• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR HIBAH GRUP RISET UDAYANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR HIBAH GRUP RISET UDAYANA"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

i LAPORAN AKHIR

HIBAH GRUP RISET UDAYANA

PROSES PEM-BALIAN DALAM PENCIPTAAN KARYA SASTRA GEGURITAN YANG BERSUMBER PADA SASTRA JAWA KUNA

MAHABHARATA DI BALI

Oleh

Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. NIDN 0013015704 (Ketua) Dr. I Ketut Jirnaya, M.S. NIDN 0008045910 (Anggota) Drs. I Wayan Sukersa, M.Hum. NIDN 00210755002 (Anggota) Dr. Luh Putu Puspawati, M.Hum. NIDN 0029036006 (Anggota)

GRUP RISET

PROGRAM STUDI/JURUSAN SASTRA JAWA KUNA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS UDAYANA 2016

Dibiayai oleh DIPA PNBP Universitas Udayana

Nomor : 641-98/UN14.2/PNL.01.03.00/2016 Tanggal 15 Juni 2016 Bidang Unggulan : Ilmu Budaya

Kode/Nama Bidang Ilmu : Sastra Daerah

(2)

ii HALAMAN PENGESAHAN

1. Judul Penelitian : Proses Pem-Balian Dalam Penciptaan Karya Sastra Geguritan Yang Bersumber Pada Sastra Jawa Kuna Mahabharata Di Bali

2. Bidang Unggulan : Sastra Daerah Jawa Kuna 3. Topik Unggulan :

4. Ketua Peneliti :

a. Nama Lengkap : Prof. Dr. I Made Suastika, S.U b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. NIP/NIDN : 195701131980031001 / 0013015704 d. Jabatan Struktural :

f. Jabatan Fungsional : Guru Besar

g. Fakultas/Jurusan : Ilmu Budaya / Sastra Jawa Kuna h. Pusat Penelitian : Bali

i. Alamat : Jln. Pulau Nias 13 Denpasar j. Telepon/Faks : made.suastika57@yahoo.com 5. Jumlah Anggota Peneliti : 3 orang

6. Jumlah Mahasiswa : 2 orang

7. Pembiayaan :

Jumlah biaya diterima dari LPPM Unud Rp. 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah)

Denpasar, 30 Oktober 2016

Mengetahui Ketua Peneliti

Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Prof. Dr. Luh Sutjiati Beratha, MA Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.

NIP. 195909171984032002 NIP. 195701131980031001

Mengetahui

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Universitas Udayana

Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng.

NIP. 1964080719922031002

(3)

iii RINGKASAN

Sejak zaman dulu, Bali memiliki kearifan lokal dengan ditandai peradaban tinggi. Peradaban diartikan kemajuan kebudayaan yang merupakan identitas yang luas dari keseluruhan hasil budidaya manusia Bali yang unggul, tinggi, halus, dan indah yang mencakup aspek kehidupan manusia lahir dan bathin. Peradaban zaman Gelgel dan Klungkung (abad 16-19) menjadi sangat penting dikaji karena merupakan puncak peradaban sebagai zaman renaisanse di Bali, yang merupakan kelanjutan peradaban zaman Bali Kuna di sekitar sungai Pakerisan.

Pada zaman Gelgel dan Klungkung terjadi proses pem-Balian, yaitu terjadinya penciptaan kembali kesusastraan Jawa Kuna di Bali (Zoetmulder, 1994 : 43). Penciptaan ini meliputi kegiatan pembuatan karya baru dalam tradisi dan transformasi teks Jawa Kuna. Tradisi adalah teks Jawa Kuna disalin-salin sesuai aslinya dengan media daun lontar dan huruf Bali dan transformasi adalah pembuatan karya baru yang disesuaikan dengan model Bali, salah satunya berbentuk parikan atau geguritan.

Berdasarkan hal di atas, zaman Gelgel dan Klungkung dan dilanjutkan hingga kini proses pem-Balian terus berlangsung, yaitu dengan cara melakukan berbagai perubahan baik dari segi isi sastra (alur, tokoh, setting, tema) dan dari segi bentuk yaitu geguritan, atau parikan yaitu puisi berbahasa Bali, serta memunculkan budaya lokal Bali dalam karya ciptaan baru. Contoh kasus, tampak pada teks yang dibuat berdasarkan proses pem-Balian dari sumbernya epos Mahabharata melahirkan beberapa teks geguritan/parikan di Bali, yang akan

(4)

iv dikaji dari tiga aspek (kode) yaitu kode bahasa, kode sastra dan kode budaya (Suastika, 1997 : 293).

Hasil penelitian terjadinya proses pem-Balian terus-menerus dari Mahabharata ke berbagai geguritan di Bali. Dalam hal ini Mahabharata, bagian parwa pertama Adiparwa terjadi proses pem-Balian pada Geguritan Sarpayadnya dari aspek bahasa Java Kuna ke Bahasa Bali, dari sastra dan budaya. Begitu juga dari Mahabharata, bagian parwa ketiga Wirataparwa, proses pem-Balian menjadi geguritan Kicaka, dari aspek bahasa, sastra dan budaya. Selanjutnya pula bagian Mahabharata yang bernama Bhismaparwa diubah menjadi kakawin Bharatayudha, namun kemudian adanya proses Pem-Balian dari aspek bahasa, sastra dan budaya menuju Geguritan Salya.

(5)

v PRAKATA

Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sanghyang Widhi) penelitian berjudul “Proses Pem-Balian dalam Penciptaan Karya Sastra Geguritan yang bersumber pada sastra Jawa Kuna Mahabharata di Bali” dapat terwujud berupa hasil laporan penelitian. Awalnya tim peneliti merasakan was-was karena adanya keterlambatan dana penelitian yang seharusnya datang bulan Juli akhir, namun baru masuk awal Oktober 2016. Hal ini awalnya membuat kerja penelitian terlambat, namun karena tekad para peneliti dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab sebagai tim peneliti akhirnya penelitian ini dapat diselesaikan pada waktunya sesuai jadwal.

Tim peneliti mengucapkan banyak terimakasih kepada Ketua LPPM Universitas Udayana yang dengan sabar dan penuh optimisme mendorong tim peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini tepat waktu. Sudah tentunya dalam penelitian ini dari mulai penelitian hingga munculnya hasil laporan seperti ini berkat dorongan berbagai pihak seperti Ketua LPPM Universitas Udayana, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dan pihak-pihak lain yang penulis tidak sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penelitian ini masih ada kelemahannya hal ini semata-mata tanggung jawab tim peneliti, sehingga saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan hasil penelitian ini tim peneliti harapkan. Semoga budi baik Ibu/Bapak mendapatkan pahala yang setimpal dari Sanghyang Widhi. Terima kasih.

Tim Peneliti

(6)

vi DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

RINGKASAN ... iii

PRAKATA ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 6

3.1 Tujuan Penelitian ... 6

3.2 Manfaat Penelitian ... 6

BAB IV METODE PENELITIAN ... 8

4.1 Metode dan Teknik Penyedia Data ... 9

4.2 Metode dan Teknik Analisis Data ... 10

4.3 Metode dan Teknik Penyajian Data ... 10

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 11

5.1 Mahabharata Jawa Kuna dan Penciptaan Geguritan di Bali... 11

5.2 Proses Pem-Balian Mahabharata dari Adiparwa ke Geguritan Sarpayajnya ... 48

5.2.1 Proses Penciptaan... 60

(7)

vii

5.2.2 Bahasa dalam Geguritan Sarpayajnya ... 62

5.2.3 Aspek Sastra dalam Geguritan Sarpayajnya... 65

5.2.4 Alur Cerita Geguritan Sarpayajna ... 69

5.2.5 Aspek Budaya ... 71

5.3 Proses Pem-Balian Mahabharata dari Wirata Parwa ke Geguritan Kicaka ... 73

5.3.1 Wirataparwa Jawa Kuna ... 73

5.3.2 Alur Cerita Wirataparwa ... 76

5.3.3 Proses Pem-Balian Wirataparwa ... 79

5.3.4 Proses Penciptaan Geguritan Kicaka ... 82

5.3.5 Aspek Bahasa ... 85

5.3.6 Alur Cerita Geguritan Kicaka ... 87

5.3.7 Tokoh Cerita Geguritan Kicaka ... 88

5.3.8 Aspek Budaya ... 90

5.4 Proses Pem-Balian dari Adiparwa ke Kakawin Bharatayuda ke Geguritan Salya ... 91

5.4.1 Proses Penciptaan Geguritan Salya ... 92

5.4.2 Aspek Bahasa Dalam Proses Pem-Balian ... 99

5.4.3 Alur Cerita Geguritan Salya ... 105

5.5.4 Aspek Budaya Dalam Proses Pem-Balian... 107

BAB VI FUNGSI PROSES PEM-BALIAN ... 109

6.1 Fungsi Religius ... 109

6.2 Fungsi Sosial ... 112

(8)

viii

6.3 Fungsi Pendidikan ... 113

6.4 Fungsi Estetis ... 116

6.5 Fungsi Pelestarian Budaya... 118

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 120

7.1 Simpulan ... 120

7.2 Saran-saran ... 120 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(9)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu terbentuknya peradaban Bali dalam bidang sastra dan agama di Bali lewat proses pem-Balian. Proses pem-Bali-an merupakan kearifan lokal Bali, yang berasal dari kata dasar Bali yang artinya Bali, pulau, bahasa, budaya mendapat konfiks (awalan-akhiran pem-an) menjadi pem-Bali-an. Di sini pem- Bali-an memiliki arti luas, yaitu menuju dunia Bali, dalam bidang kesusastraan dan budaya adanya unsur-unsur luar yang masuk ke Bali, tidaklah diambil begitu saja, namun diproses kembali (didekonstruksi) sehingga menjadi milik Bali (Suastika, 1997).

Khusus dalam bidang sastra dan kebudayaan Bali, sejak dulu masyarakatnya telah menerima unsur luar (bahasa, sastra, budaya) kemudian unsur itu diolah disesuaikan dengan konsep dan pola pikir Bali. Misalnya, latar belakang dan pengaruh sastra Jawa Kuna tetap dibicarakan di Bali, sehingga karya sastra yang lahir berupa ciptaan baru, di samping mewariskan nilai Jawa Kuna ada juga merubah (mentransformasikan) ke dalam bentuk baru. Pigeaud (1967 : 69) membagi dalam empat proses pem-Balian yaitu 1) proses pem-Balian bidang etika dan religi, 2) proses pem-Balian dalam bidang sejarah dan mitologi, 3) proses pem-Balian bidang susastra, dan pem-Balian bidang ilmu pengetahuan, seni, hukum, kemanusiaan dan lain-lain.

(10)

2 Sejalan dengan pandangan pem-Balian, bidang susastra tidak hanya Jawa, aspek India pun diambil bersamaan dan diolah kembali disesuaikan dengan genre (jenis) karya sastra Bali. Hal ini terjadi mulai zaman Gelgel dan Klungkung bahkan sampai sekarang. Hal ini melahirkan sejarah kebudayaan yang panjang.

Dulu, ketika zaman Teguh Darmawangsa ada istilah Mang-Jawaken Byasamata artinya menjawakunakan ajaran/nilai sastra karya Bagawan Byasa yang bernama Mahabharata berbahasa Sansekerta kedalam bahasa Jawa Kuna pada abad ke-10 di kerajaan Kediri yang beragama Siwa-Buda (Suastika, 1997).

Tampaknya proses pem-Balian seperti dibicarakan diatas di Bali meneruskan tradisi Mang-Jawaken Byasamata yang pernah terjadi bahkan di Bali apabila ditinjau dari periode dan zamannya lebih kemudian.

Bagaimanakah proses pem-Balian parwa Mahabharata yang di Bali disebut Asta Dasa Parwa (18 parwa). Parwa yang awalnya bersumber dari epos Mahabharata India yang berbahasa Sansekerta, kemudian disadur ke dalam tradisi bahasa Jawa Kuna dan kembali berkesinambungan dalam proses pem- Balian dibuat karya berbahasa Bali yang disebut parikan atau geguritan. Parikan berarti saduran. Parikan adalah satu bentuk sastra yang berbahasa Bali, bisa diambil dari Mahabharata Jawa Kuna dan karya sastra lainnya. Di sini terjadi pengalihbahasaan, berbeda dengan terjemahan. Pengalihbahasaan yaitu menyadur karya asalnya berbahasa Jawa Kuna ke dalam bahasa Bali, memilih dan memilah bagian mana dari cerita (episode) yang diambil biasanya ada yang secara bebas, ada yang merunut dengan tertib dari sumbernya (babon). Misalnya sastra Bali

(11)

3 yang bersumber dari Mahabharata, yaitu parikan Salya, Bhagawan Domya, Parikan Adiparwa dan lain-lain.

Dalam karya sastra yang muncul itu ada perubahan bentuk sastra dari proses Mahabharata ke geguritan/parikan di Bali. Nama tokoh sebagian diambil dan diubah, diganti, alur cerita ditambah dan dikurangi dalam berbagai model yang diingini oleh pengarang Bali. Dalam masalah penyaduran sastra Bali ini dapat digambarkan dalam tiga model (kode), yaitu kode bahasa, kode sastra, kode budaya.

Berkaitan dengan proses pem-Balian di atas, sebagai peradaban Bali dan betapa pentingnya penelitian secara komprehensif karya sastra geguritan yang bersumber dari prosa Mahabharata, dari kode bahasa, kode sastra, dan budaya.

Tradisi penyaduran sastra Jawa Kuna parwa Mahabharata ke dalam bentuk sastra Bali merupakan fenomena khas kesinambungan tradisi sastra dan perubahannya yang diinginkan oleh pengarang Bali agar mudah dipahami dan menjadi milik masyarakatnya. Oleh karena itu fenomena khas proses pem-Balian itu signifikan dan perlu untuk diteliti.

1.2 Masalah

1. Bagaimanakah proses pem-Balian dari sastra Jawa Kuna Mahabharata, khususnya Adiparwa, Wirataparwa, dan Bismaparwa ke karya sastra geguritan di Bali ?

2. Apa fungsi proses pem-Balian dari sastra Jawa Kuna Mahabharata ke karya sastra geguritan ?

(12)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Terkait dengan penelitian ini, sejumlah studi pustaka yang telah dilakukan baik dalam bentuk buku, penelitian awal, artikel (makalah). Pustaka tersebut sebagai berikut :

1. Suastika, 1997, “Calon Arang dalam Tradisi Bali” (buku)

2. Suastika, 2003, “Pentingnya pemahaman nilai budaya Bali dalam karya sastra dalam kaitannya pengembangan jati diri” (karya ilmiah) 3. Suastika, 2005, “Berpikir positif dalam budaya Bali, dalam Bunga Rampai

Budaya Berpikir positif suku-suku bangsa” (artikel dalam buku).

4. Suastika, 2008, “Lascarya : Refleksi Nilai Karya Sastra dan Aktualisasinya dalam Kehidupan” (buku)

5. Suastika, 2011, “Hubungan antara Mahabharata berbahasa Jawa Kuna dengan Mahabharata berbahasa Sansekerta Karangan Byasa”

(proseding seminar internasional).

6. Suastika dan Sukarta, 2012, “Bahasa dan Sastra Jawa Kuna : Dulu, Kini dan Akan Datang” (buku)

7. Suastika, 2015, “Understanding kakawin siwaratri kalpa a a Hindu Religious Text through it Balinese Version Gaguritan Lubdaka”

(proceding international seminar).

(13)

5 Dari publikasi di atas (buku, artikel, proseding) dapat dijelaskan Suastika (1997) telah mulai melakukan penelitian proses pem-Balian tradisi Jawa Kuna ke tradisi Bali dengan fokus teks Calon Arang dalam tradisi Bali, di sini adanya bentuk pem-Balian berupa tradisi dan transformasi yang salah satunya berbentuk gaguritan calon arang. Adanya perubahan bentuk, isi sastra, bahasa dan budaya dari Jawa Kuna ke budaya Bali. Masing-masing teks berbeda-beda dan memiliki fungsinya masing-masing dalam masyarakat Bali. Studi Suastika (2012) mengkaji tentang kesusastraan Jawa Kuna di Jawa dalam konteks dulu, kini dan akan datang menunjukkan kesusastraan tetap hidup dan dipelihara di Bali karena dekat dengan tradisi sastra, agama, dan budaya. Begitu pula Suastika (2011) studi yang memfokuskan pada hubungan sastra Jawa Kuna dengan sastra India yang berbahasa Sansekerta, dan studi (2008) hubungan content (isi) dengan aktualisasi kehidupan Jawa Kuna di Bali yang masih terpelihara sampai kini serta kasus hubungan sastra Jawa Kuna Kakawin Siwaratri kalpa (Lubdaka) dengan Geguritan Lubdaka di Bali (Suastika, 2015).

Hasil penelitian, buku, dan artikel di atas pada dasarnya memiliki kegunaan dengan penelitian yang akan dilakukan. Oleh karena itu, pustaka tersebut sangat berkontribusi dalam penelitian ini. Di samping itu, pustaka itu dapat menjadi pembanding, penambahan wawasan, memperkuat analisis dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian proses pem-Balian karya sastra Bali gaguritan bersumber dari Mahabharata Jawa Kuna dikaji secara mendalam dan tuntas.

(14)

6 BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan tujuan khusus penelitian ini dapat disampaikan sebagai berikut :

1. Mengetahui jenis-jenis karya sastra geguritan berdasarkan proses pem-Balian yang bersumber pada Mahabharata Jawa Kuna masa kini di Bali.

2. Mengetahui bentuk proses pem-Balian karya sastra Bali geguritan yang bersumber dari Mahabharata Jawa Kuna dari aspek kode bahasa, sastra dan budaya.

3. Mengetahui fungsi proses pem-Balian dalam pengembangan tradisi sastra Jawa Kuna di Bali masa kini.

3.2 Manfaat Penelitian

Secara teoretis penelitian ini dilakukan untuk menggali aspek teoretis- konseptual tentang proses pem-Balian sastra Bali yang bersumber dari sastra Jawa Kuna Mahabharata di Bali, terutama semakin eksis dalam mengangkat nilai dan bobot karya sastra bagi kehidupan kebudayaan Bali pada masa kini. Hal ini sangat penting sebagai fenomena kearifan lokal (lokalisasi) di samping mengangkat nilai sastra Bali sejajar dengan sastra daerah lainnya dan nasional yang secara intensif berkembang dalam masyarakat budaya Bali.

(15)

7 Secara praktis, penelitian ini dilakukan memberikan sumbangan bagi : 1. Pemerintah, sebagai kontribusi pemikiran dalam kebijakan publik terkait

masalah kearifan lokal, yang bersumber pada nilai sastra dalam mengangkat kesejahteraan masyarakat.

2. Bagi pengusaha, dapat dipakai dasar dalam pembuatan industri kreatif dan bidang-bidang industri seni lainnya.

3. Bagi masyarakat, khususnya pengarang sebagai kontribusi gagasan besar dalam penciptaan sastra yang bermutu yang dapat menjadi model kreatif dalam penciptaan karya-karyanya.

(16)

8 BAB IV

METODE PENELITIAN

Fenomena pem-Balian yang terjadi di Bali merupakan model kelanjutan dari proses Mang-Jawaken Byasamata (Menjawakan ajaran/nilai Mahabharata) yang berbahasa Sansekerta ke dalam bentuk sastra jawa kuna yang disebut Mahabharata di Bali lebih dikenal dengan sebutan asta dasa parwa (18 parwa) Suastika (2011). Cara yang dipakai berupa penyaduran karya Byasa dengan tehnik mengambil inti tertentu (episode cerita) lalu dibuat cerita baru. Adapula kutipan bahasa Sansekerta dalam bentuk kata, frase, kalimat, dan bait kembali diterjemahkan bahkan disadur bebas ke dalam bahasa Jawa Kuna. Secara singkat alur cerita Mahabharata menjadi lebih pendek di satu sisi, ataupun ada bagian yang diperluas pada bagian lain sesuai keinginan penyair (penyadur) zaman itu.

Demikian selanjutnya di Bali kejadian serupa pada waktu berikutnya terjadi pem-Balian pada zaman Gelgel dan Klungkung bahkan terjadi sampai sekarang. Tehnik yang dilakukan dengan mengambil satu episode atau lebih cerita dari aslinya (babon) kemudian diubah menjadi cerita baru dengan menyebutkan judul baru. Terjadi pula perubahan bahasa dari bahasa Jawa Kuna ke bahasa Bali, dari segi sastra dengan mengganti nama tokoh dan memunculkan tokoh baru dan tokoh tambahan. Karya sastra yang muncul di Bali salah satunya berbentuk geguritan atau parikan (Suastika, 1997) Dengan cara seperti ini pengarang merasa berhasil dalam kreatifitas bersastra, demikian pula karya itu dirasakan menjadi khazanah budaya Bali oleh masyarakatnya.

(17)

9 4.1 Metode dan Teknik Penyedia Data

Untuk mendapatkan data yang akurat dalam penelitian ini, data bersumber dari teks dan data lapangan. Oleh karena itu, metode dalam pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yaitu peneliti sebagai instrumen dan bersifat narasi. Berikut beberapa metode dan teknik dalam pengumpulan data.

1. Metode dan Tehnik Observasi

Metode observasi dimaksudkan mengamati dan mencari teks dan naskah di lapangan tentang teks Mahabharata yang tersimpan di masyarakat.

Setelah menemukan data teks, kemudian dibantu teknik catat, transliterasi, dan terjemahan. Begitu pula terhadap data geguritan/parikan. Teknik yang lain berupa fotokopi, foto tustel terhadap data teks tersebut.

2. Metode dan Teknik Wawancara

Metode wawancara digunakan untuk mendapatkan data dari informan sesuai dengan permasalahan dengan membuat daftar pertanyaan sederhana dan wawancara kepada informan. Kriteria informan adalah ahli sastra dan pecinta sastra tradisional, mengenai teks mahabharaa dan geguritan, serta hal- hal yang berkaitan kesusastraan Bali dan Jawa Kuna. Teknik wawancara dibantu dengan pencatatan dan rekaman dengan tape recorder.

3. Metode dan Teknik Kepustakaan

Metode kepustakaan dimaksudkan adalah penelitian di perpustakaan mencari buku, dokumentasi dan teks yang berhubungan dengan penelitian.

Misalnya, perpustakaan UPT Lontar Universitas Udayana, Gedong Kirtya

(18)

10 Singaraja dan beberapa perpustakaan dibantu dengan pencatatan, fotokopi, foto tustel.

4.2 Metode dan Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, maka selanjutnya dilakukan analisis data yang meliputi hal sebagai berikut :

a) Reduksi data, proses pemilihan data, penyederhanaan, pengabstraksian data kasar dari catatan tertulis teks dan data lapangan.

b) Penyajian data, merangkai dan menyusun informasi data mengarah dan memberi kemungkinan menarik simpulan dari data yang kompleks ke dalam satuan yang sederhana, dan mudah dipahami, secara teks naratif.

c) Penarikan simpulan, kegiatan konfirmasi atau ulang terhadap catatan teks dan catatan lapangan, untuk menguji kebenaran, kecocokan, dan validitas data dan makna yang muncul dari data, kemudian simpulannya meningkat menjadi lebih rinci dan menjadi simpulan akhir.

4.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil

Penyajian hasil analisis dalam bentuk kegiatan hasil penelitian dengan informal, yaitu berupa perumusan dengan narasi menggunakan kata-kata (bahasa Indonesia). Di bantu dengan cara formal berupa tabel, angka, lambang.

(19)

11 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Mahabharata Jawa Kuna dan Penciptaan Geguritan di Bali

Bersyukur dan beruntunglah bangsa yang memiliki karya sastra. Lewat karya sastra banyak hal dapat diketahui dan dipelajari. Terutama dalam kehidupan praktis sehari-hari. Dua sisi dualistik yang dekat dengan kehidupan yaitu baik dan buruk. Baik dan buruk bukan dengan ukuran nisbi, tetapi baik-buruk berdasarkan ukuran kebenaran dengan bertimbang pada rasa dan logika. Dualistik ini sangat tampak dalam cerita Mahabharata ‘kebesaran suku Bharata’ dalam klimaks cerita pada kehidupan Pandawa dan Korawa, sampai terjadinya perang dahsyat di medan Kuruksetra selama delapan belas hari. Perang berakhir dengan kekalahan di pihak Korawa yang berwatak buruk dan diselimuti kejahatan.

Epos Mahabharata sangat tua berasal dari India dengan menggunakan bahasa Sanskerta. Epos besar ini disusun oleh pengarang mistik bernama Bhagawan Wyasa atau ada juga yang mengatakan Bhagawan Byasa. Nama lengkap beliau adalah Krishna Dwipayana Wyasa. Beliau lahir di sebuah ‘dwipa’

yang mulanya merupakan sebuah perahu di tengah-tengah sungai Yamuna. Beliau adalah cucu dari Bhagawan Wasista dan putra dari hasil perkawinan Bhagawan Parasara dengan Dewi Sayojanagandhi. Setelah beliau segera menjadi dewasa dan dididik dalam lingkungan kehidupan keagamaan dan kesusastraan oleh ayahnya, serta segera dapat merapalkan weda. Beliau banyak tahu dan terlibat dalam cerita Mahabharata. Bhagawan Byasa diminta oleh ibunya untuk melangsungkan

(20)

12 upacara keturunan ketika keturunan Bharata hampir punah. Maka lahirlah Sang Drestarastha, Sang Pandu, dan Sang Widura. Bhagawan Wyasa menasehatkan kepada Pandawa ketika berada di hutan setelah lolos dari rumah damar untuk pergi ke negeri Ekacakra. Dari Ekacakra disuruh untuk mengikuti swayambara di kerajaan Drupada. Bhagawan Byasa menyelamatkan putra-putra Gandari yang lahir berupa potongan-potongan daging. Gumpalan daging itu dimasukkan ke dalam seratus periuk yang diisi dengan susu dan diberi mantra dan lahirlah bayi- bayi itu menjadi para Korawa. Bhagawan Wyasa ketika perang antara Pandawa dan Korawa yang sudah tidak dapat didamaikan lagi datang member kekuatan dan ilmu jarak jauh kepada Sanjaya. Sehingga kusir kereta sekaligus sahabat raja Drestarastra itu dapat mengetahui jalannya peperangan. Banyak lagi peristiwa- peristiwa penting dan nasihat-nasihat yang berhubungan antara Bhagawan Wyasa dan keturunan Bharata tersebut. Dengan demikian beliau diyakini sebagai penyusun Epos Besar Mahabharata.

Para peneliti cerita Mahabharata, terutama Ch.Hassen memfokuskan penelitiannya terhadap sejarah perkembangan Epos Mahabharata secara kritis pada tahun 1837. Beliau berpendapat bahwa cerita tersebut orisinilnya lahir kira- kira pada tahun 400 – 500 Sebelum Masehi (dalam Pendit, 1980:XVI).

Perkembangan selanjutnya dalam bentuknya sekarang secara keseluruhan, epos Mahabharata mengandung berbagai dongeng, legenda (purana), mitos, falsafah, sejarah, kosmologi, geologi, geografi, dan sebagainya. Bahkan di dalam ajaran agama Hindu epos Mahabharata disebut dengan lakon-lakon yang menarik yang di dalamnya berisi ajaran-ajaran suci (Parisada Hindu Dharma, 1978: 42). Cerita

(21)

13 itu mengandung nilai-nilai yang sifatnya universal, tidak hanya untuk sekelompok orang atau golongan maupun agama atau suku tertentu. Dengan demikian menjadi sangat terkenal dan digemari sehingga naskah-naskahnya terpencar dari Tmur Tengah sampai Indonesia. Bahasanya pun beragam sesuai dengan kebutuhan antara lain bahasa-bahasa Nepali, bahasa Mathili, Bengali, Dewanagari, Telugu, Grantha, dan Malayalam. Naskah yang agak kemudian ditemukan adalah dalam bahasa Jawa Kuno abad ke-10, dalam bahasa Kasmir abad ke-11 dan bahasa Persia pada jaman pemerintahan Akbar (Pendit, 1980:XX).

Cerita Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuna tersaji dalam bentuk prosa yang di Indonesia maupun Bali lebih dikenal dengan sebutan parwa ‘bagian’.

Bagian yang dimaksudkan di sini adalah episode-episode yang tertuang menjadi delapan belas (18) parwa yang kemudian lebih sering disebut Astadasaparwa.

Astadasaparwa digubah pada masa pemerintahan raja-raja yang bersifat Hindu di Jawa Timur. Pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh Anantawikrama Tunggadewa tahun 991-1016 (Soekmono, 1973: 52), terdapat suatu usaha mengalihkan karya yang tertuang dalam batin Byasa ke dalam bahasa Jawa Kuna, dan Zoetmulder menyebutnya dengan “mangjawaken Byasamata” (1983:101).

Bahasa Jawa yang dimaksudkan pada masa itu adalah bahasa Jawa Kuna yang ada sekarang. Delapan belas (18) parwa berhasil disusun pada masa itu, namun yang ada kita warisi sekarang adalah delapan (8) parwa. Sepuluh (10) parwa lagi tidak atau belum sampai kepada kita dan ini merupakan tantangan bagi peneliti-peneliti Jawa Kuna untuk menemukannya. Dalam hal ini pula kepada Bali-lah kita

(22)

14 berhutang budi karena di sana sastra Jawa Kuna diselamatkan(Zoetmulder, 1983: 47).

Parwa-parwa sebagai hasil ‘proyek’ pada masa itu di Bali digubah lagi menjadi karya-karya sastra daerah Bali dengan bahasa yang lebih muda yang dapat dimengerti oleh generasi lebih muda. Dengan demikian pokok cerita, pesan yang tertuang dalam cerita sumbernya tidak hilang dan dapat diketahui secara berkelanjutan oleh generasi penerusnya. Adapun delapan (8) parwa yang dimaksud, yang sampai kepada kita akan dikemukakan ringkasan isinya.

1. Adiparwa

Adiparwa merupakan kitab pertama dari kitan Astadasaparwa yang bersumber dari epos besar India Mahabharata. Hanya disajikan berupa cerita berganda atau berantai yaitu seorang menceritakan orang lain, orang lain itu menceritakan lagi orang lain begitu seterusnya. Setelah diteliti dapat dikemukakan isi ringkas dari kitab Adiparwa sebagai berikut.

Pada bagian awal menceritakan berlalulah jaman kekosongan dan tibalah jaman penciptaan. Ditakdirkanlah penjelmaan berbagai macam makhluk dan segala sesuatunya oleh Beliau Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Demikian pula peghormatan disampaikan kepada Raja Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa sebagai pengayom keberhasilan tersusunnya kitab Adiparwa.

Selanjutnya diceritakan Bhagawan Sonaka melaksanakan kurban di hutan Nimisa selama dua belas tahun. Ketika kurban sedang berlangsung datanglah

(23)

15 putra Sang Romaharsana yang bernama Ugrasrawa. Beliau sudah mempelajari dengan sempurna buku Brahmanda Purana dan Mahabharata yang diberikan oleh gurunya Bhagawan Byasa. Sang Urgrasrawa disambut dengan hormat sebagai tradisi dan ikut dalam pelaksanaan upacara kurban. Beliau menceritakan kegagalan korban ular yang dilangsungkan oleh Maharaja Janamejaya. Naga Taksaka yang menggigit orang tuanya Maharaja Parikesit tidak berhasil mati dalam kurban tersebut walaupun ular-ular kebanyakan habis terbakar dalam tungku kurban. Maharaja Janamejaya menjadi sedih. Oleh karena itu Bhagawan Waicampaya melipur kesedihannya dengan menceritakan Astadasaparwa. Isi pokoknya menceritakan peperangan Korawa melawan pandawa di Kuruksetra.

Bhagawan Bhisma menjadi senapati Korawa selama sepuluh hari dikalahkan oleh arjuna yang dibantu oleh Srikandi. Diteruskan oleh Guru Drona selama lima hari dan mati terpenggal oleh Drstadyuma. Sang Karna menggantikan selama dua hari dan gugur oleh Arjuna. Sang Salya melanjutkannya setengah hari dan terbunuh oleh Sang Yudhishtira. Sore harinya dilanjutkan oleh Duryodhana dan kalah remuk pahanya oleh Bhimasena.

Pada bagian berikutnya diceritakan Sang Sretusena melakukan kurban atas perintah Raja Janamejaya. Ketika upacara kurban berlangsung datang seekor anjing bernama Sarameya menyaksikan upacara kurban tersebut. Anjing itu dipukul oleh Sang Srutasena. Sarameya menangis dan mengadu kepada ibunya Sarama. Sedihlah Sang Sarama dan datang ke tempat pelaksanaan kurban menegur Sang Srutasena. Dengan memukul Sang Sarameya yang tidak bersalah maka bahaya akan datang mengancam. Untuk mengakhiri kutukan tersebut

(24)

16 maharaja mencari brahmana sakti yang bernama Sang Srutasrawa dan putranya Sang Somasrawa.

Bagian kitab berikutnya mengisahkan Bhagawan Domya dan pertapaannya di Negeri Ayodya. Beliau mempunyai murid tiga orang bernama Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Semuanya diuji tentang ketaatan dan bakti kepada guru. Sang Arunika bersawah, mengerjakan sawah dengan berbagai macam cara setelah berhasil dianugrahi ilmu dharma. Sang Utamanyu mengembalakan lembu dengan sangat hati-hati. Utamanyu dilarang memakan hasil meminta-mintanya, demikian juga air susu sisa anak lembu menyusu di induknya. Laparlah dia dan menghisap getah widuri. Getah itu panas temus sampai ke matanya sehingga dia menjadi buta. Dia terperosok ke dalam sumur mati dan keesokan harinya ditemukan oleh gurunya dan dianugrahi mantra Dewa Aswino. Dengan mengucapkan mantra tersebut sembuhlah dia dari kebutaan serta dianugrasi ilmu sempurna terhindar dari ketuaan. Sang Weda diuji dengan tinggal di dapur menyediakan hidangan. Serba baik persembahan Sang Weda kepada gurunya dan selalu mengikuti jejak sang guru sehingga dianugrahilah dia segala macam ilmu pengetahuan, mantra dan kecerdasan.

Dilanjutkan dengan menceritakan Bhagawan Brgu, putra Dewa Brahma mempunyai istri sangat pandai bernama Sang Puloma. Ketika Bhagawan Brgu mandi datanglah raksasa Duloma ang mengaku bahwa ketika Sang Puloma masih kecil dia diberikan kepada raksasa Duloma untuk menjadi suaminya. Sanghyang Agni (api) berdusta dengan membenarkan kesaksian itu. Oleh karena itu Sanghyang Agni dikutuk oleh Bhagawan Brgu memakan segala tidak memilih

(25)

17 barang yang dibakarnya. Kutukan Bhagawan Bregu kepada semua makhluk sinar Sanghyang Agni sangat panas dan dapat membakar segalanya sampai yang buruk sekalipun. Adapun sifat kedewaannya bukan sarwabhaksa tetapi melaksanakan segala macam kurban.

Selanjutnya, adalah cerita Sang Ugrasena kepada Sang Sonaka. Dia menceritakan Sang Jaratkaru putra seorang Wiku terpilih atas ketetapan budinya yang tidak kelekatan terhadap cinta hanya bertapa saja. Setelah Sang Jaratkaru menamatkan segala mantra dia diperolehkan memasuki segala tempat yang dikehendakinya. Sampailah ia ke tempat antara sorga dan neraka yaitu Ayatnastana. Disana dijumpai leluhurnya tergantung kekeringan pada sebilah bambu. Kakinya diikat diatas dengan wajah telungkup menghadap ke bawah dan di bawahnya terdapat jurang dalam menuju neraka. Seekor tikus tinggal dalam buluh itu setipa hari mengerat buluh itu. Jaratkaru menolongnya dengan mau berumahtangga dan memiliki keturunan. Dengan demikian leluhurnya menjadi terbebas dan segera masuk surga. Setelah perkawinan dilangsungkan maka lahirlah segera putranya yang diberi nama Sang Astika. Ketika itu pula lah leluhur Jaratkaru terlepas dan melayang kembali ke sorga mengenyam hasil tapanya terdahulu.

Cerita dilanjutkan dengan kalahnya para raksasa oleh para dewa dalam memperebutkan tirta amerta (air kehidupan). Pulanglah Dewa Wisnu ke Wismaloka diiringi oleh para pengikutnya. Sampai di tempat dewa Wisnu serta para dewa meminum amerta karena itu para dewa hidup kekal tidak mengenal kematian. Mendengar hal tersebut raksasa anak Sang Wipracitti ingin

(26)

18 mendapatkan tirta tersebut. Kemudian menyamar menjadi dewa hal tersebut diketahui oleh Sanghyang Aditya dan Sanghyang Candra segera memberitahukan kepada Dewa Wisnu. Ketika amerta itu baru sampai di kerongkongannya, cakra dewa wisnu memenggal kepalanya. Karena kesucian tirta amerta itu kepala Kala tetap melayang di angkasa tetapi badannya mati jatuh ke bumi karena belum terkena tirta amerta.

Pada bagian ini juga berisi tentang cerita Sang Winata dan Sang Kadru bertaruh menjadi budak bagi yang kalah menerka warna kuda Uassaihcrawa.

Warna kuda sesungguhnya putih belaka kata Sang Winata yang memang sesungguhnya demikian. Sang Kadru mengatakan bahwa sang kuda yang keluar ketika mengebur samudra adalah putih dan ekornya berwarna hitam. Takut akan kalah Sang Kadru menyuruh anaknya para naga untuk menyembur dengan bisa ekor kuda Ussaihsrawa. Para naga menolak dan akhirnya dikutuk oleh ibunya agar dimakan dalam api kurban ular yang dilangsungkan oleh maharaja Janamejaya.

Akhirnya para naga mau menyembur ekor kuda tersebut dan menjadi berwarna hitam. Sang Winata kalah dalam taruhan itu dan menjadi budak Sang Kadru.

Bagian berikutnya kembali Sang Ugracrawa diminta bercerita oleh Bhagawan Sonaka. Cerita yang diinginkan adalah usaha para naga setelah dikutuk ibunya Sang Kadru menjadi gundah gulana, putus asa dan bersedih hati. Naga tertua anak Sang kadru bernama Anantaboga bertapa memuja Dewa Brahma. Dia diberi pekerjaan yang tidak kenal lelah untuk menahan bumi agar tidak bergoyang. Adapun saudara-saudaranya yang dipimpin Sang Basuki bersidang, mencari cara untuk mendapatkan ketentraman terhindar dari kutukan mati

(27)

19 terbakar dalam kurban ular Maharaja Janamejaya. Saudara bungsu para naga bernama Silapatra memberikan pendapat bahwa ada putra Sang Brahmana Jaratkaru namanya yang akan membebaskan kita dari kurban ular yang dilangsungkan Maharaja Janamejaya.

Bagian berikut Adiparwa menceritakan Raja Parikesit putra Sang Abimanyu dengan Dewi Uttari. Sang Prikesit dihidupkan kembali oleh Bhatara Kresna ketika terkena panah Sang Aswattama semasih dalam kandungan.

Parikesit dipelihara dan menggantikan Raja Yudhisthira. Dia juga suka berburu seperti Raja Pandu. Pada waktu berburu Parikesit mendapatkan kutukan dari Sang Srenggi putra Bhagawan Samitthi karena mengalungkan bangkai ular ke leher ayahnya yang sedang melaksanakan tapa. Kutuknya supaya Sang Parikesit dalam waktu tujuh hari mati digigit oleh Naga Taksaka. Taksaka menyamar berubah menjadi ulat kecil berdian di sungut jambu yang dihaturkan kepada Maharaja Parikesit dan membunuh Maharaja Parikesit dengan menggigit lehernya.

Mangkatlah Maharaja Parikesit dan digantikan oleh putranya. Peristiwa ini yang kemudian menyebabkan adanya kurban ular yang dilaksanakan oleh putra Parikesit yaitu Maharaja Janamejaya.

Bagian ke sembilan dari kitab Adiparwa ceritanya pendek. Mengisahkan setelah terjadinya korban ular yang ditanyakan oleh Bhagawan Sonaka kepada Sang Ugrasrawa. Naga yang mati tidak terhitung jumlahnya. Awal-awalnya yang masuk tungku pengorbanan adalah anak Naga Taksaka adalah anak Naga Airawana, anaknya naga Korawya semua sakti. Ada yang jatuh seratus ekor bersama-sama ada seribu ekor bersamaan. Ada yang berkepala lima, ada

(28)

20 berkepala tiga, maupun berkepala tujuh. Jumlahnya tidak dapat dihitung dengan pasti.

Pada bagian Adiparwa berikut berisi cerita penjelmaan para dewa yang menurunkan para Korawa dan Pandawa. Dimulai dari asal usul kelahiran Dewi Durghandini, gadis yang berbau amis yang lahir dari seekor ikan jelmaan bidadari yang terkena kutukan. Saudara Durghandini bernama Matsyapati yang kemudian menjadi raja di Negeri Wirata. Dewi Durghandini berhasil diobati oleh Bhagawan Parasara sehingga tubuhnya berbau harum dan bernama Dewi Sayojanagandhi.

Perkawinan Sayojanagandhi dengan Bhagawan Parasara melahirkan Bhagawan Wyasa (Kresna Dwipayana Wyasa). Diteruskan pula dengan cerita Sang Sakuntala yang kawin dengan Raja Sentanu dan melahirkan Sang Bharata dan menurunkan keluarga Bharata.

Pada bagian berikutnya menceritakan Bhagawan Wrhaspati menjadi guru para dewa. Bhagawan Sukra menjadi guru para daitya. Bhagawan Sukra menghendaki kemenangan daitya. Ia memuja Dewa Siwa selama seribu tahun dan mendapat anugrah mantra amrtasanjiwani yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati sekalipun. Bhagawan Wrhaspati mengetahui hal itu kemudian menyuruh Sang Kaca untuk mengabdi dan berguru kepada Bhagawan Sukra dengan harapan mendapat mantra tersebut. Setelah lima tahun mengabdi para raksasa menjadi irihati karena mengetahui bahwa pihak dewata menyuruh Sang Kaca mengabdi. Sang Kaca dibunuh dan mayatnya dibuang di padang rumput.

Atas permintaan putrinya Dewayani, Sang Kaca dihidupkan kembali.

(29)

21 Tentang Sang Kaca hidup kembali diketahui oleh daitya, mereka mencari daya upaya. Akhirnya Kaca dibunuh kembali, mayatnya dibakar, abunya dikumpulkan, dicampurkan ke dalam minuman tuak. Sisa abu juga dicampurkan ke dalam masakan dan dihidangkan kepada sang bhagawan. Bhagawan Sukra mabuk lupa tentang Sang Kaca yang kembali terbunuh. Dewayani memohon supaya Sang Kaca dihidupkan kembali. Bhagawan Sukra sangat kasihan kepada putrinya kemudian, mantra amrtasanjiwani dirapalkan. Sang Kaca mendengar dan mempelajari semasih dalam perut Bhagawan Sukra. Sang Sukra menyahut dari dalam perut Bhagawan dan telah mengetahui mantra tersebut dengan segala rahasianya. Kaca disuruh keluar oleh Sang Bhagawan Sukra dengan membelah perutnya dan meninggallah Bhagawan Sukra. Tetapi setelah Sang Kaca merapalkan mantra yang diberikan tadi akhirnya Bhagawan Sukra hidup kembali dan Kaca telah mendapatkan mantra itu dengan sempurna.

Pada bagian ke sebelas dari adiparwa juga berisi cerita Yayati memperistri anak pendeta Sukra. Tetapi Prabhu Yayati juga mengawini budaknya menjadi istri ke dua. Dengan demikian dia mendapat kutukan dari Pendeta Sukra menjadi tua sebelum waktunya. Tetapi bila ada satu di antara anak-anaknya yang mau menggantikan untuk menerima kutukan itu maka Yayati akan menjadi muda kembali. Semua putranya ditawari agar berkenan menggantikan kutuk itu, tidak ada yang mau kecuali yang paling bungsu bernama Sang Puru berkenan untuk menerimanya dan seketika itu juga menjadi tua. Dialah kemudian yang menjadi pewaris tahta kerajaan dan Sang Yayati muda kembali menikmati hidup keduniawian.

(30)

22 Bagian kedua belas kitab Adiparwa berisi cerita silsilah Pandawa dan Korawa. Mulai dari Kuru yang beristrikan Sang Kosalya. Melahirkan keturunan sampai yang namanya Sang Hasti yaitu putra dari Sang Sukotra yang beristrikan Sang Sawarna. Sang Hasti mendirikan kerajaan Hastinapura. Keturunan keturunan selanjutnya namanya Sang Kuru, putra dari Sang Tapati yang berisikan Sang Sambarana. Sang Kuru membuat tegal Kuruksetra tempat terjadinya perang Bharathayudha. Kemudian sampai nama Pratipa, Santanu, Bhisma, dan akhirnya sampai Korawa dan Pandawa.

Pada bagian tigabelas dari Kitab Adiparwa menceritakan penjelmaan Sanghyang Yama menjadi Sang Widura. Diceritakan ada seorang brahmana bernama Bhagawan Animandawya. Suatu ketika ada seorang pencuri yang menyembunyikan hasil curiannya di pertapaan Bhagawan Animadawya, ketika ditanyai sang bhagawan tidak menjawab karena melakukan tapa brata. Dia dikira ikut bekerjasama dengan pencuri dan dihadapkan kepada raja, si pencuri diperintahkan untuk dibunuh dan bhagawan Animandawya ditusuk namun tidak meninggal karena kekuatan tapanya. Hal demikian didengar oleh para resi dan pergi menengoknya. Semenjak itu sang bhagawan mengatakan ia tidak berdosa sama sekali tidak mengetahui asal usul pencuri karena sedang bertapa.

Para resi semua menjadi marah dan menghadap Bhatara Yama menanyakan kesusahan Bhagawan Animandawya. Kalau kesusahan itu yang ditanyakan bahwa pada masa dahulu ketika dia masih kanak-kanak sering melukai belalang dan menusuk lubang kotorannya. Itu dosanya dan sekarang diterimanya sehingga duburnya ditombak. Para resi menjawab, ”sangat kecil dosa Bhagawan

(31)

23 Animandawya sedangkan kesusahan yang diterimanya sangat berat”. Engkau menghukumnya tidak setimpal, semoga bhatara Yama lahir menjadi anak dari seorang sudra dan menjelmalah Bhatara Yama menjadi Sang Widura.

Para resi yang mengutuk Bhatara Yama kembali ketempat Bhagawan Animandawya. Mantra pelenyap sengsara diucapkan dan kelurlah potongan tombak melalui ubun-ubunnya sehingga Bhagawan Animandawya pulih kembali.

Bunyi hukuman dalam agama Hindu dipertegas lagi oleh para resi bahwa bagi anak-anak tidak sepantasnya mendapat hukuman karena belum tahu akan baik- buruk. Jika terjadi maka orang yang menjatuhi hukuman itu akan mendapat sengsara. Bagi orang yang berbuat dosa dan berumur empat belas tahun dapat diberikan hukuman.

Bagian ke empat belas kitab Adiparwa berisi cerita tentang pertanyaan Sang Maharaja Janamejaya kepada Sang Waiśampayana. Pertanyaannya mengenai keadaan seratus orang putra yang dilahirkan Sang Gandari dan Sang Pandawa putra Sang Pandu. Alkisah Bhagawan Byasa ingin mengakhiri tapanya dan pergi ke tempat Dewi Gandari supaya diberi makan. Makanan dan minuman (susu) disajikan dan menyebabkan senang hati beliau. Karena itu Bhagawan Byasa meminta Dewi Gandari untuk meminta berkah. Dia meminta berkah agar dianugrahi anak seratus orang, tiada lama berselang Dewi Gandari hamil, namun sudah dua tahun lamanya tidak juga kunjung melahirkan.

Terdengar bahwa Dewi Kunti berbahagia di Úataśrangga telah melahirkan Sang Yudhisthira. Gandari menjadi kecewa kemudian memukuli perutnya dengan harapan supaya segera melahirkan. Namun yang keluar bukanlah bayi tetapi darah

(32)

24 dan potongan-potongan daging sebesar ibu jari jumlahnya seratus. Bahagwan Byasa tahu keluarnya darah itu, maka datanglah dia dan khawatir kalau anak itu akan gagal. Anak yang seratus orang itu tidak akan batal, carilah seratus buah jun (tempayan) untuk tempat potongan-potongan daging itu. Pada jun tersebut isilah susu dengan penuh, jagalah dengan baik supaya menjadi anak. Demikian calon bayi itu dirawat dengan baik dan diberikan mantra. Setelah sepuluh bulan anak- anak itu lahir dengan sempurna dari dalam jun.

Bayi Panca Pandawa dan Seratus Korawa tumbuhlah menjadi anak-anak.

Kemudian Sang Bima maupun saudara-saudaranya selalu lebih unggul dari Sang Korawa. Hal ini menimbulkan iri hati para Korawa dan selalu berusaha untuk menyingkirkannya. Namun para Pandawa selalu bisa lolos dari perbuatan licik Korawa.

Bagian selanjutnya dari kitab Adiparwa berisi cerita tentang Sang Pandawa menempati rumah Jatugraha, rumah damar yang bahan bangunannya sangat mudah terbakar. Ini merupakan bagian dari siasat Duryodhana untuk menghabisi Panca Pandawa agar dia dengan mudah dapat menjadi raja di Hastinapura. Panca Pandawa dan Ibu Kunti berpamitan kepada para pejabat kerajaan untuk pergi ke Waranawata tinggal di sana. Sang Widura kemudian menyusulnya untuk memberi pesan bahwa di desa itu ada bahaya besar, tetapi bukan berupa senjata. Ada senjata tetapi tidak berupa senjata tajam.

Setelah Pandawa tinggal di sana datanglah utusan Sang Widura bernama Kauma. Dia disuruh oleh Widura untuk memberitahukan bahwa pada hari ke 14 rumah akan dibakar oleh arsiteknya yang bernama Puracana atas suruhan Sang

(33)

25 Duryodhana. Kauana dengan segala rahasianya memberitahukan hal itu akan membuat terowongan dalam rumah menuju ke selatan dengan ditutupi perisai terowongan itu tidak ada yang mengetahui kecuali Panca Pandawa.

Sampai waktunya pada hari yang telah ditentukan mereka mengadakan pesta, ikut para penduduk. Ada penduduk mempunyai lima orang anak ikut serta dalam pesta itu, mereka mabuk dan tidak dapat pulang kemudian bermalam di rumah damar. Rumah damar itu terbakar hangus menghabiskan segala isinya.

Mayat penduduk desa bersama ibunya yang telah hangus tidak bisa dikenali dan dipastikan mayat Panca Pandawa bersama Ibu Kunti. Semua penduduk termasuk pembesar-pembesar kerajaan Hastinapura sangat bersedih kecuali Arya Widura tidak seberapa sedihnya. Kemudian raja memerintahkan untuk membuat upacara kurban kematian untuk Ibu Kunti dan Panca Pandawa.

Malam kebakaran rumah Jatugraha itu, Bima dengan saudara-saudaranya beserta Ibu Kunti memasuki terowongan yang dibuat Kanama. Dengan sangat hati-hati mereka keluar dari terowongan dan lari sekencang-kencangnya. Ibu Kunti dan saudara-saudaranya digendongnya dan sampailah pada hutan yang sangat lebat yang dikuasai oleh Hidimba bersama adiknya Hidimbi. Dengan perkelahian yang sangat seru, Hidimba terbunuh dan raksasasi Hidimbi menikah dengan Bima dan lahirlah Sang Gatotkaca. Setelah sekian lama berlalu Pandawa kembali masuk hutan untuk menyamar sebagai wiku memakai pakaian kulit kayu agar tidak dikenal. Pada waktu itu Bhagawa Byasa menemuinya dan mengatakan untuk tatap tabah karena Yudhisthira akan dapat menguasai dunia. Pandawa juga

(34)

26 disarankan untuk pergi ke negeri Ekacakra, raksasa Ekacakra pemakan manusia dapat dibunuh oleh Bima.

Bagian ke enam belas kitab Adiparwa memuat cerita tentang Raja Draupada mengadakan swayembara. Tidak berselang lama datanglah Bhagawan Byasa menemui Pandawa di Ekacakra supaya Pandawa ikut dalam swayembara yang memperebutkan Dewi Draupadi. Pandawa menyamar sebagai brahmana.

Setelah para ksatriya tidak berhasil mengangkat busur, maka Arjuna mohon ijin supaya bisa ikut maju dan diperbolehkan ikut ambil bagian dalam swayembara tersebut. Arjuna berhasil mengangkat busur dan membidik ke sasaran dengan tepat. Dengan demikian Arjunalah yang berhak mempersunting Dewi Draupadi.

Para ksatria banyak yang menolak dan mengadakan perlawanan tapi itu semua dapat diatasi oleh Pandawa dan diselesaikan oleh Krsna. Maka Dewi Draupadi diboyong oleh Pandawa dibawa ke Ekacakra. Drstadyuma dengan secara rahasia membuntutinya karena ingin tahu siapa sesungguhnya yang memenangkan adiknya itu. Raja Draupada bersedih karena adiknya didapatkan oleh brahmana. Semua itu kemudian bisa diterima setelah mengetahui bahwa ternyata brahmana yang memenangkan Draupadi adalah Arjuna. Upacara perkawinan Draupadi dengan Pandawa dilangsungkan dan Raja Draupada sangat senang karena dengan Pandawa sebagai menantunya merupakan berkah dewata.

Sang Widura kemudian memberitahukan kepada Maharaja Dhrastarastra bahwa keluarga Kuru memperoleh Dewi Draupadi. Diperintahkanlah Widura untuk mengambilkan emas permata dan barang-barang bagus yang berharga.

Disampaikan pula bahwa kerajaan akan dibagi dua. Duryodhana hendaknya

(35)

27 menjadi raja di Hastinapura dan Panca Pandawa tinggal di Kandwaprastha dengan istananya bernama Indraprasta.

Bagian ke tujuh belas Kitab Adiparwa berisi cerita tentang kunjungan Hyang Narada seorang Wiku di surga ke Indraprasta. Pandawa menyambutnya dengan segala hormat dan penghargaan. Maharaja Yudhisthira menanyakan maksud kedatangan Sang Resi. Sang Resi Narada ingin menceritakan suatu kabar gembira Sang Panca Pandawa memperistri Dewi Draupadi hendaknya jangan seperti cerita Detya Sunda dan Upasunda. Dua raksasa bersaudara itu saling mengasihi, sangat setia sampai tidak makan kalau tidak berdua. Mereka ingin menaklukkan tri bhuwana maka bertapalah bersama di Puncak Gunung Windya.

Mereka berambut ikal, berpakaian kulit kayu, tidak makan minum, dan juga tidak tidur. Dagingnya dikorbankan, dipotong, dan diiris-iris ditaruh dalam tungku pengorbanan. Mereka berdiri bertumpu pada satu kaki dengan menginjakkan ibu jarinya. Tapanya sangat kuat dibawah terik matahari dan ditujukan kepada Hyang Aditya. Tapanya sangat lama dan para dewa ribut mencari upaya supaya tapanya urung. Bidadari ciptaan yang cantik tidak mempan menggodaya. Bhatara Brahma berkenan turun dan memberi anugrah berupa kesaktian yang tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun kecuali oleh mereka berdua.

Ketiga dunia dikuasai, tidak ada lagi kurban, tidak ada lagi mantra, asrama dihancurkan dan sedihlah para dewa.

Bhatara Brahma dihadap oleh para dewa untuk mohon supaya kedua detya itu terbunuh. Diperintahkanlah Sang Wiśwakarma untuk menciptakan putri cantik dan molek yang sekiranya dapat menawan hati dua raksasa bersaudara itu. Biji

(36)

28 Satila (wijen) dikumpulkan dan diciptakan dengan hati-hati putri yang sangat cantik diberi nama Tilotama. Para dewa pun tertawan melihat kecantikan Tilotama. Bhatara Indra tidak bosan-bosannya memandang diciptakanlah mata seribu, demikian juga Rudra agar tidak malu menoleh mengikuti Tilotama dia ciptakan muka empat arah. Setelah menghanturkan sembah kepada Dewa Brahma, Tilotama pergi menuju ke tempat Detya Sunda dan Upasunda. Kebetulan di puncak Gunung Windya mereka sedang berpesta, dengan bunyi-bunyian dan tari- tarian serta berbagai makanan dan minuman. Dua raksasa mabuk berdiri menuju taman dekat tempat pesta. Di sana Tilotama berpura-pura memetik bunga.

Tilotama menjadi rebutan raksasa Sunda Upasunda, masing-masing memegang sebelah tangannya. Mereka saling membentak bahwa putri itu adalah miliknya.

Terjadilah perkelahian yang seru, lupa akan persaudaraan dan kasihnya. Kedua raksasa itu akhirnya sama-sama tewas dengan tubuh berlumuran darah.

Hendaknya maharaja jangan sampai demikian karena memperebutkan putri.

Bila ada salah seorang datang menyusul saudaranya ketika bersama dengan Draupadi, hendaknya pergi ke hutan melakukan brahmacari selama 12 tahun. Demikian perjanjian yang hendaknya disepakati supaya selalu bersatu, tentram, dan saling mengasihi. Demikian kata Bhagawan Narada dan Sang Pandawa mengikuti perintah itu. Bhagawan Narada kemudian secara gaib hilang dari tempatnya.

Selanjutnya pada bagian ini Arjuna secara tidak sengaja masuk ke dalam kamar Maharaja Yudhisthira ketika sedang bersama Draupadi. Arjuna mengambil panahnya untuk mengejar pencuri lembu sang brahmana yang tinggal di

(37)

29 Indraprasta. Sesuai dengan perjanjian Sang Narada kemudian selama 12 tahun Arjuna pergi ke hutan mengasingkan diri dari saudara-saudaranya. Arjuna pergi ke berbagai tempat. Pintu air di gunung Himalaya yang merupakan sumber sungai Gangga dikunjungi dan mengadakan kurban air. Perjalanan Arjuna ke arah timur mengunjungi asrama-asrama yang sempurna di hutan Naimisa. Kośikinadi dan Kalinggadesa juga dikunjunginya. Perjalanan Arjuna ke arah selatan sampai di Manāyuradeśa, jauh terus ke selatan sampai di sebuah gunung suci tepi laut Daksina yang bernama gunung Gokarna. Dari Gokarna menuju arah barat sampai tiba di pemandian suci orang-orang Dwarawati wilayah raja Kresna. Para bangsa Yadu mendengar bahwa Arjuna sedang berada di sana dan dijemput serta dijamu dengan hidangan yang istimewa. Arjuna tertarik dengan Dewi Subadra putri Maharaja Basudewa. Pasangan ini kemudian dikawinkan dengan upacara yang sempurna. Setelah setahun berada di Dwarawati sampai menunggu waktu dua belas tahun masa pengasingannya, Arjuna kemudian kembali ke Indraprasta dan disambut keluarganya dengan segala suka cita.

Bagian terakhir yaitu bagian ke delapan belas dari kitab Adiparwa berisi cerita tentang kunjungan Kresna dan semua keluarga Yadu ke Indraprasta. Mereka menyerahkan barang-barang warisan Maharaja Basudewa. Mereka semua dijamu oleh maharaja Yudhisthira, setelah beberapa lama mereka kembali ke Dwarawati kecuali Sang Kresna karena tertawan hatinya oleh Maharaja Yudhisthira. Setelah beberapa lama di sana sampai Sang Subadra memiliki putra yang diberinama Abimanyu. Demikian pula Dewi Draupadi memiliki lima orang putra. Putra dari Yudhisthira bernama Bratiwindya, putra dari Bima bernama Sutasena, putra dari

(38)

30 Arjuna bernama Srutakarma, Prasani putra dari Nakula, dan Srutasena merupakan putra dari Sahadewa.

Cerita terbakarnya hutan Khandawa tempat Naga Taksaka merupakan isi terakhir dari kitab Adiparwa. Dewa Agni menyamar menjadi brahmana berambut panjang, berkumis kemerahan, dan mengenakan kalung hitam. Agni menemui Arjuna dan Kresna yang sedang berada di tepi sungai Yamuna memohon bantuan untuk menjaganya supaya tetap menyala karena usahanya selalu dihalangi oleh Dewa Indra dengan menurunkan hujan. Arjuna dan Krsna membantu Dewa Agni sehingga hutan Kandhawa tempat para naga dan raksasa beserta isinya terbakar habis. Tetapi empat ekor anak burung puyuh beserta induknya tidak dibakar oleh Agni karena merupakan anak dari pendeta Mandapala yang menyamar menjadi burung puyuh jantan. Penjelmaan itu dilakukan supaya dia bisa menghasilkan keturunan sehingga dapat pulang ke alam leluhur. Alam leluhur hanya bisa dicapai dengan melakukan korban dan tapa. Tetapi pendeta Mandapala hanya bertapa tidak memiliki keturunan.

Geguritan yang bersumber dari Adiparwa sebagai berikut; Geguritan Adiparwa, Geguritan Pariksit Pralaya, Peparikan Adiparwa, Geguritan Sarpayajnya, Geguritan Dasapandawa, Geguritan Tirta Amerta.

2. Wirataparwa

Kitab Wirataparwa merupakan kitab ke empat dari Astadasaparwa. Isi ceritanya ketika Pandawa bersama Draupadi dalam masa pembuangannya selama 12 tahun di hutan tidak terlacak oleh seratus Korawa dan mata-matanya. Masa

(39)

31 penyamarannya merupakan masa-masa sulit dan menentukan. Mereka menentukan tempat penyamarannya di kerajaan Matsyapati karena negaranya aman dan menjunjung kebenaran. Yudishtira menyamar menjadi seorang brahmana Dwijakangka yang memiliki kepandaian bermain catur. Sang Bima bernama Ballawa kemampuan juru masak yang baik, ahli gulat, dan menangkap binatang-binatan liar. Sang Arjuna memakai nama Wrehamala menyamar sebagai seorang banci memiliki pengetahuan mengajar seni musik dan tari di keputrian.

Sang Nakula bernama Granthika menjadi kusir kereta, mengethui ciri-ciri kuda, dan mengobati kuda. Sang Nakula bernama Tantiphala bisa mengembalakan lembu dalam jumlah banyak, tahu ciri-ciri lembu yang bagus, serta ahli memeras air susu lembu. Dewi Draupadi bernama Serandri memiliki pengetahuan tentang wangi-wangian. Bias merias rambut serta mau menjadi pelayan pribadi Ratu Sudesna istri Raja Wirata.

Setelah Pandawa dan Dwi Dropadi siap dalam rencana penyamarannya menuju negeri Wirata. Bhagawan Domya memberi instruksi agar mereka selalu waspada, menanggalkan kesatriaannya, serta mengaku menjadi penduduk desa pinggiran. Tidak boleh marah, selalu mengikuti perintah, mengerjakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya, tidak menggurui. Melindungi diri dengan sewajarnya, serta banyak lagi petuah-petuah yang diberikan Bhagawan Domya. Setelah itu Bhagawan Domya dan pengiringnya kembali ke kerajaan Draupada. Pengiring yang berasal dari keluarga Sang Kresna kembali ke Dwarawati, mereka semua sepakat jika ada yang bertanya bahwa mereka ditinggalkan oleh Pandawa di

(40)

32 tengah hutan dan tidak diketahui ke mana perginya Sang Pandawa beserta Dewi Draupadi.

Sampailah Panca Pandawa dan Dewi Draupadi di kerajaan Wirata mereka semua masuk ke dalam kerajaan secara bergantian. Tersebutlah mahapatih Kicaka yang merupakan saudara dari permaisuri ratu Sudesna. Mahapatih Kicaka tertarik dengan kecantikan Serandri. Berkali-kali Serandri menolak menjadi pendamping patih Kicaka dengan alasan bahwa dirinya telah memiliki suami Gandarwa makhluk halus yang menjaganya. Kicaka meminta kepada Ratu Sudesna memaksa Serandri pergi ke tempat patih Kicaka membawa makanan kesukaannya. Di dalam kamar Serandri hendak diperkosa oleh Patih Kicaka namun ia berhasil lolos dan berlari, dikejar oleh Kicaka dan ditarik rambutnya. Serandri memusatkan pkiran dan berdoa sehingga ia dapat mendorong patih Kicaka untuk melepaskan diri.

Kicaka jatuh terjembab bagaikan pohon randu tumbang. Banyak yang memuji kesetiaan Serandri dan mengutuk perbuatan patih Kicaka. Sang Dwijakangka kebetulan juga melihat kejadian itu, dia tidak dapat berbuat apa-apa hanya menyarankan Serandri agar menahan diri dan kembali ke tempatnya bekerja karena waktu penyamaran hanya tinggal beberapa hari lagi. Hal tersebut kemudian disampaikan kepada Belawa agar mau mengobati sakit hatinya dengan menghabisi patih Kicaka. Sang Belawa berjanji untuk membunuh Kicaka dengan segera.

Pada keesokan harinya patih Kicaka kembali datang merayu Serandri.

Rayuan itu diterimanya dan disuruhlah Kicaka datang tengah malam di balai tempat berlatih menari. Siasatnya itu disampaikan kepada Belawa, Bhimasena pun

(41)

33 masuk menggantikan Serandri. Patih Kicaka pun membelai namun terasa sangat berbeda, besar kekar. Dia menyadari bahwa itu bukan Serandri, segera mau menjambak dan memukul kepalanya namun Belawa dengan sigap menghindar.

Perkelahian sengit terjadi, saling pukul, saling tending dan bergulat. Keduanya jatuh terjembab dan segera bergulat lagi, akhirnya kekuatan patih Kicaka mulai menurun. Di saat itulah Bima meremukkan kepala dan tubuh Kicaka sehingga mayatnya tidak dikenali lagi. Serandri kemudian menyampaikan kepada para penjaga bahwa Patih Kicaka terbunuh oleh Panca Gandarwa suaminya.

Adik Kicaka yang bernama Upalucaka menuduh dan melibatkan Serandri, sehingga Serandri harus ditangkap dan dibakar bersama mayat Kicaka. Serandri menangis meminta tolong, Belawa menenangkannya agar Belawa bisa memusatkan pikirannya. Oleh para keluarga Kicaka, Belawa terlihat seperti raksasa penghancur. Menghancurkan tembok istana, mencabut pohon-pohon besar, dan mengejar orang-orang yang ingin menghukum Serandri. Seratus lima orang tergeletak terbunuh oleh Belawa. Ratu Sudesna kemudian menyuruh Serandri untuk pergi meninggalkan istana, namun Serandri memohon bertangguh tiga belas hari lagi menunggu masa penyamarannya usai. Serandri memberi alasan menunggu suaminya Panca Gandarwa akan datang menghadap raja untuk memohon maaf dan berterimakasih kepada raja Matsyapati. Hal itu disetujui oleh keluarga raja kerajaan Wirata.

Dalam masa tahun tiga belas Korawa dengan sia-sia melacak tempat persembunyian Pandawa dan Draupadi. Mata-mata yang disebar kembali tanpa hasil, bahkan mereka membawa kabar kematian Kicaka panglima di Wirata. Raja

(42)

34 Trigata yaitu Susarma yang merupakan raja tetangga merasa mendapatkan kesempatan untuk menyerang kerajaan Matsyapati. Keinginan itu mendapat persetujuan dan segera dilaksanakan, pasukan Korawa juga ikut dalam penyerbuan itu. Para gembala kerajaan Matsyapati yang berhasil lolos membawa kabar ke kerajaan. Raja Matsyapati segera berangkat bersama pasukannya menghadapi serbuan pasukan Trigata. Pada awalnya raja Matsyapati tertangkap namun berhasil dibebaskan oleh Pandawa. Putra raja Wirata pangeran Uttara pergi menyelamatkan ayahnya yang keretanya dikemudikan oleh Wrhatmala.

Diperintahkanlah Wrhatmala dengan sambil ditertawai mengganti pakaiannya selaku penjaga keputren dengan pakaian prajurit. Serandri mengatakan bahwa dahulu Wrhatmala pernah menjadi pengemudi kereta. Setibanya di medan laga pangeran Uttara sangat ketakutan dan melompat dari kereta melarikan diri, namun dapat dikejar oleh Wrhatmala da mengungkapkan identitasnya. Uttara kembali ke medan perang dan menggantikan Arjuna yang sebelumnya sebagai pengemudi kereta. Arjuna kemudian kembali mengambil senjata yang selama ini disembunyikannya. Dalam keadaan itu Koarawa semakin curiga bahwa yang tengah dihadapinya adalah Arjuna.

Pertempuran segera meletus, petinggi-petinggi pasukan Korawa seperti Krpa, Drona, dan Aswatama putra Drona, Karna, Bhisma, Duryodhana mengalami kesulitan mengalahkan Arjuna. Dengan bantuan panah ajaib yang bernama Wimohana, sang Arjuna menghabisi musuh-musuhnya kemudian melucuti pakaian dan perlengkapan perang lawannya untuk diserahkan kepada putri-putri di keputren sesuai dengan janjinya. Setelah tujuh hari berlalu, Panca

(43)

35 Pandawa menampakkan dirinya dengan berpakaian lengkap sebagai kesatrya dan terperanjatlah raja beserta para hambanya. Arjuna menerangkan bagaimana semua ini bisa terjadi. Raja Matsyapati kemudian meminta supaya Yudishtira mau naik tahta sebagai ucapan terimakasih. Demikian pula Arjuna supaya mau menerima Dewi Uttari sebagai istrinya. Tawaran itu semua ditolak, dan disuruhlah Abimanyu untuk menggantikannya menjadi suami Uttari. Terjalin hubungan lebih dekat antara Kerajaan Wirata dan Pandawa.

Geguritan yang bersumber dari Wirataparwa adalah; Geguritan Kicaka, Geguritan Abimanyu Wiwaha, dan Peparikan Wirataparwa

3. Udyogaparwa

Berisikan persiapan perang antara Pandawa dan Korawa. Pandawa dengan selamat telah menjalani masa penyamarannya selama tiga belas tahun di hutan.

Masa penyamaran setahun yang penuh dengan pengintaian berhasil diselesaikannya dengan mulus. Mereka kemudian pergi meninggalkan Wirata menuju ke Upaplawya yang juga masih merupakan wilayan negeri Matsyapati.

Pandawa tidak lagi hidup sembunyi-sembunyi, telah kembali menjalani kehidupan seperti biasa dan menampakkan diri sebagai ksatria dari Upaplawya mereka mengirim utusan atau wakil untuk memberitahukan dan bertemu dengan sanak keluarga atau handaitaulan.

Utusan dikirim ke Hastinapura oleh Pandawa untuk meminta kembali kerajaan yang dahulu dipertaruhkan oleh Pandawa. Pendeta negeri Pancali yang diutus gagal menyampaikan keinginan Pandawa. Usaha perdamaian selalu

(44)

36 diupayakan, tetapi pihak Korawa tetap pada pendiriannya tidak mau menyerahkan sejengkal tanah pun kepada Pandawa. Widura memberikan nasihat kepada raja Dhrstarastra mengenai kewajiban selaku seorang raja. Utusan yang bernama Sanjaya menyampaikan dalam pertemuan para Korawa bahwa Pandawa bersedia menempuh jalan damai, tapi juga memiliki semangat berkobar serta kemampuan perang yang tidak terkalahkan. Pada kesempatan tersebut Bhisma, Drona, dan Widura juga menasihatkan agar persoalan diselesaikan secara persahabatan.

Usaha-usaha untuk mencapai perdamaian selalu terbentur pada semangat permusuhan dari pihak Duryodhana, Karna, dan Dusasana.

Pihak Pandawa mengusahakan agar Kresna berangkat ke Hastinapura untuk menyampaikan pesan perdamaian. Tetapi sikap Satyaki yang berseru angkat pedang oleh hampir seluruh hadirin disetujui. Draupadi hanya memiliki keinginan untuk membalas dendam atas penghinaan dirinya serta suami-suaminya tiga belas tahun yang lalu oleh para Korawa. Kresna kembali ke Upaplawya wilayah kerajaan Wirata melaporkan kegagalan tugasnya sebagai duta perdamaian.

Dengan demikan tinggalah jalan terakhir yaitu kekerasan untuk menghadapi musuh.

Kedua belah pihak mempersiapkan diri untuk pertempuran yang menentukan dan mencari-cari sekutu. Duryodhana sebagai utusan Korawa dan Arjuna sebagai utusan Pandawa berangkat pada waktu bersamaan menuju kediaman Kresna. Keduanya sampai di istana Kresna dalam waktu yang bersamaan dan langsung masuk walaupun Kresna diberitakan sedang tidur.

Duryodhana masuk terlebih dahulu duduk di kursi dekat hulu tempat tidur.

(45)

37 Sedangkan Arjuna berdiri tegak dengan tangan tercakup di bagian kaki tempat tidur. Ketika Wasudewa terjaga, matanya langsung tertuju kepada Arjuna yang berdiri memberi hormat. Kemudian menoleh kearah Duryodhana, kemudian bertanya kepada keduanya. Duryodhana mengambil kesempatan pertama untuk bicara, dia mengatakan bahwa perang segera terjadi dan Kresna harus membantunya. Engkau tidak mengatakan bahwa salah seorang di antara kami lebih dekat, dan aku datang kemari lebih dahulu dari Arjuna. Sebagai tradisi bahwa yang datang lebih dahulu harus diberikan pilihan paling pertama.

Kresna menjawab ‘wahai Duryodhana, engkau boleh jadi datang terlebih dahulu, tetapi Arjuna yang aku lihat pertama ketika aku membuka mata terbangun dari tidur’. Menurut tradisi yang lebih muda diberikan kesempatan untu memilih pertama. Arjuna tanpa ragu memilih Kresna sendiri walaupun tanpa senjata dalam artian tidak ikut panah memanah. Duryodhana tidak dapat menahan kegembiraannya. Dia berpendapat bahwa pilihan Arjuna adalah pilihan yang tolol.

Akhirnya Duryodhana dengan sangat senang menerima bantuan dari Kresna berupa seluruh pasukan yang gagah perkasa.

Kedua pasukan bersiap-siap untuk bertempur menuju Kuruksetra sebagai medan pertempuran pasukan berbaris menuju Kuruksetra dengan mendapatkan instruksi-instruksi dalam peperangan yang segera meletus. Drastadyumna putra raja Drupada, adik dari Dewi Draupadi menjadi panglima di pihak Pandawa.

Sedangkan pihak Korawa, kakek Bhisma menjadi senapati. Bhisma sempat mengatakan bahwa dia tidak akan menyerang Srikandi walaupun dia diserangnya.

Bisma membenarkan sikapnya dengan mengungkapkan asal-usul Srikandi yang

(46)

38 dalam kelahiran sebelumnya pernah menjelma menjadi Dewi Amba putrid raja Kasi yang kemudian pernah dilarikan oleh Bhisma.

Geguritan yang bersumber dari Udyogaparwa adalah Geguritan Udyogaparwa.

4. Bhismaparwa

Peperangan antara Pandawa dan Korawa tidak dapat dielakkan lagi, tidak ada harapan untuk berdamai. Pandawa mengatur pasukannya menjadi tujuh divisi, dengan panglimanya; Raja Draupada, Raja Wirata, Drstadyumna, Srikandi, Satyaki, Chekidana dan Bhimasena.

Para pahlawan bersorak bagaikan singa meraung-raung. Genderang ditabuh, gong dipalu, terompet perang ditiupkan dengan suara menderu-deru di angkasa sebagai pertanda bahwa segala telah siap dihantamkan kepada musuh dalam pertempuran.

Kedua belah pihak telah menempati tempat masing-maing. Norma-norma yang mengikat setiap orang yang turut bertempur segera diumumkan. Tiap hari perang dihentikan ketika waktu senja kala matahari terbenam. Masing-masing kubu kembali ke markas pertahanannya untuk beristirahat. Apabila ada yang mundur dan terjatuh, apalagi menyerah tidak boleh lagi diserang atau dipukul.

Sementara itu Bhagawan Byasa datang menengok raja Dhrstarastra dan menasehatinya agar bersikap pasrah menerima nasib. Pengemudi kereta Dhrstarastra agar melihat peperangan dari jarak jauh kemudian segera memberitahukan kepada raja Dhrstarastra.pada pertempuran hari pertama Bhisma

Referensi

Dokumen terkait

Kedua variabel merupakan indikator dari konsep yang sama Contoh: jantung berdenyut cepat tangan berkeringat Indikator dari konsep tingkat kecemasan1. Kedua variabel merupakan

Menurut Eggan dan Kauchak dalam Heriawan (2012, h. 5) mendefinisikan pembelajaran kooperatif sebagai sekumpulan strategi mengajar yang digunakan guru agar siswa saling

Kita telah mempelajari bagian-bagian yang terdapat pada mata, baik itu bagian luar maupun dalam. Akan tetapi, agar kita dapat melihat suatu benda, ternyata masih ada unsur lain

Kegiatan pemantauan keliling dilakukan secara berkala, 3 bulan sekali untuk mendapatkan kecenderungan (perubahan berdasarkan waktu). Pemantauan dilaksanakan selama 1-3

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian 50% ampas bir pada konsentrat dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan ukuran lingkar

Secara umum proses sertifikasi mencakup : peserta yang telah memastikan diri kompetensinya sesuai dengan standar kompetensi untuk paket/okupasi Operator Kran Jembatan s/d

Tingkat pengetahuan ibu di desa Poncorejo Gemuh tentang DBD yang mayoritas memiliki tingkat pengetahuan yang kurang, karena adanya faktor pendidikan yang kurang

Warna juga dapat menjadi media terapi yang baik pagi penderita stres di dalam suatu ruangan baik nantinya warna tersebut hanya di aplikasikan melalui tampilan material