• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3. Aspek Sosial dan Budaya 1. Sejarah Kawasan

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dan beberapa pegawai kelurahan di Kelurahan Kelayan Barat, Kelayan Tengah, Kelayan Timur, Murung Raya, Kelayan Luar dan Tanjung Pagar pada sekitar tahun 1890-an kawasan Sungai Kelayan merupakan basis perjuangan masyarakat/Suku Banjar dalam mempertahankan wilayahnya dari serbuan penjajah (Belanda, Portugis dan Jepang). Peran sungai pada saat itu sangatlah besar diantaranya untuk jalur distribusi senjata, pasukan dan bahan makanan, dan banyak dibangun dermaga untuk memudahkan distribusi tersebut. Banyak masyarakat yang menceritakan bahwa kawasan Sungai Kelayan merupakan tempat bermukimnya masyarakat asli Banjarmasin.

Pada tahun 1894, pola pemukiman di Kampung Kelayan merupakan pola pemukiman yang berorientasi pada sungai. Seluruh arah hadap rumah tinggal di Kampung Kelayan mengarah ke arah Sungai Kelayan. Budaya bermukim ini dilatarbelakangi oleh kepercayaan masyarakat setempat (Suku Banjar) yang menganggap bahwa hulu berarti udik dan terbelakang sedangkan hilir berarti maju (Gambar 19). Pada saat itu juga bisa dipastikan kualitas biofisik kawasan masih bagus dimana sempadan sungai masih ditumbuhi tanaman-tanaman yang berfungsi sebagai pengaman bantaran sungai.

Gambar 19. Pola Pemukiman Masyarakat Lokal Pada Tahun 1894 (Sketsa oleh penulis berdasarkan hasil kajian)

Dalam tahun 1957, seluruh budaya bermukim di Kampung Kelayan tetap merupakan budaya bermukim yang berorientasi ke sungai. Akan tetapi ada beberapa rumah penduduk yang tidak mengarah ke sungai melainkan membelakangi sungai dimana mereka merupakan penduduk pendatang yang berasal dari daerah-daerah di luar Kota Banjarmasin. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa sesepuh penghuni rumah tinggal, latar belakang penduduk pendatang mendirikan rumah yang membelakangi sungai adalah dekat dengan dermaga. Di tahun 1957, dermaga tersebut menjadi pusat aktivitas warga seperti bongkat muat barang, transportasi sungai dan lain-lain, sehingga sekeliling pembangunan rumah pendatang baru tersebut berorientasi pada pusat lingkungan yaitu dermaga (Gambar 20). Dengan dibangunnya dermaga pada tahun tersebut, membuat beberapa area sempadan sungai terokupasi menjadi rumah-rumah penduduk. Hal ini mengakibatkan kondisi biofisik di kawasan Sungai Kelayan mulai menurun.

Gambar 20. Pola Pemukiman Masyarakat Lokal dan Pendatang Pada Tahun 1957 (Sketsa oleh penulis berdasarkan hasil kajian)

Dalam tahun 2000, kawasan tepi Sungai Kelayan menjadi kawasan pemukiman yang didominasi oleh masyarakat Suku Dayak dan Banjar. Menurut Syarifudin (1996), Suku Banjar merupakan perpaduan antara Suku Dayak Manyan, Suku Dayak Ngaju dan Suku Dayak Bukit yang dipengaruhi oleh unsur Melayu Jawa yang kemudian disatukan oleh tata agama Budha, Syiwa, dan Islam dari Kerajaan Banjar. Oleh karenanya budaya bermukim Suku Banjar serupa dengan budaya bermukim Suku Dayak yaitu berada di tepi sungai dengan arah hadap rumah tinggalnya ke arah sungai.

Di tahun 2000 juga, Suku Banjar yang bermukim di kawasan tepi Sungai Kelayan tersebut merupakan masyarakat pendatang. Dengan adanya budaya bermukim yang melatarbelakanginya, masyarakat pendatang tersebut tetap membangun huniannya di tepi sungai, akan tetapi adanya jalan darat yang menghubungkan embrio Kota Banjarmasin dengan Kampung Kelayan mengakibatkan struktur tiang yang dibangun para pendatang tersebut tidak sejajar dengan sungai melainkan cenderung tegak lurus dengan sungai. Struktur ruang tersebut pada dasarnya menghubungkan jalan darat dengan Sungai Kelayan. Adanya struktur ruang yang cenderung tegak lurus tersebut mengakibatkan arah hadap rumah-rumah tinggalnya mengarah ke jalan lingkungan yang terbuat dari kayu (Gambar 21).

Gambar 21. Pola Pemukiman Masyarakat Lokal dan Pendatang Pada Tahun 2000 (Sketsa oleh penulis berdasarkan hasil kajian)

Kawasan tepian Sungai Kelayan yang memiliki banyak unsur sejarah merupakan potensi yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan lanskap. Tradisi yang masih melekat erat dalam masyarakat terutama tradisi yang berkaitan dengan sungai seperti transportasi sungai dan pasar terapung juga perlu dipertimbangkan dalam perencaan lanskap sungai Kelayan.

Arah orientasi bangunan rumah yang tegak lurus terhadap sungai dan yang membelakangi sungai merupakan kendala yang harus diatasi di dalam tapak. Hal ini dikarenakan bangunan rumah yang tegak lurus terhadap sungai cenderung mengokupasi badan sungai lebih besar sehingga lebar badan sungai semakin menyempit. Keadaan seperti ini mengakibatkan kondisi biofisik sungai menjadi terganggu, seperti semakin hilangnya habitat-habitat satwa perairan dan tinggi laju

run-off yang disebakan hilangnya daerah-daerah serapan sehingga kapasitas tampung badan sungai menjadi berkurang yang pada akhirnya menyebabkan genangan/banjir lokal.

Arah orientasi bangunan yang linear (menghadap ke sungai) terhadap sungai merupakan potensi yang harus dipertahankan. Hal ini dapat mencirikan kawasan waterfront city di perkotaan dan sebagai upaya untuk melestarikan kebudayaan masyarakat setempat yang pada dasarnya bergantung pada sungai. Bangunan-bangunan ini berada di luar sempadan sungai sehingga secara biofisik tidak mengganggu ekosistem sungai.

5.3.2. Kondisi Masyarakat 5.3.2.1. Klasifikasi Masyarakat

Dari hasil pengamatan dan wawancara di lapang, menunjukkan bahwa di sepanjang Sungai Kelayan terdapat penduduk yang menggunakan tepian sungai sebagai tempat tinggal. Pada umumnya mereka adalah para pendatang dari luar Kota Banjarmasin yang bermaksud mencari pekerjaan. Jenis mata pencaharian yang mereka peroleh adalah pekerjaan yang sifatnya tidak memerlukan ketrampilan khusus/sektor informal, misalnya tukang becak, penjual warung, penjual rokok, tukang ojek, pengemudi klotok, dan buruh-buruh kasar. Masyarakat lokal dalam tata lanskap menempati ruang, untuk bermukim yang berada di luar sempadan sungai dengan menghadap ke sungai. Dari pola tata mukim penduduk dapat disimpulkan bahwa penduduk lokal menempati ruang di di luar sempadan sungai dengan orientasi menghadap ke jalan dan sungai. Penduduk yang tergolong pendatang menempati ruang di sempadan sungai dan mendirikan bangunan rumah dengan orientasi menghadap ke jalan dan membelakangi sungai.

5.3.2.2. Kebiasaan Masyarakat

Berdasarkan pengamatan di lapang, suasana pada tapak terlihat ramai oleh masyarakat yang sedang melakukan aktivitas baik aktivitas di sungai maupun di darat yakni pada pagi hingga sore hari. Khusus untuk kawasan dekat Pasar Baimbai, aktivitas manusia dapat berlangsung mulai dari dini hari. Kondisi tapak

di sungai paling ramai pada waktu pagi yaitu pada pukul 05.00-10.00 WITA dan sore hari sekitar pukul 16.00-19.00 WITA dimana pada saat itu masyarakat memanfaatkan air sungai untuk MCK (Mandi, Cuci, dan Kakus) dan transportasi anak-anak ke sekolah dan ibu-ibu yang pergi ke pasar. Pada siang hari, kondisi tapak di sungai tergolong sepi, masyarakat beralih ke darat untuk keperluan ekonomi mereka, biasanya mereka berjualan dan bekerja sesuai dengan jenis pekerjaannya.

Bagi masyarakat Kelayan khususnya yang menetap di sekitar bantaran Sungai Kelayan, keberadaan Sungai Kelayan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Mereka sangat membutuhkan sungai diantaranya untuk keperluan MCK dan transportasi (Gambar 22). Intensitas masyarakat pergi ke sungai tergolong tinggi yakni sekitar 3-6 kali dalam sehari.

Gambar 22. Aktivitas Masyarakat di Tapak

Hubungan ketetanggaan penduduk di tapak terlihat cukup erat, semangat gotong royong dan kerja sama juga masih ada. Pada siang atau sore hari terlihat anak-anak mandi di sungai, dengan riang gembira mereka bermain air sungai. Remaja-remaja atau ibu-ibu biasanya melakukan aktivitas sosial dengan tetangganya. Semangat kerja bakti seperti gotong royong dan acara Jum’at bersih juga masih terlihat pada masyarakat. Hal ini merupakan potensi bagi tapak, selain itu budaya masyarakat yang masih menggunakan sungai sebagai sarana transportasi juga merupakan kondisi yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangannya.

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapang, masyarakat pada (a) Warga sedang mencuci (b) Anak-anak sedang mandi di sungai

daerah sungai. Namun mereka sudah terbiasa untuk membuang sampah dan kotoran lainnya ke sungai. Hal ini dikarenakan kurang tersedianya fasilitas-fasilitas kebersihan seperti tempat pembuangan sampah sementara, tong/ tempat sampah dan lain-lain. Selain itu juga disebabkan karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah dan sanksi yang tidak tegas bagi masyarakat. Keadaan seperti ini menjadikan lanskap kawasan tersebut secara kualitas biofisik menurun. Hal ini dapat dilihat pada menumpuknya sampah di beberapa titik tertentu di badan sungai dan semakin dangkalnya dasar sungai yang diakibatkan oleh sedimentasi dari sampah tersebut. Keadaan seperti ini pada saat terjadi air pasang menimbulkan genangan air (banjir lokal) pada kawasan tersebut.

Dokumen terkait