• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV PENILAIAN DAUR HIDUP RODUKSI BIOETANOL DARI BIOMASSA TANAMAN JAGUNG

6 Asumsi-asums

Penilaian daur hidup etanol dari biomassa tanaman jagung menggunakan beberapa asumsi yaitu :

1 Biomassa tanaman jagung yang dapat digunakan untuk produksi bioetanol sebanyak 60 % dari total limbah tanaman jagung (Sheehan et al. 2004)

2 Kapasitas produksi sebesar 1000 L/hari

3 Energi yang dihitung merupakan energi langsung yang dipakai pada proses produksi dengan mengabaikan faktor konversi akibat penggunaan alat dan faktor kehilangan

4 Energi manusia tidak dimasukkan dalam perhitungan

5 Limbah padat dari proses perlakuan pendahuluan maupun fermentasi digunakan sebagai bahan bakar langsung

6 Analisis daur hidup mencakup pengangkutan bahan baku, proses produksi etanol, pencampuran, dan distribusi bahan bakar.

Hasil dan Pembahasan 1 Analisis persediaan

Analisis persediaan yang dilakukan meliputi input berupa kebutuhan bahan baku, penggunaan alat dalam seluruh kegiatan dan energi yang dibutuhkan oleh mesin (Tabel 15). Sementara output proses berupa produk yang dihasilkan maupun pencemaran lingkungan berupa limbah padat, cair, dan emisi yang ditimbulkan. Analisis persediaan ini merupakan tahap kedua dari LCA yang dijelaskan di dalam ISO 14041.

Proses produksi etanol dari biomassa tanaman jagung meliputi pengecilan ukuran, delignifikasi, hidrotermolisis I, hidrotermolisis II, sakarifikasi dan fermentasi, serta pemurnian. Pengecilan ukuran menggunakan energi manusia dan energi listrik untuk menggerakkan motor pada mesin pengecil ukuran (disc mill).

Mesin tersebut memiliki kapasitas 2000 kg/jam dengan menggunakan motor 5 HP dan bahan yang dihasilkan berukuran 2-10 mm Bobot bahan sebelum dan sesudah pengecilan ukuran tidak mengalami pengurangan bobot maupun kadar air.

Tabel 15 Komponen masukan dan keluaran pada proses produksi bioetanol

masukan Keluaran

Perlakuan awal Biomassa tanaman jagung (BTJ) √

Air √ Ca(OH)2 √ √ Energi √ Limbah cair √ Polutan gas √ SKFS Substrat fermentasi (BTJ) √ Air √ √ Enzim selulase √ √ Enzim xilanase √ √ Enzim -glukosidase √ √ Urea √ (NH4)2PO4 √ MgSO47H2O √ Yeast ekstract √ Kultur mikroorganisme √ √ Energi √ Etanol √ CO2 √ Limbah cair √ Limbah padat √ Pemurnian Etanol √ Limbah cair √ Limbah padat √ Air √ Energi √ Utilitas Air √ Energi √ √ Limbah cair √ Energi √ Air √ COD √ Identifikasi pada Proses Komponen Unit Pengolah Limbah

Delignifikasi merupakan proses pemecahan dan penyisihan komponen lignin dari struktur biomassa. Proses delignifikasi menggunakan Ca(OH)2

sebanyak 0,075 g/g biomassa, air sebanyak 6,25 ml/g biomassa, air untuk pencucian 25-30 ml/g. Proses dilakukan pada suhu 75 OC dengan menggunakan sumber energi uap panas dari ketel uap yang menggunakan biomassa atau limbah padat sebagai bahan bakar. Penggunaan sumber energi tersebut memungkinkan timbulnya emisi yaitu CO, CO2, HK, dan NOx. Selain itu, proses delignifikasi juga

menghasilkan limbah cair yang mengandung lignin, bahan ekstraktif, bahan terlarut lainnya.

Proses hidrotermolisis menggunakan media air dan dilakukan pada suhu tinggi di atas titik penguapan air. Untuk menjaga agar air tetap pada fase cair maka harus dijaga kondisi tekanan dalam reaktor. Pada hidrotermolisis I dan II, tekanan diatur masing-masing pada 199 kN/m2 dan 1120 kN/m2. Komponen input pada unit ini adalah biomassa yang sudah didelignifikasi dan air dengan perbandingan 1:5, sedangkan energi berasal dari uap panas. Penggunaan energi yang tinggi menyebabkan unit ini berkontribusi pada emisi akibat pembakaran bahan bakar biomassa secara langsung.

Tahap selanjutnya adalah sakarifikasi dan ko-fermentasi simultan (SKFS) yang merupakan tahap kritis dalam konversi biomassa tanaman jagung menjadi

ethanol. Input proses SKFS adalah enzim selulase, xilanase, -glukosidase, nutrien yang berupa urea atau larutan (NH4)2PO4, MgSO47H2O2, dan yeast

extract. Sementara substrat terdiri dari hidrolisat hasil hidrotermolisis dengan water insoluble solid (WIS) 7,5% (b/v). Keluaran proses SKFS terdiri dari CO2

dan bubur fermentasi yang mengandung etanol, air, sisa substrat dan bahan tidak terfermentasi.

Etanol dengan konsentrasi 99% (v/v) diperoleh dengan evaporasi dan distilasi bubur fermentasi pada suhu 78 OC dengan menggunakan energi uap panas dari ketel uap. Sementara itu, keluaran proses pemurnian berupa etanol, air, residu padatan, dan limbah cair. Residu padatan digunakan sebagai umpan bahan bakar pada ketel uap dengan kandungan energi 25,4 KJ/g bahan (Luo et al. 2010).

Sumber energi yang digunakan di dalam proses produksi dipasok dari unit ketel uap yang menggunakan bahan bakar limbah padat dari fermentasi atau

biomassa. Bahan bakar ini diasumsikan memiliki efek lingkungan seperti kayu yaitu melepaskan emisi HK (0,021 kg/kg bahan), NOx (0,003 kg/kg bahan), CO

(0,035 kg/kg bahan), dan CO2 (2,538 kg/kg bahan).

2 Neraca massa

Neraca massa untuk setiap rancangan berbeda-beda tergantung pada hasil biokonversi selama proses SKFS, sedangkan tahap perlakuan pendahuluan dan pemurnian menggunakan metode yang sama dan hasilnya juga sama. Konversi biomassa menggunakan kultur campuran Z. mobilis dan P. stipitis menghasilkan etanol lebih tinggi dibandingkan S. cerevisiae dan P. stipitis.

Berdasarkan Tabel 16, jika biomassa yang dikonversi 100 kg maka pada rancangan terbaik (R3) maka setelah perlakuan pendahuluan diperoleh substrat fermentasi dengan kandungan padatan 49,32 kg, setelah fermentasi diperoleh etanol sebanyak 13,64 g etanol, dan setelah pemurnian diperoleh 12,27 g etanol dengan tingkat kemurnian 95%. Secara keseluruhan, konversi lignoselulosa pada rancangan R3 mencapai 0,124 kg etanol untuk setiap kg biomassa tanaman jagung berkadar air 10,83%.

Tabel 16 Konversi pada lima rancangan proses produksi bioetanol

Proses Unit R1 R2 R3 R4 R5

Perlakuan pendahuluan % (b/b) 49,32 49,32 49,32 49,32 49,32

SKFS % (b/b) 14,07 6,92 27,62 25,81 12,71

Pemurnian % (b/b) 90 90 90 90 90

Total kg Et/kg BTJ 0,063 0,031 0,124 0,116 0,057

Perhitungan neraca massa menggunakan basis 100 g biomassa tanaman jagung dengan kadar air 10,83% (b/b) dan untuk untuk rancangan R1 dihasilkan etanol 0,06 kg etanol/kg BTJ dengan tingkat kemurnian 95% (Gambar 23). Ditinjau dari total konversi, rancangan terbaik yaitu R3 dengan nilai 0,124 kg Et/kg BTJ, sedangkan yang terendah terjadi pada R2 yaitu 0,031 kg Et/kg BTJ. Dengan demikian, untuk menghasilkan 124 kg etanol dibutuhkan 1 ton biomassa tanaman jagung. Hasil tersebut masih lebih rendah dibanding hasil penelitian Badger (2002) yaitu 0,197 kg Et/kg BTJ dan target maksimal dari NREL (2002) sebesar 0,338 kg Et/kg BTJ.

Gambar 23 Neraca massa unntuk rancangan R1 (enzim murni, Z. mobilis dan P. stipitis)

3 Analisis energi

Perhitungan aliran energi mencakup energi bahan baku dan energi proses, tetapi dalam penelitian ini hanya dihitung energi proses untuk konversi biomassa menjadi etanol 99% (v/v). Leng et al. (2007) mendefinisikan energi proses

sebagai input energi yang diperlukan untuk menjalankan proses atau alat di dalam sebuah unit proses. Kebutuhan total energi terbesar terjadi pada rancangan R2 yaitu 183,22 MJ/L dan terendah pada R3 yaitu 44,15 MJ/L (Gambar 24). Hal tersebut disebabkan oleh proses konversi pada R2 sangat rendah yaitu 6,3 kg/ton BTJ sehingga kebutuhan bahan baku yang diproses lebih besar dibandingkan rancangan lainnya. Sementara kebutuhan energi untuk R1, R3, dan R4 lebih kecil dibandingkan R5 yaitu 109,85 MJ/L yang merupakan konversi pembanding menggunakan kultur tunggal S. cerevisiae.

Gambar 24 Kebutuhan energi untuk setiap rancangan

Hasil rancangan terbaik yaitu proses produksi dengan perlakuan delignifikasi Ca(OH)2, hidrotermolisis, hidrolisis dengan enzim (kasar), kultur

campuran Z. mobilis dan P. stipitis. Jika bahan bakar fosil digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan energi maka jumlah energi produksi satu liter etanol lebih besar dibandingkan dengan energi yang terkandung di dalam satu liter etanol yaitu 21,1 MJ. Untuk memperbaiki rasio energi maka digunakan limbah padat sebagai bahan bakar langsung pada unit proses delignifikasi, hidrotermolisis, dan distilasi. Namun demikian, energi fosil masih dipergunakan pada proses pengangkutan bahan baku, energi listrik pada proses produksi, dan distribusi bahan bakar gasohol.

Tabel 17 menyajikan kebutuhan energi untuk setiap unit proses pada rancangan proses produksi etanol R1 sampai dengan R5. Hidrotermolisis II

123,10 184,62 44,50 47,62 110,62 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 160,00 180,00 200,00 R1 R2 R3 R4 R5 K ebutuha n E nerg i ( M J /L )

merupakan unit proses yang paling banyak memerlukan energi, sedangkan unit proses fermentasi membutuhkan energi sangat kecil sehingga diabaikan. Perlakuan pendahuluan (deligniikasi-hidrotermolisis) pada R-3 sebagai rancangan terbaik membutuhkan energi sebesar 85,55 % dari total energi untuk proses produksi.

Tabel 17 Perbandingan kebutuhan energi pada setiap rancangan

Kebutuhan energi yang besar terjadi proses delignifikasi dan hidrotermolisis karena proses ini dilakukan pada suhu tinggi atau waktu lama. Hubungan antara waktu dan suhu dinyatakan dalam bentuk persamaan severity (van Walsum dan Shi 2004; Kumar et al. 2009) yaitu :

(17)

dengan t adalah waktu (menit) dan T adalah suhu (oC). Severity index pada delignifikasi, hidrotermolisis I dan hidrotermolisis II adalah (1,34), (2,37), (3,66) yang mengindikasikan bahwa pada proses-proses tersebut membutuhkan energi yang besar untuk mencapai target proses. Dengan demikian, rendemen pada tahap sakarifikasi dan fermentasi sangat menentukan kebutuhan energi pada unit-unit proses lain dalam proses produksi bioetanol.

Kebutuhan energi dipenuhi dari sumber energi listrik PLN dan bahan bakar dari limbah padat atau biomassa. Dalam perhitungan diasumsikan bahwa listrik PLN dibangkitkan dengan menggunakan bahan bakar batu bara yang

Unit Operasi Kebutuhan Energi (KJ) pada rancangan

R1 R2 R3 R4 R5 Pengecilan ukuran 103.910 211.385 52.889 56.631 115.002 Delignifikasi 19.484.976 39.638.641 9.917.610 10.619.421 22.536.692 Hidrotermolisis I 13.466.745 27.395.644 6.854.406 7.339.452 14.904.392 Hidrotermolisis II 30.508.790 62.064.588 15.528.595 16.627.462 33.765.766 Prehidrolisis 4.994.431 9.816.009 2.858.455 3.015.139 5.780.975 Fermentasi 0 0 0 0 0 Evaporasi-distilasi 21.485.328 43.919.836 8.873.686 9.516.118 32.634.693 Utilities 96.639 166.183 63.623 66.045 103.815 Tangki pembibitan 4.320 8.640 4.320 4.320 4.320 Total Energi (KJ) 90.145.138 183.220.927 44.153.583 47.244.587 109.845.657

berasal dari Indonesia. Energi listrik diperlukan pada proses pengecilan ukuran dan utilitas, sedangkan proses lainnya menggunakan berbahan bakar limbah padat atau biomassa.

Energi listrik diperlukan pada unit proses produksi pengecilan ukuran, delignifikasi-hidrotermolisis, penyediaan air, dan penerangan. Kebutuhan energi listrik pada unit proses produksi yaitu untuk menjalankan motor pengaduk dan juga pompa air. Total kebutuhan energi dari sumber listrik pada rancangan terbaik sebesar 864 MJ, sedangkan rancangan R2 membutuhkan energi terbesar yaitu 1.748 MJ.

Kebutuhan energi untuk rancangan terbaik yaitu R3 dengan total kebutuhan energi untuk proses produksi sebesar 44.504 MJ yang terdiri dari energi fosil 864 MJ dan energi dari biomassa 43.640 MJ. Energi biomassa diperoleh dari penggunaan limbah padat atau residu dari perlakuan pendahuluan dan fermentasi serta biomassa dari sumber lain. Rancangan R1, R2, R4, dan R5 memerlukan tambahan biomassa untuk memenuhi kebutuhan energi pada proses produksi karena limbah padatnya tidak mencukupi (Tabel 18).

Tabel 18 Sumber energi dan kebutuhan bahan bakar Rancangan Biomassa Energi

(MJ)

Jumlah Energi Sumber Energi Tersedia (MJ) Kekurangan (MJ) Limbah Padat (Kg) Biomassa (Kg) R1 121.929 28.427 93.502 5.411 6.233 R2 182.870 47.572 135.298 9.056 9.020 R3 43.640 4.448 39.191 847 2.613 R4 46.742 5.467 41.276 1.041 2.752 R5 109.211 21.348 87.863 4.064 5.858

Selain energi untuk proses produksi, energi juga diperlukan untuk pengangkutan bahan baku dan pencampuran bioetanol dan premium. Energi dihitung dengan asumsi alat angkut truk dengan bahan bakar bensin, sedangkan jarak sumber bahan baku dan pabrik 14 km dan jumlah pengangkutan bahan baku sebanyak 1.784 kali per tahun (Lampiran 10). Rata-rata kebutuhan energi untuk rancangan terbaik yaitu 463 MJ untuk satu kali angkut bahan baku.

Energi untuk pencampuran etanol dan premium (blending) dan distribusi biopremium digunakan hasil penelitian Leng et al. (2007). Untuk menghasilkan

biopremium E10 yaitu 10% volume bahan bakar etanol ditambahkan ke bahan bakar fosil (premium) dibutuhkan energi 0,7 kWh/1000 L. Sementara itu, energi yang dikonsumsi untuk mendistribusikan biopremium adalah 51.015 Btu/1000 L dengan asumsi jarak rata-rata pabrik pencampuran E10 ke stasiun pengisian biopremium sejauh 100 km.

Kinerja energi yang dinyatakan dengan Net Energy Ratio (NER) dan Net Energy Gain untuk setiap rancangan disajikan pada Tabel 19. Nilai NER rancangan R2 sebesar 0,85 (< 1) berarti proses konversi ini tidak efisien karena banyak selulosa dan hemiselulosa yang tidak terkonversi menjadi etanol. Sementara nilai NEG untuk R2 adalah -3.603 MJ yang berarti energi dari etanol yang diproduksi jauh lebih kecil dibandingkan energi yang diperlukan untuk proses produksi. Semakin besar nilai NEG menunjukkan bahwa proses konversi memberi keuntungan yang lebih besar dari aspek energi yang diproduksi. Rancangan R3 merupakan proses produksi yang terbaik dari lima rancangan yang dikaji dengan nilai NER dan NEG adalah 5,60 dan 16.629 MJ. Nilai NER R3 tersebut lebih tinggi dibanding NER etanol dari jagung yaitu 1,35-1,67 tetapi lebih rendah dibanding etanol dari gula tebu yang memiliki NER 8,3-10,2 (Shapouri et al. 2007; Macedo et al. 2004 dalam Duffield et al. 2006).

Tabel 19 Nilai NER dan NEG untuk rancangan proses produski R1 s.d R5 Rancangan Energi masuk Energi keluar NER NEG

(MJ) (MJ) R1 13.222 20.247 1,54 7.082 R2 23.812 20.247 0,85 -3.508 R3 3.675 20.247 5,60 16.629 R4 3.985 20.247 5,15 16.318 R5 10.292 20.247 1,98 10.012 4 Analisis Dampak

Tujuan dilakukan analisis dampak adalah untuk mengetahui kemungkinan dampak lingkungan yang dapat terjadi dari pelaksanaan seluruh kegiatan. Salah satu penyebab dampak lingkungan adalah penggunaan energi listrik dan energi uap panas. Energi listrik diperoleh dari PLN yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Dengan demikian, penggunaan energi listrik akan melepaskan polutan berupa abu, SOx, NOx, CO, CO2, dan HK.

Dampak lingkungan juga ditimbulkan dari emisi pembakaran bahan bakar biomassa, limbah cair dari perlakuan pendahuluan dan fermentasi. Dalam penelitian ini bahan bakar yang digunakan adalah limbah padat dari fermentasi dan kekurangannya menggunakan biomassa. Emisi yang ditimbulkan dari pembakaran limbah padat atau residu terutama emisi CO2 tidak dimasukan dalam

perhitungan potensi gas rumah kaca karena akan diserap kembali oleh tanaman jagung. Polutan juga timbul dari pembakaran bahan bakar fosil yaitu bensin yang digunakan oleh truk pengangkut bahan baku dan truk tangki pengangkut biopremium E-x.

Polutan terbesar yang dilepaskan ke lingkungan dari proses produksi bioetanol adalah CO2 (Gambar 25). Oleh karena itu, pembahasan terutama

ditujukan pada dampak yang ditimbulkan oleh polutan CO2 yaitu efek gas rumah

kaca. Potensi gas rumah kaca (PGR) dihitung dengan rumus sebagai berikut (Kadam 2000) :

(18)

dengan GWP adalah potensi pemanasan global ke-i dan mi adalah massa gas ke-i

yang terlepas (kg).

Penggunaan limbah padat dan biomassa pada proses produksi etanol dapat menimbulkan emisi gas rumah kaca yaitu CO2, N2O dan CH4. Pada proses

produksiR2 menghasilkan polutan terbesar yaitu CO2, N2O dan CH4 75,78 kg/L

etanol, 0,0002 kg/L etanol dan 0,00001 kg/L etanol (Gambar 25). Emisi terkecil terjadi pada proses produksiR3 dengan perincian sebagai CO2(21,93 kg/L etanol),

N2O (0,00003 kg/L etanol), dan CH4 (0,0000002 kg/L etanol). Emisi CO2untuk

semua rancangan jauh lebih besar dibandingkan polutan lainnya karena bahan bakar yang digunakan pada pengangkutan dan proses produksi berasal dari biomassa dan bahan bakar fosil. Untuk Emisi CO2 dari unit fermentasi tidak

dimasukkan dalam perhitungan karena diasumsikan sama dengan CO2 yang

Gambar 25 Emisi polutan dari proses produksi bietanol

Potensi gas rumah kaca yang dihasilkan pada proses produksi R1, R2, R3, R4 dan R5 berturut-turut adalah 268,06 ton CO2-eq/tahun, 487,64 ton CO2-

eq/tahun, 63,67 ton CO2-eq/tahun, 70,29 ton CO2-eq/tahun dan 199,66 ton CO2-

eq/tahun. Meskipun emisi polutan N2O dan CH4 lebih kecil dibandingkan CO2

tetapi kontribusi terhadap potensi gas rumah kaca sangat besar. Hal ini karena nilai ekuivalen N2O dan CH4 sebesar 21 dan 310 kali bobot nilai CO2 (IPPC

2006). Dengan demikian, pengembangan teknologi dapat memberikan kontribusi besar terhadap perbaikan kualitas lingkungan. Perubahan teknologi dari proses produksi R2 menjadi proses produksi R3 dapat megurangi potensi gas rumah kaca sebesar 591,29 ton CO2-eq/tahun atau 71%. Jika biaya pengurangan gas rumah

kaca sebesar Rp 891.000 per ton CO2 (Nguyen et al. 2007), maka industri

menanggung beban sebesar Rp 13.284.285 per tahun dengan asumsi harga emisi gas rumah kaca adalah Rp 54.000 per ton CO2 (Enkvist et al. 2007).

Selain limbah gas, proses ini juga menghasilkan limbah cair sebesar 35,53 kg/ kg BTJ dengan nilai COD sebesar 919 mg/L. Dengan demikian, ada potensi eutrofikasi (PE) yang disebabkan oleh polutan COD dan NOx dari proses

pembakaran bahan bakar. Eutrofikasi merupakan penambahan nutrien (N dan P)

- 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 - 0,000050 0,000100 0,000150 0,000200 0,000250 R1 R2 R3 R4 R5

CO2 (ton/L Et)

N2O, CH4 (kg/L Et) Ra nca ng a n P ro ses pro du k si N2O CH4 CO2

ke perairan atau daratan yang dapat meningkatkan biomassa sel (Kadam 2000). Potensi eutrofikasi untuk kelima rancangan relatif sama yaitu berkisar antara 0,12- 0,13 g PO4/KJ etanol karena limbah cair hanya berasal dari proses delignifikasi

saja. Kontribusi PE dari polutan NOx relatif kecil yaitu berkisar antara 5 sampai

dengan 16 % dari total PE. Polutan ini lebih berkontribusi terhadap potensi asidifikasi dengan nilai 0,28 g H+ setiap kilojoule etanol yang diproduksi.

Konversi lignoselulosa menjadi etanol menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan tanah, air maupun udara. Dampak negatif terhadap kualitas tanah pada tahap penggunaan ketel uap adalah saat persiapan air umpan. Air dengan kondisi yang tidak baik mengalami penyaringan dan akan meninggalkan kotoran-kotoran tersaring yang kemudian dibuang. Dampak negatif terhadap kualitas air ditimbulkan saat perlakuan pendahuluan bahan dan pemurnian, sedangkan dampak positif saat kegiatan pengolahan air limbah. Dampak negatif yang ditimbulkan secara keseluruhan karena penggunaan air disertai bahan penunjang dalam proses, seperti Ca(OH)2. Penggunaan bahan tersebut dapat

memperburuk kualitas air, terutama penggunaan bahan kimia (Ca(OH)2).

Dampak positif pada kegiatan pengolahan air limbah ditimbulkan karena air limbah akan diubah sehingga dapat dibuang ke badan air dalam kondisi aman.

Simpulan dan Saran 1 Simpulan

Rancangan proses produksi R3 yaitu sakarifikasi dengan enzim kasar dan kultur campuran Z. mobilis dan P. stipitis merupakan rancangan terbaik dibandingkan empat rancangan lainnya berdasarkan penggunaan sumber daya alam dan emisi yang ditimbulkan. Sumber daya yang digunakan yaitu biomassa tanaman jagung (6,37 kg/L etanol), air (114 L/L etanol), Ca(OH)2 (0,586 kg/L

etanol), energi listrik (0,20 MJ/L). Kebutuhan total energi untuk memproduksi 1000 L etanol adalah 44.504 MJ dengan kesetimbangan energi NER 5,60. Emisi yang ditimbulkan CO2 (21,93 kg/L etanol), N2O (0,00003 kg/L etanol), dan CH4

(0,0000002 kg/L etanol). Rancangan proses produksi yang terbaik memberikan dampak negatif berupa potensi pemanasan global, potensi asidifikasi, dan potensi eutrofikasi dengan nilai 248,68 ton CO2–eq per tahun.

2 Saran

Kajian daur hidup perlu dilajutkan dengan menginterpretasikan dampak yang ditimbulkan dari proses produksi etanol menggunakan perangkat lunak seperti SimaPro. Pengembangan model kuantifikasi dampak yang memiliki unit sama dengan nilai tambah sehingga dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut yaitu ekoefisiensi.

Daftar Pustaka

Azapagic A. 2006. Life Cycle Assessment as an Environmental Sustainability Tool. In : Dewulf J, Van Langenhove H, editor. Renewables-Based Technology Sustainability Assessment. West Sussex : John Wiley & Sons, Ltd.

Badger PC. 2002. Ethanol From Cellulose: A General Review. Trends in new crops and new uses (Reprinted). J. Janick and A. Whipkey (eds). ASHS Press, Alexandria, VA.

Bernesson S, Nilsson D, Hansson P. 2006. A limited LCA comparing large- and small-scale production of ethanol for heavy engines under Swedish conditions. Biomass and Bioenergy 30:46-57.

Chandel AK et al. 2007. Economics and environmental impact of bioethanol production technologies : an appraisal. Biotechnol Mol Biol Rev 2:14-32 Cherubini F, Jungmeir G. 2009. LCA of a biorefinery concept producing

bioethanol, bioenergy, and chemicals from switchgrass. Int J Life Cycle Assess, DOI.10.1007/s11367-009-0124-2.

de Haes HAU, Heijungs R. 2007. Life-cycle assessment for energy analysis and management. Applied Energy 84:817-827.

Dewulf J, Van Langenhove H. 2006. Exergy. In : Dewulf J, Van Langenhove H, editor. Renewables-Based Technology Sustainability Assessment. West Sussex : John Wiley & Sons, Ltd.

Duffield JA, Shapouri H, Wang M. 2006. Assessment of Biofuels. In : Dewulf J, Van Langenhove H, editor. Renewables-Based Technology Sustainability Assessment. West Sussex : John Wiley & Sons, Ltd.

Enkvist PA, Naucler T, Rosander J. 2007. A Cost curve for greenhouse gas reduction. The McKinsey Quartely, No. 1.

Farrell AE, Plevin RJ, Turner BT, Jones AD, O’Hare M, Kammen DM. 2006. Ethanol can contribute to energy and environmental goals. Science 311: 506-508.

Goose. 2007. A Life Cycle Assessment of Energy Products : Environmental Impact Assessment of Biofuels. www.theoildrumm.com/node/2976, 7 April 2008.

Halleux H, Lassaux S, Renzoni R, Germain A. 2008. Comparative Life Cycle Assessment of Two Biofuels Ethanol from Sugar Beet and Rapeseed Methyl Ester. Int. J LCA 13:184-190.

Hill J, Nelson E, Tlman D, Polasky S, Tiffany D. 2006. Environmental, economic, and energetic costs and benefits of biodiesel and ethanol biofuels.

www.pnas.org./cgi/doi/10.1073/pnas. 0604600103, pp. 11206-11210. [IPPC] Intergovermental Panel on Climate Change. 2006. Guidelines for National

Greenhouse Gas Inventories : Energy, volume 2.

Kadam KL. 2000. Environmental Life Cycle Implication of Using Bagasse- Derived Ethanol as a Gasoline Oxygenete in Mumbai (Bombay). National Renewable Energy Laboratory, NREL/TP-580-28705.

Kim S, Dale BE. 2005. Life cycle assessment of various cropping system utilized for producing biofuels : Bioethanol and biodiesel. Biomass and Bioenergy 29:426-439.

Kim S, Dale BE. 2007. Life cycle assessment of fuel ethanol derived from corn grain via dry milling. Bioresource Technology, in press.

Kumar R, Mago G, Balan, Wyman E. 2009. Physical and chemical characterization of corn stover and poplar solids resulting from leading pretreatment technologies. Bioresource Technology 100:3948-3962.

Lau MW, Gunawan C, Dale BE. 2009. The impacts of pretreatment on the fermentability of pretreated lignocellulosic biomass : a comparative evaluation between ammonia fiber expansion and dilute acid pretreatment. Biotechnology for Biofuels 2:30.

Lavigne A, Powers. 2007. Evaluating fuel ethanol feedstocks from energy policy perspectives : A comparative energy assessment of corn and corn stover. Energy Policy 35:5918-5930.

Leng R, Wang C, Zhang C, Dai D, Pu G. 2007. Life cycle inventory and energy analysis of cassava-based fuel ethanol in china. Journal of Cleaner Production, in press.

Luo L, van der Voet E, Huppes G, de Haes HAU. 2009. Allocation issues in LCA methodology : a case study of corn stover-based fuel ethanol. Int J Life Cycle Assess 14:529-539.

Luo L, van der Voet E, Huppes G. 2010. Biorefining of lignocellulosic feedstock- Technical, economic and environmental considerations. Bioresource Technology, in press.

Notarnicola B, Tassielli G. 2003. Life cycle assessment (LCA) of wine production. In : Mattsson B, Sonesson U, editor. Environmentally-friendly food processing. New York : CRC Press.

Nguyen LT, Gheewala SH, Garivait S. 2007. Energy balance and GHG-abatement cost of cassava utilization for fuel ethanol in Thailand. Energy Polycy 35: 4585-4596.

[NREL] National Renewable Energy Laboratory. 2002. Washington State Wheat Straw-to-Ethanol Study : Pre-feasibility Study and Modeling Results. USA.

Ojeda K and Kafarov V. 2009. Exergy analysis of enzymatic hydrolysis reactors for transformation of lignocellulosic biomass to bioethanol. Chemical Engineering Journal, in press.

Papong S, Malakul P. 2010. Life-cycle energy and environmental analysis of bioethnaol production from cassava in Thailand. Bioresource Technology 101: 5112-5118.

Pehnt M. 2006. Dynamic life cycle assessment (LCA) of renewable energy technologies. Renewable Energy 31:55-71.

Sheechan J et al. 2004. Energy and environmental aspects of using corn stover for fuels ethanol. J Ind Ecol 7:117-146.

Schmer MR, Vogel KP, Mitchell RB, Perrin RK. 2008. Net energy of cellulosic ethanol from switchgrass. PNAS 105:464-469.

Shapouri H, Duffield JA, Wang M. 2002. The Energy Balance of Corn Ethanol: An Update. United States Department of Agriculture.

Spatari S, Bagley DM, MacLean HL. 2010. Life cycle evaluation of emerging lignocellulosic ethanol convertiona technologies. Bioresource Technology