• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancangan proses R2 : enzim murni, kultur P cerevisiae dan P stipitis Rancangan proses R2 yaitu sakarifikasi dan ko-fermentasi (SKFS)

KULTUR CAMPURAN

4 Rancangan proses R2 : enzim murni, kultur P cerevisiae dan P stipitis Rancangan proses R2 yaitu sakarifikasi dan ko-fermentasi (SKFS)

menggunakan enzim murni untuk sakarifikasi dan kultur campuran P. cerevisiae dan P. stipitis untuk fermentasi. Sebelum proses SKFS, selulosa dan hemiselulosa dihidrolisis menggunakan enzim melalui proses prehidrolisis. Substrat setelah prehidrolisis mengandung total gula 57,30 g/l dan gula pereduksi 51,56 g/l sehingga dapat dipakai untuk proses SKFS. Pengurangan kandungan gula di dalam media fermentasi mengindikasikan ada biokonversi selama proses SKFS. Penurunan total gula dan gula pereduksi diprediksi dengan persamaan linear yang menghasilkan laju penurunan masing-masing 0,11 g/l/jam dan 0,24 g/l/jam (Gambar 17). Setelah proses berjalan selama 96 jam, gula pereduksi yang terkonversi sebesar 26,21 g/l atau 49,46.

Gambar 17 Perubahan kadar gula pereduksi selama SKFS (R2)

Dutta et.al. 2010 menjelaskan bahwa konsentrasi substrat yang tinggi dapat menyebabkan penghambatan proses hidrolisis. Permasalahan dalam pencampuran dan perpindahan massa juga timbul dalam konsentrasi substrat yang tinggi. Rasio antara enzim dan substrat digunakan faktor lain dalam hidrolisis

enzim. Dalam aplikasinya semakin banyak selulase yang digunakan, semakin meningkatkan kecepatan dan rendemen proses tersebut.

Etanol yang dihasilkan menunjukkan peningkatan selama proses dari waktu 0-72 jam dan kemudian menurun sampai waktu fermentasi 96 jam (Gambar 18). Hal ini menunjukkan bahwa selama 72 jam terjadi peningkatan gula sebagai hasil sakarifikasi diiringi dengan fermentasi mikroba. Penurunan etanol pada jam ke-96 dapat disebabkan gula yang telah terkonversi menjadi produk non etanol. Fermentasi etanol menghasilkan pula produk samping yaitu karbondioksida dan asam-asam organik seperti menghasilkan asam piruvat, asam suksinat, asam laktat, dan asam-asam lainnya.

Gambar 18 Hasil etanol pada sakarifikasi dan fermentasi simultan

Hasil etanol terbaik pada rancangan R2 yaitu 5,88 g/l lebih rendah dibandingkan dengan SKFS menggunakan kultur S. cerevisiae yaitu 8,20 g/l, dan waktu fermentasi juga lebih lama yaitu58 jam. Untuk 24 jam pertama, jumlah etanol yang terbentuk mencapai 2,56 g/l dan gula yang dibutuhkan sebesar 5,58 g/l. Pada selang waktu yang sama, terjadi penurunan gula pereduksi sebanyak 11,82 sehingga sekitar 47,00% gula terkonversi menjadi etanol. Produksi etanol antara jam ke-24 sampai jam ke-58 sebanyak sebanyak 2,18 g/l, sedangkan penurunan gula menacapai 8,16 g/l. Dengan demikian terjadi konversi gula

0 10 20 30 40 50 60 70 0 20 40 60 80 100 K o n s. G u la P e re d u ks i (g /l )

Waktu fermentasi (jam)

menjadi etanol sebanyak 58,12% lebih tinggi dibandingkan 24 jam pertama dari proses fermentasi.

Setelah 60 jam, tidak menunjukkan kenaikan kadar etanol, bahkan hasilnya menurun dibandingkan waktu sebelumnya. Hasil etanol pada kultur kultur tunggal (S. cerevisiae) lebih tinggi dibandingkan kultur campuran karena kemungkinan terjadi kompetisi antara antara kedua khamir dalam memanfaatkan substrat. Namun demikian, fenomena ini perlu dikaji lebih lanjut untuk mendapatkan bukti ilmiahnya. Faktor penyebab yang lain adalah kondisi lingkungan, S. cerevisiae mengkonversi yang glukosa (C6) menjadi etanol dalam kondisi anaerobik, sedangkan P. stipitis optimal pada kondisi anoksik. Hasil etanol berfluktuatif karena selama sakarifikasi dan fermentasi simultan terjadi konversi selulosa dan xilan menjadi monomer-monomer gula sehingga bertambah, konversi glukosa, xilosa, dan monomer gula menjadi bioetanol oleh mikroba.

Gambar 18 menunjukkan bahwa laju produksi etanol kultur campuran S. cerevisiae dan P. stipitis lebih rendah dibandingkan kultur tunggal S. cerevisiae. Pada selang waktu jam ke-0 sampai dengan jam ke-48, laju produksi etanol pada kultur tunggal dan kultur campuran masing-masing adalah 0,13 g/l/jam dan 0,12 g/l/jam.

Sakarifikasi dan fermentasi simultan menggunakan kultur campuran dengan perbandingan volume S. cerevisiae dan P. stipitis 1:1. Biomassa awal S. cerevisiae sebesar 4,67 g/l dan kultur campuran sebesar 8,80 g/l. Tabel 11 menunjukkan bahwa meskipun konsentrasi awal kultur S. cerevisiae lebih kecil dibandingkan kultur campuran, tetapi peningkatan biomassanya (0,83) lebih besar dibandingkan dengan kultur campuran (0,63).

Tabel 11 Biomassa hasil SKFS I dan SKFS V selama 96 jam.

Keterangan Biomassa sel awal

(g/l)

Biomassa sel akhir

(g/l) ∆x/x

S. cerevisiae 4,67 8,53 0,83

S. cerevisiae + P. stipitis 8,80 14,33 0,63

Pada waktu 48 jam pertama, konversi gula menjadi glukosa lebih banyak dibandingkan dengan xilosa. Pada kultur campuran terjadi konversi glukosa oleh

S. cerevisiae dan P. stipitis secara cepat sehingga persediaan glukosa cepat berkurang dan sebagian sel S. cerevisiae inaktif karena kekurangan sumber glukosa, sementara P. stipitis akan beralih mengkonversi xilosa. Namun, akibat pemasukan volume S. cerevisiae dua kali lebih banyak dibandingkan dengan P. stipitis menyebabkan banyak sel menjadi inaktif dan kecepatan fermentasi akan berkurang. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 12 bahwa peningkatan biomassa kultur campuran lebih sedikit dibandingkan dengan kultur tunggal.

Tabel 12 Perbandingan parameter akhir hasil fermentasi

Fermentasi Etanol g/l Y(p/s) Y(x/s)

S.cerevisiae 3,31 0,069 0,073

S. cerevisiae + P. stipitis 3,00 0,057 0,104

Berbeda dengan fermentasi pada S. cerevisiae, sel khamir awal (4,67 g/l) lebih sedikit dibandingkan dengan kultur campuran (8,80 g/l) sehingga kebutuhan sumber karbon relatif lebih sedikit dibandingkan kultur campuran. Meskipun konversi selulosa menjadi glukosa setelah 48 jam sedikit namun persediaan

glukosa masih tercukupi sehingga ∆x/x lebih besar (0,83) dibandingkan dengan

kultur campuran (0,63).

Berdasarkan hubungan waktu fermentasi dengan konsentrasi etanol, substrat SKFS, dan biomassa maka dapat dibandingkan parameter rendemen biomassa (Yx/s) dan rendemen produk per substrat (Yp/x). Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai Yp/s kultur tunggal lebih tinggi dibandingkan dengan kultur campuran, sebaliknya Yx/s yaitu pemanfaatan substrat menjadi sel lebih tinggi pada kultur campuran. Dengan demikian, konversi substrat pada kultur campuran S. cerevisiae dan P. stipitis lebih banyak dipergunakan untuk pembentukan biomassa.

Y(x/s) kultur campuran lebih besar dibandingkan dengan kultur S. cerevisiae namun konversi menjadi etanol lebih rendah. Hal ini dapat terjadi karena konsentrasi sel awal kultur campuran lebih banyak dari kultur S. cerevisiae. Berdasarkan konversi gula pereduksi dan jumlah etanol yang dihasilkan pada kultur S. cerevisiae, terlihat bahwa glukosa atau gugus C6 yang dihasilkan selama SKFS lebih cepat dibandingkan dengan xilosa. Sehingga kultur

P. stipitis menghasilkan etanol lebih banyak karena dapat mengkonversi glukosa dan xilosa.

Konversi selulosa menjadi glukosa lebih cepat dibandingkan dengan xilosa dapat menyebabkan kedua khamir hanya mengkonversi gugus C6 dan glukosa secara cepat. Akibatnya sebelum selulosa terkonversi secara optimal pada SKFS, glukosa yang terkonversi telah habis dan sebagian sel S.cerevisiae mati kehabisaan sumber karbon. Karena pemasukan volume S.cerevisiae lebih banyak dibandingkan dengan P. stipitis dapat mengakibatkan biomassa dalam kultur yang mati sangat banyak tanpa diikuti peningkatan kadar etanol. Konsentrasi awal kultur campuran lebih banyak dibandingkan dengan biomassa pada akhir kultur S. cerevisiae sehingga Y(x/s) kultur campuran lebih besar.

5 Rancangan proses R3 (enzim kasar, kultur Z. mobilis dan P. stipitis) dan