• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK HUKUM PIDANA PADA PERJANJIAN JAMINAN FIDUSIA

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Tindak pidana dalam bahasa belanda dikenal dengan istilahstrafbaar feit. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPid) tidak akan kita temui definisi terhadap Tindak Pidana. Adami Chazawi telah menerjemahkan istilah Strafbaar Feit, yaitu secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tindak pidanaadalah

perbuatan yang pelakunya harus dipidana. Tindak pidana dirumuskan dalam

undang-undang, antara lain KUHPid.30

Beberapa pendapat ahli mengenai pengertian tindak pidana, antara lain31

a. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti suatu perbuatan

yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

:

b. Menurut D. Simons, tindak pidana (strafbaar feit) adalah kelakuan

(handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab (eene strafbaar gestlde “onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar person”)

Moeljatno merupakan ahli hukum pidana yang memiliki pandangan yang berbeda dengan penulis-penulis lain tentang definisi tindak pidana. Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana”. Menurut Moeljatno yang dikutip oleh frans maramis, perbuatan pidana hanya mencakup perbuatan saja, sebagaimana dikatakan bahwa perbuatan pidanahanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan

saja, yaitu sifat yang dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar”.32

Vos adalah salah satu diantara para ahli yang merumuskan tindak pidana secara singkat, yaitu suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang- undangan diberi pidana. Jadi suatu kelakuan manusia yang pada umunya dilarang dan diancam dengan pidana.Pengertian tindak pidana yang dirumuskan oleh Vos,

30Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 69

31Frans Maramis, Hukum Pidana Umum Dan Tertulis di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, cetakan ke-II, 2013hal.58

apabila dibandingkan dengan rumusan tindak pidana dari Simons maupun Van Hamel, maka rumusan Vos tersebut tidak ada sifat-sifat tindak pidana yang lain, seperti sifat melawan hukum, dilakukan orang dengan kesalahan, dan orang itu

mampu dipertanggungjawabkan.33

Bertolak dari pendapat para ahli tersebut diatas, maka dapat disimpulkan apa yang dimaksud dengan tindak pidana atau strafbaar feit, yaitu suatu rumusan yang memuat unsur-unsur tertentu yang menimbulkan dapat dipidanannya seseorang atas perbuatannya yang telah ditentukan oleh peraturan perundang- undangan pidana. Unsur-unsur tindak pidana tersebut dapat berupa perbuatan yang sifatnya aktif maupun perbuatan yang bersifat pasif atau tidak berbuat sebagaimana yang diharuskan oleh undang-undang, yang dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan, yang bertentangan dengan hukum pidana, dan orang itu dapat dipertanggungjawabkan karena perbuatannya. Disamping itu, perlu diperhatikan pula mengenai waktu dan tempat terjadinya suatu tindak pidana sebagai syarat mutlak yang harus diperlihatkan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya, rationnya untuk kepastian hukum bagi pencari keadilan. Dengan tidak tercantumnya waktu dan tempat terjadinya tindak pidana maka surat

dakwaan yang dibuat penuntut umum dapat batal demi hukum.34

Didalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-unsur tindak pidana,

yaitu35

a. Unsur Objektif

:

33Roni Wiyanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2012, hal.161.

Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan dimana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari :

1) Sifat melanggar hukum

yaitu perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum atau perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam pidana.

2) Kualitas si pelaku

Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

3) Kausalitas

Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

b. Unsur Subjektif

Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Unsur ini terdiri dari :

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (Dolus dan Culpa).

2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat

(1) KUHP.

3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan

4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

5) Perasaan takut seperti terdapat didalam Pasal 308 KUHP.

H.B. Vos, sebagaimana yang dikutip Oleh Bambang Poernomo, mengemukakan bahwa dalam suatu tindak pidana dimungkinkan ada beberapa

unsur (elemen), yaitu :36

1) Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau

tidak berbuat (een doen of nalaten).

2) Elemen akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delict selesai.

Elemen akibat ini dianggap telah ternayat pada suatu perbuatan. Rumusan Undang-Undang kadang-kadang elemen akibat tidak dipentingkan di dalam delict formil, akan tetapi kadang-kadang elemen akibat dinyatakan dengan tegas yang terpisah dari perbuatannya seperti di dalam delict materiel;

3) Elemen subjektif yaitu kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-

kata sengaja (Opzet) atau alpa (Culpa);

4) Elemen melawan hukum (wedderechtelijkheid);

5) Dan sederetan elemen-elemen lain menurut rumusan undang-

undang, dan dibedakan menjadi segi objektif misalnya di dalam Pasal 160 KUHP diperlukan elemen di muka umum (in het openbaar) dan segi subjektif misalnya Pasal 340 KUHP diperlukan unsur direncanakan lebih dahulu (voorbedateraad)

Sehubungan dengan pendapat para ahli mengenai unsur unsur Tindak Pidana, maka dapat disimpulkan bahwasannya bilamana suatu perbuatan dapat disebut sebagai suatu tindak pidana, maka perbuatan tersebut harus memenuhi 5

(Lima) unsur, sebagai berikut:37

1) Harus ada suatu kelakuan (gedraging);

2) Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wetterlijke

omschrijving);

3) Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak (melawan hukum);

4) Kelakuan itu dapat diberatkan (dipertanggungjawabkan) kepada

pelaku;

5) Kelakuan itu diancam dengan pidana.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai kelima unsur tersebut di atas, sehingga suatu kelakuan atau perbuatan seseorang itu dapat disebut sebagai tindak pidana, berikut ini dikutipkan rumusan tindak pidana yang dijabarkan dalam Pasal

362 KUHP, yang berbunyi :38

1) Barangsiapa;

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Unsur- unsur yang dirumuskan di dalam Pasal 362 KUHP, sebagai berikut ;

2) Mengambil;

3) Sesuatu barang;

37Roni Wiyanto, Op.Cit., hal. 163-164 38Ibid. hal. 164

4) Sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain;

5) Dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum.

Bilamana perbuatan seseorang telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dirumuskan di dalam Pasal 362 KUHP tersebut diatas, maka orang itu dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena pencurian. Tetapi, apabila orang itu hanya mengambil sesuatu barang milik orang tetapi bermaksud untuk dipindah tempatnya, maka ia tidak dapat dianggap telah melakukan tindak pidana pencurian. Artinya, apabila salah satu unsur tindak pidana tersebut tidak terpenuhi akan mempunyai arti dan maksud yang berbeda.

2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai “toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,” pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya

pidana atau tidak terhadap tindakan yang di lakukanya itu.39

Pertanggungjawaban merupakan salah satu prinsip yang mendasar di dalam hukum pidana,atau yang dikenal dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”(geen straf zonder schuld) dan pertanggungjawaban pidana tanpa adanya kesalahan

dalam diri si pelaku tindak pidana disebut leer van het materiele feit.40

39

Asas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukumyang tidak tertulis yang juga di Indonesia berlaku.

Oleh karena itu, membicarakan pertanggungjawaban pidana harus

diperhatikan pengertian dua hal, sebagai berikut :41

a. Tindak Pidana (daad strafrecht)

b. Pelaku Tindak Pidana (Dader Strafrecht)

Pengertian dua hal tersebut diatas, harus diperhatikan dengan seksama, karena didalam hukum pidana dikenal prinsip-prinsip bahwa suatu perbuatan yang telah memenuhi semua unsur tindak pidana belum tentu si pelakunya dapat

dimintai pertanggungjawaban pidana. Perlu ditegaskan bahwa

pertanggungjawaban pidana hanya dapat diberlakukan kepada si pelaku tindak pidana, apabila dirinya mempunyai kesalahan atau dapat disalahkan karena melakukan tindak pidana. Unsur kesalahan didalam diri si pelaku tindak pidana inilah yang akan menjadi dasar pertimbangan bagi hakim atau syarat umum untuk menjatuhkan pidana.Adanya kesalahan ini perlu dipikirkan tentang dua hal, yakni adanya keadaan psikis (batin) yang tertentu dan adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sehingga menimbulkan celaan. Untuk adanya kesalahan ini, hubungan antara keadaan batin dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau

kealpaan.42

Kesengajaan tidak dapat dipikirkan kalau tidak ada kemampuan untuk bertanggungjawab. Begitu pula dengan kealpaan. Tidak mungkin adanya alasan pemaaf, kalau orang tidak mampu bertanggung jawab atau tidak mempunyai salah

41Roni Wijayanto, Op.Cit., hal.178 42

satu bentuk kesalahan. Dengan demikian maka untuk adanya kesalahan, terdakwa

harus43

1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum) ;

:

2. Di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab ;

3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau

kealpaan;

4. Tidak adanya alasan pemaaf.

1) Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)

Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan melawan hukum “wederrechtelijkeheid” sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Jika sifat melawan hukum perbuatan pidana tersebut tidak dilakukan, maka menurut Vos, Jonkers dan Langemeyer yang dikutip oleh Moeljatno dalam hal ini maka harus dilepas dari tuntutan hukum (onstlag van recht-vervolging).44

2) Di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur yang diwajibkan guna memenuhi pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya sesorang yang mampu

bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawab pidanakan.Dikatakan

seseorang mampu bertanggungjawab bilamana pada umumnya:45

a. Keadaan jiwanya :

(1) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara

(temporair)

(2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan

sebagainya)

(3) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap,

pengaruh bawah sadar/reflexe beweging, melindur/slaapwandel, mengigau karena demam/koortsdan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.

b. Kemampuan jiwanya:

(1) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya

(2) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah

akan dilaksanakan atau tidak dan,

(3) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Sementara batasan-batasan mengenai perbuatan pidana (dader) dianggap tidak mampu bertanggungjawab menurut KUHP yaitu :

(1) Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya, hal ini diatur

dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP

(2) Anak yang belum dewasa, hal ini diatur dalam Pasal 45 KUHP

3) Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan.

Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila di lihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan

bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal dan sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan

ukuran-ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat.46

Bentuk perbuatan manusia mempunyai kesalahan terdapat dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Perbuatan dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Bentuk kesengajaan menurut Moeljatno

ada tiga corak yaitu47

(1) Kesengajaan dengan maksud, disebut dolus derictus

:

(2) Kesengajaan sebagai kepastian dan keharusan

(3) Kesengajaan sebagai kemungkinan, disebut dolus eventualis

Kata kesalahan pada kealpaan pengertiannya sekurang-kurangnya terdiri

dari tiga komponen, yaitu48

(1) Pembuat berbuat lain yang tidak menurut aturan hukum tertulis dan

tidak tertulis. Jadi dia berbuat melawan hukum :

(2) Pembuat berbuat sembrono, lalai, kurang berfikir, lengah

(3) Pembuat dapat dicela, yang berarti bahwa ia dapat

dipertanggungjawabkan akibatnya atas perbuatan yang sembrono, lalai, kurang berfikir dan lengah.

46

4) Tidak adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf

Menurut Moeljatno yang dikutip oleh Frans Maramis, alasan pembenar adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Sedangkan alasan pemaaf adalah alasan dimana perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana

tetapi pelaku tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.49

Mengenai alasan pembenar dan pemaaf, sebenarnya pembedaan ini tidak penting bagi si pelaku, karena jika ternyata ada alasan penghapusan pidana, makapelaku tidak akan dipidana. Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan

sebagai alasan pemaaf pada ketentuan KUHP adalah50

1) Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu.

:

2) Pasal 48 mengenai daya memaksa atau overmacht.

3) Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa atau noodwer.

4) Pasal 51 ayat (2) mengenai melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah.

Artinya, jika memenuhi dari salah satu ketentuan yang disebutkan diatas, maka perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana tetapi harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

49Frans Maramis, Op.Cit., Hal. 135

3. Pengertian Perjanjian Jaminan Fidusia

a. Pengertian Perjanjian

Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian yaitu suatu hubungan Hukum Kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus

mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.51

Jika kita perhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalamPasal 1313 KUHPerdata tersebut menyiratkan bahwa sesungguhnya dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih pihak kepada satu atau lebih pihak lainnya yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi yaitu debitor dan pihak lainnya adalah pihak yang berhakatas prestasi tersebut yaitu kreditor. Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.

Pasal 1313 KUHPerdata memberikan definisi tentang perjanjian yaitu: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

52

Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukannya, ilmu hukummengenal empat unsur pokok yang harus ada agar suatu perbuatan hukum

dapat disebut dengan perjanjian yang sah. Keempat unsur tersebut selanjutnya di golongkan ke dalam dua unsur pokok yang menyangkut subjek yang mengadakan perjanjian selanjutnya disebut unsur subjektif, dan unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian selanjutnya disebut unsur objektif. Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanankan perjanjian. Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan objek yang diperjanjikan, dan objek tersebut haruslah sesuatu yang diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan jikaterdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif,

maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif).53

Syarat sebuah perjanjian dinyatakan sah, diatur dalam Pasal

1320KUHPerdata, yaitu54

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

:

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, maksudnya bahwa kedua pihak yang mengadakan suatu perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang menjadi pokok dari perjanjian yang dilakukan atau diadakan itu, termasuk apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.

53Ibid, hal. 14

54 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, cetakan ke-III, 2011, hal.225-226

2) Kecakapan para pihak

Maksudnya yaitu kecakapan para pihak dalam membuat suatu perikatan bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut merupakan orang yang sudahmemenuhi syarat sebagai pihak yang dianggap cakap menurut hukum.Pihak atau orang-orang yang dianggap atau yang termasukkategori orang-orang yang tidak cakap menurut hukum dijelaskan dalam Pasal1330 KUHPerdata, yaitu :

“Tak cakap membuat perjanjian adalah :

a) Orang-orang yang belum dewasa

b) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

c) Orang-orang perempuan,Dalam hal-hal yang ditetapkan

oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.”

3) Suatu hal tertentu/ Adanya objek perjanjian

Suatu hal tertentu yang dimaksudkan dalam persyaratan ketiga

syaratsahnya suatu perjanjian ini adalah objek daripada

perjanjian.Objekperjanjian tersebut haruslah merupakan barang- barang yang dapatdiperdagangkan.

4) Causa/sebab yang halal

Pengertian dari suatu sebab yang halal yaitu bahwa isi dari perjanjiantidak boleh bertentangan dengan undang-undang, norma- norma agama,kesusilaan, dan ketertiban umum. Yang dimaksud causa

yang halal dalam Pasal 1320 KUHPer bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak.

Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena keduasyarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan kedua syaratterakhir disebutkan syarat objektif, karena mengenai objek dari perjanjian.

Didalam perjanjian terdapat beberapa asas yang mendasarinya, yaitu55

1) Asas Konsensualisme

:

Asas konsensualisme ini terdapat dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPedatayang mengandung pengertian bahwa perjanjian itu terjadi saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, sehingga sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum.

2) Asas Kekuatan Mengikat

Asas ini dikenal juga dengan adagium Pacta Sunt Servanda. Masing- masing pihak yang terikat dalam suatu perjanjian harus menghormati dan melaksanakan apa yang telah mereka perjanjikan dan tidak boleh melakukan perbuatan yang menyimpang atau bertentangan dari perjanjian tersebut.

Asas Kekuatan mengikat dapat kita temui dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi :

55Ibid., hal. 227-230

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undangbagi mereka yang membuatnya”

3) Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak berarti setiap orang menurut kehendak bebasnya dapat membuat perjanjian dan mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Tetapi kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan kesusilaan.

4) Asas Itikad Baik

Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata, yang berbunyi :“suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.”

b. Pengertian Jaminan Fidusia

Istilah fidusia berasal dari bahasa Belanda, yaitu fiducie, sedangkandalam bahasa inggris disebut fiduciary transfer of ownership, yang artinya kepercayaan. Di dalam berbagai literatur, fidusia lazim disebut dengan istilah eigendom overdract (FEO), yaitu penyerahan hak milik bedasarkan atas kepercayaan. Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan

Fidusia kita jumpai pengertian fidusia:56

“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasarkepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang

hakkepemilikannya yang diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu.”

Di samping istilah fidusia, dikenal juga istilah jaminan fidusia. Istilah jaminan fidusia ini terdapat dalam Pasal 1 angka (2) UUJF:

“Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupunyang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya”.

Unsur-Unsur Jaminan Fidusia adalah:57

1) Adanya hak jaminan

2) Adanya objek, yaitu benda bergerak baik yang berwujud maupun

yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khusunya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan. Ini berkaitan dengan pembebanan jaminan rumah susun.

3) Benda menjadi objek jaminan tetap berada dalam penguasaan

pemberi fidusia.

4) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur

Menurut Subekti, memberikan suatu barang sebagai jaminan kredit berarti melepaskansebagian kekuasaan atas barang tersebut. Kekuasan yang dimaksud bukanlah melepaskankekuasaan dari suatu benda secara ekonomis melainkan secara yuridis, artinya pemberifidusia tetap memiliki hak ekonomis atas benda bergerak yang dijaminkannya itu, akan tetapipemberi fidusia tersebut tidak dapat

mengalihkan maupun mengagunkan benda bergerakyang dijaminkan itu kepada pihak lain sebelum kewajibannya terhadap kreditur penerimafidusia terpenuhi. Benda jaminan masih dapat dipergunakan oleh pemberi fidusia untuk melanjutkan usaha bisnisnya, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjianpemberi fidusia bertindak sebagai pemilik manfaat, sedangkan penerima

fidusia bertindak sebagaipemilik yuridis.58

Dokumen terkait