BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.2 Proses Pem-Balian Mahabharata dari Adiparwa ke
5.2.2 Bahasa dalam Geguritan Sarpayajnya
Bahasa yang dimaksudkan di sini adalah bahasa yang digunakan dalam karya sastra sebagai hasil proses pem-Bali-an. Dengan demikian adalah bahasa yang digunakan dalam geguritan Sarpayajnya. Antara bahasa dan karya sastra baik lisan maupun tulis memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Bahasa merupakan alat atau medianya, sedangkan karya sastra (naskah) sebagai pendokumentasian bahasa dan pengembangan kosa kata. Dengan demikian geguritan Sarpayajnya merupakan penyelamat bahasa yang ada pada zaman itu.
Karya sastra geguritan pada umumnya menggunakan bahasa Bali. Namun di dalam geguritan Sarpayajnya tidaklah sepenuhnya demikian. Selain secara mayoritas memakai bahasa Bali, ada pula campuran kosakata – kosakata dari bahasa Jawa Kuna. Bahasa Bali merupakan satu di antara sekian banyak bahasa yang ada di Nusantara dan memiliki tingkatan-tingkatan bahasa. Tingkatan-tingkatan bahasa itu mencul dengan adanya stratifikasi sosial di masyarakat suku Bali yaitu brahmana, ksatriya, wesya, dan sudra. Stratifikasi ini sangat
63 mempengaruhi pemakaian tingkatan bahasa dan memperkaya kosa kata bahasa Bali, serta berimbas juga terhadap pemakaiannya dalam geguritan Sarpayajnya.
Bahasa Jawa kuna adalah bahasa yang ada di jawa yang hidup berkembang dari abad IX sampai abad XV. Kosakata bahasa Jawa Kuna adalah kosakata yang pada masa itu di Jawa bercampur dengan hampir lima puluh persen dari kosakata bahasa Sanskerta terutama yang dari kata sifat dan kata benda. Untuk mengetahui bahwa bahasa tersebut adalah bahasa Jawa Kuna digunakan Kamus Jawa Kuna - Indonesia karya P.J.Zoetmulder dan S.O. Robson (1995).
Sebagai contoh pemakaian kosakata bahasa Jawa Kuno dalam geguritan Sarpayajnya terlihat dari kutipan teks berikut yang ditandai dengan ketik miring
Raris keni kidange malahib, twara sidha mati kapisanan, Sang Prabhu doropon mangke, sahiringa manutug, ka tengah alase mangrañjing, hiringane pablesat, ada ngojog kawuh, ada mangungsi ngajanang, manglahadang tampak kidange malahib, twara bakat katudtudang. utara, mengikuti jejak kijang yang lari, tidak dapat ditemukan.
Mengenai bahasa Bali yang disinggung di atas, memiliki tingkatan-tingkatan bahasa yaitu; Basa Alus, Basa Madia, Basa Andap, dan Basa Kasar.
Semua tingkatan itu terpakai dalam satu Geguritan Sarpayajnya. Berikut contoh tingkatan Basa Alus yaitu bahasa Bali yang mempunyai nilai rasa tinggi atau sangat hormat yang dominan dipakai dalam geguritan Sarpayadnya.
Tan dumade ida paramangkin kawangunang gêdong pasangidan, magnah jroning talagane, hilêhin api murub, srêgêp saha sañjata ngêmit, pêpêk mañatur deśa, kocapan sang prabu, di jronong
64 gdong magênah, para punggawā makadi para rêsi, pêpêk
sawedhāstawā.
Terjemahan:
Segera setelah itu lalu dibangun gedung persembunyian, berada di tengah-tengah kolam, dikelilingi api yang berkobar-kobar, lengkap dengan senjata, penjaga penuh di empat penjuru, konon raja berada di dalam gedung, para punggawa, seperti para rêsi (pendeta) lengkap dengan sawedastawa (doa pemujaan)
Tingkatan Basa Bali Madia yaitu bahasa Bali halus namun memiliki nilai rasa tidak terlalu halus atau sangat hormat dan juga tidak rendah atau kasar.
Posisinya berda antara bahasa Alus dan bahasa Andap dan sering disebut dengn bahasa Bali menengah. Ciri-ciri yang menandai bahasa Madia yaitu kata-kata yang memiliki unsur bentuk rasa bahasa Kasar dan Halus. Pemakaian tingkatan bahasa Bali Madia juga digunakan dalam geguritan Sarpayajnya namun porsi pemakaiannya dibawah tingkatan bahasa Bali Alus. Contoh pemakaiannya terlihat seperti dalam bentuk berikut.
Masih isöng ngai sāmbil sakit, têmbang (dangdang) gulā ñaritayang, buka marasa hulahe, kuda(ng) bulan bān hibuk, knehe ne makada sakit, di pêtênge wilangang, ping têlu bān bangun, ñmak masih twara bakat, bān ngênêhāng, hawas paśucyane luwih, sêgu-sêgu mrêguwāng.
Terjemahan:
Masih ingin mengarang dalam keadaan sakit, (dengan) tembang/
pupuh dangdang gula, untuk menceritakan, sadar akan diri, berbulan-bulan bingung, pikiran yang menyebabkan sakit, di malam hari jika dihitung, telah tiga kali bangun, belum juga bisa mengerjakan, memikirkannya, melihat upacara kurban yang utama, tersedu-sedu merasakan.
Tingkatan bahasa Bali Andap yaitu bahasa Bali yang sifatnya sopan yang digunakan dalam pergaulan selain sopan memiliki sifat akrab antar sesama, kawan sedrajat, dan merupakan bahasa kekeluargaan. Bahasa Bali andap digunakan untuk berkomunikasi oleh orang tua kepada anak-anaknya, atau yang lebih tua kepada yang lebih muda, atau guru kepada murid (Narayana, 1984: 21). Tingkatan
65 bahasa Bali Andap juga dipakai dalam geguritan Sarpayajnya namun tidak banyak dan sebagai contoh dapat terlihat dalam kutipan berikut:
Krana bapa buka jani, kasakitan bagela-gela, magantung kene manglanting, salahe mangemasin, bane twara ngelah cucu, sangkan kemu henggalang. (pupuh Sinom, bait 13, 2-7)
Terjemahan:
Sebabnya bapak seperti sekarang ini, menderita tersiksa, bergantung bergelayutan, kesalahan yang menyebabkan, karena tidak punya cucu, oleh karena itu segeralah ke sana.
Tingkatan bahasa Bali Kasar yaitu tingkatan bahasa Bali yang tidak sopan yang pada umumnya digunakan dalam situasi kejengkelan, atau dalam situasi marah. Dalam geguritan Sarpayajnya pemakaiannya sangat terbatas, sepanjang teks hanya ditemukan satu kata ‘hiba’ ‘kamu’ yang terdapat pada pupuh Dangdang Gula, bait 48 baris 6 ‘baya hapa sih hiba’ artinya ‘bahaya apa sih kamu’.
Demikian bahasa yang digunakan dalam geguritan Sarpayajnya yang meliputi: bahasa Bali bercampur dengan bahasa Jawa Kuno. Bahasa Jawa Kuno tidak banyak dipakai, sedangkan bahasa Bali digunakan secara mayoritas terutama dari tingkatan bahasa Bali Alus. Bahasa Bali Madia digunakan porsinya di bawah tingkatan bahasa Bali Alus, kemudian disusul oleh tingkatan bahasa Bali Andap.
Tingkatan bahasa Bali Kasar digunakan paling sedikit hanya satu kata sepanjang teks Geguritan Sarpayajnya.