• Tidak ada hasil yang ditemukan

II PERLAKUAN KIMIAWI, BIOLOGIS DAN HIDROTERMOLISIS PADA BIOMASSA TANAMAN

3 Optimasi perlakuan biologis pada biomassa tanaman jagung

Kapang pelapuk putih (KPP) T. versicolor, P. chrysosporium dan P. ostreatus dikenal sebagai penghancur lignin yang efektif, dan memanfaatkan selulosa dan hemiselulosa sebagai substrat pertumbuhannya. Kapang pelapuk putih menghasilkan enzim-enzim ekstraseluler yang dapat memecah ikatan lignin secara biologis. Enzim tersebut dikenal dengan nama Lignin Modifying Enzymes (LMEs) yang mencakup Lignin Peroxidase (LiP), Manganese Dependent Peroxidase (MnP), dan Laccase (Lac) (Ohkuma et al. 2001). KPP biasanya memecah lignin dan meninggalkan selulosa berwarna putih karena menurut Taherzadeh dan Karimi (2008) selulosa lebih tahan terhadap perlakuan biologis dibandingkan lignin maupun hemiselulosa.

(a) T. versicolor (b) P. ostreatus

(c) P. chrysosporium

Gambar 5 menyajikan bentuk ketiga jenis kapang yang dilihat dengan mikroskop perbesaran 200 kali. T. versicolor membentuk benang-benang dan berkembang biak secara vegetatif menggunakan hifa. Jamur ini termasuk kategori non selektif yang mendegradasi semua komponen lignoselulosa dalam jumlah yang sama. P. ostreatus diketahui mendegradasi secara selektif lignin dibandingkan komponen holoselulosa, dan meningkatkan peluang enzim melakukan hidrolisis. P. chrysosporium merupakan jamur yang mampu mendegradasi lignin secara selektif dan berbagai bahan aromatik selama fase pertumbuhan stasioner yang disebabkan oleh kekurangan nutrisi dalam substrat.

Hifa (a) jamur pelapuk putih tumbuh dan berkembang dari satu sel biomassa ke sel lainnya melalui noktah dan juga menembus dinding sel (b) (Gambar 6). Setelah jamur melakukan penetrasi ke dinding sel maka akan terjadi proses biokimia yaitu delignifikasi. Menurut Ohkuma et al. (2001), degradasi lignin dilakukan oleh enzim oksidatif, sedangkan enzim hidrolitik berfungsi dalam mendegradasi selulosa dan hemiselulosa dan setiap enzim berkerja terhadap substrat yang spesifik. Pemecahan lignin disebabkan oleh proses demetilasi, dehidroksilasi, dan pemutusan ikatan C-C pada cincin senyawa fenilpropanoid. Bagian dari biomassa yang tidak terdapat atau sedikit lignin maka akan lebih mudah dihancurkan oleh jamur pelapuk putih.

Gambar 6 Pertumbuhan jamur pelapuk putih (perbesaran 1000 kali)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jamur T. versicolor dapat tumbuh lebih baik dibandingkan dengan dua jenis jamur yang lain. Pada satu minggu inkubasi, sebanyak 32,52% bobot substrat telah ditumbuhi jamur dan mencapai

puncak pada substrat yang diinkubasi selama 2 minggu (47,55%). Untuk P. ostreatus dan P. crysosporium dapat tumbuh pada 20-30% substrat. Namun demikian, ketiga jamur dapat tumbuh dengan baik pada substrat limbah tanaman jagung dalam jangka waktu dua minggu.

Pada proses biodelignifikasi, dua faktor yaitu suhu dan pembebanan kapang dikaji pengaruhnya terhadap delignifikasi dan pemecahan selulosa maupun hemiselulosa. Tabel 5 menyajikan model hasil analisis dengan design expert 8.4.0.1 pada ketiga jenis kapang tersebut.

Tabel 5 Model prediksi hasil biodelignifikasi

Jenis kapang Model prediksi

T. versicolor

P. ostretus

P. crysosporium

Keterangan: x1 = suhu inkubasi

x2 = volume penambahan kapang (ml/10 g biomassa)

= model prediksi kandungan lignin fraksi padatan setelah biodelignifikasi = model prediksi kandungan selulosa fraksi padatan setelah biodelignifikasi

= model prediksi kandungan hemiselulosa fraksi padatan setelah biodelignifikasi

Tabel 5 menyajikan beberapa model prediksi dari analisis varians perlakuan biologis. Taherzadeh dan Karimi 2008 menjelaskan bahwa P. ostretus mampu mendegrasi lignin secara selektif dibandingkan pada holoselulosa sehingga meningkatkan hidrolisis enzimatik. Tabel 5 juga mengindikasikan bahwa biodelignifikasi menggunakan kapang P. ostretus relatif sensitif terhadap suhu dan pembebanan kapang. Namun demikian, ketiga jenis kapang dapat digunakan sebagai perombak lignin pada proses biodelignifikasi.

Faktor suhu dan waktu berpengaruh pada degradasi hemiselulosa untuk ketiga jenis kapang, tetapi faktor tersebut tidak berpengaruh pada degradasi selulosa untuk kapang P. crysosporium. Dashtban et al. (2009) yang menyatakan bahwa P. crysosporium merupakan mikroba yang efektif untuk delignifikasi. Sementara itu, faktor suhu dan waktu berpengaruh pada degradasi lignin hanya terjadi pada P. ostretus.

Efektifitas kapang dapat dilihat pada komposisi biomassa setelah perlakuan (Tabel 6). Pada kondisi optimum, ketiga jenis kapang memiliki kemampuan memecah lignin yang hampir sama, demikian pula dalam mengkonsumsi selulosa maupun hemiselulosa. Jika dilihat dari faktor yang diamati maka P. ostretus lebih baik dibandingkan dengan dua kapang lainnya karena volume kapang yang dibutuhkan hanya 0,274 ml/g biomassa dan suhu inkubasi 30 OC.

Tabel 6 Kondisi optimum perlakuan biodelignifikasi

Jenis kapang

Faktor Komponen lignoselulosa

Suhu (OC) Vol. kapang (ml/g biomassa) Lignin (g) Selulosa (g) Hemiselulosa (g) Kontrol 1) 2,201 3,560 2,925 T. versicolor 60,00 0,57 1,818 3,264 2,201 P. ostretus 30,00 0,27 1,824 3,488 2,205 P. crysosporium 49,87 0,69 1,671 2,514 2,429

Keterangan: 1) = biomassa tanpa pemberian kapang

Dampak pemecahan komponen lignoselulosa dapat dilihat pada struktur mikroskopik bahan. Hasil SEM menunjukkan bahwa permukaan dinding sel halus (a), demikian juga sisi tepi yang kompak. Gambar 7 menunjukkan kondisi biomassa setelah perlakuan dengan jamur pelapuk putih maka timbul pori-pori (1)

baik karena penetrasi hifa jamur maupun larutnya komponen lignoselulosa, serta bagian tepi menunjukkan ada degradasi lignin (2). Pori-pori pada dinding sel tersebut meningkatkan penetrasi enzim selulase dan xilanase sehingga pemecahan selulosa dan hemiselulosa akan lebih efisien.

(a) sebelum perlakuan (b) sesudah perlakuan

Gambar 7 Dampak biodelignifikasi dengan kapang pelapuk putih pada dinding sel

4 Pemilihan metode perlakuan delignifikasi

Pemilihan metode perlakuan delignifikasi didasarkan pada komposisi lignoselulosa fraksi padatan setelah perlakuan. Komposisi yang diharapkan adalah kandungan lignin minimum serta selulosa dan hemiselulosa maksimum. Diasumsikan pula bahwa bobot kepentingan ketiga komponen lignoselulosa sama. Dengan menggunakan teknik comparative performance index (CPI) maka diperoleh hasil seperti disajikan pada Tabel 7. Dari hasil tersebut diputuskan bahwa perlakuan kemodelignifikasi dengan Ca(OH)2 lebih baik dibandingkan

biodelignifikasi dengan kapang pelapuk putih.

Tabel 7 Pemilihan metode perlakuan pada biomassa tanaman jagung Kandungan lignoselulosa (%) Nilai

Alternatif

Rangking Lignin Selulosa Hemiselulosa

Ca(OH)2 18,34 37,01 24,88 126.991 1 T. versicolor 18,18 28,09 19,46 102.584 4 P. ostreatus 18,25 34,88 22,05 116.015 2 P. crysosporium 16,71 25,14 24,29 104.258 3 1 1

5 Perlakuan Hidrotermolisis

Hidrotermolisis merupakan perlakuan lanjutan dari perlakuan kimiawi di atas dengan tujuan menghidrolisis dan melarutkan hemiselulosa dan menurunkan kristalinitas selulosa. Hidrotermolisis dilakukan dua tahap yaitu tahap pertama pada suhu 121 OC selama 1 jam dan kedua pada suhu 180-190 OC selama 20 menit. Perlakuan tersebut ternyata tidak hanya berpengaruh pada komponen holoselulosa tetapi juga pada komponen lignin (Tabel 8). Penyisihan lignin pada proses hidrotermolisis I dan II yaitu 14,74% dan 34,23%, lebih besar dibandingkan dengan tahap kimiawi. Menurut Kaparaju dan Felby (2010), lignin tidak dapat dihilangkan dengan metode hidrotermolisis tetapi hanya terjadi perubahan posisi ke permukaan serat bahan. Rollin et al. (2011) menjelaskan bahwa luas permukaan biomassa lebih penting pada hidrolisis enzimatik dibandingkan dengan penyisihan lignin. Dengan demikian, perlakuan dengan Ca(OH)2 lebih dulu dapat memperbaiki kinerja hidrotermolisis dalam memecah

dan menyisihkan lignin dari biomassa.

Tabel 8 Komposisi lignoselulosa sebelum dan setelah perlakuan

Komponen Komposisi (% bobot kering)

K-0 K-D K-H1 K-H2 Selulosa 44,87 43,36 43,12 42,68 Hemiselulosa 25,21 29,15 32,33 34,34 Lignin 21,38 21,49 20,59 20,70 Ekstraktif 4,48 2,14 1,73 1,15 Keterangan :

K-0 = komposisi bahan sebelum perlakuan K-D = komposisi bahan setelah delignifikasi

K-H1 = komposisi bahan setelah delignifikasi-hidrotermolisis I K-H2 = komposisi bahan setelah delignifikasi-hidrotermolisis II.

Holoselulosa terdiri dari komponen selulosa dan hemiselulosa yang merupakan dua komponen utama lignoselulosa. Holoselulosa yang terlarut sebesar 45%, sedangkan 55% berada dalam bentuk padatan sehingga perlu hidrolisis lebih lanjut. Ditinjau dari fraksi padatan maka terjadi perbaikan karakeristik biomassa yang ditandai dengan peningkatan kandungan holoselulosa dari 70,08% menjadi

77,02%. Hidrotermolisis menyebabkan perubahan komposisi selulosa 9,59% dan 35,51% dari bobot selulosa setelah delignifikasi, masing-masing pada proses hidrotermolisis I dan II (Lampiran 5). Hal ini mengindikasikan bahwa ada perubahan struktur kristal menjadi amorf terutama pada hidrotermolisis II,

kemudian terjadi pemutusan ikatan -1,4-glukosida pada polimer selulosa. Degradasi selulosa menghasilkan gula baik berbentuk monosakarida maupun oligosakarida dan terlarut ke dalam fraksi cairan. Hal ini ditandai dengan nilai derajat polimerisasi (DP) pada hidrotermolisis I dan II masing-masing adalah 4,80 dan 4,48. Angka tersebut menunjukkan bahwa komponen selulosa maupun hemiselulosa yang terlarut ke dalam fraksi cair berbentuk oligosakarida.

Hasil pengujian hidrolisat untuk fraksi cairan dengan HPLC menunjukkan bahwa glukosa, xilosa, dan arabinosa tidak dapat terdeteksi. Dengan demikian, hidrotermolisis tidak menghasilkan gula monomer karena pada pengujian tersebut konsentrasi glukosa di bawah batas deteksi yaitu 0,85 ppm dan untuk xilosa di bawah 0,79 ppm.

Perlakuan hidrotermolisis berpengaruh terhadap sifat kristalinitas bahan diukur dengan menggunakan Diffractometer XRD-7000. Sumber radiasi yang digunakan yaitu Cu dan dioperasikan pada 40 kV dan 30 mA. Bahan yang telah dihaluskan di-scan pada rentang 10-60O dan laju 2O/menit. Perlakuan hidrotermolisis menyebabkan penurunan kristalinitas selulosa dari daun, kelobot, dan tongkol berturut-turut 0.77%, 1.99% dan 6.31%, sedangkan batang mengalami peningkatan kristalinitas sebesar 4.62 % (Tabel 9). Penurunan disebabkan oleh perusakan struktur kristal menjadi struktur tidak beraturan (amorf) sehingga kualitas substrat lebih baik. Peningkatan indeks kristalinitas batang menunjukkan bahwa struktur kristal batang belum dapat rusak pada perlakuan hidrotermolisis II.

Tabel 9 Kristalinitas biomassa sebelum dan setelah perlakuan hidrotermolisis Komponen Proporsi struktur kristal selulosa (%)

Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan

Batang 17,65 22,27

Daun 19,36 18,59

Tongkol 18,06 11,75

Peningkatan proporsi bagian amorf akan meningkatkan penetrasi enzim sehingga proses hidrolisis enzimatik berjalan lebih efektif. Kemampuan enzim baik endo-selulase maupun ekso-selulase ke dalam dinding sel merupakan faktor penting untuk menentukan laju hidrolisis. Park et al. (2010) menjelaskan bahwa selain kristalinitas, penetrasi enzim juga dipengaruhi oleh kandungan dan distribusi lignin dan hemiselulosa, ukuran partikel, dan porositas bahan.

Hemiselulosa merupakan polimer heterogen dari pentosa (xilosa, arabinosa), heksosa (manosa, glukosa, galaktosa), dan asam-asam seperti asam

glukuronit, asam asetat, asam ferulit, dan -kopumarit (Saha 2003). Pada hidrotermolisis I (suhu 121 OC) terjadi penurunan hemiselulosa hanya 0,6% dan 1,28% karena pelepasan gugus-gugus yang terikat pada sisi rantai utama hemiselulosa, terutama gugus asetil (Kim dan Holtzapple 2006). Penyisihan asetil dapat meningkatkan asessibilitas selulosa dan efektivitas selulase pada hidrolisis limbah tanaman jagung dengan cellobiohydrolase (CBHI) murni (Kumar et al. 2009). Namun demikian, belum ditemukan hubungan yang jelas antara penyisihan gugus ini dengan penyisihan xilan.

Runkel dan Wilke (1951) menjelaskan bahwa hemiselulosa terdegradasi pada suhu antara 130-194 oC sehingga pada saat hidrotermolisis dengan suhu 180

oC terdapat sejumlah hemiselulosa yang terlarut ke dalam fraksi cairan. Total

penyisihan hemiselulosa selama perlakuan adalah 31,83% dengan penyisihan terbesar terjadi pada proses hidrotermolisis II (suhu 180-190 OC) yaitu 30,53%. Penurunan tersebut disebabkan oleh pelepasan asam-asam dari biomassa dan pemutusan ikatan eter antara hemiselulosa dan lignin oleh asam (Liu dan Wyman 2003; Mosier et al. 2005).

Perlakuan kimiawi dan hidrotermolisis terbukti menimbulkan pori-pori pada dinding sel. Selain itu, menurut Kaparaju dan Felby (2010), hidrotermolisis juga menyebabkan serat-serat mengalami kerusakan. Struktur bahan setelah hidrotermolisis yang lebih heterogen mengindikasikan terjadinya kerusakan serat pada bahan. Gambar 8 (a) menunjukkan adanya pori-pori yang banyak pada dinding sel dan (b) merupakan struktur bahan yang heterogen akibat perlakuan kimiawi dan hidrotermolisis.

(a) (b)

Gambar 8 Pengaruh perlakuan kimiawi dan hidrotermolisis pada struktur mikrokopik biomassa

Simpulan dan Saran 1 Simpulan

Perlakuan kimiawi menggunakan Ca(OH)2 dapat mempertahankan

holoselulosa sebesar 61,89%, lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan biodelignifikasi yaitu rata-rata 51,30%. Delignifikasi pada kombinasi perlakuan kimiawi dan hidrotermolisis mencapai 51,54% dari bobot lignin awal, serta menurunkan kristalinitas selulosa 6,31%. Perlakuan tersebut menghasilkan substrat yang terdiri dari fraksi padatan dengan komposisi lignin 20,70 %, selulosa 42,68% dan hemiselulosa 34,34%, sementara itu lignoselulosa yang terlarut ke fraksi cairan masih berbentuk oligosakarida dengan derajat polimerisasi (DP) sekitar 4,0. Fraksi padat mengalami perbaikan kualitas yang ditandai timbulnya pori-pori pada struktur mikroskopiknya.

2 Saran

Hasil delignifikasi dan hidrotermolisis baik fraksi padatan maupun cairan perlu diuji dengan enzim untuk mengetahui efektivitas metode perlakuan yang dikembangkan. Identifikasi senyawa inhibitor juga harus dilakukan pada fraksi padatan untuk mencegah terjadinya gangguan pada proses berikutnya.

Daftar Pustaka

Araque E et al. 2008. Evaluation of organosolv pretreatment for conversion of Pinus radiata to ethanol. Enzyme and Microbial Technology 43: 214-219. Buranov AU, Mazza G. 2008. Lignin in Straw of Herbaceous Crops. Industrial

Crops and Products 28:237–259.

Brown RC. 2003. Biorenewable Resources : Engineering New products from Agriculture. USA : Iowa State Press

Dashtban M, Schraft H, Qin W. 2009. Fungal Bioconversion of Lignocellulosic Residues; Opportunities & Perspectives. Int. J. Sci. 5:578-595.

[EERE] Energy Efficiency & Renewable Energy. 2009. Biomass Feedstock Composition and Property Database. http://www.afdc.energy.gov/ biomass/progs/search3.cgi?24341, 12 Agustus 2009.

Ermawar RA, Yanto DHY, Fitria, Hermiati E. 2006. Biodegradation of Lignin in Rice Straw Pretreated by White-Rot Fungi. Widyariset 9:197-202.

Fadilah, Distantina S, Artati EK, Jumari A. 2008. Biodelignifikasi Batang Jagung Dengan Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium. Ekulibrium 7 :7-11.

Fitria, Yanto DHY, Riksfardini AH, Hermiati E. 2007. Pengaruh Perlakuan pendahuluan dengan Kapang Pelapuk Putih (Tremetes versicolor dan Pleurotus ostreatus) terhadap Kadar Lignin dan Selulosa Bagase. Laporan teknik akhir tahun 2007, UPT BPP Biomaterial, LIPI.

Galbe M, Zacchi G. 2007. Pretreatment of Lignocellulosic Materials for Efficient Bioethanol production. Adv Biochem Eng Biotechnol, 108:41-654.

Garrote G, Falque E, Dominguez H, Parajo JC. 2007. Autohydrolysis of agricultural residues : Study of reaction by products. Bioresource Technology 98:1951-1957.

Hendriks ATWM, Zeeman G. 2009. Pretreatments to enhance the digestibility of lignocellulosic biomass. Bioresource Technology 100:10–18.

Hsu T. 1996. Pretreatment of Biomass. In Handbook on bioethanol: Production and utilization. Edited by: Wyman C. Taylor and Francis. [Applied energy technology series].

Kaar WE, Holtzapple MT. 2000. Using Lime Pretreatment to Facilitate the Enzymic Hydrolysis of Corn Stover. Biomass and Bioenergy. 18:189-199. Kaparaju P. dan Felby C. 2010. Characterization of lignin during oxidative and

hydrothermal pre-treatment processes of wheat straw and corn stover. Bioresource Technology 101:3175-3181.

Keller, F. A., J. E. Hamilton and Q. A. Nguyen. 2003. Microbial Pretreatment of Biomass, Potential for Reducing Severity of Thermochemical Biomass Pretreatment. Journal of Applied Biochemistry and Biotechnology vol. 105-108:26-41.

Kim S., Holtzapple MT. 2005. Lime Pretreatment and Enzymatic Hydrolysis of Corn Stover. Bioresource Technology 96:1994–2006.

Kim S, Holtzapple MT. 2006. Delignification kinetics of corn stover in lime pretreatment. Bioresource Technology 97:778-785.

Kim TH, Lee YY. 2005. Pretreatment and fractionation of corn stover by ammonia recycle percolation process. Bioresource Technology 96:2007– 2013.

Kumar R, Mago G, Balan ., Wyman .E. 2009. Physical and chemical characterization of corn stover and poplar solids resulting from leading pretreatment technologies. Bioresource Technology 100:3948-3962.

Lu X, Zhang Y, Angelidaki. 2009. Optimization of H2SO4-catalyzed hydrothermal pretreatment of rapeseed straw for bioconversion to ethanol: focusing on pretreatment at high solids content. Bioresource Technology 100 :3048-3053.

Maas RHW, Bakker RR, Boersma AR, Bisschops I, Pels JR, de Jong E, Weusthuis RA, Reith H. 2008. Pilot-scale conversion of lime-treated wheat straw itno bioethanol : quality assessment of bioethanol and valorization of side streams by anaerobic digestion and combustion. Biotechnology for Biofuels 1:1-13.

Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT Grasindo, Jakarta

Mokushitsu Kagaku Jiken Manual. 2000. Japan Wood Research Society Publisher.

Mosier N, Wyman C, Dale B, Elander R, Lee YY, Holtzapple MT, Ladisch M. 2005. Features of Promising Technologies for pretreatMent of Lignocellulosic Biomass. Bioresource Technology 96:673–686.

Ohkuma M, Maeda Y, Johjima T, Kudo T. 2001. Lignin degradation and roles of white rot fungi : study on an efficient symbiotic system in fungus-growing termites and its application to bioremediation. RIKEN Review 42 : 39-42. Park S, Baker JO, Himmel ME, Parilla PA, Johnson DK. 2010. Cellulose

crystallinity : measurement techniques and their impact on interpreting cellulose performance. Biotechnolgy for Biofuels 3:11.

Reith JH, den Uil H, van Veen H, de laat VTAM, Niessen JJ, de Jong E, Elbersen HW, Weusthuis R, van Dijken, Raamsdonk L. 2002. Co-production of Bioethanol, Electricity and Heat from Biomass Residues. Contribution to the n12th European Conference and Technology Exhibition on Biomass for Energy, Industry and Protection, Netherlands.

Rollin JA, Zhu Z, Sathitsuksanoh N, Zhang YHP. 2011. Increasing Cellulose Accessibility Is MoreImportant Than Removing Lignin: A Comparison of Cellulose Solvent-Based Lignocellulose Fractionation and Soaking in Aqueous Ammonia. Biotechnology and Bioengineering 108:22-30.

Runkel ROH, KD Wilke. 1951. Chemical composition and properties of wood heated at 140 °c to 200 °c in a closed system without free space. Part II. Holz Als Roh Und Werstoff. 9 : 260- 270. Germany.

Saha BC. 2003. Hemicellulose bioconversion. J Ind Microbiol Biotechnol 30: 279-291.

Samsuri M et al. 2007. Pemanfaatan selulosa bagas untuk produksi etanol melalui sakarifikasi dan fermentasi serentak dengan enzim xilanase. Makara Teknologi 11 : 17-24.

Teramoto Y, Lee S, Endo T. 2008. Pretreatment of woody and herbaceous biomass for enzymatic saccharification using sulfuric acid-free ethanol cooking. Bioresource Technology, in press

Wyman CE, Dale BE, Elander RT, Holtzapple MT, Ladisch MR, Lee YY. 2005. Comparative Sugar Recovery Data from Laboratory Scale Application of

Leading Pretreatment Technologies to Corn Stover. Bioresource Technology 96:2026–2032.

Xavier AMRB, Tavares APM, Ferreira R, Amado F. 2007. Tremetes versocolor growth and laccase induction with by-products of pulp and paper industry. Electronic Journal of Biotechnology Vol. 10, No. 3.

Xu J, Thomsen MH, Thomsen AB. 2009. Investigation of acetic acid-catalized hydrothermal pretreatment on corn stover. Appl. Microbiol Biotechnol. DOI 10.1007/s00253-009-2340-x.

Yang B, Wyman CE. 2008. Pretreatment: the key to unlocking low-cost cellulosic ethanol. Biofuels, Bioproducts and Biorefining 2:26-40

Zhao Y, Wang Y, Zhu JY, Ragauskas A, Deng Y. 2008. Enhanced enzymatic hydrolysis of spruce by alkaline pretreatment at low temperature. Biotechnology and Bioengineering 99:1320-1327.

Lampiran 1 Metode pengujian komponen lignoselulosa : Mokushitsu Kagaku Jiken Manual

a. Kadar Air

Cawan kosong (ukuran medium) diletakkan dalam oven sehari atau minimal 3 jam sebelum pengujian. Masukkan cawan kosong tersebut dalam desikator sekitar 30 menit. Cawan kosong tersebut ditimbang. Bahan masing-masing ditimbang  2 gram ke dalam cawan. Masukkan cawan yang telah berisi bahan ke dalam oven 105oC selama 16-24 jam. Pindahkan menggunakan penjepit ke desikator untuk didinginkan selama 30 menit. Cawan berisi bahan tersebut ditimbang.

b. Kadar Ekstraktif

Labu didih ukuran 250 ml disiapkan dalam oven (105oC) atau minimal 3 jam sebelum pengujian. Masukkan labu kosong tersebut dalam desikator sekitar 30 menit. Labu kosong tersebut ditimbang. Keran air dicek menyala atau tidak sebagai pendingin sokhlet. Siapkan kertas saring segi empat (sebagai kokon), tali pengikat, gunting, kapas, dan pensil 2B. Masukkan bagas masing-masing sebanyak 3 gram (bobot kering oven) ke dalam kokon, tutup dengan kapas dan ikat dengan tali, kemudian tuliskan kode sampel pada kokon menggunakan pensil 2B. Kokon dipasangkan pemberat yaitu magnetic stirer. Masukkan kokon pada perangkat sokhlet dan tuang pelarut alkohol-benzene (1:2) sebanyak sekitar 2/3 isi labu didih. Ekstraksi selama 6 jam pada suhu sekitar 90oC (set angka 50 pada hot plate), keluarkan kokon dari sokhlet, masukkan ke oven 105oC semalam. Masukkan kembali pelarut dalam wadahnya, sementara labu yang berisi hanya zat ekstraktif di dalam oven 105oC, keringkan semalam. Masukkan labu yang berisi zat ekstraktif ke desikator selama 30 menit, kemudian timbang.

Catatan : sampel yang telah bebas ekstraktif dipisahkan untuk uji klason lignin dan holoselulosa.

c. Klason Lignin

Gelas filter IG3 kosong dan cawan ukuran kecil dikeringkan dalam oven sehari atau minimal 3 jam sebelum pengujian. Masukkan gelas IG3 kosong dan cawan tersebut dalam desikator sekitar 30 menit. Timbang gelas IG3 kosong tersebut, sedangkan cawan digunakan untuk mengukur kadar air bagas bebas ekstraktif (lihat prosedur pengukuran kadar air, namun bobot bagas diganti hanya 0,5 gram). Siapkan labu takar ukuran 50 ml untuk membuat larutan H2SO4 72%. Masukkan bagas bebas ekstrakif sebanyak 0,5 gram

kering ke dalam beaker glassukuran 50 ml. Selanjutnya masukkan 7,5 ml H2SO4 72%. Diaduk sesekali (dapat digunakan dengan menggunakan

magnetic stirer dan memasang angka 10 pada stirer plate) selama 4 jam pada suhu kamar (dilakukan dengan menuangkan air sebelum pengadukan sekitar beaker glass yang telah disangga cawan petri), masukkan bagas yang telah diaduk selama 4 jam tersebut ke dalam erlenmeyer ukuran 300 ml. Tambahkan masing-masing 280 ml akuades ke dalam erlenmeyer. Tutup erlenmeyer dengan alumunium foil rangkap dua dan diautoklaf 121oC selama 15 menit (pada autoklaf pasang timer +20, sehingga menjadi 35). Saring langsung dengan gelas filter IG3. Cuci dengan air panas masing-masing 100 ml. Keringkan gelas IG3 yang telah berisi filtrat pada suhu 105oC selama 16- 24 jam. Dinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang. Catatan : Pembuatan H2SO4 72% yaitu tuangkan 37,89 ml H2SO4 95% ke

dalam labu takar 50 ml, kemudian secara perlahan tambahkan akuades sampai tanda tera.

d. Holoselulosa

gelas filter IG3 kosong dan cawan ukuran kecil di keringkan dalam oven sehari atau minimal 3 jam sebelum pengujian. Masukkan gelas IG3 kosong dan cawan tersebut dalam desikator sekitar 30 menit. Timbang gelas IG3 kosong tersebut. Masukkan bagas ekstraktif sebanyak 1,5 gram kering ke dalam erlenmeyer 100 ml. Kemudian masukkan masing-masing 90 ml akuades, 2,4 ml NaClO2 , 25% dan 0,12 ml asam asetat glasial 100%. Tutup

dalam waterbath selama 1 jam (gunakan masker udara). Kemudian tanpa menunggu dingin tambahkan masing-masing 2,4 ml NaClO2 25% dan 0,12 ml

asam asetat glasial 100% berulang-ulang setiap jam sampai serbuk bagas berwarna putih (untuk TKKS 2 x penambahan, untuk hardwood 3x penambahan, un tuk softwood 2x penambahan).

Serbuk bagas yang telah menjadi putih segera dimasukkan ke dalam gelas filter IG3 sambil divakum, sementara menunggu penyaringan siapkan nampan yang telah diberi es batu dan air untuk memadamkan erlenmeyer yang belum disaring. Cuci dengan air dingin 250 ml pada setiap bagas. Bilas dengan aseton. Keringkan gelas filter IG3 yang telah berisi filter pada suhu 105oC selama 16-24 jam. Dinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian timbang.

Catatan : Hasil penyaringan holoselulosa siap digunakan untuk persiapan kadar alfaselulosa.

e. Alfaselulosa

Gelas filter IG3 kosong dan cawan ukuran kecil dikeringkan dalam oven sehari atau minimal 3 jam sebelum pengujian. Masukkan gelas IG3 kosong dan cawan tersebut dalam desikator sekitar 30 menit. Timbang gelas IG3 kosong tersebut. Timbang 2 labu takar 100 ml untuk membuat larutan NaOH 17,5%. Letakkan di atas cawan penyangga yang telah dituang air di stirer plate yang dipasang pada angka 10 selama 30 menit. Tambahkan maing-masing 12,5 ml akuades, biarkan selama 5 menit. Saring menggunakan gelas filter IG3. Cuci dengan akuades selama sekitar 3 menit. Cuci dengan 20 ml asam asetat glasial 10%. Cuci masing-masing dengan 500 ml air panas. Keringkan