• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi Studi

3.4.1. Persiapan - Latar

Belakang - Tujuan Studi - Kegunaan Studi - Rencana Kerja - Anggaran Biaya Studi

Data Sosial & Budaya: - Sejarah kawasan - Klasifikasi

Masyarakat lokal & pendatang - Kebiasaan masyarakat Data Biofisik: -Curah hujan -Tata guna lahan -Tutupan lahan -Flora dan Fauna -Daerah Banjir Potensi Kendala Rencana Lanskap Sungai Kelayan sebagai upaya revitalisasi sungai dengan pendekatan biofisik Block Plan Persiapan Studi Pengumpulan Data

Analisis Sintesis Perencanaan Lanskap Data Ekonomi: - Tingkat kesejahteraan masyarakat Data Legal: - (RTRW dan RDTRK) - Peraturan Pemerintah Konsep lanskap sungai dengan pendekatan biofisik yang menunjang terciptanya Waterfront city

Pada tahap ini dilakukan perumusan masalah dan penetapan tujuan studi sebagai langkah awal untuk melakukan perencanaan lanskap Sungai Kelayan. Kemudian dilakukan pengumpulan informasi awal mengenai lokasi studi. Selain itu juga dilakukan persiapan administrasi guna mengurus perijinan survey lapang. 3.4.2. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada tahapan ini berupa data fisik mengenai kondisi tapak, aspek sosial, ekonomi, budaya dan data pendukung lain yang mempengaruhi proses perencanaan lanskap kawasan Sungai Kelayan (Tabel 1). Jenis data yang digunakan ialah data primer dan sekunder. Pengumpulan data ini dilakukan untuk mengidentifikasi potensi dan kendala yang ada pada lokasi studi.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu survey lapang yang bertujuan untuk mendapatkan data primer dan studi pustaka untuk mendapatkan data sekunder. Survey lapang dilakukan dengan cara pengamatan langsung dimana pengamatan/ pengambilan data difokuskan pada parameter yang akan dianalisis, selain itu dilakukan pula dokumentasi dan wawancara. Survey lapang dilakukan untuk mengetahui kondisi lokasi secara langsung serta verifikasi kondisi lapang berdasarkan data sekunder. Untuk pengambilan data fisik (berupa daerah genangan banjir) dilakukan Ground check ke tapak dengan melakukan tracking dengan GPS selanjutnya disesuaikan dengan Base Map. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data-data yang tidak didapatkan di lapangan. Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang berhubungan dengan daerah tepian Sungai Kelayan seperti Pemerintah Daerah (Dinas Pengelolaan Sungai dan Drainase) dan penduduk yang melakukan aktivitas di tapak. Tujuan dilakukan wawancara adalah untuk mengetahui keinginan pihak-pihak tersebut, arah pengembangan tapak di masa yang akan datang dan untuk mengetahui fasilitas-fasilitas yang diperlukan di daerah perencanaan. Namun pada saat turun lapang ditemui hambatan pada saat melakukan wawancara pada masyarakat umum, dikarenakan masyarakat umum cenderung tertutup dan enggan untuk dilakukan wawancara. Akhirnya wawancara hanya dilakukan terhadap Aparatur kelurahan dan Pemuka Agama.

3.4.3. Analisis dan Sintesis

Kegiatan analisis data dilakukan untuk menentukan potensi dan kendala yang terdapat pada lokasi studi. Pada tahap ini, data dan informasi yang didapat dianalisis secara deskriptif kuantitatif dan dalam bentuk spasial.

Analisis dilakukan persegmen, dimana dasar dalam pembagian segmen adalah batas administratif kelurahan. Kelurahan Kelayan Barat, Kelayan Luar, Kelayan Tengah, Kelayan Dalam, Kelayan Timur, Tanjung Pagar dan Murung

No.

Kelompok Data

Jenis Data Bentuk Data

Sumber Data Cara Pengambilan

Data

1. Biofisik a.Iklim Sekunder Badan Meteorologi & Geofisika

Studi pustaka b.Tutupan lahan Sekunder Dinas Pengelolaan

Sungai & Drainase

Studi pustaka c.Daerah genangan banjir Primer Sekunder Lapang, Dinas Pengelolaan Sungai & Drainase Survey lapang Studi pustaka d.Flora dan Fauna Primer

Sekunder Lapang, Dinas Pengelolaan Sungai & Drainase Survey lapang Studi pustaka e.Tata guna lahan Primer

Sekunder Lapang Bappeda Survey lapang Studi pustaka 2. Sosial dan Budaya a. Masyarakat lokal & pendatang Primer Sekunder Kuesioner Pemda Survey lapang Studi pustaka b.Kebiasaan Masyarakat Primer Sekunder Kuesioner Pemda Survey lapang c.Sejarah kawasan Primer

Sekunder Kuesioner Pemda Survey lapang Studi pustaka 3. Ekonomi Tingkat kesejahteraan Masyarakat Primer Sekunder Kuesioner Pemda Studi pustaka 4. Legal a.RTRW Kota Banjarmasin,

Sekunder Pemda, Bappeda Studi pustaka

b.RDTRK Kecamatan Banjarmasin Selatan

Sekunder Pemda, Bappeda Studi pustaka

c.Peraturan Pemerintah

Sekunder Pemda, Bappeda, Dinas Pengelolaan Sungai dan Drainase

Raya adalah kelurahan-kelurahan yang dilalui dan menggunakan Sungai Kelayan sebagai batas wilayah administratif. Sehingga akan terdapat 7 segmen yang akan dijadikan unit dalam analisis. Ilustrasi dari pembagian segmen di tapak dapat dilihat pada Gambar 5 dan Tabel 2 yang menunjukkan batas segmen dan luasan masing-masing segmen .

Gambar 5. Pembagian Segmen pada Tapak Tabel 2. Luasan Area Pada Masing-Masing Segmen

No. Nama Segmen Total Luas Segmen

Luas (ha) Persentase (%)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Segmen Kelayan Luar Segmen Kelayan Barat Segmen Kelayan Dalam Segmen Kelayan Tengah Segmen Murung Raya Segmen Kelayan Timur Segmen Tanjung Pagar

0,92 1,11 1,37 1,22 2,35 2,09 1,74 8,52 10,28 12,67 11,30 21,76 19,35 16,12 Jumlah 10,80 100

Penggunaan unit analisis berupa batas administratif kelurahan disadari memiliki kelemahan dalam menganalisis beberapa aspek seperti aspek satwa dan vegetasi, selain itu dalam melihat aspek ekologis tidak dapat dilihat secara utuh.

Keterangan: : Batas Segmen : Area Studi 1 2 3 4 5 6 7

Oleh karena itu dalam studi ini diasumsikan bahwa dari hasil analisis terhadap aspek biofisik akan menggambarkan kondisi biofisik pada kawasan tersebut.

Analisis aspek biofisik dilakukan untuk mengetahui kondisi kualitas biofisik sungai, dimana seluruh parameter dianalisis secara deskriptif maupun secara spasial. Parameter aspek biofisik yang dianalisis meliputi curah hujan, dominasi penutupan lahan, daerah genangan banjir, satwa perairan, kondisi vegetasi dan tata guna lahan. Pemilihan parameter ini didasarkan pada studi Kriteria, Indikator dan Parameter Kerusakan Ekosistem Daerah Aliran Sungai oleh Soedjoko dan Fandeli (2009) yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan perencanan lanskap sungai. Dalam indikator penutupan lahan dimana pada studi ini mendapatkan bobot 30% dari aspek biofisik yang menjadi parameter ialah Indeks Penutupan Lahan (IPL) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 52 Tahun 2001 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang perhitungannya adalah sebagai berikut:

Luas Vegetasi Permanen (LVP) yang dimaksud di sini adalah luasan lahan yang bervegetasi tetap (permanen) dimana informasinya dapat diperoleh dari peta penutupan lahan. Parameter indikator penggunaan lahan ialah Kesesuaian Penggunaan Lahan (KPL) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 52 Tahun 2001 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang mana perhitungannya adalah sebagai berikut:

Luas Penggunaan Lahan yang Sesuai adalah luasan lahan yang peruntukannya sesuai dengan peraturan yang mana rujukan kesesuaian penggunaan lahan adalah

IPL Luas AreaLVP %

Keterangan: IPL = Indeks Penutupan Lahan LVP= Luas Vegetasi Permanen

KPL Luas AreaLPS %

Keterangan: KPL = Kesesuaian Penggunaan Lahan LPS = Luas Pengunaan Sesuai

RDTRK Tahun 2009 atau Perda No. 2 tentang Pengelolaan Sungai. Penggunaan parameter ini diasumsikan bahwa koridor sungai merupakan bagian dari suatu DAS sehingga parameter analisis yang digunakan pada analisis pengelolaan DAS dapat digunakan dalam menganalisis aspek-aspek yang terdapat dalam koridor sungai mengingat asumsi kejadian-kejadian yang terjadi pada koridor sungai dapat terjadi pada suatu DAS.

Analisis secara spasial dilakukan terhadap parameter penutupan lahan (bobot 30%), kontinyuitas vegetasi (bobot 20%), daerah genangan banjir (bobot 20%) dan tata guna lahan (bobot 30%). Sedangkan parameter lainnya tidak dianalisis secara spasial karena kriteria yang didapat secara umum menunjukan kesamaan kriteria/homogen, seperti curah hujan, fauna perairan, aspek sosial budaya dan ekonomi. Walaupun tidak dianalisis secara spasial parameter tersebut akan dipertimbangkan saat pembuatan block plan.

Analisis akan dilakukan dengan skoring terhadap perbedaan tingkat kondisi parameter aspek biofisik tersebut. Penggunaan skor dari sangat kritis-sangat bagus yaitu 1-5. Nilai ini mewakili kriteria dari masing-masing segmen eksisting pada tapak. Misalkan pada parameter penutupan lahan, IPL pada segmen tertentu nilainya 0 maka akan mendapat skor 1 (sangat kritis) sedangkan penutupan lahan dengan IPL 1-25% akan mendapat skor 2 (kritis) dan seterusnya. Kriteria dan parameter yang digunakan pada studi ini terdapat pada Tabel 3.

Analisis sosial budaya dan ekonomi dilakukan terhadap data sosial budaya dan ekonomi masyarakat dalam kawasan. Aspek budaya akan dilihat dari segi sejarah budaya yang terkandung dalam kawasan sedangkan untuk aspek sosial secara garis besar dibedakan atas masyarakat asli dan pendatang. Aspek sosial dan ekonomi terutama untuk mengetahui tingkat ketergantungan masyarakat dalam memanfaatkan Sungai Kelayan, yang akan dilihat melalui kegiatan ekonomi yang dilakukan dalam kawasan, bentuk dan frekuensi interaksi masyarakat dengan sungai, dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan Sungai Kelayan. Hasil analisis terhadap aspek sosial budaya dan ekonomi akan disampaikan secara deskriptif. Walaupun tidak dianalisis secara spasial parameter tersebut akan dipertimbangkan saat pembuatan block plan. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan hasil perencanaan yang mendukung upaya revitalisasi sungai di kawasan Sungai

Kelayan dan untuk menonjolkan karakter tempat (sense of place) kawasan Sungai Kelayan.

Data dan informasi aspek biofisik yang telah dispasialkan melalui skoring tersebut akan di overlay. Dari hasil overlay tersebut akan didapat peta komposit yang menunjukan zona kualitas biofisik sungai, yang selanjutnya akan disintesis untuk menghasilkan alternatif pengembangan dan pemecahan masalah terhadap kondisi lanskap kawasan yang sesuai dengan tujuan perencanaan yaitu mendukung upaya revitalisasi lanskap Sungai Kelayan dengan pendekatan biofisik. Dalam menentukan kriteria dari peta tersebut akan dicari selang kriteria berdasarkan klasifikasi penilaian akan dihitung dengan menggunakan persamaan statistik sebagai berikut:

Keterangan: S = Selang dalam penetapan selang klasifikasi penilaian Smaks = Skor maksimal

Smin = Skor minimal

K = Banyaknya klasifikasi

Hasil sintesis berupa rencana blok (block plan) yang mencakup pembagian dan rencana pengembangan ruang untuk mendapat perencanaan lanskap kawasan Sungai Kelayan yang sesuai dengan kondisi biofisik sungai dan kondisi sosial budaya serta ekonomi masyarakat setempat (zonasi lanskap kawasan).

Tabel 3. Indikator dan Parameter Perencanaan Lanskap Sungai

No. Indikator Parameter Penskalaan Kualitas

Sangat Kritis Skor 1 Kritis Skor 2 Sedang Skor 3 Bagus Skor 4 Sangat Bagus Skor 5

1. Iklim Curah Hujan (mm) <500/<300 501-1000 1001-2000 2001-2500 >2500

2. Banjir (Bobot 20%) Daerah Genangan Banjir (% luas) >16 11-15 6-10 1-5 0 3. Penutupan Lahan (Bobot 30%) Indeks Penutupan Lahan (IPL) 0 1-25% 26-50% 51-75% >75%

4. Satwa Satwa Perairan

(jml jenis) 0 1-5 6-10 11-15 >16 5. Vegetasi (Bobot 20%) Vegetasi Lokal Daratan (jml) 0 1-5 6-10 11-15 >16 Kontinyuitas Vegetasi (%) 0 1-25 26-50 51-75 >75

6. Tata Guna Lahan

(Bobot 30%) Kesesuaian Penggunaan Lahan Dengan RTRW Kota (KPL) 0-20 21-40% 41-60% 61-80% >80%

Sumber: Soedjoko dan Fandeli (2009) dalam Prosiding seminar “Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS” dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 52 Tahun 2001 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan perencanaan lanskap Sungai Kelayan

3.4.4. Perencanaan Lanskap

Tahap perencanaan lanskap merupakan tahapan setelah analisis data dan sintesis. Tahapan ini diawali dengan penyusunan konsep perencanaan lanskap untuk kawasan Sungai Kelayan yang berbasis ekologis, dimana selanjutnya konsep tersebut dijabarkan dalam bentuk penataan ruang, sirkulasi, tata hijau, aktivitas dan fasilitas. Konsep tersebut kemudian dikembangkan dalam bentuk rencana ruang, sirkulasi, tata hijau, aktivitas dan tata fasilitas yang dituangkan dalam bentuk rencana lanskap (landscape plan) secara tertulis dan tergambar, yang dilengkapi dengan gambar-gambar penunjang lainnya (potongan dan ilustrasi).

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

4.1. Kota Banjarmasin

Secara geografis Kota Banjarmasin terletak pada posisi antara 3 15’ LS - 3 22’ LS dan 114 52’ LS - 114 98’ LS. Adapun jika ditinjau secara administratif Kota Banjarmasin memiliki batas wilayah administratif sebagai berikut :

• Sebelah Utara : Kabupaten Barito Kuala,

• Sebelah Selatan : Kabupaten Banjar,

• Sebelah Barat : Kabuaten Barito Kuala,

• Sebelah Timur : Kabupaten Banjar.

Kota ini memiliki luas wilayah mencapai ± 9.700 Ha atau 0,22% dari luas wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin dibagi dalam 5 wilayah kecamatan dan 60 kelurahan, dengan pembagian wilayah adminstratif Kecamatan yaitu Banjarmasin Utara, Banjarmasin Selatan, Banjarmasin Tengah, Banjarmasin Barat, dan Banjarmasin Timur (Gambar 6).

Gambar 6 . Peta Administrasi Kota Banjarmasin

Dari gambaran kondisi geografis dan administrasi, Kota Banjarmasin berada di tepi Sungai Barito dan merupakan pintu masuk untuk 2 provinsi yang ada di Pulau Kalimantan yaitu Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Tengah, sehingga sangat berpotensi sebagai pusat perdagangan baik lingkup lokal maupun regional. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, disebutkan bahwa dalam Sistem Perkotaan Nasional Kota Banjarmasin ditetapkan sebagai salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN), dengan fungsi dan peranannya sebagai kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi.

Dalam studi ini, yang menjadi objek studi adalah lanskap Sungai Kelayan. Sungai ini berada di wilayah administrasi Kecamatan Banjarmasin Selatan yang mengaliri 7 kelurahan yaitu Kelurahan Kelayan Barat, Kelayan Luar, Kelayan Tengah, Kelayan Dalam, Kelayan Timur, Tanjung Pagar dan Murung Raya. 4.2. Kecamatan Banjarmasin Selatan

4.2.1. Batas Administrasi

Berdasarkan batas administratif, Kecamatan Banjarmasin Selatan berbatasan dengan Kecamatan Banjarmasin Barat, Banjarmasin Tengah, Banjarmasin Timur di sebelah utara; Kabupaten Banjar di sebelah selatan; Kabupaten Barito Kuala di sebelah barat; dan Kecamatan Banjarmasin Timur di sebelah timur. Kecamatan Banjarmasin Selatan memiliki luas wilayah 2.018 Ha yang terbagi atas 11 kelurahan dan 169 Rukun Tetangga (RT).

Gambar 7 . Peta Administrasi Kecamatan Banjarmasin Selatan

Sumber: RTDRK Banjarmasin Selatan, 2007

4.2.2. Topografi

Kecamatan Banjarmasin Selatan terletak sekitar 50 km dari muara Sungai Barito dan dibelah oleh Sungai Martapura, sehingga secara umum kondisi morfologi Banjarmasin didominasi oleh daerah yang relatif datar dan berada di dataran rendah.

Daerah ini terletak di bawah permukaan laut rata-rata 0,16 m (dpl) dengan tingkat kemiringan lahan 0–2%. Satuan morfologi ini merupakan daerah dominan yang terdapat di wilayah Kota Banjarmasin, sedangkan jika dibandingkan dengan luas Provinsi Kalimantan Selatan, proporsi kondisi morfologi ini mencapai 14%. Kondisi morfologi ini sangat menunjang bagi pengembangan perkotaan sebagai area fisik terbangun. Namun, ketinggian di bawah permukaan laut menyebabkan sebagian besar wilayah Banjarmasin Selatan merupakan rawa tergenang yang sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air.

4.2.3. Geologi dan Jenis Tanah

Struktur geologi dapat dibagi ke dalam beberapa formasi, dimana masing-masing formasi ini tersebar secara acak di Kota Banjarmasin. Kondisi geologi ini ditentukan berdasarkan peta geologi dan data pengujian teknis pada satuan batuan di wilayah perencanaan, dan diketahui bahwa sebagian besar formasi batuan dan tanah di wilayah Banjarmasin Selatan adalah jenis Alluvium (Qa) yang dibentuk oleh kerikil, pasir, lanau, lempung dan lumpur.

Adapun kondisi dan struktur geologi di Banjarmasin Selatan adalah sebagai berikut :

1. Formasi Berai (tomb); terbentuk dari batu gamping putih berlapis dengan ketebalan 20–200 cm. Formasi ini mengandung fosil berupa batu koral dan ganggang, dengan sisipan napal berlapis berketebalan 10–15 cm dan batuan lempung berlapis dengan ketebalan 2–74 cm.

2. Formasi Dahor (Tqd); dibentuk oleh batu pasir kwarsa, konglomerat, dan batu lempung, dengan sisipan lignit berketebalan 5–10 cm.

3. Formasi Karamaian (Kak); dibentuk oleh perselingan batu lanau dan batu lempung. Formasi ini bersisipan dengan batu gamping yang memiliki ketebalan berkisar 20–50 cm.

4. Formasi Pudak (Kap); dibentuk oleh lava yang ditambah perselingan antara bleksi/konglomerat dan batu pasir dengan olistolit (masa batuan asing) berupa batu gamping, basal, batuan malihan dan ultramafik.

5. Formasi Tanjung (Tet); dibentuk oleh batu pasir kwarsa berlapis (50–150 cm) dengan sisipan batu lempung kelabu yang memiliki ketebalan

30–150 cm pada bagian atas, serta batubara hitam mengkilap dengan ketebalan 50–100 cm pada bagian bawah.

6. Alluvium (Qa); dibentuk oleh kerikil, pasir, lanau, lempung dan lumpur. Di samping itu banyak juga dijumpai sisa-sisa tumbuhan serta gambut pada kedalaman tertentu.

7. Formasi Pitanak (Kvep); disusun dan dibentuk oleh lava yang terdiri atas struktur bantal berasosiasi dengan breksi dan konglomerat.

8. Kelompok batuan Ultramafik (Mub); disusun oleh harzborgit, piroksenit dan serpentinit.

Secara umum, jenis tanah yang dominan Alluvial dan sebagian berupa tanah Organosol Glei Humus. Jenis tanah ini mempunyai ciri tanah dengan tingkat kesuburan yang baik, sehingga potensial untuk pengembangan budidaya tanaman pangan (khususnya padi sawah dan hortikultura). Masalahnya dominasi jenis tanah ini terdapat pada lahan datar, sehingga kendala yang sering terjadi adalah tanah ini akan tergenang air pada musim hujan.

4.2.4. Hidrologi

Secara hidrologi (terutama air permukaan), Banjarmasin Selatan dikelilingi oleh sungai-sungai besar beserta cabang-cabangnya, mengalir dari arah utara dan timur laut ke arah barat daya dan selatan. Sungai-sungai tersebut mengalir dan membentuk pola aliran mendaun (dendritic drainage patern). Sungai utama yang besar adalah Sungai Barito dengan beberapa cabang utama seperti Sungai Martapura, Sungai Alalak dan sebagainya. Muka air Sungai Barito dan Sungai Martapura dipengaruhi oleh pasang surut Laut Jawa, sehingga mempengaruhi drainase kota dan apabila air laut pasang sebagian wilayah digenangi air. Rendahnya permukaan lahan (–0,16 dpl) menyebabkan air sungai menjadi payau dan asin di musim kemarau, karena terjadi intrusi air laut.

Secara umum, tipe pasang surut yang ada di Kecamatan Banjarmasin Selatan sama dengan Kota Banjarmasin adalah tipe diurnal, dimana dalam 24 jam terjadi gelombang-pasang 1 kali pasang dan 1 kali surut. Lama pasang rata-rata 5-6 jam dalam satu hari. Selama waktu pasang, air di Sungai Barito dan Sungai Martapura tidak dapat keluar akibat terbendung oleh naiknya muka air laut. Kondisi ini tetap aman selama tidak ada penambahan air oleh curah hujan tinggi. Air yang terakumulasi akan menyebar ke daerah-daerah resapan seperti rawa, dan akan keluar kembali ke sungai pada saat muka air sungai surut. Kondisi kritis terjadi pada saat muka air pasang tertinggi waktunya bersamaan dengan curah hujan maksimum. Aliran air yang terbendung di bagian hilir sungai yang menyebabkan debit air sungai naik dan menyebar ke daerah-daerah resapan, debitnya akan mendapat tambahan dari air hujan. Apabila kondisi daerah resapan tidak mampu lagi menampung air, maka air akan bertambah naik dan meluap ke daerah-daerah permukiman dan jalan.

Variasi tinggi permukaan air pasang surut, berkisar antara 2,0 m pada pasang purnama sampai 0,6 m pasang surut biasa (P3KT Kalimantan, 1990), sedangkan permukaan air Sungai Barito pada saat pasang maksimum mempunyai level +0,82 dpl, dan pada saat surut -0,10 dpl (Laporan Hasil Pengukuran Muka Air dan Analisa Kualitas Air di Banjarmasin, DHV/MLD, 1997). Pada daerah permukiman ketinggian muka air pasang surut tergantung dari jarak ke sungai terdekat.

Untuk sungai di Banjarmasin, ketinggian permukaan air sungai umumnya mengacu pada pasang surut air di muara (ambang luar) Sungai Barito, karena semua sungai yang ada di Banjarmasin dipengaruhi oleh pasokan air dari muara sungai. Kondisi muka air sungai maupun rawa di wilayah Banjarmasin sebagai berikut:

1. Sungai Barito

Sungai Barito terjadi perbedaan muka air pada waktu pasang dan surut di muara sungai Kuin 177 cm dan ke arah hulu di muara Sungai Alalak adalah 191 cm.

2. Sungai Martapura

Sungai Martapura terjadi perbedaan muka air pasang dan surut masing-masing di lokasi Sungai Basirih 179 cm dan 18 cm di atas tanah rata-rata. Kecepatan arus permukaan sungai relatif lamban, tergantung kepada kondisi pasang surut. Ketika kondisi surut arus mengarah ke bagian hilir dan sebaliknya ketika pasang arus kembali ke bagian hulu. Kecepatan arus ketika pasang berkisar antara 0,28–0,37 m/s (rata-rata 0,34 m/s), sedangkan pada saat surut antara 0,32–0,39 m/s (rata-rata 0,36 m/s).

Kemiringan sungai sangat kecil, karena kondisi topografi yang relatif datar dengan arus lamban, serta banyaknya hambatan berupa tumbuhan air dan tumbuhan rawa di sekitar sungai, sampah-sampah, endapan lumpur yang besar dan banyaknya rumah-rumah penduduk yang dibangun di pinggir sungai. Bentuk sungainya yang berkelak-kelok menimbulkan meander, dimana hal ini dapat dicirikan dari munculnya aktivitas erosi yang dominan ke arah samping (lateral), serta munculnya pulau-pulau kecil pada alur Sungai Barito yang bertemu dengan anak sungainya. Banjarmasin Selatan sendiri memiliki kesan sebuah pulau atau

delta yang terbentuk akibat bertemunya arus Sungai Barito dengan Sungai Martapura.

4.2.5. Iklim

Secara klimatologi, wilayah perencanaan beriklim tropis dengan klasifikasi tipe iklim A dengan nilai Q= 14,29% (rasio jumlah rata-rata bulan kering dengan bulan basah). Temperatur udara bulanan di wilayah ini rata-rata 26° C–38° C dengan sedikit variasi musiman. Curah hujan tahunan rata-rata mencapai 2.400 mm–3.500 mm dengan fluktuasi tahunan berkisar antara 1.600 mm–3.500 mm.

Penyinaran matahari rata-rata pada saat musim hujan 2,8 jam/hari dan di musim kemarau 6,5 jam/hari. Kelembaban udara relatif bulanan rata-rata tersebar jatuh pada bulan Januari yaitu ± 74–91% dan terkecil pada bulan September yaitu ± 52%. Evaporasi dari permukaan air bebas karena penyinaran matahari dan pengaruh angin, rata-rata harian sebesar 3,4 mm/hari di musim hujan dan 4,1 mm/hari di musim kemarau. Evaporasi maksimum yang pernah terjadi sebesar 11,4 mm/hari dan minimum 0,2 mm/hari.

4.2.6. Tata Guna lahan

Pola penggunaan lahan secara umum masih didominasi oleh daerah persawahan seluas 56.916 Ha atau 31,53 %, dan rawa 43.272 ha atau 23,97 % dari luas Kecamatan Banjarmasin Selatan. Kecamatan Banjarmasin Selatan memiliki areal perumahan terbangun seluas 8.131 Ha dari sekitar 4,50 % luas lahan keseluruhan. Penggunaan lahan di Kecamatan Banjarmasin Selatan tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas Penggunaan Lahan Banjarmasin Selatan Tahun 2007

No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)

1 Bangunan dan Halaman 8.131 4,50

2 Persawahan 56.911 31,53 3 Tegalan/Kebun 7.150 3,96 4 Ladang/Huma 10.602 5,87 5 Padang Rumput/Pengembalaan 2.457 1,36 6 Rawa-rawa 43.272 23,97 7 Kolam/Tabat/Empang 512 0,28

8 Lahan Tidak Diusahakan 3.299 1,83

9 Hutan Rakyat 7.136 3,95

10 Hutan Negara 20.139 11,16

11 Perkebunaan 12.630 7,00

12 Lain-lain 8.255 4,57

Jumlah 180.494 100,00

Sumber: Kec. Banjamasin dalam angka 2007

4.2.7. Aspek Kependudukan

4.2.7.1. Jumlah Penduduk dan Pertumbuhan Penduduk

Menurut Data BPS Kota Banjarmasin data kependudukan, menunjukkan

Dokumen terkait