• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENULIS RENUNGAN NAN BERNAS

Dalam dokumen JUBILEUM AGUSTUS 2020 (Halaman 74-80)

Matias Sinaga Asisten Imam dan Umat Paroki Salib Suci, Tropodo

Saya tidak memiliki kapasitas untuk menilainya. Tugas pembuatnya adalah menghasilkan renungan sebaik-baiknya dan sejalan dengan Firman yang diwartakannya. Hasilnya, biarlah Pemilik Sabda yang menentukan. Kalau baik bagi umat, saya percaya, itu pasti berkenan kepada Allah.

Pada umumnya renungan dibuat oleh para rohaniwan/rohaniwati. Bagi umat, membuat renungan adalah bagian dari tugas para rohaniwan/rohaniwati. Yang namanya tugas, pengembannya terpanggil untuk membuatnya sebaik mungkin. Namun satu hal yang luar biasa adalah bila renungan itu dibuat oleh orang awam. Dengan membuat renungan, mereka harus membaca. Harapannya, semakin banyak umat yang menulis renungan, semakin banyak yang menggeluti Kitab Suci. Selain itu, renungan yang dibuat oleh orang awam yang dikenal umat juga lebih diterima daripada orang yang tidak dikenal. Bukan dari segi isinya, tapi dari segi hubungan umat dengan pembuat renungan. Ibarat tamu yang tidak dikenal akan disambut dengan rasa enggan, orang yang sudah familiar biasanya diterima tanpa rasa curiga. Demikian juga renungan.

Dalam masa PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), Ketua Wilayah Santo Paulus Rasul, Paroki Salib Suci, Tropodo, Sidoarjo Ignasius Rys Dedy mengusulkan agar para katekis di wilayah kami membuat renungan secara berkala. Usul ini disambut baik dan kami sepakat untuk membuatnya setiap hari Rabu dengan pertimbangan bahwa pada hari Minggu umat mendapatkannya dari gembala setempat.

Setelah ditawarkan kepada para katekis, 4 dari 13 anggota WAG bersedia membuat renungan tertulis secara bergilir. Teknisnya, renungan di-posting di grup untuk ditanggapi dan disempurnakan sehari sebelum di-publish. Setelah dipandang baik, esok harinya di-share di masing-masing lingkungan dan kelompok kategorial di tingkat wilayah oleh katekis di lingkungan tersebut. Hal ini sudah berlangsung lebih dari tiga bulan dan sejauh ini berjalan dengan baik. Tampak dari sambutan umat lewat komentar mereka. Hal yang sama, saya kira, dapat dilakukan di wilayah/ paroki lain. Untuk itu, dalam tulisan ini saya akan mengulas renungan yang berisi dan berkualitas.

Secara umum renungan dibuat padat, tiga sampai lima alinea cukup. Biasanya renungan menjadi panjang dan bertele-tele karena pengulangan, baik kutipan ayat (nas) maupun kalimat. Untuk menghindarinya, nas sebaiknya tidak ditampilkan dua kali: apakah di bagian awal renungan; atau bagian tengah sebagai kutipan atau paraphrase (menggunakan kata-kata penulisnya). Yang penting sumbernya disebutkan.

Hal lain yang membuat renungan dowo adalah fokus permenungan. Perikop bacaan harian umumnya memiliki lebih dari satu aspek yang dapat disoroti. “Pokok Anggur yang Benar”, misalnya, dapat diulas dari segi: kelekatan ranting-ranting dengan pokok anggur; kekeringannya; berbuah tidaknya ranting-ranting itu; dan buahnya yang melimpah hingga dapat dibagikan kepada tetangga atau sedikit dan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Penulis renungan terkadang tergoda untuk membahas semuanya. Oleh karena itu, pendalaman fokus pada salah satu aspek menjadi kunci. Renungan yang mendalam jauh lebih baik daripada renungan yang luas tapi hanya di permukaan.

Dari segi isi, renungan yang bernas memiliki paling tidak dua unsur.

Pertama, bersifat informatif. Ada informasi baru yang berguna bagi umat baik

sebagai pengetahuan, pemahaman, maupun hikmat. Perlu dicatat bahwa hal yang diketahui oleh pembuat renungan yang bersumber dari Alkitab dan/atau ajaran gereja belum tentu diketahui oleh pembaca. Berikut contoh cuplikan renungan yang informatif:

Setelah Yesus memilih dua belas rasul-Nya mewakili 12 suku Israel (anak-anak Yakub yang oleh Allah disebut Israel), hidup bersama mereka, dan memperlihatkan apa yang dikerjakan-Nya – seperti Bapa-Nya menunjukkan kepada-Nya pekerjaan-Nya – Ia mengutus mereka kepada domba-domba yang hilang.

Perlu dicatat bahwa tidak semua umat tahu bahwa Yakub memiliki 12 anak yang menjadi suku-suku Israel dan nama ini diperolehnya dari Allah sendiri. Sumber gambar : www.warungsatekamu.org

Dalam renungan, informasi (baru) hendaknya dapat dipahami oleh pembaca. Dalam konteks ini, penggunaan kata-kata yang berasal dari bahasa asing -biasanya Latin- dan daerah hendaknya ditulis padanannya dalam Bahasa Indonesia. Berikut ini sebuah renungan singkat dari seorang Romo yang memuat informasi yang berguna bagi pembaca. Sayang, tidak semua pembaca mengerti kata-kata asing yang digunakan karena tidak disertai padanannya.

“Tidak saja kedua belas rasul dipanggil, dipilih, diberi kuasa dan diutus untuk memberitakan Kerajaan Sorga sudah dekat tetapi kita juga pada zaman ini diutus untuk melaksanakan tiga tugas Kristus, yaitu sebagai IMAM, RAJA dan NABI serta melaksanakan panca tugas gereja, yaitu Liturgi, Koinonia, Diakonia, Kerygma dan Martyria.”(Huruf tebal dari saya)

Kedua, bersifat aplikatif. Isi renungan berkaitan dengan kehidupan umat.

Dapat diterapkan berupa ilustrasi cerita yang mengambil kejadian dalam hidup sehari-hari. Ilustrasi yang berhubungan (langsung) dengan keseharian pembacanya selalu lebih baik daripada ilustrasi yang tidak ada sangkut-pautnya.

Renungan tergolong tulisan reflektif dan persuasif. Setiap renungan dibuat untuk menginspirasi atau menggugah. Oleh karena itu, renungan harus berujung pada perubahan pola pikir, sikap maupun perilaku. Setelah membaca renungan, umat hendaknya dapat mengaplikasikannya dalam hidup sehari-hari.

Dari sisi Biblis atau Alkitabiah, tujuan semua renungan yang merupakan bagian dari pengajaran tentang Firman dapat ditemukan dalam Surat Paulus yang kedua kepada Timotius:

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebebenaran.” (2 Timotius 3:16)

Ayat di atas memuat empat manfaat renungan, yakni: mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik pembacanya dalam kebenaran. Empat manfaat ini tertuang dalam sifat-sifat renungan di atas.

Sebagai tambahan adalah penampilan. Aspek ini sekilas sepele tapi sangat berpengaruh. Hal yang pertama kali dilihat adalah penampilan. Ini berlaku pada renungan. Renungan yang ditulis rapat, tanpa spasi dan tidak mengindahkan kaidah penulisan tidak akan menarik walaupun isinya baik. Berikut ini sebuah contoh renungan pendek dan sangat baik tapi ditulis tanpa mengindahkan tampilan: “ Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya ?”

(Matius 8:26).

Takut, bagi Yesus adalah tanda orang yg kurang percaya kepada-Nya.

Sementara kita tahu bhw Yesus datang ke dunia utk menyelamatkan umat manusia. Ia datang sbg Allah keselamatan kita. Maka tdk ada alasan kita harus merasa takut.

Jangan takut mengarungi malam ini, Tuhan Yesus bersamamu ! SELAMAT MALAM !!!

Anak semata wayang. Ia sekaligus anak yatim piatu. Belajar sendiri tanpa pernah mengenyam bangku sekolah. Ia menjadi dewasa secara alami

melalui pergaulan orang-orang sekitar rumah yang gemar membaca buku. Huruf demi huruf dibaca hingga menjadi kalimat.

Kalimat demi kalimat dibacanya hingga menjadi alinea. Alinea demi alinea menuntunnya hingga menjadi cerita.

Pesan dalam cerita menggerakannya bahwa hidup bukan susah semata. Makna kebaikan tersembunyi dari balik usaha dan kerja.

Anak semata wayang belajar tentang ayah melalui kebaikan para pekerja.

Anak yatim piatu itu mengajar sebagai ibu melalui kerja demi kebaikan bersama. Pengalaman hidupnya membentuk kejadian-kejadian inspiratif

yang tak sempat tertuang dalam hitam dan putihnya berita.

Hanya sekedar menjadi buah bibir dalam rumah hingga warung kopi yang tak pernah terucap pahit dan manisnya.

RD. Timothius Siga Romo Kepala Paroki Santo Stefanus, Tandes, Surabaya

Serba Serbi

Dalam dokumen JUBILEUM AGUSTUS 2020 (Halaman 74-80)