• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.7. Konsep Perencanaan

5.8.1. Rencana Ruang

Zona rehabilitasi non intensif adalah zona yang berfungsi sebagai pengaman daerah sungai. Luas zona ini pada tapak adalah ± 1,74 Ha, luas ini mendekati 16% dari luas total tapak. Zona rehabilitasi intensif adalah zona yang berfungsi sebagai areal yang mengakomodasikan kegiatan manusia namun tetap memperhatikan aspek biofisik kawasan sehingga tidak menimbulkan efek negatif pada tapak. Luas zona rehabilitasi intensif pada tapak adalah 5,49 Ha, luas ini mendekati 51% dari luas tapak Sedangkan zona rehabilitasi semi intensif adalah areal peralihan (transisi) antara zona rehabilitasi non intensif dan zona rehabilitasi intensif. Luas zona rehabilitasi semi intensif pada tapak adalah 3,57 Ha, luas ini mendekati 33% dari luas tapak.

Pembagian zona berdasarkan analisis dan sintesis akan mengakomodasikan penggunaan lahan berdasarkan RDTRK Kecamatan Banjarmasin Selatan 2007 yakni peruntukan sabuk hijau sungai pada kawasan pemukiman. Pada zona rehabilitasi non intensif, penggunaan lahan yang diakomodasikan adalah ruang terbuka hijau (sabuk hijau sungai), pada zona rehabilitasi semi intensif penggunaan lahan yang akan diakomodasikan adalah pemukiman, fasilitas umum dan ruang terbuka hijau, sedangkan pada zona rehabilitasi intensif adalah pemukiman, fasilitas umum dan ruang terbuka hijau. Pembagian zona berdasarkan rehabilitasi lahan dan rencana penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Pembagian Penggunaan Lahan pada masing-masing Zonasi pada Tapak No. Zonasi Tata Guna Lahan Persentase

Penggunaan Lahan 1. Zona Rehabilitasi

Intensif

Pemukiman Fasilitas Umum Ruang Terbuka Hijau

51% 2. Zona Rehabilitasi

Semi Intensif

Pemukiman Fasilitas Umum Ruang Terbuka Hijau

33% 3. Zona Rehabilitasi

Non Intensif

Pada Tabel 17. dapat dilihat pembagian masing-masing zona berdasarkan rehabilitasi lahan dan rencana tata guna lahan. Selain memperhatikan kondisi tapak, pembagian zona ini juga mengacu pada peraturan pemerintah yang disesuaikan dengan perencanaan kawasan sempadan sungai pada kawasan pemukiman dalam hal ini Dinas Tata Kota Kota Banjarmasin dan Petunjuk Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan Di Kawasan Tepi Air (Dirjen Cipta Karya, 2000) yang menyebutkan bahwa luasan maksimum bangunan yang berada di sempadan sungai maksimal adalah 25%. Namun pada studi ini mengingat budaya masyarakat setempat yang memiliki keterkaitan sangat erat dengan sungai maka penyediaan lahan untuk ruang terbangun akan ditambah yakni sebesar 60% (sesuai dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 yang menyatakan bahwa suatu wilayah seharusnya memiliki perbandingan antara ruang terbangun dan ruang terbuka hijau sebesar 60 : 40). Berdasarkan hal tersebut maka ditentukan luasan daerah terbangun di tapak yang digunakan untuk pemukiman sebesar 45% dan penggunaan untuk fasilitas umum sebesar 15% sedangkan luas ruang terbuka hijau adalah sisanya dari luas total tapak. Ruang terbuka hijau meliputi jalur hijau tepi sungai, jalur hijau tepi jalan dan taman-taman umum di tepian sungai. Fasilitas-fasilitas umum yang diakomodasikan pada tapak harus mendukung daerah pusat kota yang akan dikembangkan. Pada Tabel 18 dapat dilihat masing-masing zona pada keadaan awal dan hasil perencanaan.

Pemukiman. Kawasan ini menempati urutan terbesar pada tapak, yaitu sebesar 45%. Pada kawasan ini dibagi menjadi dua zona, yaitu zona rehabilitasi intensif dan zona rehabilitasi semi intensif yang mengakomodasikan pemukiman penduduk dan kegiatan-kegiatan user di kawasan.

Tabel 17. Pembagian Zona pada Tapak Penggunaan Lahan Area (%) Zona Rehabilitasi Intensif Zona Rehabilitasi Semi Intensif Zona Rehabilitasi Non Intensif Jumlah Pemukiman 30,0 15,0 0 45,0 Fasilitas Umum 10,0 5,0 0 15,0 RTH 11,0 13,0 16,0 40,0 Jumlah 51,0 33,0 16,0 100,0

Tabel 18. Perubahan Luasan Zona Sebelum dan Sesudah Perencanaan

Penggunaan Lahan Area (%)

Awal Perencanaan

Pemukiman 69,6 45,0

Fasilitas Umum 14,4 15,0

RTH 15,9 40,0

Jumlah 100,0 100,0

Fasilitas Umum. Fasilitas umum di kawasan perencanaan mengalami kenaikan secara persentase pada saat sebelum dan sesudah dilakukan perencanaan yakni dari 14,4% menjadi 15,0%. Fasilitas umum yang akan diakomodasikan pada tapak adalah fasilitas yang menunjang penggunaan lahan di tapak yaitu fasilitas umum yang harus ada di kawasan pemukiman.

Ruang Terbuka Hijau. Ruang terbuka hijau mendapat persentase yang besar di tapak yakni 40,0%. Persentase yang besar ini disebabkan karena tapak berada di jalur sungai yang harus dikonservasi dan harus dijadikan ruang terbuka hijau. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kondisi biofisik kawasan. Ruang terbuka hijau di tapak terdapat di semua zona, baik zona rehabilitasi intensif, zona rehabilitasi semi intensif dan zona rehabilitasi non intensif. Distribusi ruang terbuka hijau pada masing-masing zona di tapak dapat dilihat pada Tabel 17. 5.8.2. Rencana Sirkulasi

Jalur sirkulasi adalah jalur yang digunakan untuk lalu lintas baik kendaraan maupun manusia. Jalur sirkulasi yang direncanakan pada tapak terdiri dari jalur sirkulasi darat dan air.

Jalur sirkulasi yang baik adalah jalur sirkulasi yang memberi kesempatan kepada pejalan kaki untuk berjalan dengan aman. Sirkulasi manusia sebaiknya dipisahkan dengan kendaraan. Di sepanjang jalan sebaiknya disediakan saluran drainase, tempat pembuangan sampah, lampu penerangan dan jalur hijau.

Jalur sirkulasi darat dalam hal ini jalur pejalan kaki dapat melalui daerah hijau, jembatan penyeberangan atau melalui bangunan (pergola). Fasilitas jalur pedestrian ini harus berintegrasi dengan lokasi halte kendaraan umum atau dermaga. Adapun lebar jalur pedestrian minimal 2,40 m dan harus menerus, ataupun berujung pada berbagai fasilitas untuk publik. Sistem sirkulasi pejalan

kaki ini juga termasuk penyediaan jalur yang dapat dilalui pemakai kursi roda. Untuk itu penyediaan struktur ramp sangat mendukung keberhasilan dalam sistem ini. Sirkulasi pedestrian berada pada sepanjang tepian sungai. Kedua jalur pedestrian akan terhubung dengan sebuah jembatan penyeberangan bagi pejalan kaki dan bagi kendaraan bermotor. Jalur-jalur pedestrian ini akan terhubung dengan ruang-ruang publik seperti taman dan plaza sebagai destinasi masing-masing zona. Fasilitas penunjang pada sirkulasi ini seperti shelter (rest area) sebagai area peristirahatan sementara pada beberapa titik dan fasilitas lainnya seperti darmaga. Letak shelter direncanakan setiap 200-300 m, hal ini disesuaikan dengan jarak lelah manusia dalam berjalan kaki.

Jalur kendaraan bermotor direncanakan mengikuti pola jalan yang sudah ada. Namun dibutuhkan alokasi area sebagai tempat parkir pada area tertentu (area yang menjadi pusat aktivitas) seperti pasar agar tidak menimbulkan kemacetan pada kawasan. Jembatan-jembatan yang dapat mengakomodasi kendaraan bermotor juga akan diimplementasikan di dalam tapak. Hal ini bertujuan untuk menyediakan akses dan jalur sirkulasi manusia dan komoditas lain antar area di kedua sisi sungai. Diharapkan kondisi tersebut dapat mempermudah akses pendistribusian barang dalam kegiatan ekonomi sehingga kesejahteraan masyarakat di tapak dapat merata. Struktur jembatan dibuat dengan menerapkan teknik eko-hidraulik dan dibuat dengan bentuk melengkung. Hal ini bertujuan agar tidak mengganggu sistem transportasi air yang akan dikembangkan dan tidak menurunkan kondisi biofisik pada kawasan.

Selain jalur sirkulasi di atas, di tapak juga perlu diakomodasikan jalur sirkulasi untuk kendaraan pemelihara sungai yang dinamakan jalan inspeksi tepi sungai. Jalan tepi sungai ini dapat dimanfaatkan pula oleh penduduk sebagai sarana untuk beraktivitas (jogging, jalan-jalan, sightseeing).

Selain itu juga akan dikembangkan sirkulasi air yang dibuat dengan tujuan untuk memudahkan user dalam menjangkau tempat-tempat tertentu yang tidak dapat dijangkau dengan menggunakan jalan darat. Tujuan lain yang ingin dicapai yaitu untuk menghidupkan aktivitas dan ekonomi di Sungai Kelayan. Untuk menghubungkan sirkulasi darat dan air akan dibuat beberapa darmaga di tapak. Pertimbangan dalam penempatan dermaga di titik-titik tertentu yaitu faktor

intensitas aktivitas yang ada di tapak tersebut. Perlindungan bantaran sungai dengan teknik eko-hidraulik juga akan diterapkan untuk mencegah efek negatif dari sistem transportasi air ini. Efek negatif yang ditimbulkan dari aktivitas transportasi sungai diantaranya, kerusakan struktur dasar sungai, kerusakan proteksi tebing sungai, peningkatan polusi air dan menurunnya kualitas dan kuantitas habitat sungai dan akibat selanjutnya adalah penurunan jumlah flora dan fauna sungai. Oleh karena itu teknik eko-hidraulik akan diimplementasikan dalam mengurangi efek negatif tersebut yakni dengan cara dikembangkan pelindung tebing dari vegetasi yang ditanam di sepanjang sungai (Gambar 38).

Gambar 38. Ilustrasi Rencana Sirkulasi pada Tapak 5.8.3. Rencana Vegetasi

Rencana Vegetasi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu vegetasi riparian dan vegetasi darat. Vegetasi riparian adalah vegetasi yang tumbuh di perbatasan antara air dan darat sedangkan vegetasi darat ialah vegetasi yang tumbuh/ ditanam darat tepatnya di area terluar dari vegetasi riparian.

Vegetasi riparian lebih difungsikan pada perlindungan tebing dan sumber nutrie bagi satwa perairan. Jenis vegetasi riparian yang paling tepat adalah dengan menggunakan tanaman-tanaman endemik kawasan. Tanaman endemik yang ada di sepanjang alur sungai dapat diidentifikasi dan dipilih yang paling sesuai untuk keperluan lindungan tebing di tempat tersebut. Dalam hal ini, tidak semua vegetasi di pinggir sungai cocok untuk berbagai tempat. Karena jenis tanaman di

suatu tempat dipengaruhi oleh faktor tanah, dinamika aliran air, penyinaran matahari, serta temperatur dan iklim mikro lainnya. Pada umumnya vegetasi yang ada sangat spesifik untuk penggal sungai tertentu. Maka perlu dicari jenis vegetasi yang cocok untuk daerah yang akan dilindungi.

Pada pemilihan jenis vegetasi ini sangat perlu dipertimbangkan besarnya kecepatan air. Golongan rumput-rumputan (Familia Gramineae) dan kangkung-kangkungan (Familia Convolvulaceae) yang bersifat lentur bisa digunakan untuk perlindungan tebing pada kecepatan arus tinggi. Sedangkan yang sifatnya getas (mudah patah) untuk kecepatan rendah. Pada penanaman vegetasi tersebut, sangat diperlukan perlindungan awal sampai vegetasi tersebut tumbuh dan berakar kuat sebelum terkena banjir atau arus yang relatif kuat. Dengan demikian akan sangat baik jika ditanam pada pertengahan musim kemarau atau akhir musim penghujan. Sehingga pada musim penghujan berikutnya tanaman sudah kuat menahan energi aliran air (Maryono, 2008).

Berdasarkan hasil studi yang dilakukannya Budinetro dalam (Maryono, 2008), terdapat tiga usulan jenis tumbuhan yang terdapat di Indonesia tang bisa digunakan, yaitu Vetiveria zizanioides (rumput vetiver atau rumput akar wangi), Ipomoea carnea (karangkungan) dan bambu.

Rumpur vetiver adalah tanaman yang sangat mudah tumbuh di berbagai tingkat kesuburan tanah, tahan kekeringan dan tahan genangan air, serta penanamannya mudah, relatif tanpa pemeliharaan. Akar vetiver ini tumbuh lebat menancap ke bawah (dapat mencapai 3 m), sehingga tidak terjadi perebutan unsur hara denga tanaman lain. Sifat yang menguntungkan lainnya adalah umurnya panjang dan dapat bertahan selama puluhan tahun. Jenis vetiver yang diintroduksi ke Indonesia adalah yang tidak menghasilkan biji dan tidak mempunyai stolon yang dapat menghasilkan tanaman baru. Daun vetiver relatif rimbun sebagai penangkal erosi akibat hujan. Akarnya yang kuat akan mengikat tanah disekitarnya. Satu jalur vetiver sepanjang kontur akan berfungsi mengikat tanah serta menahan sedimen dan lumpur yang terbawa air, sehingga dapat terbentuk bangku terasering stabil.

Ipomoea carnea disebut juga karangkungan atau kangkung londo atau lompong-lompongan, termasuk Familia Convolvulaceae (golongan

kangkung-kangkungan). Ipomoea carnea merupakan tanaman rawa yang dapat tumbuh di segala tempat serta tahan terhadap genangan dan arus air.

Bambu termasuk Familia Gramineae (golongan rumput-rumputan). Bambu tumbuh alami di hampir semua benua. Sampai saat ini menurut FAO terdapat sebanyak 75 genus bambu dan 1.250 spesies. Batangnya berbentuk pipa, dengan buku-buku sebagai pembatas pipa, mempunyai lapisan kulit khusus di bagian dalam dan luar batangnya. Kekuatan tarik lapis luar dua kali lipat dari bagian dalam. Memiliki kekuatan tinggi secara aksial dan memiliki sifat lentur.

Bambu ini dapat dijumpai di sebagian besar tebing sungai. Tebing sungai merupakan habitat yang cocok untuk tanaman bambu. Kaitannya dengan perbaikan tebing, maka bambu dapat ditanam di sepanjang bagian tebing yang dianggap rawan. Di samping itu dapat juga dikombinasikan dengan rumput vetiver dan karangkungan.

Kombinasi konstruksi bambu, rumput vetiver dan karangkungan sesuai untuk lokasi yang mempunyai kondisi dimana kecepatan air pada saat banjir kurang dari 1,5 m/s, air banjir banyak membawa sedimen tersuspensi (banyak membawa lumpur) dan dasar sungai bukan tersusun oleh batu kerikil. Gambar 39 menunjukkan pemasangan atau penanaman kombinasi bambu, rumput vetiver dan karangkungan.

Gambar 39. Bio-engineering untuk pengendalian erosi tebing dengan penanaman karangkungan (Ipoemoea carnea) dan rumput vetiver (Vetiveria zizanioides) pada endapan baru

Cara pemasangannya adalah batang bambu dipancangkan vertikal pada lokasi yang tebingnya mengalami ancaman gerusan, batang melintang-mendatar dipasang dan diikatkan pada batang vertikal sebagai penguat. Di antara baris batang vertikal dimasukkan ranting pohon (segala jenis ranting dan dahan pohon). Dengan ini terbentuklah krip porus yang dapat menahan air banjir dan mengikat sedimen. Setelah endapan terbentuk maka karangkungan atau rumput vetiver ditanam. Selanjutnya karangkungan atau rumput vetiver akan tumbuh kuat dan tumbuhnya tidak teratur saling tindih dan terkait sehingga dapat mempercepat proses pengendapan. Pada saat batang bambu mulai rapuh terkena panas dan waktu, rumput vetiver atau karangkungan dan endapan baru pada kaki tebing sungai cukup stabil serta mampu menahan gerusan. Untuk lapisan vegetasi riparian berikutnya dapat diisi dengan tanaman-tanaman endemik pada tapak, seperti Nipah (Nypa fructicans), Pandan (Pandanus sp.), Rambai (Baccaurea motleyana), Kayu Galam (Melaleuca cajuputi), Kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri) dan lain-lain.

Teknik bio-engineering dimaksudkan sebagai usaha untuk seoptimal mungkin menggunakan komponen vegetasi (tumbuhan di sepanjang bantaran sungai) untuk menanggulangi longsoran dan erosi tebing sungai dan kerusakan bantaran sungai lainnya (Maryono, 2007). Penerapan teknik ini bertujuan untuk menanggulangi longsoran dan erosi tebing sungai serta kerusakan bantaran sungai. Metode bio atau eko-engineering ini merupakan metode yang murah dengan keberlanjutan tinggi. Patt et al dalam Maryono, 2008 mengusulkan beberapa teknik eko-engineering yang berfungsi sebagai penahan tebing, yakni:

a. Batang pohon yang tak teratur; pohon tumbang baru dan belum dipotongi dahan dan rantingnya dapat dipasang pada bagian yang longsor (Gambar 40). Di daerah pegunungan dapat dipakai pohon pinus atau cemara. Bagian bawah (akarnya) diletakkan di hulu membujur di sepanjang tebing yang longsor. Untuk dataran rendah dapat digunakan pohon-pohon atau bambu di sekitar sungai yang ada. Pada longsoran yang panjang dapat digunakan sejumlah batang pohon yang dipasang memanjang.

Gambar 40. Batang Pohon yang Tak Teratur

Sumber: Patt et al. dalam Maryono, 2008

b. Gabungan (ikatan) batang dan ranting pohon membujur; dahan dan ranting pohon dapat diikat memanjang dan dipasang dengan dipatok di sepanjang kaki tebing sungai. Fungsi utamanya adalah untuk menahan kemungkinan longsornya tebing akibat arus air. Jenis tumbuhan (ranting dan dahan) dipilih di daerah setempat, misalnya batang tumbuhan bamboo yang berukuran kecil. Ikatan tersebut sebaiknya ditimbun tanah sehingga terdorong tanah (Gambar 41). Untuk menjaga kebasahan selama masa pertumbuhan, maka ikatan tersebut harus diletakkan di bawah atau pada muka air rata-rata.

Gambar 41. Gabungan (Ikatan) Batang dan Ranting Pohon Membujur

Sumber: Patt et al. dalam Maryono, 2008

c. Ikatan batang dan ranting pohon dengan batu dan tanah didalamnya; prinsipnya sama dengan ikatan batang, hanya bagian dalam ikatan tersebut

diisi dengan batu dan tanah. Fungsi batu dan tanah ini adalah sebagai alat pemberat sehingga ikatan tidak terbawa arus. Di samping itu mempermudah tumbuhnya batang dan ranting tersebut.

Gambar 42. Ikatan Batang Pohon dengan Batu dan Tanah Didalamnya

Sumber: Patt et al. dalam Maryono, 2008

d. Pagar datar; dapat dibuat dengan bambu atau batang dan ranting pohon yang ada di sekitar sungai. Pencapaian pilar pagar sekitar 50 cm dan jarak pilar antara 50-80 cm. Pagar dipasang di dasar sungai dengan bagian atas di bawah tinggi muka air rata-rata (Gambar 43). Pemasangan pagar ini paling tepat sebelum musim penghujan. Tergantung jenis tanaman setempat, dalam waktu berapa bulan tanaman dibelakang pagar sudah bias tumbuh.

Gambar 43. Pagar Datar yang Dikombinasikan dengan Tanaman

Sumber: Patt et al. dalam Maryono, 2008

e. Penutup tebing; penutup tebing untuk menanggulanngi erosi ini dapat dibuat dari berbagai macam bahan, misalnya dari alang-alang, mantang-mantangan,

bawah dipasang ikatan batang pohon untuk penahan. Di antaranya bias ditanami dengan tumbuhan, sebaiknya dari jenis yang ditemukan di sekitar lokasi tersebut.

Gambar 44. Penutup Tebing yang Dikombinasikan dengan Tanaman Sumber: Patt et al. dalam Maryono, 2008

f. Tanaman tebing; untuk melindungi erosi dan longsoran tebing yang terjal dapat digunakan cara seperti pada Gambar 45. Jenis tanamannya disesuaikan dengan jenis tanaman yang dijumpai di sekitar lokasi. Panjang batangnya sekitar 60 cm masuk ke dalam tanah dengan diurug di atasnya dan sekitar 20 cm yang di luar. Dengan cara pengurugan ini didapat kondisi tanah yang gembur dan memungkinkan hidupnya tanaman tersebut. Dengan masukan sedalam 60 cm ke dalam tanah maka akan di dapat tanaman yang kuat mengikat tebing sungai.

Gambar 45. Tanaman Tebing yang Dikombinasikan dengan Tanaman

Pada vegetasi darat lebih ditekankan pada fungsi ekologis dan arsitektural. Pilihan jenis vegetasi memperhatikan kesesuaian vegetasi terhadap penggunaan dan kondisi lahan. Dalam hal ini pertimbangan lebih dominan pada fungsi arsitektural vegetasi. Vegetasi darat dengan fungsi estetika lebih menonjolkan keindahan tanaman baik dari bentuk, corak, warna bunga, daun, batang, tajuk dan lain-lain. Peletakan jenis tanaman estetika diperuntukkan pada areal taman rekreasi, tepi jalan dan pemukiman. Vegetasi yang dipilih untuk areal tepi jalan, taman publik dan pemukiman berupa: Bungur (Langerstromia speciosa), Mangga Kalimantan (Mangifera campanulata), Kecrutan (Spathodea campanulata), Sungkai puspa (Peronema canescens), Mahoni (Swietenia mahogani), Ketapang (Terminalia catappa) dan beberapa vegetasi introduksi lainnya (Gambar 46).

Gambar 46. Ilustrasi Rencana Vegetasi pada Tapak

5.8.4. Rencana Aktivitas dan Fasilitas

Perencanaan lanskap tepian sungai ini pada dasarnya merupakan perencanaan tata letak fasilitas berdasarkan kegiatan-kegiatan yang akan diakomodasikan pada tapak, sehingga fungsi biofisik sungai dan kawasan pemukiman dapat berjalan dengan baik. Fasilitas diperlukan untuk menunjang aktifitas user di tapak. Fasilitas yang akan dikembangkan disesuaikan dengan karakter masing-masing kawasan pemukiman (Tabel 19).

Tabel 19. Zona, Fungsi, Aktivitas, dan Fasilitas yang Akan Diakomodasikan pada Tapak

Zona Fungsi Aktivitas Fasilitas

Rehabilitasi Intensif

Bermukim Mandi, makan, tidur, mencuci,membaca

Rumah panggung, tegalan Sosial, bertransaksi Beribadah Pendidikan Sanitasi Sosial Sirkulasi Bersosialisasi Berbelanja, berjualan, bekerja Berdoa, shalat, ceramah agama Belajar, bermain Mandi, cuci, membuang sampah dan limbah Bersosialisasi, bermain

Berjalan kaki, naik motor, naik mobil,naik taksi air

Pasar lingkungan, pasar terapung

Masjid dan sarana keagamaan lain Aula, playground Kamar mandi, MCK, tempat sampah, penampungan dan pengolahan limbah Taman, MCK umum

Pedestrian path, jalan motor dan mobil, dermaga

Rehabilitasi Semi Intensif

Bermukim Mandi, makan, tidur, mencuci,membaca

Rumah panggung, tegalan Pendidikan Belajar, bermain Aula, playground

Sanitasi Sosial Sirkulasi Mandi, cuci, membuang sampah dan limbah Bersosialisasi, bermain

Berjalan kaki, naik motor, naik mobil, naik taksi air

Kamar mandi, MCK, tempat sampah, penampungan dan pengolahan limbah Taman, MCK umum

Pedestrian path, jalan motor dan mobil, dermaga

Rehabilitasi Non Intensif

Konservasi Sungai Penelitian, bird

watching, foto

hunting, sitting area

Vegetasi tepi sungai, jalan inspeksi

Fasilitas dermaga diletakkan pada titik-titik yang memiliki intensitas aktivitas tinggi. Hal ini bertujuan untuk menghidupkan transportasi air pada tapak. Selain itu juga untuk menghubungkan antara darat dan sungai sehingga kesinergisan area antara keduanya dapat tercipta. Gambar 47 mengilustrasikan rencana dermaga pada tapak.

Gambar 47. Rencana Penataan Darmaga pada Tapak

Fasilitas mushola/langgar merupakan fasilitas yang cukup penting bagi kawasan mengingat penggunaan lahan pada kawasan berupa pemukiman dan mayoritas penduduknya yang beragama islam. Oleh karena itu pada tepian sungai sebagian penggunaan lahannya digunakan untuk bangunan mushola yang bertujuan untuk mengakomodir kebutuhan rohani masyarakat. Gambar 48 mengilustrasikan rencana penempatan mushola pada tapak.

(a) Ilustrasi Aktivitas pada Tepian Darmaga

Gambar 48. Rencana Penempatan Mushola pada Tapak

Fasilitas berupa ruang publik yang direncanakan berupa taman publik, area olahraga, area playground dan fasilitas publik lainnya. Hal ini bertujuan untuk mengakomodir kegiatan sosial bagi masyarakat. Pengaturan dan penempatan fasilitas ini diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu lingkungan biofisik kawasan. Gambar 49 dan 50 mengilustrasikan rencana penataan ruang publik pada tapak.

Gambar 50. Rencana Area playground pada Tapak 5.8.5. Rencana Pemukiman

Kawasan pemukiman menempati urutan terbesar pada tapak, yaitu sebesar 45%. Penggunaan lahan untuk pemukiman terbagi dalam dua zona, yaitu zona rehabilitasi intensif dan zona rehabilitasi semi intensif yang mengakomodasikan kegiatan-kegiatan user di kawasan pusat kota dan pemukiman penduduk (Tabel 20). Dalam penerapanya yang menjadi dasar penataan pemukiman adalah Petunjuk Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan di Kawasan Tepi Air (Dirjen Cipta Karya, 2000). Selain itu bangunan rumahnya harus mengikuti standar rumah ekologis yang telah disebutkan pada Tabel 15.

Tabel 20. Distribusi Zona Pemukiman pada Tapak. Penggunaan Lahan Area (%) Zona Non Konservasi Zona Semi Konservasi Zona Konservasi Jumlah Pemukiman 20.0 5.0 0 25.0 Fasilitas Umum 14.0 6.5 0 20.5 RTH 17.0 16.5 21.0 54.5 Jumlah 51.0 28.0 21.0 100.0

Selain pengadaan ruang pemukiman di sempadan sungai, dilakukan pula perbaikan sanitasi. Perbaikan sanitasi lingkungan ini menggunakan teknik baru dengan masih mempertimbangkan kebiasaan masyarakat dalam berinteraksi dengan sungai. Rencana penataan sanitasi ini dilakukan dengan cara

menggunakan sistem pengolahan yang telah dikembangkan yaitu sistem perpipaan

Dokumen terkait