• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek SES (Status Ekonomi Sosial). Pewarta juga diminta memahami

Dalam dokumen JUBILEUM AGUSTUS 2020 (Halaman 57-61)

Kerasulan dan Literasi Media

5. Aspek SES (Status Ekonomi Sosial). Pewarta juga diminta memahami

keragaman dan perbedaan di kalangan umat terkait kelas sosial dan ekonominya. Perbedaan kelas ini membentuk perbedaan gaya hidup sosialnya. Kelompok sosial ekonomi atas tentu memiliki kesempatan lebih besar mengakses fasilitas kehidupan yang lebih banyak dibandingkan kelas di bawahnya. Sehingga berkomunikasi dengan golongan yang berbeda kelas sosial ini menuntut strategi komunikasi yang tidak bisa seragam.

Berbeda dengan segmentasi Demografi yang serba terukur, segmentasi Psikografi membuat para rasul dan agenda kerasulannya dituntut memahami hal-hal yang tidak bisa diukur secara nyata. Pewarta ditantang memahami dimensi yang berbeda. Pendekatan Psikografi meliputi 8 aspek: a. Selera, b. Minat, c. Kebutuhan, d. Keyakinan, e. Gaya hidup, f. Aktualisasi diri, g. Orientasi, dan h. Tata nilai. Penerapan aspek Psikografi tidak dapat dinilai dengan unsur-unsur Demografi. Unsur-unsur Psikografi wajib juga dikuasai pewarta, dan menjadikannya sebagai bagian tak terpisahkan dari pendekatan Demografi. Sehingga dalam konteks komunikasi, unsur Demografi dan Psikografi serupa dengan sekeping mata uang yang memiliki 2 sisi yang saling berkaitan. Melalui kepiawaian menggabungkan unsur Demografi dan Psikografi secara tepat, para rasul dapat menjalankan fungsi kerasulannya lebih efektif dan berdampak positif bagi umat.

Efektivitas Target Komunikasi

Pelaku kerasulan juga diminta mahir merumuskan parameter keberhasilan dampak kerasulannya kepada umat. Sebab komunikasi dinilai efektif bila dampak pewartaan yang direncanakan para rasul terwujud. Sederhananya, keberhasilan dampak yang direncanakan, adalah keberhasilan strategi komunikasi dan implementasinya.

Dalam dunia komunikasi (untuk kepentingan pewartaan) rumusan dampak terbagi menjadi 3 tingkatan. Pertama, target umat mengetahui. Dalam tataran ini pewarta hanya menargetkan umat sekedar tahu materi yang diwartakannya. Sehingga rumusan komunikasinya cukup mengungkapkan unsur What (Apa). Tahapan selanjutnya menargetkan umat bukan hanya sekedar tahu, tetapi umat

mengerti materi yang diwartakan. Rumusannya dapat menggunakan unsur Why

(Mengapa). Tahapan ketiga dan yang tertinggi adalah umat mampu melaksanakan pesan yang disampaikan pewarta. Unsur yang dipakai adalah How (bagaimana cara melakukannya).

Dari ketiga dampak tersebut, pewarta seharusnya menargetkan komunikasinya pada kemampuan umat untuk beraksi dengan melaksanakan pesan pewarta. Tetapi untuk mencapai tahapan tertinggi itu, pewarta wajib melalui tahapan pertama (umat mengetahui) dan dilanjutkan ke tahapan kedua (umat mengerti). Maka dalam kegiatan perasulannya, pewarta diminta mencermati proses ketiga tahapan ini dengan rinci. Secara logika umat mampu melaksanakan

pesan pewarta, manakala ia mengerti mengapa harus melakukan hal tersebut. Begitu pula agar umat mampu mencapai tingkatan mengerti, tentu mereka harus mencapai tahapan mengetahui lebih dulu.

Literasi Media Komunikasi

Tuntutan perasulan dewasa ini tidak terhindarkan untuk menggunakan media komunikasi, baik medium yang personal maupun media massa. Ledakan teknologi komunikasi dan media telah mengubah paradigma masyarakat berkomunikasi dan berinformasi. Meski inti pewartaan adalah komunikasi, tetapi pewarta dituntut menguasai media sebagai kendaraan komunikasi yang efektif. Maka kompetensi pewarta mengenai literasi media menjadi penting. Jangan sampai kemampuan literasi media umat lebih maju dibandingkan kompetensi pewarta.

Apabila pewarta selama ini belajar tentang konsep Media Relation (berelasi dengan media massa), maka sekarang ia harus menambah daya literasinya tentang piranti komunikasi mutakhir, khususnya teknologi digital. Pewarta zaman kini tidak cukup hanya mahir berelasi dengan profesional media, tetapi juga mampu merasul menggunakan jenis media eksisting dan media baru yang disukai dan digunakan umat.

Sejarah medium komunikasi dan media massa dimulai sejak 131 tahun sebelum masehi yang bernama Acta Diurna. Media informasi perdana ini ujudnya berupa teks tertulis yang dibacakan seorang kurir di hadapan kerumunan orang, dan berpindah-pindah tempat. Peristiwa ini juga dicatat sebagai cikal bakal jurnalisme. Maka ketika teknologi mulai berkembang, berturut-turut lahirlah beragam media yang dikategorikan sebagai mainstream media alias Media Arus Utama. Yaitu Media Cetak (tahun 1500), Media Rekaman dan Sinema (tahun 1900), Radio (tahun 1910) dan TV (tahun 1950).

Setelah era Media Arus Utama menjadi mapan, manusia kemudian memasuki zaman komunikasi New Media (Media Baru) yang berbasis pada teknologi digital. Berturut-turut lahirlah Internet (tahun 1969), Telepon Genggam (tahun 1973), disusul Media Sosial seperti Facebook (tahun 2004), YouTube (tahun 2005), Twitter (tahun 2006), Instagram (tahun 2010), dan Aplikasi (Apps) seperti WhatsApp (tahun 2009). Penemuan Ini masih belum termasuk berbagai media sosial dan aplikasi lain yang tumbuh subur serta cepat berganti.

Mengutip referensi penelitian lembaga Morgan Stanley, -yang mengukur daya penetrasi media untuk meraih 50 juta pengguna-, hasilnya menyimpulkan bahwa Radio membutuhkan waktu 38 tahun untuk meraih 50 juta pendengar. Televisi hanya butuh 13 tahun, dan TV Kabel cukup dalam 10 tahun. Sementara Internet hanya butuh 5 tahun menjaring 50 juta netter. Media yang tercepat mencapai 50 juta pengguna adalah Media Sosial yang hanya butuh 3,5 tahun.

Sementara itu rincian pengguna media sosial di antara 265 jiwa penduduk Indonesia pada kuartal pertama tahun 2019, pengguna Instagram mencapai 53 juta, Twitter 50 juta, E-mail 150 juta, YouTube 135 juta, dan Facebook 130 juta jiwa. Yang paling dahsyat adalah jumlah gawai (gadget) di Indonesia sudah mencapai 355 juta piranti lebih. Artinya jumlah gawai sudah melampaui jumlah penduduk, dan ada penduduk Indonesia yang punya gawai lebih dari satu. Rekam data digital pada Januari 2018 juga mencatat, 132 juta lebih orang Indonesia menggunakan internet setiap harinya selama 8 jam 51 menit. Sementara 130 juta pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 3 jam 23 menit setiap harinya.

Karenanya selain memanfaatkan Media Arus Utama yang punya kekhasan karakteristiknya, internet dan media sosial sudah layak dipandang sebagai sarana potensial untuk pewartaan yang go-public, efektif, efisien, dan viral. Apalagi pejabat Kemendikbud pernah menyatakan belum lama ini, anak-anak kelas 7 sudah saatnya mahir tentang coding (terjemahan logika ke bahasa pemrogaman komputer). Jika hal ini benar-benar terjadi, bagaimana mungkin pelaku kerasulan belum percaya keampuhan media baru sebagai alat pewartaan, utamanya untuk melayani generasi baru yang lekat dengan teknologi. Pasti pewarta mampu menjangkau massa umat yang besar dalam waktu singkat.

Hanya saja harus diakui, media baru khususnya media sosial juga rentan menjadi sumber informasi Hoax (berita bohong) dan Fake News (berita palsu). Maklum daya literasi kebanyakan khalayak di Indonesia belum merata, bahkan lebih banyak yang tidak terliterasi dengan baik. Apalagi literasi media belum tertuang dalam kurikulum sekolah di Indonesia. Sehingga banyak orang yang tidak paham tentang kebenaran dan akurasi informasi, termasuk paham etika bermedia sosial. Padahal dinamika teknologi informasi sudah berkembang begitu pesat di Indonesia. Meskipun Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) sudah berlaku sejak April 2008, tidak menjamin khalayak paham rambu dan aturan bermedia sosial.

Berbeda dengan sekolah dasar di Australia seperti yang pernah saya tahu, di tahun 2000-an mereka sudah mempunyai teks panduan kurikulum tentang literasi Media Arus Utama. Di sana para siswa diajarkan memahami kekuatan dan kelemahan media cetak (surat kabar dan majalah) serta media elektronik (radio dan televisi). Sehingga para siswa mengerti cara mengonsumsi informasi dari media-media tersebut dengan daya kritis yang tinggi.

Maka realita penyebaran Hoax dan Fake News di media sosial di kalangan umat, idealnya juga menjadi area tugas kerasulan. Para rasul wajib meluruskan informasi-informasi yang bengkok. Termasuk meluruskan sikap umat yang gemar mewartakan kabar bengkok tanpa mefilternya lebih dulu. Maka kompetensi literasi media tidak hanya sebatas mampu memahami dan menganalisa informasi, tapi juga mengkritisi subyek yang terpapar informasi.

Pahami Karakteristik Tiap Media

Yang juga wajib dipahami para rasul atau pewarta, tidak ada istilah media mana yang paling hebat. Setiap media tidak dapat diperbandingkan ala apple to apple. Apalagi menyimpulkan bahwa New Media lebih hebat dibandingkan Media Arus Utama. Karena efektivitas media dalam pewartaan sangat tergantung pada kebutuhan dan kebiasaan target segmentasi bermedia dan berkomunikasi. Faktor Demografis dan Psikografis ikut menentukan jenis media apa yang paling efektif menyeberangkan pesan pewartaan.

Dalam pengalaman saya mengunjungi berbagai pelosok wilayah di Indonesia, terbukti keragaman media lama dan baru masih fungsional untuk misi pewartaan. Di daerah yang belum terjangkau internet dan sinyal telekomunikasinya buruk, Media Arus Utama yang menjadi andalan. Sementara di wilayah yang akses internetnya mudah, maka media jenis baru lebih banyak digunakan. Kebiasaan dan kearifan lokal umat juga layak dipertimbangkan oleh pewarta. Pemilihan karakter media yang tepat dan relevant menjadi kunci sukses karya warta kerasulan.

Untuk menentukan jenis media yang tepat dan efektif, pewarta dapat menggunakan metode matriks yang mengukur 7 aspek karakteristik

media. 1. Aspek Dokumentasi: Media cetak memiliki keunggulan dalam hal dokumentasi karena informasinya tercetak. Sedangkan siaran radio dan TV tidak terdokumentasi, karena suara dan gambarnya segera menghilang setelah disiarkan. Internet mirip media cetak hanya saja ujudnya virtual. 2. Aspek Imajinasi: Radio mempunyai kekuatan imajinasi yang tak tertandingi. Meski hanya berujud suara, tetapi dayanya mampu membangun theatre of mind pendengarnya. Karakter suara yang terdengar mampu membawa pendengar untuk membayangkan isi pesannya. Sementara media visual lemah dalam imajinasi karena informasinya sudah terang benderang. 3. Aspek Kecepatan: Dalam proses menyeberangkan informasi, media cetak tergolong lebih lambat dibandingkan Radio, TV, internet dan media sosial. Karena media cetak masih harus melalui proses pencetakan sebelum sampai ke pembacanya. Sementara media elektonik dan online mampu mewartakan informasi secara langsung dan realtime. 4. Aspek Detail: Radio dikenal sebagai medium anti detil. Jangan pernah menyampaikan informasi detil lewat suara, karena pedengar sulit mengingatnya. Hal-hal detil lebih efektif disajikan di media cetak atau teks internet. 5. Efek Teks: menuntut pewarta terampil menulis, kebahasaan dan literasi kesusasteraan. 6. Efek Audio: menuntut kemahiran pewarta berbicara, berkata-kata dan teknik vokal yang menarik.

Dalam dokumen JUBILEUM AGUSTUS 2020 (Halaman 57-61)