• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK HUKUM PIDANA PADA PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA

A. Aspek Hukum Perdata Pada Jaminan Fidusia

1. Sejarah Lahirnya Jaminan Fidusia

Fidusia sebagai lembaga jaminan sudah lama dikenal dalam masyarakat Romawi, pada mulanya lembaga jaminan ini tumbuh dan hidup dalam hukum kebiasaan. Berdasarkan pertautan sejarah, lembaga jaminan fidusia awalnya diatur dalam yurisprudensi dan kini telah mendapat pengakuan dalam Undang-Undang. Fidusia merupakan lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat yang

bereksistensi dan berkembang dalam sistem hukum civil law.64

Perkembangannya, ada dua bentuk jaminan fidusia, yaitu fidusia cum creditore dan fidusia cum amico. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio. Dalam bentuk yang pertama atau yaituFiducia cum creditore yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor, dikatakan bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikan atas sutau benda kepada kreditor sebagai jaminan atas hutangnya dengan kesepakatan bahwa kreditor akan mengalihkan kembali

kepemilikan tersebut kepada debitor apabila utangnya sudah dibayar lunas.65

64Tan Kamelo, Op.Cit., hal. 35-36

Timbulnya Fiducia cum creditore ini disebabkan kebutuhan masyarakat akan hukum jaminan. Pada waktu itu dirasakan adanya suatu kebutuhan mengenai hukum jaminan namun belum diatur oleh konstruksi hukum. Dengan fiducia cum creditore ini maka kewenangan yang dimiliki oleh kreditor akan lebih besar yaitu sebagai pemilik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan. Debitor percaya bahwa kreditor tidak akan menyalahgunakan wewenang yang diberikan itu. Kekuatannya hanya terbatas pada kepercayaan dan secara moral saja bukan berdasarkan kekuatan hukum. Debitor tidak dapat berbuat apapun jika kreditor tidak mau mengembalikan hak milik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan itu. Hal ini merupakan kelemahan fidusia pada bentuk awalnya jika dibandingkan

dengan sistem hukum jaminan fidusia yang kita kenal sekarang.66

Karena adanya kelemahan itu maka ketika gadai dan hipotek berkembang sebagai hak-hak jaminan, fidusia menjadi terdesak bahkan akhirnya hilang sama sekali dari Hukum Romawi. Jadi fidusia timbul karena memang ada kebutuhan masyarakat akan hukum jaminan dan kemudian lenyap karena dianggap tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Masyarakat romawi pada waktu itu menganggap bahwa gadai dan hipotek dianggap lebih sesuai karena adanya aturan tertulis sehingga lebih memberi kepastian hukum. Gadai dan hipotek juga memberikan hak-hak yang seimbang antara kreditor dan debitor. Demikian pula hak-hak dari pihak ketiga akan lebih terjamin kepastiannya karena ada aturannya pula.67

Gadai merupakan hak jaminan yang diatur dalam Pasal 1150 KUHPerdata. Menurut Pasal 1150 KUHPerdata, gadai merupakan suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas hutangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain, dengan pengecualian bahwa biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu

diserahkan sebagai gadai dan yang harus didahulukan.68

Sementara menurut Pasal 1162 KUHPerdata, Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, tujuannya untuk mengambil pengantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. Hipotek, seperti halnya gadai, merupakan suatu hak yang bersifat accesoir karena mengikuti suatu perikatan pokok yang telah ada antara kreditur dan debitur, yang berupa utang-piutang. Akan tetapi, hipotek tidak dapat dibebankan pada benda bergerak, Pasal 1167 KUHPerdata secara tegas melarangnya. Objek dari Hipotek dengan demikian hanyalah benda tidak bergerak seperti yang ditentukan dalam Pasal 1164

KUHPerdata.69

Kemudian selain dikenal jaminan fiducia cum creditore, dikenal pula jaminan titipan yang disebut dengan Fiducia Cum amico Contracto yang artinya janji kepercayaan yang dibuat dengan teman. Jaminan ini pada dasarnya sama dengan arti “trust” yaitu percaya sebagaimana dikenal dalam sistem hukum

68 H. Salim HS, Op.Cit., hal. 33 69Oey Hoey Tiong, Op.Cit., hal. 20

“Common Law”. Lembaga ini sering digunakan dalam hal seorang pemilik suatu benda harus mengadakan perjalanan keluar kota dan sehubungan dengan itu menitipkan kepemilikan benda tersebut kepada temannya dengan janji bahwa teman tersebut akan mengembalikkan kepemilikan benda tersebut jika pemiliknya sudah kembali dari perjalannya. Dalam Fiducia cum amico contracto ini kewenangan diserahkan kepada pihak penerima akan tetapi kepentingan tetap ada

pada pihak pemberi.70

Perkembangan jaminan fidusia selanjutnya adalah ketika Hukum Belanda merepsi Hukum Romawi, namun pada saat itu Fidusia sudah lenyap maka fidusia tidak ikut diresepsi. Itulah sebabnya mengapa dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda tidak ditemukan pengaturan tentang fidusia begitu juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia yang menganut asas konkordasi, tidak

ditemukan pengaturan tentang fidusia.71

Perkembangan yang terjadi di Belanda, yaitu dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, jaminan yang diatur adalah gadai untuk barang bergerak dan hipotek untuk barang tidak bergerak. Pada mulanya kedua jaminan dirasakan cukup memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang perkreditan. Tetapi dengan terjadinya krisis pertanian yang melanda negara-negara Eropa pada pertengahan sampai akhir abad ke-19, terjadi penghambatan pada perusahaan-perusahaan pertanian untuk memperoleh kredit. Pada waktu itu tanah sebagai jaminan kredit agak kurang populer, dan kreditor menghendaki jaminan gadai sebagai jaminan tambahan disamping jaminan tanah

tadi. Dengan menyerahkan alat-alat pertaniaannya sebagai jaminan gadai dalam pengambilan kredit rasanya sama saja dengan bunuh diri. Apalah artinya kredit yang diperoleh kalau alat-alat pertanian yang dibutuhkan untuk mengolah tanah sudah berada dalam penguasaan kreditor. Terjadilah perbedaan kepentingan antara kreditor dan debitor yang cukup menyulitkan kedua pihak. Untuk melakukan gadai tanpa penguasaan terbentur pada ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata

yang melarangnya.72

Dengan adanya berbagai kelemahan diatas, dalam praktik timbul lembaga baru, yaitu Fidusia. Pada awal perkembangannya sebagaimana yang terjadi di Negeri Belanda mendapat tantangan yang keras dari Yurisprudensi karena dianggap menyimpang (wetsontduiking) dari ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata yaitu tidak memenuhi syarat tentang harus adanya causa yang diperkenankan. Namun, dalam perkembangannya arrest Hoge Raad 1929, tertanggal 25 Januari 1929 mengakui sahnya figur fidusia. Arrest ini terkenal dengan Bierbrouwerij Arrest yang berisi pertimbangan yang diberikan oleh Hooge Raad lebih menekankan kepada segi hukumnya dari segi kemasyarakatan. Hooge Raad berpendapat perjanjian fidusia bukanlah perjanjian gadai dan tidak

terjadi penyimpangan hukum.73

P.A Stein yang dikutip oleh H.Salim dalam bukunya, berpendapat bahwa Dengan adanya sejumlah Arrest dari Hooge Raad yang mengakui adanya lembaga fidusia, maka tiada ragu tentang sahnya lembaga tersebut dimana Hooge Raad

72Ibid, hal. 122 73Ibid.,

memberikan keputusan-keputusan dan pertimbangan-pertimbangan sebagai

berikut74

1. Fidusia tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang

mengenai gadai karena disitu tidak dilakukan perjanjian gadai; :

2. Fidusia tidak bertentang dengan ketentuan Undang-Undang mengenai

hak jamina bersama bagi kreditur, karena ketentuan mengenai hal tersebut berlaku bagi semua benda-benda bergerak maupun benda tetap dari debitur, sedang fidusia justru bendanya bukan haknya debitur;

3. Dari ketentuan mengenai gadai sama sekali tidak dapat disimpulkan

adanya maksud pembentuk Undang-Undang bahwa sebagai jaminan hutang hanya dimungkinkan benda-benda bergerak yang tidak boleh berada pada tangan debitur;

4. Fidusia merupakan alas hak untuk perpindahan hak milik sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 639 BW (Pasal 584 KUHPerdata);

5. Namun demikian, kemungkinna perpindahan hak tersebut semata-

mata hanya dimaksudkan sebagai pemberian jaminan, tanpa penyerahan nyata dari barangnya, dan perpindahan hak demikian tidak memberikan semua akibat-akibat hukum sebagaimana yang berlaku pada perpindahan hak milik yang normal.

Di Indonesia, lembaga Fidusia lahir berdasarkan Arrest Hoggerechtshof 18 Agustus 1932 (BPM-Clynet Arrest). Lahirnya Arrest ini karena pengaruh asas konkordansi. Lahirnya Arrest ini dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dari pengusaha-pengusaha kecil, pengecer, pedagang menengah, pedagang grosir yang memerlukan fasilitas kredit untuk usahanya. Perkembangan perundang-undangan fidusia pada saat itu sangat lambat, karena undang-undang yang mengatur tentang jaminan fidusia baru diundangkan pada tahun 1999,

berkenaan dengan bergulirnya era reformasi.75

Seiring dengan perjalanannya, fidusia telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan para pihak.

Pada Zaman Romawi dulu, Kedudukan penerima fidusia adalah sebagai pemilik atas barang yang difidusiakan, akan tetapi sekarang sudah diterima bahwa penerima fidusia hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan saja. Tidak hanya sampai disitu, perkembangan selanjutnya juga menyangkut kedudukan debitor, hubungannya dengan pihak ketiga dan mengenai objek yang dapat difidusiakan. Mengenai objek fidusia ini, baik Hooge Raad Belanda maupun Mahkamah Agung di Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan atas barang-barang bergerak. Namun dalam praktek kemudian orang sudah menggunakan fidusia untuk barang-barang tidak

bergerak.76

Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 perbedaan antara barang bergerak dan tidak bergerak menjadi kabur karena undang-undang tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah tetapi dengan lahirnya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia maka jelas bahwa objek Jaminan Fidusia meliputi benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan hak-hak atas tanah yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996

Tentang Hak Tanggungan.77

76Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit., hal. 127-128

77

2. Jaminan Fidusia Sebagai Jaminan Dengan Hak Kebendaan

a. Jaminan Fidusia Sebagai Jaminan Dengan Hak Kebendaan

Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu “Zekerheid” atau “Cautie”. “Zekerheid” atau “Cautie” mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggung

jawaban umum debitur terhadap barang-barangnya.78

Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta dari tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1977 disimpulkan pengertian jaminan yang dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman, Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu, hukum jaminan erat sekali hubungannya

dengan hukum benda-benda.79

Pada dasarnya keberadaan jaminan merupakan prasyarat untuk memperkecil risiko kreditur dalam penyaluran kredit. Sebagai langkah antisipatif dalam menarik kembali kredit atau pembiayaan yang telah diberikan kepada debitur.

Dengan demikian, jaminan hendaknya dipertimbangkan dua faktor, yaitu80

78

H. Salim HS, Op.Cit., hal. 21

79

Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai, dan Fidusia, :

1. Secured, artinya jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang- undangan. Jika kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur, maka bank memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi.

2. Marketable, artinya jaminan tersebut bila hendak dieksekusi, dapat segera dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur.

keberadaan jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Keberadaan jaminan dapat memberikan manfaat baik bagi kreditur maupun debitur. Bagi debitur, dengan adanya benda jaminan itu dapat memperoleh fasilitas kredit dari bank maupun lembaga pembiayaankonsumen dan tidak khawatir dalam pengembangan usaha yang dijalankannya, karena sudah tersedia modal yang memadai sesuai dengan kebutuhannya. Dengan modal yang diperoleh melalui fasilitas kredit itu debitur dapat menjalankan bisnisnya dengan lancar. Sedangkan manfaat jaminan bagi

kreditur, mencakup81

a. Terwujudnya keamanan transaksi dagang yang ditutup

:

b. Memberikan kepastian hukum bagi kreditur.

Kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian hukum untuk menerima pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitur. Apabila debitur tidak mampu dalam pengembalian pokok kredit dan bunga, maka bank dapat melakukan eksekusi terhadap benda jaminan.

Ada 5 (lima) azas penting dalam hukum jaminan, yaitu82

1. Asas publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan,

hak fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini :

81Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti,Bandung, 1996, hal. 31.

dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan.

2. Asas specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan

hipotek hanya dapat dibebankan atas persil atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu;

3. Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas dapat dibaginya hutang tidak

dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan,hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian.

4. Asas inbezittstelling, yaitu barang jaminan (gadai) harus berada pada

penerima gadai;

5. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu

kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dan yang bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.

Jaminan terbagi atas 2 (dua) golongan, yaitu jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan perorangan(Borgtoch/Personal guarantiee) adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang pihak ketiga guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada kreditur, apabila

debitur yang bersangkutan cidera janji atau Wanprestasi.83

83

Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri “kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului diatas

benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang

bersangkutan. Jaminan kebendaan ini menurut sifatnya dibagi menjadi :84

1) jaminan dengan benda berwujud, berupa benda bergerak dan benda

tidak bergerak,

2) jaminan dengan benda tidak berwujud yang dapat berupa hak tagih.

Kebendaan merupakan suatu istilah dalam ilmu hukum yang berkonotasi secara langsung dengan istilah “benda”. Benda atau kebendaan atau zaak menunjuk pada sesuatu yang dapat dimiliki. Hukum tentang kebendaan ini diatur dalam Buku II KUHPerdata. Dalam Buku II KUHPerdata, benda atau kebendaan

dapat dibedakan kedalam :85

1. Kebendaan berwujud dan tidak berwujud

2. Kebendaan bergerak dan tidak bergerak

3. Kebendaan yang habis dipakai (Vebruikbaar) dan kebendaan yang

tidak habis dipakai (onverbruikbaar)

Ilmu hukum juga membedakan kebendaan kedalam kebendaan yang sudah ada dan kebendaan yang akan ada. Meskipun dalam rumusan Pasal 503 KUHPer dikatakan secara tegas bahwa tiap-tiap kebendaan adalah berwujud atau tidak berwujud, namun tidak ditemukan secara pasti apa yang dinamakan

84H.Salim HS, Op.Cit., Hal.23-25 85 Herowati Poesoko, Op.Cit., hal. 53

dengankebendaan yang tidak berwujud. Hanya ada 4 Pasal dalam KUHPer yang

menyebut istilah kebendaan tidak berwujud, yaitu :86

1. Pasal 613 yang mengatur tentang pemindahan hak milik atas

kebendaan tidak berwujud

2. Pasal 814 mengenai hak memungut hasil atau bunga

3. Pasal 1158 tentang gadai atas piutang

4. Pasal 1164 tentang hipotek atas hak-hak tertentu

Dari rumusan-rumusan dalam pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan kebendaan tidak berwujud adalah hak-hak, termasuk didalamnya yang diatur dalam Pasal 508 KUHPer yaitu kebendaan tidak berwujud yang termasuk ke dalam kebendaan tidak bergerak dan Pasal 511 KUHPerdata,

Kebendaan tidak berwujud yang termasuk ke dalam kebendaan bergerak.87

Berdasarkan hal yang telah dijelaskan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Jaminan kebendaan ialah Jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda dengan ciri-ciri mempunyai hubungan langsung dengan benda tertentu dari debitur atau pihak ketiga sebagai penjamin, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya, dan dapat diperalihkan. Jaminan kebendaan ini selain dapat diadakan antara kreditur dengan debiturnya juga dapat diadakan antara kreditur dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berutang atau debitur sehingga hak kebendaan ini memberikan kekuasaan yang langsung terhadap bendanya. Jaminan kebendaan lahir dan bersumber pada

perjanjian. Jaminan ini ada karena diperjanjikan antara kreditur dengan debitur. Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa fidusia tergolong jaminan kebendaan karena merupakan perjanjian antara kreditur dan debitur yang berhubungan langsung dengan benda. Jaminan kebendaan ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan

yaitu88

1) Jaminan benda tidak bergerak

:

Yang termasuk dalam kategori jaminan benda tidak bergerak yaitu :

a) Tanah (dengan atau tanpa bangunan dan tanaman diatasnya)

b) Mesin dan peralatan yang melekat pada tanah dan bangunan, dan

merupakan satu kesatuan dengan tanah dan bangunan tersebut

c) Bangunan rumah atau hak milik atas rumah susun bilamana

tanahnya berstatus hak milik atau hak guna bangunan.

2) Jaminan benda bergerak

Jaminan benda bergerak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a) Benda berwujud

Contoh benda berwujud misalnya Kendaraan bermotor, Mesin- mesin, Kapal laut dan kapal terbang yang telah terdaftar, Persediaan barang.

b) Benda tidak berwujud

Contoh benda tidak berwujud yaitu Wesel , Sertifikat deposito, Obligasi, Saham dan sebagainnya.

88

Pembagian benda bergerak dan benda tidak bergerak memiliki arti yang penting dalam menentukan jenis lembaga jaminan mana yang dapat digunakan untuk pengikatan perjanjian kredit. Jika benda jaminan berupa benda bergerak maka dapat digunakan lembaga jaminan yaitu gadai dan fidusia. Sedangkan jikabenda jaminan merupakan benda tidak bergerak maka lembaga jaminannya

adalah hipotik atau hak tanggungan.89

Dari ketentuan tersebut, maka kita dapat mengetahui apa yang menjadi subyek dan obyek jaminan fidusia. Namun, sebelum menyimpulkan apa yang menjadi subyek dan obyek dari jaminan fidusia, maka kita harus mengetahui pengertian dari subyek dan obyek itu sendiri. Subyek Hukum atau Subject van een recht , yaitu orang yang mempunyai hak, manusia pribadi atau badan hukum yang berhak, berkehendak atau melakukan perbuatan hukum. Badan hukum adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subjek hukum, misalnya dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainnya. Sedangkan perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum yakni tindak seeorang berdasarkan suatu ketentuan hukum yang dapat menimbulkan

Terhadap apa yang dikemukakan di atas, maka Jaminan Fidusia sebagai Jaminan Kebendaan dipertegas dalam Pasal 1 angka (2) UUJF.

“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.”

hubungan hukum, yaitu, akibat yang timbul dari hubungan hukum seperti perkawinan antara laki-laki dan wanita, yang oleh karenannya memberikan dan

membebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada masing-masing pihak. 90

Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok suatu perhubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasi oleh subyek hukum. Dalam hal ini tentunya sesuatu itu mempunyai harga dan nilai, sehingga memerlukan penentuan siapa yang berhak atasnya, seperti benda-benda bergerak ataupun tidak bergerak yang memiliki nilai dan harga, sehingga pengguasaanya diatur oleh kaidah

hukum.91Telah dibahas pada pembahasan sebelumnya bahwa sebelum berlakunya

UUJF, maka yang menjadi obyek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendaraan bermotor. Tetapi dengan berlakunya UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka obyek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas. Berdasarkan undang-undang ini, obyek jaminan fidusia

dibagi menjadi dua macam, yaitu :92

1. Benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud.

2. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak

tanggungan. Yang dimaksud dengan bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan yaitu kaitannya dengan bangunan rumah susun,

90

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, cetakan ke-XVI, Jakarta, 2013, hal. 128

91Ibid, hal. 131

sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

Subyek dari Jaminan fidusia adalah pemberi dan penerima fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah orang perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan

fidusia.93

Setelah mengetahui subyek dan obyek dari jaminna fidusia, maka selanjutnya kita harus mengetahui asas-asas yang terdapat dalam jaminan fidusia. Dalam UUJF, pembentuk undang-undang tidak mencantumkan dengan tegas asa- asas hukum jaminan fidusia yang menjadi dasar pembentukan norma hukumnya, tetapi kita dapat menemukan dan mencari asas asas tersebut dalam pasal-pasal dari UUJF. Adapun asas-asas hukum jaminan fidusia yang terdapat dalam UUJF

adalah94

1) Asas bahwa kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur

yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 UUJF.

:

2) Asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi

objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada. Dalam ilmu hukum, asas ini disebut dengan droit de suite atau zaaksgevolg.

3) Asas bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lazim disebut asas asesoritas. Ditemukan dalam Pasal 4 UUJF.

4) Asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas hutang yang baru

Dokumen terkait