• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Sastra dalam Geguritan Sarpayajnya

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR HIBAH GRUP RISET UDAYANA (Halaman 73-132)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Proses Pem-Balian Mahabharata dari Adiparwa ke

5.2.3 Aspek Sastra dalam Geguritan Sarpayajnya

Bali merupakan kolektor terbesar naskah tradisional atau naskah klasik di Nusantara. Naskah klasik itu awalnya berupa naskah lontar dalam artian teks yang

66 ditulis dalam lembaran-lembaran daun lontar. Lambat laun untuk berbagai kepentingan teks di dalam daun lontar yang ada pada umumnya di surat dengan aksara Bali disalin ke dalam huruf Latin dan bahkan bahkan masih banyak pula yang tetap ditulis dengan aksara Bali. Naskah-naskah klasik di Bali tersebar di masyarakat sebagai koleksi atau milik pribadi dan di rumah-rumah penduduk terutama di kalangan pencinta sastra. Tidak ketinggalan pula beberapa instansi di Bali baik swasta maupun pemerintah yang bergerak di bidang naskah banyak menyebabkan naskah klasik.

Satu dari sekian banyak naskah klasik di Bali adalah Geguritan Sarpayajnya. Naskah ini ada dalam bentuk naskah lontar yang dikoleksikan oleh Gedong Kirtya di Singaraja, dengan nomor naskah IVD/10/1934. nomor kropak tempat penyimpanannya IVD/10 dan disimpan bersama sembilan (9) naskah lontar lainnya di dalam satu keropak. Sedangkan naskah salinannya dalam huruf Latin dengan nomor buku 2100/IVD. Naskah lontar Geguritan Sarpayajnya lainnya juga ditemukan dan disimpan di UPT Perpustakaan Lontar Universitas Udayana dengan identitas naskah No.Rt 430, krop 201. Geguritan Sarpayajnya sudah pernah diteliti dengan kajian Filologi pada tahun 1996 oleh Anak Agung Gede Bawa dan menghasilkan suntingan teks. Hasil penelitian tersebut berupa suntingan teks representatif yang sudah layak dijadikan data bagi penelitian-peneitian lain yang berkaitan dengan Geguritan Sarpayajnya.

Geguritan Sarpayajnya yang ditemukan dan disimpan di Bali seperti telah dikemukakan di atas merupakan sebuah karya sastra Bali yang berbentuk tembang (pupuh). Pupuh ini terikat oleh aturan pada lingsa atau pola persajakan (Sugriwa,

67 1978:3). Pada lingsa itu meliputi guru gatra yaitu jumlah atau banyaknya baris kalimat dalam satu bait (pada), guru wilangan yaitu jumlah atau banyaknya suku kata pada tiap-tiap baris (carik), dan guru swara yaitu perubahan-perubahan suara (lingsa) vokal pada suku kata kalimat terakhir.

Pupuh atau tembang macapat (sekar alit) yang dikenal di Bali ada sebanyak sebelas (11) yaitu; Kumambang, Mijil, Pucung, Ginanti, Ginada, Pangkur, Sinom, Durma, Adri, Agal, dan Demung (Sugriwa, 1978: 3). Pupuh-pupuh sejumlah itu yang populer di masyarakat Bali sebanyak sepuluh (10) Pupuh-pupuh termasuk Dangdang Gula (Agastya, 1980: 18). Sedangkan pupuh Agal dan Demung kurang dikenal.

Adapun pupuh atau tembang yang digunakan dalam geguritan Sarpayajnya sebanyak empat (4) pupuh yakni; (1) Pupuh Dangdang Gula, (2) Pupuh Pangkur, (3) Pupuh Sinom, dan (4) Pupuh Durma. Pupuh Dangdang Gula mencirikan karakter halus, lembut, manis, dan menyenangkan. Itulah sebabnya pupuh Dangdang Gula berfungsi untuk melukiskan hal-hal yang bersifat kasih sayang, menyenangkan, dan menyampaikan ajaran. Pupuh Pangkur memiliki watak ketegasan dan penuh semangat oleh karena itu berfungsi untuk melukiskan hal-hal yang bersifat memuncak, kesungguhan, dendam amarah, dan menyampaikan nasihat. Pupuh Sinom memiliki karakter ramah dan persaudaraan, berfungsi untuk melukiskan ha-hal yang bersifat keindahan, kebahagiaan, kesenangan, kecantikan, kegiatan muda mudi, dan keceriaan. Pupuh Durma memiliki watak yang bengis, keras, marah, dan kejam, fungsinya untuk melukiskan hal-hal yang bersifat

68 permusuhan, kemarahan, perang, kekacauan, dan sejenisnya (Saputra, 1992:

21-29).

Aturan kesusastraan yang mengikat berupa padalingsa tiap-tiap pupuh yang digunakan dalam Geguritan Sarpayajnya terlihat seperti contoh kutipan berikut; Pupuh Dangdang Gula bait ke-24 yang dikutip secara acak terdiri dari sepuluh (10) baris dengan jumlah suku kata dan bunyi akhir sebagai berikut;

Kocapan Sang Prabu Pariksit, (10i) sêrêng pisan tan kayun ngakśamā, (18a) meling ring kagunane, (8e)

ka patapan makaron ring Sang Srênggi, (12i) kocapan di Asttinā. (7a)

(Bawa, 1996: 110)

Pupuh Pangkur terdiri dari tujuh (7) baris, bait ke-90 yang dikutip secara acak dengan jumlah suku kata dan bunyi akhir sebagai berikut;

Hapine kabhīnā-bhīnā, (8a)

galak tuwi buka ngêrêsang athi, (11i) kocapa nāgane sāmpun, (8u)

Pupuh Sinom terdiri dari sepuluh (10) baris, bait ke-7 yang dikutip secara acak dengan jumlah suku kata dan bunyi akhir sebagai berikut;

Pagêh teken pangandika, (8a)

69 sêdhêk kaluóthā-luóthā, (7a)

mamārggi malali lila, (8a) saget rawuh, (4u)

ka hayatanastanā. (8a) (Bawa, 1996: 138)

Pupuh Durma terdiri dari tujuh (7) baris, bait ke-1 yang dikutip secara acak dengan jumlah suku kata dan bunyi akhir sebagai berikut;

Sapunika pūrwaña ngūni hucapang, (12a) sangkaña kayang jani, (7i)

yen kalaning luwas, (6a) masusupan di halas, (7a) di teba di bête sripit, (8i) masih hucapang, (5a) Sang Aśtikā kapuji. (7i) (Bawa, 1996: 143)

Demikian penggunaan pupuh atau tembang-tembang dalam Geguritan Sarpayajnya yang merupakan konvensi dari sebuah karya sastra dalam bentuk geguritan.

5.2.4 Alur Cerita Geguritan Sarpayajnya

Sabung sinambungnya peristiwa dalam cerita yang termuat dalam geguritan Sarpayajnya diawali dari toko Raja Pariksit. Pariksit cucu Pandawa dinobatkan menjadi raja Hastinapura. Suatu ketka bersama para pengiringnya pergi berburu ke hutan wilayah kerajaan Hastinapura. Seekor kijang berhasil dipanahnya namun tidak mati seketika. Kijang buruan itu lari masuk hutan dan terus dikejarnya. Raja Pariksit tiba-tiba sampai masuk pertapaan. Bhagawan Samiti yang sedang melakukan Tapa pantang bicara (monabratha) ditanyai kemana larinya kijang, tidak menjawab. Sang Parikesit marah dan tiba-tiba

70 terlihat olehnya bangkai ular abu-abu dan dikalungkan ke leher Bhagawan Samiti.

Raja Pariksit kemudian kembali ke kerajaan Hastinapura.

Sang Srenggi putra Bhagawan Samiti bersama Sang Kresna sedag berjalan-jalan ke sorga. Dengan kesaktiannya ia tahu dan mengutuk raja Pariksit dalam waktu tujuh hari supaya dipatuk Naga Taksaka. Sang Srenggi segera tiba kembali dipertapaan dan menemukan ayahnya masih berkalung bangkai ular yang sudah busuk. Ia menyampaikan kepada ayahnya bahwa ia telah mengutuk sang raja. Bhagawan Samiti menyesalkan kutukan Sang Srenggi yang tidak memikirkan masa dikemudian hari, terlebih lagi Sang Pariksit adalah raja junjungannya yang menguasai wilayah Hastinapura sampai hutan tempat pertapaan. Kutukan Sang Srenggi sudah terlanjur terucapkan dan tidak bisa ditarik, kecuali sang raja mau datang langsung meminta maaf. Raja Pariksit malu untuk datang dan meminta maaf karena merasa berkuasa. Ia hanya membuat perlindungan penjagaan diri. Dibangun gedung tinggi dikelilingi dalam dan api yang terus menyala berkobar-kobar, persenjatan lengkap ke segala penjuru.

Demikian pula para rsi dengan weda dan mantra selalu menjaga Sang Pariksit yang berada di dalam gedungnya.

Naga Taksaka yang mendapat perintah dari Sang Srenggi untuk membunuh Raja Pariksit menemukan kesulitan. Dia kemudian meminta bantuan kepada saudaranya yang tinggal di saptapatala. Saudaranya iu menyamar menjadi seorang pendeta yang menghaturkan buah jambu, dan Naga Taksaka berubah menjadi ulat sangat kecil sebesar kutu ayam bersembunyi pada sungut jambu.

71 Setelah buah jambu diambil sang raja, ulat kecil tadi berubah menjadi naga dan seketika itu menggigit Raja Pariksit sehingga terbakar musnah.

Raja Janamejaya putra Sang parikesit yang mengethui cerita itu kemudian dengan bantuan para pendeta melangsungkan upacara korban ular (sarpayajnya).

Kurban itu dimaksudkan untuk dimaksudkan agar sang Naga Taksaka pembunuh ayahnya dapat mati terbakar dalam upacara kurban. Upacara kurban segera berlangsung dipimpin oleh Bhagawan Byasa dan dibantu oleh empat Bhagawan lainnya. Banyak ular dan naga bahkan ribuan tercebur ke dalam api kurban. Naga Taksaka sudah tidak kuat lagi menahan dirinya, sangat ingin menceburkan diri ke dalam api kurban yang menyala-nyala. Jaraknya sudah dekat dengan api. Ketika itu datanglah putra Sang Jaratkaru hasil perkawinannya dengan Nagini Kanya.

Nagini Kanya adalah putri dari Naga Anantabhoga dan merupakan kemenakan dari Naga Taksaka. Sang Astika namanya, kemudian mohon kepada Prabhu Janamejaya agar kurban ular itu bisa dihentikan. Raja Janamejaya yang merupakan sahabat dari Sang Astika segera menyetujuinya sehingga tidak semua naga dan ular tercebur ke dalam api kurban. Demikian cerita diakhiri dengan menjamu semua yang hadir dan memberi hadian kepada para pendeta yang meaksanakan upacara kurban ular.

5.2.5 Aspek Budaya

Sastra klasik di Bali memiliki kaitan yang sangat erat dengan kehidupan budaya masyarakat pendukungnya. Karya sastra itu masih tetap dipelihara, dibaca, dan dimanfaatkan dalam hubungan kehidupan sehari-hari. Untuk geguritan

72 Sarpayajnya dilihat sumber penulisanya yaitu Adiparwa terutama episode Jaratkaru cukup populer di Bali erat kaitannya dengan upacara memukur yang merupakan kelanjutan dari upacara ngaben (pembakaran jenazah di Bali). Parwa itu dibaca pada malam hari sebelum puncak acara. Pembacaan teks tersebut disebut dengan mamutru. Maksud dan fungsi pembacaan teks tersebut adalah agar roh yang diupacarai tidak seperti arwah leluhur sang Jaratkaru. Menderita, bergantung kekeringan bagaikan sehelai daun pada sebatang pohon bambu.

Dibawahnya terdapat jurang sangat dalam yang merupakan jalan menuju neraka.

Harapan yang ingin didapat oleh sanak keluarganya adalah mendapat pahala sehingga sehingga roh leluhurnya tidak terputus dengan alam keluarga dan dapat masuk surga.

Adapula tradisi dalam budaya Bali bait-bait tersebut dengan menyebut nama ‘Astika’ dipercayai memberikan keselamatan tidak dipatuk maupun diganggu ular ketika berjalan atau berada di tempat-tempat rimbun penuh dengan semak belukar, di hutan, maupun tempat-tempat gelap dan sempit.

Sapunika pūrwaña ngūni hucapang, sangkaña kayang jani, yen kalaning luwas, masusupan di halas, di tegal di bête sripit, masih hucapang, Sang Astika kapuji.

Tuturanña mangde twara kabañcaóā, kaguthīl bān manipi, hapan Sang Astika, mulā santanan nāga, kalih polih miyutangin, hawinan husan, Sarppayajña ne ngūni.(Bawa, 1996: 143).

Terjemahan:

Demikianlah asal mulanya dahulu diceritakan, makanya sampai sekarang, jika waktu bepergian, menyusup ke dalam hutan, di tegalan, di semak belukar, dan di jurang yang dalam, tetap diucapkan, Sang Astika yang dipuji.

Maksudnya supaya tidak dibencanai, digigit oleh ular, karena Sang Astika, memang keturunan naga, dan dapat membayar hutang, demikian selesailah Sarppayajña itu. (Bawa, 1996: 176-177).

73 Geguritan Sarpayajnya juga berfungsi sesuai dengan bentuknya yaitu

‘tembang’ adalah sebagai hiburan yang mendapat memberikan rasa tenang, menurangi kepenatan, meupun kelelahan. Dalam kaitan fungsinya sebagai hiburan, bait-baitnya ditembangkan dalam berbagai seni pertunjukkan seperti;

arja, wayang, dan sendratari.

Budaya untuk selalu introspeksi diri juga tertuang dalam geguritan Sarpayajnya. Hendaknya selalu bersikap tenang, tidak cepat marah, seperti Sang Pariksit yang tidak mendapat jawaban dari Bhagawan Samiti yang sedang monabratha (tapa diam). Unsur pendidikan juga termuat didalamnya khususnya pendidikan keagamaan yang berhubungan dengan hukum karmaphala (buah perbuatan). Sang Pariksit berkarma tidak baik karena mengalungkan bangkai ular kepada Bhagawan Samiti akhirnya mendapatkan balasan yang sepadan yaitu mati digigit Naga Taksaka.

5.3 Proses Pem-Balian Mahabharata dari Wirataparwa Ke Geguritan Kicaka

5.3.1 Wiraparwa Jawa Kuna

Wirataparwa adalah sastra Jawa Kuna yang menggunakan mengantar bahasa Jawa Kuna dan berbentuk prosa. Dilihat dari proses pembentukannya karya sastra Wirataparwa Sangkata (sama seperti Adiparwa) digubah dalam zaman Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama garan ira, munilwa manggala ni manggawakea Byasamata, yaltanyan sira teweka sang Kawi utsahabudi, parampara karengo tekang anagathakala Swasti (1b).

74 Selelah cerita dimulai dengan menggubah pokok cerita, kemudian penulis memulai cerita dengan mengemukakan raja Janamejaya. Diceritakan kisah Aranyakaparwa datanglah Bhagawan Waisampayana senang mendengarkan keberadaan Sang Pandawa tinggal di hutan, selama dua belas tahun. Keesokan harinya berkumpullah mereka dengan sang Pendeta minta diceritakan tentang kisah Wirataparwa yang menceritakan keadaan Sang Pandawa pada tahun ketiga belas.

Wirataparwa dibuat pada tahun 996 Masehi (Juynboll, 1912 : 3).

Berdasarkan bukti-bukti Wirataparwa dibuat akhir abad ke-9 atau abad ke-10 (Zoetmulder, 1962: 12) ; tepatnya Saka 918 (996 M). Wirataparwa ditulis bukanlah sebagai keperluan cerita epik-epik Jawa, melainkan akibat cerita itu sangat popular. Atau perbuatan atau penulisan cerita itu merupakan usaha penerjemahan yang dilakukan untuk untuk menampung kebutuhan akan epos atau sekurang-kurangnya menampung epos termashur itu (Supomo, tt; 14).

Epos Mahabharata yang menggunakan bahasa Jawa Kuna itu sampai kepada masyarakat tidak semuanya (utuh). Parwa yang sampai kepada kita yang ditemukan hanyalah delapan saja. Parwa itu adalah Adiparwa, Wirataparwa, Udyogoparwa, Bhismaparwa, Asramawasa(na) parwa, Mosalaparwa, Prasthanikaparwa, dan Swargarohanaparwa. Bahkan ada yang unik di Bali berkembang Kakawin Sabhaparwa atau Sabhalango yang bersumber pada teks Sabhaparwa India yang ditulis dalam tradisi Karangasem.

Susunan cerita Wirataparwa terbagi atas bagian manggala yang memuju raja Sri Dharmawangsa Teguh Anatawikramattunggadewa. Pada umumnya

75 manggala karya sastra zaman itu menuju Dewa, namun menempatkan Raja menjadi pujaan penulisnya, Selengkapnya manggala Wirataparwa sebagai berikut.

Maharaja semangkana luriring prabhawanira, sira ta Sri Dharmawangsa Teguh Anatawikramangarania, umilwa manggala ing mangjawakna Byasamata, yatangan sira taweka san kawia utsahabudhi, mwang prampara karenga tekeng anagatakala (2a).

Demikian Sang Raja yang berjiwa besar (agung), beliau Sri Dharmawangsa Teguh Anatawikrama namanya yang ikut menyalin ke dalam bahasa Jawa ajaran (sastra) Bhagawan Byasa. Itulah yang menjadi alasan tujuannya mengarang/menulis supaya dapat didengarkan dalam waktu yang akan datang (di kemudian hari).

Berdasarkan kutipan di atas Raja Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama yang dipuja oleh penyair dan sekaligus menjadi pujaan ketika menulis karya ini. Akhirnya timbul pertanyaan apakah ke-18 parwa atau sebagian saja yang dijawakan ? Ada dua pendapat yang saling berbeda. Pendapar pertama, Berg menyebutkan seluruh parwa telah disadur ke bahasa Jawa, namun sepuluh parwa telah hilang, sebaliknya Pigeaud menyebutkan tidak seluruh (18 parwa) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuna (Supomo, t.t. 5). Terhentinya proyek besar itu disebabkan oleh adanya bencana perang di kerajaan Jawa Timur tahun 1016 dan ketika itu Teguh Dharmawangsa meninggal, sehingga parwa yang telah ditulis dihentikan.

Kekuasaan di Jawa Timur abad ke-10 dipegang oleh Raja Dharmawangsa, pemakaian bahasa Jawa Kuna mendapat perhatian sungguh-sungguh bahkan

76 menjadi bahasa resmi dan komunikasi waktu itu. Dalam Adiparwa dan Wirataparwa dan Bhismaparwa jelas-jelas menyebutkan Raja Teguh Dharmawangsa menjadi manggala.

Di sini raja yang dimaksud adalah Raja Teguh Dharmawangsa Anantawikramattunggadewa yang memerintah lebih dahulu daripada Raja Airlangga yang memiliki sebutan Erlangga Ananta Wikrama Tunggadewa (Supomo, S.tt. 262). Pendapat ini menyanggah pendapat Berg (Pigeaud. 1967:

116) yang mengatakan penulisan Ramayana dan Mahabharata Zaman pemerintahan Raja Erlangga, namun dijelaskan kembali oleh Supomo (t.t. 263) Teguh adalah ayah Erlangga dan Erlangga yang menggantikan pemerintahannya.

5.3.2 Alur Cerita Wirataparwa

Berikut ini disampaikan alur cerita Wirataparwa.

 Dalam tahun ketiga belas Sang Pandawa dalam penyamaran, sebelum diputuskan dilakukan pertemuan,

 Tujuan penyamaran di kerajaan Wirata rajanya bemama Matsyapati, daerah makmur dekat hutan tempatnya menyamar.

 Tahun ketiga belas (lanjutan tahun ke-12) Sang Pandawa harus menyamar, tidak boleh diketahui, didengar dan dilihat orang lain.

 Setelah datang ke Wirata, berganti rupa, dengan pekerjaan masing-masing dan pakaian yang berbeda-beda, pakaian Brahma untuk Yudistira bernama Dwijakangka; Bima menjadi juru masak bernama Ballawa;

Arjuna menjadi penari bernama Wrhanala Dropadi menjadi pembuat

77 minyak wangi bernama Sairindri; Nakula pandai dalam ilmu kuda bernama Grantika dan Sahadewa sebagai pengembala lembu bernama Tantipala.

 Mereka bekerja dengan giat dan ulet, semuanya memperlihatkan kegiatannya dengan baik, terutama Wihatnala yang mengajarkan menari dan menyanyi kepada istri raja dan putrinya.

 Tidak hanya sukses dalam mengabdikan diri, tetapi mereka juga lebih dikenal karena telah mengalahkan raja gulat bernama raja Malla.

 Setelah bulan ke-10 penyamaran Sang Pandawa terjadi masalah yang menyulitkan kedudukannya di Wirata. Patih Kerajaan Matsyapali telah jatuh cinta kepada istri Sang Pandawa (Sairindri), namun cintanya ditolak. Niat Sang Patih dimuluskan oleh adiknya Dewi Sudesna yang juga permaisuri raja Matsyapati.

 Meskipun Sairindri menyatakan sudah bersuamikan Pandawa namun Patih Kicaka sama sekali tidak peduli karena telah jatuh cinta, sang patih tetap merayunya.

 Akhirnya, Sairindri membuat upaya untuk berpura-pura meluluskan permintaan sang Patih dengan berjanji umuk bertemu pada malam hari di tempat menari.

 Patih Kicaka pun datang ke tempat latihan menari, sesuai kesepakatan dengan Sairindri. Ketika itu Sang Balawa muncul dan terjadi peperangan.

Patih Kicaka mati di tempat latihan menari.

78

 Mendekati akhir penyamaran Sang Pandawa, Sang Korawa pun mengirimkan mata-mata untuk mengetahui keberadaan Sang Pandawa.

Sesuai perjanjian, apabila dalam penyamaran diketahui oleh pihak Korawa tempat penyamaran Sang Pandawa maka hukuman yang dijalaninya itu dihapus dan Sang pandawa akan kembali dihukum selama tiga belas tahun lagi.

 Kematian Patih Kicaka membuat Sang Pandawa kedudukannya semakin susah, terutama Sairindri yang dituduh menjadi penyebab kematiannya.

Ia pun hendak diusir, namun dengan usul Sang Balawa supaya diperkenankan mereka tinggal dua belas hari lagi.

 Pihak Korawa menyerbu berbagai kerajaan di sekitarnya, termasuk pula kerajaan Wirata. Wirata hampir saja kalah kalau tidak ada para Pandawa yang sedang menyamar membantunya. Korawa kalah dan kemenangan di pihak Wirata. Kemenangan kerajaan Wirata disambut dengan meriah dengan menghiasi semua jalan dan istana dan masyarakat mengadakan hiburan dengan membunyikan tabuh-tabuhan, gamelan, genderang, dan lain-lain.

 Ketika penyambutan terungkap yang awalnya dikira pasukan perang dipimpin oleh putra Wirata bernama Sang Utara lah yang menang sehingga raja sangal bangga, namun kenyataannya yang menang dan mengalahkan musuh adalah Wrhatnala.

 Atas kemenangan itu raja Malsyapati menyerahkan putrinya kepada putra raja yang menang dalam pertempuran.

79

 Sang Pandawa pada akhir penyamarannya menyebutkan siapa sesungguhnya dirinya masing-masing. Semua yang hadir menjadi heran, lebih-lebih raja Matsyapati.

 Raja Matsyapati menghormat kepada Sang Pandawa. menyerahkan kerajaan beserta putrinya kapada Sang Arjuna. Kerajaan dan putri raja ditolak dan menyerahkan kembali kepada raja tetap berkuasa dan putri Wirata kawin dengan anaknya bernama Sang Abimanyu.

 Perkawinan Abimanyu dengan Utari, perkawinan di Istana Wirata dengan dihadiri raja lain dan pembesar kerajaan.

5.3.3 Proses Pem-Balian Wirataparwa

Wirataparwa (bagian ke-4 Astadasaparwa) cukup dikenal dalam tradisi Bali. Tradisi Bali yang dimaksudkan adalah tradisi Bali dan Jawa Kuna yang telah menyatu di daerah ini. Tradisi itu meliputi sejumlah aktivitas yang terus-menerus dilakukan oleh masyarakat Bali. Kegiatan itu meliputi penulisan teks-teks klasik (parwa, kakawin, geguritan) dan jenis-jenis sastra yang lain yang disebut tradisi nyastra.

Salah satu tradisi Bali yang sangat digemari oleh masyarakat Bali adalah pembacaan kakawin yang disebut mabasan. Mabebasan atau makakawin, yaitu tradisi dalam masyarakat Bali untuk membacakan bait-bait kakawin itu.

Seseorang melagukannya dan orang lain yang menerjemahkannya ke dalam bahasa yang berbeda, seperti bahasa Bali (Bhadra, 1912), Namun, di samping itu tradisi pembacaan parwa sering dilakukan terhadap parwa-parwa Mahabharata yang disebut dengan istilah palawakya. Kegiatan ini sangat digemari khususnya di

80 wilayah Karangasem. Hal ini tampak sehingga pembacaan terhadap parwa Mahabharata di puri Karangasem dan bahkan telah dihasilkan dalam judul Phalawakya Sagara Manthana pembacanya bernama I Wayan Tusan dan penerjemah (pemberi arti) Ida Wayan Jelantik Oka1.

Memang tradisi lisan dan tulis terhadap parwa Mahabharata sangat dekat, maksudnya ketika seorang penulis menginginkan teks itu supaya dapat dimilikinya, maka teks itu disalin sesuai dengan sumbernya (babon). Jika masyarakat menginginkan dapat memahami bahasa, sastra, dan nilai yang ada dalam teks terutama kaitannya dengan keindahan dan estetika maka teks itu dibacakan (dilagukan) sehingga di Bali ada istilah belajar dan bernyanyi (melajah sambilang magending).

Kedua tradisi ini telah berkembang sejak Zaman Gelgel dan Klungkung (Suastika, 1997). Tradisi penciptaan teks-teks yang berbahasa Bali dengan mengambil sumber teks terdahulu lewat penyaduran disebut pem-Bali-an yaitu suatu dinamika bersastra di Bali dalam konteks penciptaan, penyalinan, penurunan, pembacaan, dengan mengambil sumber terdahulu sebagai babonnya.

Mahabharata yang terdiri dari 18 parwa,yang disebut pula Astadaparwa yang berasal dari Mahabharata Sanskerta (India) sejak lama ketika di Jawa pun telah dilakukan penciptaan karya sastra baru. Hal ini dapat dikelompokkan ke dalam dua gelombang besar arus pem-Jawa-an yaitu ketika terjadi Zaman Kediri, Zaman Majapahit, dan kedua terjadi Zaman Gelgel-Klungkung. Periode pertama

1 Di Bali ditemukan 8 buah saja. Belakangan ada kakawin Sabhaparwa berbahasa Jawa Kuna dibuat berdasarkan cerita India yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia (Sangka,1995). Ada lagi Kakawin Sabhalango isinya tentang Pesta Kesenian Bali (PKB).

Teks Adiparwa dibacakan dalam Dharmagita tingkat nasional tahun 2000 di Solo dan dalam kegiatan kesenian di Bali

81 proses penjawaan terjadi di Jawa dan berikutnya gelombang arus besar kedua lebih tepat disebut penjawaan di Bali; (Lihat Supomo Suryohudoyo, 1977; 1979;

Suastika, 1997 dan 1997; Pigeaud, 1967).

Di satu sisi pengaruh Jawa tetap berlangsung (pem-Jawaan) di lain pihak terjadi apa yang disebut proses pem-Bali-an. Proses pem-Bali-an terhadap karya sastra Jawa Kuna dalam tiga tataran yang jelas arahnya yaitu menuju dunia Bali yang pemahamannya semakin luas dengan mengolah (mengubah) bentuk sastra, bahasa yang digunakan, dan memasukkan aspek budaya di mana hanya sastra itu diciptakan. Contoh Adiparwa diekspresikan dalam gubahan karya sastra Jawa Kuna berjudul Kakawin Priksit, Kakawin Astikayana, Astikasraya Kakawin Pandawawiwaha. Dari Adiparwa lahir karya sastra kidung berjudul Kidung Sri Bhatara Kresna dan lahir karya sastra Bali berjudul Geguritan Sarpayajnya.

Di satu sisi pengaruh Jawa tetap berlangsung (pem-Jawaan) di lain pihak terjadi apa yang disebut proses pem-Bali-an. Proses pem-Bali-an terhadap karya sastra Jawa Kuna dalam tiga tataran yang jelas arahnya yaitu menuju dunia Bali yang pemahamannya semakin luas dengan mengolah (mengubah) bentuk sastra, bahasa yang digunakan, dan memasukkan aspek budaya di mana hanya sastra itu diciptakan. Contoh Adiparwa diekspresikan dalam gubahan karya sastra Jawa Kuna berjudul Kakawin Priksit, Kakawin Astikayana, Astikasraya Kakawin Pandawawiwaha. Dari Adiparwa lahir karya sastra kidung berjudul Kidung Sri Bhatara Kresna dan lahir karya sastra Bali berjudul Geguritan Sarpayajnya.

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR HIBAH GRUP RISET UDAYANA (Halaman 73-132)

Dokumen terkait