Bila perusahaan tidak memiliki kompetensi untuk bersaing; membeli perusahaan yang sudah berada di dalam industri dan memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Akuisi dipandang kurang beresiko di
banding internal new ventures, karena ada data kinerja perusahaan yang diakuisi. Akuisi sesuai untuk industri dimana barriers to entry sangat tinggi. Pada dasarnya semua strategi dalam dunia bisnis bertujuan untuk
memenangkan bisnis dari persaingan, merebut pasar dan meningkatkan pertumbuhan.
F. Antisipasi terhadap Globalisasi
Ada beberapa hal yang perlu diantisipasi pada era global sekarang ini dan masa mendatang khususnya dalam bidang pertanian, antara lain:
1. Pentingnya penguasaan teknologi dan informasi.
Aspek ini berjalan begitu cepat dan pengaruhnya dapat dilihat di berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, sektor pertanian perlu dibangun dengan memanfaatkan teknologi (dan informasi ini) guna menuju pertanian modern (Ciri pertanian modern dibandingkan dengan pertanian konvensional disajikan di lampiran).
2. Meningkatnya jumlah key players di sektor pertanian.
Akibatnya sektor pertanian bukan menjadikan sektor yang ditangani oleh Departemen Pertanian, tetapi oleh banyak Departemen, seperti Departemen Perdagangan, Perhubungan, Keuangan dan sebagainya. Di sini perlunya koordinasi yang baik di antara lembaga-lembaga tersebut. Di tingkat bawah juga demikian, urusan pertanian bukan saja urusan petani saja, tetapi juga memerlukan partisipasi pedagang, Pemerintah Daerah, instansi yang menyalurkan sarana produksi, yang mengatur irigasi, yang membeli produk pertanian, dan sebagainya. Makin majunya teknologi dan informasi dan makin modernnya sektor pertanian, maka dinamika koordinasi/kerja sama antar lembaga dan produsen menjadi faktor kritis.
3. Meningkatnya perubahan preferensi konsumen pada produk-produk pertanian. Perubahaan preferensi konsumen perlu diantisipasi secara cepat. Misalnya, konsumen buah kates atau mangga, kalau dahulu menghendaki ukuran yang besar, namun kini ukuran kecil.
4. Perubahan harga yang cepat karena munculnya key players baru di perdagangan produk-produk pertanian. Kini peran Vietnam dan China menjadi aktif di Asia ini. Australia kini memproduksi pertanian tropis seperti mangga, nanas, dan sebagainya.
5. Menyempitnya lahan pertanian.
Bahkan di Indonesia, masalahnya bukan saja semakin menyempitnya lahan pertanian, namun ketergantungannya produk pangan di Jawa
(60% lebih) pada luas daratan yang hanya sekitar 7%. Jumlah petani kecil (petani yang menguasai kurang dari 0,5 ha) menjadi semakin bertambah.
6. Meningkatnya kesadaran kesehatan menyebabkan perubahan
kualitas produk pertanian. Dengan semakin sadarnya konsumen akan kesehatan, maka produk pertanian harus bisa mengantisipasi. Produk yang bebas pestisida, kini banyak diminati konsumen.
7. Perubahan iklim/cuaca yang kini mulai sulit diprediksi. Di sini produsen perlu pandai-pandai mengantisipasinya. Tentu saja juga perlu ada bantuan dari lembaga yang menangani masalah cuaca dan perubahannya.
8. Pembiayaan usahatani yang sudah terlanjur mahal karena ekonomi biaya tinggi. Upaya-upaya efisiensi sangat diperlukan, usahatani bebas pestisida atau usahatani modem yang menggunakan sedikit input bisa dikembangkan (seperti hydroponics atau aeroponics). 9.
Dari uraian singkat di atas, maka pertanian masa depan di Indonesia yang mampu mengantisipasi perubahan yang cepat pada era global adalah pertanian yang sebagian besar diusahakan di lahan sempit yang menggunakan teknologi modern, produknya mempunyai nilai
tambah yang tinggi, produk yang dijual sebaiknya produk dari upaya diversifikasi produk yang vertikal maupun yang horisontal (misal: tanaman ubi kayu tidak dijual umbinya), namun produk derivative-nya, yaitu kripik ubi (cassava creekers), dan produk pertanian yang menguntungkan dan mempunyai prospek pasar.
Dari berbagai variabel yang mencirikan produk pertanian pada era global di atas, maka ada dua hal yang dominan yang dibahas dalam makalah ini, yaitu:
pentingnya menguasai teknologi dan informasi, dan
pentingnya berkemampuan untuk berkompetisi.
Lambat atau cepat, pertanian di Indonesia harus segera diarahkan untuk mampu memanfaatkan teknologi yang ada. Pertanian kita sudah dengan harus meningkatkan kompetisi petani beras kita. Kita tidak perlu mengeluh mengapa kita impor durian sementara kita sendiri tidak
berupaya memproduksinya dengan kualitas yang sama. Begitu pula dengan komoditi yang lain. Suatu ketika bila AFTA atau WTO sudah diberlakukan, maka hanya satu jawaban yang bisa dipakai untuk menjawab tantangan global yaitu kemampuan kompetisi untuk semua macam produk pertanian. Peran pemerintah akan semakin kecil, hanya terbatas pada pembinaan sementara upaya untuk mampu berkompetisi ada pada produsen itu sendiri.
Contoh yang baik adalah bagaimana pemerintah Singapore meningkatkan pertaniannya. Tabun 1980 Singapore mengalami
swasembada bahan pangan pokok seperti ayam, telor, babi dan sayur-mayur. Karena luas lahan pertanian menurun dari 15 ribu ha menjadi 2 ribu hektar, maka pemerintah menerbitkan peraturan dilarang membangun di lahan pertanian yang tinggal 2 ribu hektar tersebut. Di lahan tersebut diusahakan ‘agro-technology park’ dengan menggunakan teknologi tinggi (modern). Bahkan kini dikembangkan pula teknik hydroponics dan
aeroponics. Bahkan pengusaha pertanian di Singapore tersebut kini mengajak Pemerintah Daerah Provinsi Riau untuk mengembangkan pertanian dengan menggunakan teknologi tinggi untuk konsumen di Singapore khususnya dan untuk ekspor umumnya.
Secara teoritis peran produsen adalah sentral dalam peningkatan produktivitas pertanian dan selanjutnya diharapkan mampu membangun pertanian sehingga sektor pertanian tersebut mampu berkompetisi.
Sebagai ilustrasi, di bawah ini dijelaskan secara teoritis
bagaimana produktivitas itu terjadi dan dipengaruhi oleh sektor yang lain. Produktivitas pada dasamya adalah perbandingan antara output dibagi
input. Jadi
Ukuran di atas sering pula dijadikan ukuran dari efisiensi, sehingga rumus di atas dapat ditulis:
(2) Productivity = (Effectiveness in achieving outputs)/(Efficiency in using inputs)
Jadi kalau penggunaan input yang efisien akan menyebabkan produktivitas akan menaik. Oleh karena pencapaian efisiensi sangat berada di tangan produsen, maka variabel seperti keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience) dan penguasaan teknologi menjadi amat penting.
Rumus (1) dapat dikembangkan Iebih lanjut. Kalau
(3) Labour productivity = Output/Labour; (4) Land productivity = Output/Area; dan (5) Capital productivity = Output/Capital
maka Total Factor Productivity (IP) dapat dituliskan sebagai berikut:
(6) TFP = Output/Input
(Output)/(W1.L + W2.A + W3.K)
di mana W adalah pembobot tiap komponen.
Jadi kalau penggunaan sumber daya manusia (labour) bisa
diefisienkan pada luasan lahan dan kapital yang pada kondisi ceteris paribus (konstan), maka TFP akan menaik. Kalau peran variabel tenaga kerja (labour) ini dikaitkan dengan variabel luas lahan, maka: (7) Y/L = (A/L * Y/A)
di mana:
Y = Total agricultural output
L = Labourabsorbed; dan A = Area
Dari rumus (7) dapat dijelaskan bahwa produktivitas tenaga kerja dapat ditingkatkan dengan cara:
Menambah atau meningkatkan rasio lahan dan tenaga kerja, atau
Meningkatkan produktivitas lahan dengan menggunakan teknologi. Dengan ulasan sederhana di atas, maka kunci dalam
meningkatkan kemampuan berkompetisi adalah terletak pada orangnya (pelakunya) dan penguasaan teknologi. Jadi ada tiga faktor utama yang mendesak untuk diperhatikan, yaitu:
faktor kualitas sumber daya manusianya,
faktor penguasaan teknologi, dan
faktor manajemen (bagaimana manusia menguasai dan mem-praktekkan teknologi tersebut).
Lantas bagaimana gambaran pendapatan per kapita rumah tangga pedesaan yang utamanya mereka terdiri dari para petani. Hasil SUSENAS memberikan gambaran data di 4 provinsi (Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan), di mana sekitar 56% pendapatan rumah tangga pedesaan berasal dari pertanian. Rata-rata pendapatan di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur adalah sebesar 47,5% berasal dari sektor pertanian. Angka ini lebih kecil bila dibandingkan di dua Provinsi di luar Jawa (Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan) yaitu
sebesar 64%. Ini artinya peran sektor pertanian masih besar di luar Jawa. Dari angka rata-rata di empat provinsi tersebut, ternyata 78,0%
pendapatan berasal dari tanaman pangan, 4,6% berasal dari industri rumah tangga, 11,4% berasal dari usaha berdagang dan sisanya sebesar 6,0% berasal dari usaha lain.
Dari data ini upaya yang perlu dilakukan adalah bagaimana meningkatkan produktivitas tenaga kerja di kegiatan tanaman pangan yang kenyataannya memang tanaman pangan ini memerukan banyak tenaga kerja (labourintensive).
Hal ini tentunya memang tidak mudah. Data BPS menunjukkan bahwa penduduk usia 10 tahun keatas yang bekerja di sektor pertanian menurut jenjang pendidikan adalah 40,9% tidak tamat sekolah dasar, 38,8% tamat sekolah dasar, 7,0% tamat sekolah lanjutan pertama, 2,9% tamat sekolah lanjutan atas dan sisanya sebesar 0,4% tamat akademi atau universitas. Jadi struktur tenaga kerja petani kita sebagian besar (79,7%) adalah tamatan atau tidak tamat sekolab dasar.
Dari kenyataan ini dan bila dihubungkan dengan tiga variabel untuk mampu berkompetisi di pasar global (kualitas sumber daya, penguasaan teknologi dan penguasaan manajemen), maka kesiapan petani kita di era global memang relatif berat. Oleh karena itu diperlukan
kebijakan atau upaya yang memihak kepada petani ini agar mampu meningkatkan daya kompetisi untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Upaya kearah ini sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah (dan swasta), antara lain program Bapak-Anak Angkat, program Inti-Plasma, Inpres Desa Tertinggal, Jaringan Pengaman Sosial, Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Kecil (P4K), BIMAS, INMAS, Proyek Pembangunan Kawasan Terpadu, Proyek Pengembangan Lahan Keying, dan banyak lagi. Masalahnya adalah memang terlalu banyak petani yang harus diurusi dan ini memang bukan pekerjaan yang mudah. Seringkali mudah diucapkan, namun sangat sulit implementasinya. Oleh karena itu disarankan agar memberikan skala prioritas program, diutamakan
program yang mempunyai impak yang nyata dan skala luas.
Walaupun agribisnis dan sektor pertanian masih menjanjikan untuk masa depan, namun sektor ini perlu dibangun secara lebib serius lagi. Sektor pertanian bukan saja mampu menyumbangkan sekitar 16% terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), namun sektor ini juga mampu menyumbangkan pangan khususnya beras yang diperlukan masyarakat sekitar 70-80% kebutuhan, menyerap banyak tenaga kerja (sekitar 49,3%), mendorong munculnya kesempatan berusaha untuk sektor yang lain (penyedia material untuk industri non-pertanian), dan juga penghasil devisa dari basil ekspor.
Namun karena sekarang ini terjadi transformasi struktural, maka sektor pertanian perlu dibangun dengan menyesuaikan perubahan struktural tersebut. Perubahan struktural ini, antara lain perubahan
pembuat kebijakan sektor pertanian sehubungan dengan otonomi daerah, pangsa sektor pertanian terhadap PDP yang terus menurun, penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian yang selalu lebih rendah dari kenaikan produksi rata-rata, keterkaitan sektor pertanian dan sektor ekonomi yang lain yang semakin tinggi, ketergantungan pangan yang sebagian besar (60%) ada di Jawa yang luasnya hanya 7% dari luas Indonesia, penghasil devisa di sektor pertanian ada pada beberapa produk perkebunan tertentu seperti karet, kelapa sawit, kopi dan lada yang mencapai 70%, ekspor
produk pertanian hanya terarah ke negara-negara tertentu sehingga mengakibatkan ketergantungan ekspor pada negara tersebut, usaha pertanian masih didominasi petani kecil yang ada di Jawa, perubahan preferensi konsumen yang begitu cepat, konsumen yang aware akan produk pertanian yang bebas pestisida, dan sebagainya.
Penyesuaian atau adjustment tersebut sangat tergantung dari tiga hal, yaitu aspek pelaku pembangunan pertanian, khususnya petaninya, aspek kemampuan menguasai dan menggunakan teknologi (dan
informasi pada usaha pertanian dan aspek manajerial (manajemen) ber-agribisnis. Sayangnya produsen atau utamanya petani kita dalam
kenyataannya petani kita sebagian besar (79,7%) adalah tamat atau tidak tamat Sekolah Dasar. Sehingga dengan demikian memang diperlukan kebijakan yang selalu memihak pada kepentingan petani.
Selanjutnya, kemampuan menguasai teknologi dan informasi, diperlukan untuk mengantisipasi pertanian masa depan khususnya setelah diberlakukannya AFTA nanti. Maksudnya agar produk pertanian kita, mampu berkompetisi di pasar global. Untuk itu pertanian kita perlu diarahkan ke pertanian berlahan sempit, tetapi pengelolaannya adalah mengikuti cara-cara modern. Jenis tanamannya dipilih tanaman yang produksinya mempunyai nilai tambah yang tinggi dan mempunyai prospek pasar. Ketergantungan struktural perlu dikurangi, antara lain dengan mengarahkan pembangunan pertanian ke luar Jawa, orientasi ekspor tidak pada negara-negara tertentu saja, melebarkan atau meningkatkan produk yang mempunyai elastisitas permintaan tinggi yang tidak
tergantung pada beberapa produk tertentu seperti sekarang ini. Upaya membangun pertanian berdasarkan produk unggulan terpadu yang pernah dicoba perlu digali dan diteruskan untuk mencari produkproduk yang mempunyai elastisitas permintaan tinggi ini.
Akhirnya, untuk aspek manajerial atau manajemen diperlukan bukan saja untuk membina petani saja, tetapi juga para pelaku
pembangunan pertanian yang lain. Aspek koordinasi, pembinaan kelem-bagaan di pedesaan seperti kelemkelem-bagaan keuangan Bank atau
Non-Bank, penyuluh pertanian, penyalur sarana produksi, dan koperasi. Menciptakan petani yang mempunyai manajerial yang tinggi atau petani yang mempunyai enterpreneurship (jiwa wiraswasta) perlu terus
dikembangkan agar mereka mampu menggerakkan pembangunan pertanian di berbagai tempat.
G. Pertanian Indonesia dalam Menghadapi Persaingan Global
Kita patut bersyukur karena lokasi geografis Indonesia yang terletak secara strategis di garis equator. Kondisi seperti ini, mestinya mendorong tumbuh dan berkembangnya sektor pertanian dengan relatif cepat, karena alasan sebagai berikut:
Tanaman membutuhkan sinar matahari. Di daerah katulistiwa, apalagi di daerah yang dilewati oleh garis equator, maka matahari bersinar terus sepanjang tahun. Dengan demikian, tanaman pertanian yang tumbuh di daerah katulistiwa ini dapat melakukan fotosintesa dengan sempurna dan menghasilkan produk pertanian yang sepanjang tahun pula (bandingkan dengan negara yang mempunyai muslin dingin, di mana matahari muncul tidak sepenuhnya setahun atau tidak muncul dalam 12 jam per hari).
Lokasi Indonesia yang berada di luar zona taifun atau badai yang sering menghantam tanaman pertanian menyebabkan pertanian di Indonesia terhindar dari bencana alam (bandingkan dengan
negaranegara yang menjadi langganan taifun ini seperti Filipina, Taiwan, Vietnam, China, Jepang).
Sarana dan prasarana pembangunan pertanian yang secara relatif sudah tersedia seperti aliran sungai, bendungan irigasi, jalan di pedesaan, dan kelembagaan di pedesaan mestinya bisa mendorong terciptanya pembangunan pertanian yang cepat (bandingkan dengan kondisi pertanian di negara ASEAN lain yang belum maju seperti Myanmar, Lao PDR, Cambodia), dan
Adanya kemauan politik pemerintah yang memposisikan sektor pertanian menjadi sektor andalan (lihat proporsi anggaran APBN yang dialokasikan untuk sektor pertanian selalu menempati ranking 1 s/d 3).
Karena kondisi seperti itu, maka Indonesia pernah mencapai suksesnya pada masa lalu sehingga saat itu produktivitas pertanian tercapai dalam angka yang relatif tinggi, pertumbuhan sektor pertanian yang relatif tinggi pula (3,5-5,0 %/tahun), swasembada beras tercapai tahun 1984 dan beberapa tahun setelah itu, ekspor basil pertanian dan agroindustri yang terus meningkat, sektor pertanian yang menyerap banyak tenaga kerja, dan sebagainya.
Sukses tersebut kini tinggal kenangan, produktivitas pertanian tertentu boleh dikatakan mencapai levelling odd (tidak naik dan tidak pula menurun). Bahkan produktivitas pertanian tertentu (seperti tebu) menurun, kelembagaan pertanian pedesaan yang dahulu kokoh seperti KUD atau penyuluhan pertanian, kini melemah dan bahkan ada yang tidak berfungsi secara baik, seperti Koperasi Pertanian, Koperasi Unit Desa.
Sebenarnya kesempatan untuk meningkatkan produktivitas pertanian masih terbuka lebar, mengingat senjang potensi peningkatan produktivitas masih terbuka lebar. Tabel 3. adalah data yang menunjukkan peluang meningkatnya produktivitas tersebut.
Data seperti yang disajikan di Tabel 3. tersebut memberikan petunjuk bahwa masih ada kesempatan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Bukan itu saja. Sebenarnya kalau tanaman pertanian tertentu diusahakan secara benar-benar, maka keuntungan bias diraih. Data SUSENAS memberikan petunjuk bahwa usaha pertanian masih menguntungkan. Penjelasan lebih lanjut, dapat dilihat di Tabel 4.
Tabel 3. Produktivitas dan produktivitas potensial tanaman padi, palawija dan sayur (Soekartawi, 2004)
No. Jenis Tanaman Produktivitas(ton/ha)*
Produktivitas Potensial (ton/ha)**
1 Padi sawah 4,63 9,10
3 Jagung 2,77 6,30 4 Kacang tanah 1,08 2,20 5 Kacang kedelai 1,23 2,70 6 Ubikayu 12,50 26,20 7 Ubijalar 9,40 19,25 8 Kobis 19,97 30,30 9 Kentang 13,38 27,60 10 Wortel 16,41 20,75
* Sumber: Indikator Pertanian 2000, BPS
** Diambil dari berbagai sumber. Produktivitas potensial adalah produktivitas yang semestinya bisa dicapai, bila saja teknik usahataninya dilaksanakan secara baik.
Tabel 4. Keuntungan usahatani per-ha untuk tanaman padi, palawija dan sayur (Soekartawi, 2004)
No Jenis Tanaman Nilai Produksi (Rp) Keuntungan (%)*
1 Padi Sawah 5.368.468 73,83 2 Padi Ladang 2.937.539 80,37 3 Jagung 2.097.736 75,65 4 Ubikayu 2.880.605 82,33 5 Ubijalar 4.090.676 84,19 6 Kacang Tanah 2.525.665 74,76 7 Kedelai 2,741.189 71,28 8 Kobis 4.603.279 66,51 9 Kentang 22.254.137 69,15 10 Tomat 5.482.947 65,64
Sumber: Indikator Pertanian 2000, BPS.
* Keuntungan adalah nilai produksi dikurangi pengeluaran usahatani. Disini dinyatakan dengan persen yaitu basil bagi keuntungan dengan nilai produksi. Catatan: Angka di Tabel di atas memberikan petunjuk bahwa usaha pertanian adalah masih menguntungkan.
Memang diakui bahwa tidak mudah membangun sektor pertanian di Indonesia, mengingat petani yang jumlahnya jutaan dengan luas lahan yang relatif sempit, bahkan ada lokasi lahan pertanian yang terpencar-pencar sehingga menyulitkan konsolidasi dan pembinaan, sarana dan prasarana yang tersedia tidak dimanfaatkan secara baik, sarana transportasi, terutama di luar Jawa, yang kurang mendukung
menyebabkan biaya produksi menjadi mahal, dan masih banyak contoh yang lain.
Tabel 5. menunjukkan betapa jumlah petani kecil (petani gurem) terus bertambah karena disebabkan terus melajunya jumlah penduduk yang jauh lebih besar dari lahan pertanian yang tersedia. Pada tahun
1983 jumlah petani gurem (kurang atau sama dengan pemilikan 0,50 ha) sebanyak 9.532 ribu dan pada tahun 2003 ini, jumlah tersebut
diperkirakan menaik mencapai 12.058 ribu atau naik sebesar 26,5% selama 20 tahun atau diperkirakan naik 1,3% setiap tahunnya.
Tabel 5. Jumlah rumah tangga pertanian
No Variabel(ribu) 1983(ribu) 1993(ribu) 2003 (ribu)*
1 Rumah tangga pertanian 19.505 21.503 23.501
2 Rumah tangga pertanian
pengguna lahan
18.693 21.183 23.151
3 Gurem (< atau = 0,5 ha) 9.532 10.937 12.058
4 Non-gurem (> 0,5 ha) 9.161 10.246 11.296
Sumber: Soekartawi (1996), Pembangunan Pertanian, PT Rajawali Pers, Jakarta * Angka perkiraan didasarkan kenaikan jumlah rumahtangga pertanian
1983-93.
Memang harus diakui pula bahwa pemerintah memang telah bekerja keras untuk membangun sektor pertanian ini. Berbagai model pendekatan pembangunan sektor pertanian telah dicoba seperti
pembangunan pertanian terpadu, pembangunan pertanian berwawasan lingkungan, pembangunan pertanian berwawasan agroindustri,
pembangunan pertanian berwawasan agribisnis dan sebagainya. Kalau diperhatikan secara baik, maka upaya-upaya pendekatan pembangunan pertanian tersebut pada dasarnya berupaya untuk:
tetap menjaga dan memperhatikan prinsip keunggulan komparatif sehingga produk pertanian mampu berkompetisi,
terus meningkatkan ketrampilan petani (masyarakat tani) sehingga mampu meningkatkan produktivitas pertanian,
terus mengupayakan sarana produksi yang mencukupi setiap saat diperlukan, dan
menyediakan dan meningkatkan fasilitas kredit bagi petani guna proses produksinya.
Penampilan sektor pertanian memang bukan saja dipengaruhi oleh faktor internal seperti yang disebutkan di atas. Namun faktor
eksternal juga tidak kalah penting pengaruhnya pada penampilan sektor pertanian. Faktor eksternal ini, antara lain:
kebijakan makro ekonomi yang kadang-kadang kurang mendukung pembangunan pertanian,
krisis ekonomi yang berkepanjangan di Asia ini termasuk di Indonesia,
proteksi di sektor pertanian yang dilakukan oleh Negara-negara maju,
adanya peraturan internasional yang dikemas (yang kurang
menguntungkan bagi Indonesia) dalam berbagai organisasi, di mana Indonesia menjadi anggotanya seperti Asian Free Trade Area (AFTA) dan World Trade Organization (WTO). Bahkan
kesepakatan-kesepakatan bilateral atau multilateral seperti perjanjian dengan
International Monetary Fund (IMF) terkadang juga kurang mendukung sektor pertanian tertentu di Indonesia ini.
Karena itu, tidak bisa tidak, maka sektor pertanian di Indonesia sekarang ini atau pada masa mendatang diminta untuk meningkatkan penampilannya, bukan saja di sisi produksi dan kualitas yang ditingkatkan, namun juga tersedia setiap saat sehingga sektor pertanian mampu
berkompetisi dengan produksi pertanian serupa yang diproduksi di luar negeri. Namun perlu diketahui bahwa ada cirri atau perbedaan pertanian skala kecil (sempit) dan skala besar, sehingga setiap kebijakan hendaknya menguntungkan kedua belah pihak, yaitu pertanian skala sempit dan skala luas. Perbedaan keduanya dapat dilihat di Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik usaha tani skala kecil dan besar
No Variabel Usaha taniSkala sempit Skala relatif luas (modern)
1 2 3 4 5 6 7 Lahan Status lahan Pengelolaan lahan Jenis tanaman Teknologi Cara budidaya Tenaga kerja Relatif sempit Milik, sewa, sakap
Oleh petani sendiri
Sebagian tenaga upah
Sederhana Campuran atau monokultur tan.pangan Sederhana Tradisional Relatif luas
Umumnya Hak Guna Usaha Kebanyakan swasta Tenaga upah Rumit Monokultur tanaman perdagangan Modern Menggunakan teknologi modern
8 9 10 11 12 13 14 Permodalan Proses produksi Pengelolaan Cara pengambilan keputusan Standarisasi produksi Perputaran modal Pasar
Manusia, ternak dan mekanik Padat karya Di alam
terbuka,tergantung alam
Sederhana Cepat dan jangka pendek Relatif sulit Lama Domestik Mekanik, mesin Padat modal Di alam terbuka tergantung alam, dan
Di ruangan dan tidak tergantung alam
Modern
Cepat dan jangka panjang
Relatif mudah Cepat
Orientasi ekspor Sumber: Soekartawi (1996), Pembangunan Pertanian, PT Rajawali Pars, Jakarta.
Contoh komoditas gula dalam kerangka AFTA
Akhir-akhir ini, masalah pergulaan di Indonesia terpuruk karena gula di dalam negeri tidak mampu bersaing dengan gula import. Kasus pergulaan di dalam negeri ini tepat sekali dipakai sebagai ilustrasi
gambaran produk pertanian di era AFTA (ASEANFree Trade Area) atau di era perdagangan bebas ASEAN yang, untuk komoditas tertentu, akan berlaku tahun 2003. Walaupun gula tidak masuk dalam komoditas yang diberlakukan di AFTA tahun 2003, namun ia bisa dipakai sebagai ilustrasi yang menjelaskan posisi produk pertanian pada masa era AFTA nanti. Yaitu banyaknya produk impor pertanian yang masuk Indonesia karena adanya penurunan tarif (seperti yang disyaratkan di AFTA), sementara itu produk pertanian di dalam negeri tidak mampu bersaing karena ekonomi biaya tinggi.
Dalam waktu dekat, gula di Indonesia memang tidak bisa bersaing dengan gula impor karena politik dumping gula internasional atau adanya gula yang masuk ke Indonesia secara ilegal. Atau kalau saja tidak mau disebut politik dumping maka ada upaya kearah dumping tersebut di mana gula dijual sangat murah di luar negaranya (di luar negeri), sementara itu gula di dalam negerinya sendiri dijual mahal guna membantu atau