• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahabharata Jawa Kuna dan Penciptaan Geguritan di Bali

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR HIBAH GRUP RISET UDAYANA (Halaman 19-56)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Mahabharata Jawa Kuna dan Penciptaan Geguritan di Bali

Bersyukur dan beruntunglah bangsa yang memiliki karya sastra. Lewat karya sastra banyak hal dapat diketahui dan dipelajari. Terutama dalam kehidupan praktis sehari-hari. Dua sisi dualistik yang dekat dengan kehidupan yaitu baik dan buruk. Baik dan buruk bukan dengan ukuran nisbi, tetapi baik-buruk berdasarkan ukuran kebenaran dengan bertimbang pada rasa dan logika. Dualistik ini sangat tampak dalam cerita Mahabharata ‘kebesaran suku Bharata’ dalam klimaks cerita pada kehidupan Pandawa dan Korawa, sampai terjadinya perang dahsyat di medan Kuruksetra selama delapan belas hari. Perang berakhir dengan kekalahan di pihak Korawa yang berwatak buruk dan diselimuti kejahatan.

Epos Mahabharata sangat tua berasal dari India dengan menggunakan bahasa Sanskerta. Epos besar ini disusun oleh pengarang mistik bernama Bhagawan Wyasa atau ada juga yang mengatakan Bhagawan Byasa. Nama lengkap beliau adalah Krishna Dwipayana Wyasa. Beliau lahir di sebuah ‘dwipa’

yang mulanya merupakan sebuah perahu di tengah-tengah sungai Yamuna. Beliau adalah cucu dari Bhagawan Wasista dan putra dari hasil perkawinan Bhagawan Parasara dengan Dewi Sayojanagandhi. Setelah beliau segera menjadi dewasa dan dididik dalam lingkungan kehidupan keagamaan dan kesusastraan oleh ayahnya, serta segera dapat merapalkan weda. Beliau banyak tahu dan terlibat dalam cerita Mahabharata. Bhagawan Byasa diminta oleh ibunya untuk melangsungkan

12 upacara keturunan ketika keturunan Bharata hampir punah. Maka lahirlah Sang Drestarastha, Sang Pandu, dan Sang Widura. Bhagawan Wyasa menasehatkan kepada Pandawa ketika berada di hutan setelah lolos dari rumah damar untuk pergi ke negeri Ekacakra. Dari Ekacakra disuruh untuk mengikuti swayambara di kerajaan Drupada. Bhagawan Byasa menyelamatkan putra-putra Gandari yang lahir berupa potongan-potongan daging. Gumpalan daging itu dimasukkan ke dalam seratus periuk yang diisi dengan susu dan diberi mantra dan lahirlah bayi-bayi itu menjadi para Korawa. Bhagawan Wyasa ketika perang antara Pandawa dan Korawa yang sudah tidak dapat didamaikan lagi datang member kekuatan dan ilmu jarak jauh kepada Sanjaya. Sehingga kusir kereta sekaligus sahabat raja Drestarastra itu dapat mengetahui jalannya peperangan. Banyak lagi peristiwa-peristiwa penting dan nasihat-nasihat yang berhubungan antara Bhagawan Wyasa dan keturunan Bharata tersebut. Dengan demikian beliau diyakini sebagai penyusun Epos Besar Mahabharata.

Para peneliti cerita Mahabharata, terutama Ch.Hassen memfokuskan penelitiannya terhadap sejarah perkembangan Epos Mahabharata secara kritis pada tahun 1837. Beliau berpendapat bahwa cerita tersebut orisinilnya lahir kira-kira pada tahun 400 – 500 Sebelum Masehi (dalam Pendit, 1980:XVI).

Perkembangan selanjutnya dalam bentuknya sekarang secara keseluruhan, epos Mahabharata mengandung berbagai dongeng, legenda (purana), mitos, falsafah, sejarah, kosmologi, geologi, geografi, dan sebagainya. Bahkan di dalam ajaran agama Hindu epos Mahabharata disebut dengan lakon-lakon yang menarik yang di dalamnya berisi ajaran-ajaran suci (Parisada Hindu Dharma, 1978: 42). Cerita

13 itu mengandung nilai-nilai yang sifatnya universal, tidak hanya untuk sekelompok orang atau golongan maupun agama atau suku tertentu. Dengan demikian menjadi sangat terkenal dan digemari sehingga naskah-naskahnya terpencar dari Tmur Tengah sampai Indonesia. Bahasanya pun beragam sesuai dengan kebutuhan antara lain bahasa-bahasa Nepali, bahasa Mathili, Bengali, Dewanagari, Telugu, Grantha, dan Malayalam. Naskah yang agak kemudian ditemukan adalah dalam bahasa Jawa Kuno abad ke-10, dalam bahasa Kasmir abad ke-11 dan bahasa Persia pada jaman pemerintahan Akbar (Pendit, 1980:XX).

Cerita Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuna tersaji dalam bentuk prosa yang di Indonesia maupun Bali lebih dikenal dengan sebutan parwa ‘bagian’.

Bagian yang dimaksudkan di sini adalah episode-episode yang tertuang menjadi delapan belas (18) parwa yang kemudian lebih sering disebut Astadasaparwa.

Astadasaparwa digubah pada masa pemerintahan raja-raja yang bersifat Hindu di Jawa Timur. Pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh Anantawikrama Tunggadewa tahun 991-1016 (Soekmono, 1973: 52), terdapat suatu usaha mengalihkan karya yang tertuang dalam batin Byasa ke dalam bahasa Jawa Kuna, dan Zoetmulder menyebutnya dengan “mangjawaken Byasamata” (1983:101).

Bahasa Jawa yang dimaksudkan pada masa itu adalah bahasa Jawa Kuna yang ada sekarang. Delapan belas (18) parwa berhasil disusun pada masa itu, namun yang ada kita warisi sekarang adalah delapan (8) parwa. Sepuluh (10) parwa lagi tidak atau belum sampai kepada kita dan ini merupakan tantangan bagi peneliti-peneliti Jawa Kuna untuk menemukannya. Dalam hal ini pula kepada Bali-lah kita

14 berhutang budi karena di sana sastra Jawa Kuna diselamatkan(Zoetmulder, 1983: 47).

Parwa-parwa sebagai hasil ‘proyek’ pada masa itu di Bali digubah lagi menjadi karya-karya sastra daerah Bali dengan bahasa yang lebih muda yang dapat dimengerti oleh generasi lebih muda. Dengan demikian pokok cerita, pesan yang tertuang dalam cerita sumbernya tidak hilang dan dapat diketahui secara berkelanjutan oleh generasi penerusnya. Adapun delapan (8) parwa yang dimaksud, yang sampai kepada kita akan dikemukakan ringkasan isinya.

1. Adiparwa

Adiparwa merupakan kitab pertama dari kitan Astadasaparwa yang bersumber dari epos besar India Mahabharata. Hanya disajikan berupa cerita berganda atau berantai yaitu seorang menceritakan orang lain, orang lain itu menceritakan lagi orang lain begitu seterusnya. Setelah diteliti dapat dikemukakan isi ringkas dari kitab Adiparwa sebagai berikut.

Pada bagian awal menceritakan berlalulah jaman kekosongan dan tibalah jaman penciptaan. Ditakdirkanlah penjelmaan berbagai macam makhluk dan segala sesuatunya oleh Beliau Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Demikian pula peghormatan disampaikan kepada Raja Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa sebagai pengayom keberhasilan tersusunnya kitab Adiparwa.

Selanjutnya diceritakan Bhagawan Sonaka melaksanakan kurban di hutan Nimisa selama dua belas tahun. Ketika kurban sedang berlangsung datanglah

15 putra Sang Romaharsana yang bernama Ugrasrawa. Beliau sudah mempelajari dengan sempurna buku Brahmanda Purana dan Mahabharata yang diberikan oleh gurunya Bhagawan Byasa. Sang Urgrasrawa disambut dengan hormat sebagai tradisi dan ikut dalam pelaksanaan upacara kurban. Beliau menceritakan kegagalan korban ular yang dilangsungkan oleh Maharaja Janamejaya. Naga Taksaka yang menggigit orang tuanya Maharaja Parikesit tidak berhasil mati dalam kurban tersebut walaupun ular-ular kebanyakan habis terbakar dalam tungku kurban. Maharaja Janamejaya menjadi sedih. Oleh karena itu Bhagawan Waicampaya melipur kesedihannya dengan menceritakan Astadasaparwa. Isi pokoknya menceritakan peperangan Korawa melawan pandawa di Kuruksetra.

Bhagawan Bhisma menjadi senapati Korawa selama sepuluh hari dikalahkan oleh arjuna yang dibantu oleh Srikandi. Diteruskan oleh Guru Drona selama lima hari dan mati terpenggal oleh Drstadyuma. Sang Karna menggantikan selama dua hari dan gugur oleh Arjuna. Sang Salya melanjutkannya setengah hari dan terbunuh oleh Sang Yudhishtira. Sore harinya dilanjutkan oleh Duryodhana dan kalah remuk pahanya oleh Bhimasena.

Pada bagian berikutnya diceritakan Sang Sretusena melakukan kurban atas perintah Raja Janamejaya. Ketika upacara kurban berlangsung datang seekor anjing bernama Sarameya menyaksikan upacara kurban tersebut. Anjing itu dipukul oleh Sang Srutasena. Sarameya menangis dan mengadu kepada ibunya Sarama. Sedihlah Sang Sarama dan datang ke tempat pelaksanaan kurban menegur Sang Srutasena. Dengan memukul Sang Sarameya yang tidak bersalah maka bahaya akan datang mengancam. Untuk mengakhiri kutukan tersebut

16 maharaja mencari brahmana sakti yang bernama Sang Srutasrawa dan putranya Sang Somasrawa.

Bagian kitab berikutnya mengisahkan Bhagawan Domya dan pertapaannya di Negeri Ayodya. Beliau mempunyai murid tiga orang bernama Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Semuanya diuji tentang ketaatan dan bakti kepada guru. Sang Arunika bersawah, mengerjakan sawah dengan berbagai macam cara setelah berhasil dianugrahi ilmu dharma. Sang Utamanyu mengembalakan lembu dengan sangat hati-hati. Utamanyu dilarang memakan hasil meminta-mintanya, demikian juga air susu sisa anak lembu menyusu di induknya. Laparlah dia dan menghisap getah widuri. Getah itu panas temus sampai ke matanya sehingga dia menjadi buta. Dia terperosok ke dalam sumur mati dan keesokan harinya ditemukan oleh gurunya dan dianugrahi mantra Dewa Aswino. Dengan mengucapkan mantra tersebut sembuhlah dia dari kebutaan serta dianugrasi ilmu sempurna terhindar dari ketuaan. Sang Weda diuji dengan tinggal di dapur menyediakan hidangan. Serba baik persembahan Sang Weda kepada gurunya dan selalu mengikuti jejak sang guru sehingga dianugrahilah dia segala macam ilmu pengetahuan, mantra dan kecerdasan.

Dilanjutkan dengan menceritakan Bhagawan Brgu, putra Dewa Brahma mempunyai istri sangat pandai bernama Sang Puloma. Ketika Bhagawan Brgu mandi datanglah raksasa Duloma ang mengaku bahwa ketika Sang Puloma masih kecil dia diberikan kepada raksasa Duloma untuk menjadi suaminya. Sanghyang Agni (api) berdusta dengan membenarkan kesaksian itu. Oleh karena itu Sanghyang Agni dikutuk oleh Bhagawan Brgu memakan segala tidak memilih

17 barang yang dibakarnya. Kutukan Bhagawan Bregu kepada semua makhluk sinar Sanghyang Agni sangat panas dan dapat membakar segalanya sampai yang buruk sekalipun. Adapun sifat kedewaannya bukan sarwabhaksa tetapi melaksanakan segala macam kurban.

Selanjutnya, adalah cerita Sang Ugrasena kepada Sang Sonaka. Dia menceritakan Sang Jaratkaru putra seorang Wiku terpilih atas ketetapan budinya yang tidak kelekatan terhadap cinta hanya bertapa saja. Setelah Sang Jaratkaru menamatkan segala mantra dia diperolehkan memasuki segala tempat yang dikehendakinya. Sampailah ia ke tempat antara sorga dan neraka yaitu Ayatnastana. Disana dijumpai leluhurnya tergantung kekeringan pada sebilah bambu. Kakinya diikat diatas dengan wajah telungkup menghadap ke bawah dan di bawahnya terdapat jurang dalam menuju neraka. Seekor tikus tinggal dalam buluh itu setipa hari mengerat buluh itu. Jaratkaru menolongnya dengan mau berumahtangga dan memiliki keturunan. Dengan demikian leluhurnya menjadi terbebas dan segera masuk surga. Setelah perkawinan dilangsungkan maka lahirlah segera putranya yang diberi nama Sang Astika. Ketika itu pula lah leluhur Jaratkaru terlepas dan melayang kembali ke sorga mengenyam hasil tapanya terdahulu.

Cerita dilanjutkan dengan kalahnya para raksasa oleh para dewa dalam memperebutkan tirta amerta (air kehidupan). Pulanglah Dewa Wisnu ke Wismaloka diiringi oleh para pengikutnya. Sampai di tempat dewa Wisnu serta para dewa meminum amerta karena itu para dewa hidup kekal tidak mengenal kematian. Mendengar hal tersebut raksasa anak Sang Wipracitti ingin

18 mendapatkan tirta tersebut. Kemudian menyamar menjadi dewa hal tersebut diketahui oleh Sanghyang Aditya dan Sanghyang Candra segera memberitahukan kepada Dewa Wisnu. Ketika amerta itu baru sampai di kerongkongannya, cakra dewa wisnu memenggal kepalanya. Karena kesucian tirta amerta itu kepala Kala tetap melayang di angkasa tetapi badannya mati jatuh ke bumi karena belum terkena tirta amerta.

Pada bagian ini juga berisi tentang cerita Sang Winata dan Sang Kadru bertaruh menjadi budak bagi yang kalah menerka warna kuda Uassaihcrawa.

Warna kuda sesungguhnya putih belaka kata Sang Winata yang memang sesungguhnya demikian. Sang Kadru mengatakan bahwa sang kuda yang keluar ketika mengebur samudra adalah putih dan ekornya berwarna hitam. Takut akan kalah Sang Kadru menyuruh anaknya para naga untuk menyembur dengan bisa ekor kuda Ussaihsrawa. Para naga menolak dan akhirnya dikutuk oleh ibunya agar dimakan dalam api kurban ular yang dilangsungkan oleh maharaja Janamejaya.

Akhirnya para naga mau menyembur ekor kuda tersebut dan menjadi berwarna hitam. Sang Winata kalah dalam taruhan itu dan menjadi budak Sang Kadru.

Bagian berikutnya kembali Sang Ugracrawa diminta bercerita oleh Bhagawan Sonaka. Cerita yang diinginkan adalah usaha para naga setelah dikutuk ibunya Sang Kadru menjadi gundah gulana, putus asa dan bersedih hati. Naga tertua anak Sang kadru bernama Anantaboga bertapa memuja Dewa Brahma. Dia diberi pekerjaan yang tidak kenal lelah untuk menahan bumi agar tidak bergoyang. Adapun saudara-saudaranya yang dipimpin Sang Basuki bersidang, mencari cara untuk mendapatkan ketentraman terhindar dari kutukan mati

19 terbakar dalam kurban ular Maharaja Janamejaya. Saudara bungsu para naga bernama Silapatra memberikan pendapat bahwa ada putra Sang Brahmana Jaratkaru namanya yang akan membebaskan kita dari kurban ular yang dilangsungkan Maharaja Janamejaya.

Bagian berikut Adiparwa menceritakan Raja Parikesit putra Sang Abimanyu dengan Dewi Uttari. Sang Prikesit dihidupkan kembali oleh Bhatara Kresna ketika terkena panah Sang Aswattama semasih dalam kandungan.

Parikesit dipelihara dan menggantikan Raja Yudhisthira. Dia juga suka berburu seperti Raja Pandu. Pada waktu berburu Parikesit mendapatkan kutukan dari Sang Srenggi putra Bhagawan Samitthi karena mengalungkan bangkai ular ke leher ayahnya yang sedang melaksanakan tapa. Kutuknya supaya Sang Parikesit dalam waktu tujuh hari mati digigit oleh Naga Taksaka. Taksaka menyamar berubah menjadi ulat kecil berdian di sungut jambu yang dihaturkan kepada Maharaja Parikesit dan membunuh Maharaja Parikesit dengan menggigit lehernya.

Mangkatlah Maharaja Parikesit dan digantikan oleh putranya. Peristiwa ini yang kemudian menyebabkan adanya kurban ular yang dilaksanakan oleh putra Parikesit yaitu Maharaja Janamejaya.

Bagian ke sembilan dari kitab Adiparwa ceritanya pendek. Mengisahkan setelah terjadinya korban ular yang ditanyakan oleh Bhagawan Sonaka kepada Sang Ugrasrawa. Naga yang mati tidak terhitung jumlahnya. Awal-awalnya yang masuk tungku pengorbanan adalah anak Naga Taksaka adalah anak Naga Airawana, anaknya naga Korawya semua sakti. Ada yang jatuh seratus ekor bersama-sama ada seribu ekor bersamaan. Ada yang berkepala lima, ada

20 berkepala tiga, maupun berkepala tujuh. Jumlahnya tidak dapat dihitung dengan pasti.

Pada bagian Adiparwa berikut berisi cerita penjelmaan para dewa yang menurunkan para Korawa dan Pandawa. Dimulai dari asal usul kelahiran Dewi Durghandini, gadis yang berbau amis yang lahir dari seekor ikan jelmaan bidadari yang terkena kutukan. Saudara Durghandini bernama Matsyapati yang kemudian menjadi raja di Negeri Wirata. Dewi Durghandini berhasil diobati oleh Bhagawan Parasara sehingga tubuhnya berbau harum dan bernama Dewi Sayojanagandhi.

Perkawinan Sayojanagandhi dengan Bhagawan Parasara melahirkan Bhagawan Wyasa (Kresna Dwipayana Wyasa). Diteruskan pula dengan cerita Sang Sakuntala yang kawin dengan Raja Sentanu dan melahirkan Sang Bharata dan menurunkan keluarga Bharata.

Pada bagian berikutnya menceritakan Bhagawan Wrhaspati menjadi guru para dewa. Bhagawan Sukra menjadi guru para daitya. Bhagawan Sukra menghendaki kemenangan daitya. Ia memuja Dewa Siwa selama seribu tahun dan mendapat anugrah mantra amrtasanjiwani yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati sekalipun. Bhagawan Wrhaspati mengetahui hal itu kemudian menyuruh Sang Kaca untuk mengabdi dan berguru kepada Bhagawan Sukra dengan harapan mendapat mantra tersebut. Setelah lima tahun mengabdi para raksasa menjadi irihati karena mengetahui bahwa pihak dewata menyuruh Sang Kaca mengabdi. Sang Kaca dibunuh dan mayatnya dibuang di padang rumput.

Atas permintaan putrinya Dewayani, Sang Kaca dihidupkan kembali.

21 Tentang Sang Kaca hidup kembali diketahui oleh daitya, mereka mencari daya upaya. Akhirnya Kaca dibunuh kembali, mayatnya dibakar, abunya dikumpulkan, dicampurkan ke dalam minuman tuak. Sisa abu juga dicampurkan ke dalam masakan dan dihidangkan kepada sang bhagawan. Bhagawan Sukra mabuk lupa tentang Sang Kaca yang kembali terbunuh. Dewayani memohon supaya Sang Kaca dihidupkan kembali. Bhagawan Sukra sangat kasihan kepada putrinya kemudian, mantra amrtasanjiwani dirapalkan. Sang Kaca mendengar dan mempelajari semasih dalam perut Bhagawan Sukra. Sang Sukra menyahut dari dalam perut Bhagawan dan telah mengetahui mantra tersebut dengan segala rahasianya. Kaca disuruh keluar oleh Sang Bhagawan Sukra dengan membelah perutnya dan meninggallah Bhagawan Sukra. Tetapi setelah Sang Kaca merapalkan mantra yang diberikan tadi akhirnya Bhagawan Sukra hidup kembali dan Kaca telah mendapatkan mantra itu dengan sempurna.

Pada bagian ke sebelas dari adiparwa juga berisi cerita Yayati memperistri anak pendeta Sukra. Tetapi Prabhu Yayati juga mengawini budaknya menjadi istri ke dua. Dengan demikian dia mendapat kutukan dari Pendeta Sukra menjadi tua sebelum waktunya. Tetapi bila ada satu di antara anak-anaknya yang mau menggantikan untuk menerima kutukan itu maka Yayati akan menjadi muda kembali. Semua putranya ditawari agar berkenan menggantikan kutuk itu, tidak ada yang mau kecuali yang paling bungsu bernama Sang Puru berkenan untuk menerimanya dan seketika itu juga menjadi tua. Dialah kemudian yang menjadi pewaris tahta kerajaan dan Sang Yayati muda kembali menikmati hidup keduniawian.

22 Bagian kedua belas kitab Adiparwa berisi cerita silsilah Pandawa dan Korawa. Mulai dari Kuru yang beristrikan Sang Kosalya. Melahirkan keturunan sampai yang namanya Sang Hasti yaitu putra dari Sang Sukotra yang beristrikan Sang Sawarna. Sang Hasti mendirikan kerajaan Hastinapura. Keturunan keturunan selanjutnya namanya Sang Kuru, putra dari Sang Tapati yang berisikan Sang Sambarana. Sang Kuru membuat tegal Kuruksetra tempat terjadinya perang Bharathayudha. Kemudian sampai nama Pratipa, Santanu, Bhisma, dan akhirnya sampai Korawa dan Pandawa.

Pada bagian tigabelas dari Kitab Adiparwa menceritakan penjelmaan Sanghyang Yama menjadi Sang Widura. Diceritakan ada seorang brahmana bernama Bhagawan Animandawya. Suatu ketika ada seorang pencuri yang menyembunyikan hasil curiannya di pertapaan Bhagawan Animadawya, ketika ditanyai sang bhagawan tidak menjawab karena melakukan tapa brata. Dia dikira ikut bekerjasama dengan pencuri dan dihadapkan kepada raja, si pencuri diperintahkan untuk dibunuh dan bhagawan Animandawya ditusuk namun tidak meninggal karena kekuatan tapanya. Hal demikian didengar oleh para resi dan pergi menengoknya. Semenjak itu sang bhagawan mengatakan ia tidak berdosa sama sekali tidak mengetahui asal usul pencuri karena sedang bertapa.

Para resi semua menjadi marah dan menghadap Bhatara Yama menanyakan kesusahan Bhagawan Animandawya. Kalau kesusahan itu yang ditanyakan bahwa pada masa dahulu ketika dia masih kanak-kanak sering melukai belalang dan menusuk lubang kotorannya. Itu dosanya dan sekarang diterimanya sehingga duburnya ditombak. Para resi menjawab, ”sangat kecil dosa Bhagawan

23 Animandawya sedangkan kesusahan yang diterimanya sangat berat”. Engkau menghukumnya tidak setimpal, semoga bhatara Yama lahir menjadi anak dari seorang sudra dan menjelmalah Bhatara Yama menjadi Sang Widura.

Para resi yang mengutuk Bhatara Yama kembali ketempat Bhagawan Animandawya. Mantra pelenyap sengsara diucapkan dan kelurlah potongan tombak melalui ubun-ubunnya sehingga Bhagawan Animandawya pulih kembali.

Bunyi hukuman dalam agama Hindu dipertegas lagi oleh para resi bahwa bagi anak-anak tidak sepantasnya mendapat hukuman karena belum tahu akan baik-buruk. Jika terjadi maka orang yang menjatuhi hukuman itu akan mendapat sengsara. Bagi orang yang berbuat dosa dan berumur empat belas tahun dapat diberikan hukuman.

Bagian ke empat belas kitab Adiparwa berisi cerita tentang pertanyaan Sang Maharaja Janamejaya kepada Sang Waiśampayana. Pertanyaannya mengenai keadaan seratus orang putra yang dilahirkan Sang Gandari dan Sang Pandawa putra Sang Pandu. Alkisah Bhagawan Byasa ingin mengakhiri tapanya dan pergi ke tempat Dewi Gandari supaya diberi makan. Makanan dan minuman (susu) disajikan dan menyebabkan senang hati beliau. Karena itu Bhagawan Byasa meminta Dewi Gandari untuk meminta berkah. Dia meminta berkah agar dianugrahi anak seratus orang, tiada lama berselang Dewi Gandari hamil, namun sudah dua tahun lamanya tidak juga kunjung melahirkan.

Terdengar bahwa Dewi Kunti berbahagia di Úataśrangga telah melahirkan Sang Yudhisthira. Gandari menjadi kecewa kemudian memukuli perutnya dengan harapan supaya segera melahirkan. Namun yang keluar bukanlah bayi tetapi darah

24 dan potongan-potongan daging sebesar ibu jari jumlahnya seratus. Bahagwan Byasa tahu keluarnya darah itu, maka datanglah dia dan khawatir kalau anak itu akan gagal. Anak yang seratus orang itu tidak akan batal, carilah seratus buah jun (tempayan) untuk tempat potongan-potongan daging itu. Pada jun tersebut isilah susu dengan penuh, jagalah dengan baik supaya menjadi anak. Demikian calon bayi itu dirawat dengan baik dan diberikan mantra. Setelah sepuluh bulan anak-anak itu lahir dengan sempurna dari dalam jun.

Bayi Panca Pandawa dan Seratus Korawa tumbuhlah menjadi anak-anak.

Kemudian Sang Bima maupun saudara-saudaranya selalu lebih unggul dari Sang Korawa. Hal ini menimbulkan iri hati para Korawa dan selalu berusaha untuk menyingkirkannya. Namun para Pandawa selalu bisa lolos dari perbuatan licik Korawa.

Bagian selanjutnya dari kitab Adiparwa berisi cerita tentang Sang Pandawa menempati rumah Jatugraha, rumah damar yang bahan bangunannya sangat mudah terbakar. Ini merupakan bagian dari siasat Duryodhana untuk menghabisi Panca Pandawa agar dia dengan mudah dapat menjadi raja di Hastinapura. Panca Pandawa dan Ibu Kunti berpamitan kepada para pejabat kerajaan untuk pergi ke Waranawata tinggal di sana. Sang Widura kemudian menyusulnya untuk memberi pesan bahwa di desa itu ada bahaya besar, tetapi bukan berupa senjata. Ada senjata tetapi tidak berupa senjata tajam.

Setelah Pandawa tinggal di sana datanglah utusan Sang Widura bernama Kauma. Dia disuruh oleh Widura untuk memberitahukan bahwa pada hari ke 14 rumah akan dibakar oleh arsiteknya yang bernama Puracana atas suruhan Sang

Dalam dokumen LAPORAN AKHIR HIBAH GRUP RISET UDAYANA (Halaman 19-56)

Dokumen terkait