk berorientasi ke ekspor. (Soekartawi, 2004)

Selanjutnya oleh Mubyarto dan Abimanyu (dalam Soekartawi, 2004), dijelaskan bahwa sehubungan dengan dihapusnya subsidi ekspor dalam bentuk sertifikat ekspor mulai 1 April 1986, serta mengembalikannya pada sistem murni (draw back) maka dalam rangka mendorong ekspor nonmigas pemerintah mengambil

serangkaian kebijaksanaan yang tertuang dalam Pakem 1986 yang dimaksudkan untuk lebih menunjang eksportir swasta di bidang ekspor nonmigas maupun di bidang penanaman modal. Sistem draw back adalah suatu bentuk rangsangan di dalam rangka mendorong ekspor, berupa pengembalian bea masuk dan bea tambahan serta pajak pertambahan nilai atau barang dan bahan asal impor yang digunakan untuk menghasilkan barang untuk diekspor.

Berbagai kebijaksanaan yang ditempuh sejak tahun 1983, pada hukicatnya adalah ditujukan kepada tercapainya tujuan-tujuan ter-sebut serta merupakan reorientasi dari kebijaksanaan di bidang ekonomi sebagai akibat merosotnya harga minyak bumi dan gas alam di pasaran internasional yang telah membawa dampak yang sangat luas bagi perekonomian Indonesia.

Terlepas dari baik buruknya dampak yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan deregulasi ini, namun masih diikuti dengan

kebijaksanaan devaluasi berikutnya yang ditetapkan pada tanggal 12 September 1986, dari Rp 1.130,- per US $ menjadi Rp 1.645 per US $.

Dari uraian di atas tampak bahwa kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah dalam upaya

meningkatkan ekspor bukanlah berdiri sendiri melainkan berangkai. Hasilnya dapat dilihat pada nilai volume ekspor tahun 1987/1988 di mana di samping nilainya menaik; juga proporsi ekspor nonmigas mulai melebihi nilai ekspor migas. Keadaan seperti ini terus berjalan dan pada tahun 1988/1989 nilai ekspor nonmigas ini mencapai hampir 60% dari total nilai ekspor.

14. Pengembangan Agribisnis dalam Perspektif Pembangunan

Dokumen terkait