• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : STATUS HUKUM HAK ATAS TANAH ADAT DALAM

C. Hak Atas Tanah Adat di Kabupaten Simalungun

4. Hak Atas Tanah Adat dalam Sistem Hukum Pertanahan

a. Hak Atas Tanah Adat dalam UUD RI Tahun 1945 beserta kritikan terhadapnya :

Undang-undang Dasar 1945 meletakkan dasar Politik dan Hukum Tanah Nasional yang dimuat dalam :

1) Pasal 33 ayat (3)nya yaitu : “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

Ketentuan ini bersifat imperatif, yaitu mengandung perintah kepada Negara, sehingga tujuan dari penguasaan oleh Negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pada tahun 2000, dilakukan amandemen yang kedua terhadap UUD 1945 yang menghasilkan klausul baru mengenai masyarakat adat. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28 I Ayat (3) hasil amandemen yaitu :

2) Pasal 18 B Ayat (2) : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.”

3) Pasal 28 I Ayat (3) : “Identitas budaya dan hak tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Pada awal era Pasca- Soeharto, memang terjadi perubahan mendasar untuk melindungi masyarakat adat. Pasal 18 B ayat (2) Bab VI UUD RI Tahun 1945 yang sudah diamandemen pada tanggal 18 Agustus 2000 menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormarti kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya.

Tahun 2001, TAP MPR menyatakan bahwa hak masyarakat tradisional dihormati sebagai hak asasi manusia, akan tetapi , perubahan-perubahan ini belum memberikan arti apa-apa bagi masyarakat adat di lapangan. Dalam berbagai sengketa sumber daya alam, masyarakat selalu kalah, berhadapan dengan perselingkuhan antara pemodal dan aparat Negara253

b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan

kritikan terhadap UUPA :

.

Baru pada tanggal 24 September 1960, Pemerintah berhasil membentuk Hukum Tanah Nasional yang dituangkan dalam UUPA, UUPA melaksanakan ketentuan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 sesuai dengan tujuan di undangkannya UUPA tersebut. Ketentuan mengenai hak ulayat masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 3 UUPA yaitu :

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat- masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.”

Sepanjang menurut kenyataannya masih ada, artinya bila kenyataannya tidak ada, maka hak ulayat masyarakat hukum adat itu tidak akan dihidupkan lagi, dan tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Hak Milik atas tanah adat (yang asli), karena belum tuntas pengaturannya, belum terlayani persertifikatannya, diragukan kepastiannya karena berdasarkan ada tidaknya sertifikat tanah, pemilik tanah adat digusur

253

Arianto Sangaji, Kritik terhadap gerakan masyakat adat di Indonesia dalam Jamie S. Davidson, op cit, hal 355.

akibat pendatang baru pemegang HGU, HGB atau hak pakai (HP) bahkan hak pengelolaan.

Polemik UUPA dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (sudah diganti menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, kemudian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

1. Adanya perbedaan pandangan tentang pelimpahan kewenangan bidang agraria/pertanahan kepada daerah.

a. Pelimpahan kewenangan berdasar Pasal 2 ayat (1) UUPA 1960, yang mengatur bahwa hak menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dilaksanakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Realisasi pelimpahan kewenangan, dalam bentuk medebewind, sebab persoalan agraria pada asasnya merupakan tugas pemerintah pusat.

b. Penyerahan kewenangan berdasarkan Pasal 11 ayat (1) dan Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999, mengatur bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan daerah dan kota adalah semua kewenangan pemerintah, termasuk bidang pertanahan kecuali yang ditentukan Pasal 7 dan 9.254

2. Pendapat yang menginginkan hanya kewenangan tertentu/terbatas saja yang dilimpahkan pada daerah. Pasal 2 ayat (4) UUPA menegaskan, bahwa hak menguasai negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat255 apabila diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Sedangkan Pasal 11 UU Nomor 22 Tahun 1999 menentukan bahwa semua kewenangan bidang agraria / pertanahan harus diserahkan kepada daerah.256

UUPA sendiri memang mengakui adanya hak ulayat dengan pembatasan mengenai eksitensi dan pelaksanaannya, tetapi UUPA tidak memberi penjelasan tentang hak ulayat itu kecuali menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingsrecht dalam kepustakaan hukum adat. Juga UUPA tidak memberikan kriteria dan eksistensi hak ulayat.

254

Penjelasan Pasal 11 ayat (1) menyebutkan, dengan diberlakukannya undang-undang ini maka pada prinsipnya seluruh kewenangan berada pada daerah kabupaten dan kota. Penyerahan kewenangan tersebut, tidak perlu dilakukan secara aktif melainkan cukup melalui pengakuan saja.

255

Menilik namanya, objek pengaturan UUPA meliputi semua hal yang terkait dengan SDA (tanah, air, hutan, tambang, dsb), tetapi kenyataannya UUPA baru mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pertanahan saja, dari 67 pasal UUPA, 53 pasal mengatur tentang tanah. Objek pengaturan yang belum diselesaikan UUPA ditindaklanjuti berbagai sektor melalui Undang-Undang sektoral, untuk memenuhi menjawab permasalahn- permasalahan yang belum diatur UUPA, Maria S.W Sumardjono, Kedudukan Hak Ulayat dalam Peraturan Perundangan di Indonesia, makalah. Materi Kuliah Hukum, hal.1.

256

Yusriyadi, Industrialisasi & Perubahan Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hal. 179-181.

Pemberian tempat kepada hukum adat di dalam UUPA dapat ditemukan dalam Pasal 2 Ayat (4), 3, 5, 22 Ayat (1), 56, 58257

Dengan mengakui hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional, berarti mengakui lebih dari satu tatanan hukum tanah, ini menandai adanya konsepsi pluralisme hukum (sesuai dengan kerangka teori yang dipakai dalam disertasi ini). Pluralisme hukum disini bukan merupakan suatu antinomi antar pluralisme hukum dengan unifikasi hukum, melainkan interaksi antara sistem hukum yang saling berbeda mengikuti pendapat. Setelah memahami konsepsi Hak Atas Tanah UUPA, disebut hak atas tanah

.

menentukan penggunaan tanah, bukan penggunaan tanah mengarahkan

Secara langsung ataupun tidak langsung alam pikiran hukum barat mempengaruhi rumusan ketentuan-ketentuan dalam UUPA yang merupakan rumusan kompromistis

hak tanah, justru seperti diperintahkan oleh Pasal 2 ayat (2) UUPA.

258

secara lengkap atau sebagian untuk sementara atau selamanya, sehingga meragukan kemurnian UUPA yang secara formal dikatakan Hukum Adat adalah dasar UUPA, sehingga hak atas tanah yang strategis dan terkait dengan banyak aspek, dirumuskan memberi wewenang untuk menggunakan dan menentukan pemanfaatan, rumusan ini berdasarkan Hukum Barat (setidaknya berorientasi kepadanya), bukan berdasarkan dan berorientasi kepada Hukum Adat.259

Hak atas tanah itu berorientasi pada eigendom yang merupakan hak privat, dimana benda di atas tanah seperti rumah, melekat pada tanah. Maka aspek penggunaan mengikuti aspek penguasaan. Hal itu dalam pelaksanaan UUPA menimbulkan banyak permasalahan hak atas tanah apapun yang bersifat privat menentukan penggunaan tanah yang bersifat publik, sehingga menyebabkan pemanfaatan tanah tidak terarah untuk mewujudkan kemakmuran bersama.260

c. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Secara jelas nampak pada Pasal 9 Ayat (1) : “Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat”.

257

Yulia Mirasuti, Konflik-konflik Mengenai Tanah Ulayat, op cit, hal. 88.

258

Soedjarwo Soeromihardjo, Mengkritisi Undang-Undang Pokok Agraria, Meretas Jalan Menuju Penataan Kembali Politik Agraria Nasional, (Jakarta: Cerdas Pustaka, 2009), hal.139, lihat juga AP Parlindungan, Kapita Selekta Hukum Agraria, (Bandung:Alumni, 1981), hal.167, dan perdebatan di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, ketika UUPA dibicarakan ternyata banyak hal yang dapat diungkapkan bahwa produk Undang- undang itu sebagai suatu kompromi yang maksimal yang dapat dicapai.

259

Menurut Penelitian Soedjarwo Soeromihardjo, pada saat penyusunan UUPA suasana kebatinan masih berpikir Belanda, walaupun sudah ada kehendak untuk meninggalkannya dan berpikir Indonesia.

260

Akibatnya menghasilkan kawasan hutan yang tidak berhutan (jutaan hektar), perkebunan yang tidak merupakan kebun karena tidak diusahakan (jutaan hektar), tanah perkotaan tidak memperhatikan kepentingan lingkungan, tumbuhnya hutan beton ke samping dan ke atas yang akhirnya mengganggu resapan air dan menjadi banjir, juga perubahan iklim (menipisnya lapisan ozon).

d. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen Agraria/ Kepala BPN) No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

1) Dalam Pasal 1 Angka 1, pengertian hak ulayat, yaitu :

“Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertrentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam (SDA), termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan bathiniah secara turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan”

UUPA tidak memberikan kriteria khusus mengenai eksistensi hak ulayat itu, namun menurut pandangan dari Mahadi yang menyebut bahwa masyarakat hukum adat inhern dengan adanya hak ulayat, sehingga dapat diterima, tidak adanya masyarakat hukum adat berarti tidak adanya hak ulayat itu.261

2) Pasal 2 Ayat (1) :

“Pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat”

3) Pasal 2 Ayat (2) : Hak Ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :

1). Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama satu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menetapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.

2). Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup pada warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.

3). Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut artinya harus ada subjek (masyarakat hukum adat), objek (tanah atau yang dipersamakan dengan tanah), hukum adat dan hubungannya antara Subjek (hak ulayat/ dan Objek (hak ulayat).

261

A.P. Parlindungan dalam Rosnidar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah dalam Masyarakat Adat Simalungun, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2011), hal. 122.

e. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

1) Dalam Pasal 5 Ayat (3) : “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.”

2) Dalam Pasal 6 Ayat (1) : “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.”

3) Dalam Pasal 6 Ayat (2) : “Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”.

f. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUPK) dan kritikan terhadap UUPK :

1) Pasal 1 huruf f : “Hutan adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.

2) Pasal 4 ayat (3) : “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.

3) Dalam Pasal 5 Undang-undang tersebut mengatur tentang status hutan sebagai berikut :

1. Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari a). Hutan Negara

b). Hutan Hak

2. Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.

3. Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

4. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah. Artinya hutan adat, hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lain dinyatakan sebagai hutan negara. Menurut Pasal 1 Nomor 4 Undang-undang ini “hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah”. Tanah yang tidak dibebani hak atas tanah adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau disebut dengan tanah negara/ tanah bebas. Akibatnya,

negara dapat memberi tanah bebas itu dengan suatu hak kepada suatu subjek hukum. Hal ini merupakan pengingkaran terhadap objek hak ulayat, sehingga objek hak ulayat menjadi lenyap. Hal ini menjadi salah satu sebab timbulnya konflik agraria yang berkepanjangan.

4) Pasal 34 : “Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada :

(a) masyarakat hukum adat; (b) lembaga pendidikan; (c) lembaga penelitian;

(d) lembaga sosial dan keagamaan”.

5) Pasal 37 ayat (1) : “Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya”.

6) Pasal 37 ayat (2) : “Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya”.

7) Pasal 67 ayat (1) : “Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak :

(a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;

(b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-undang; dan

(c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya”. Kemudian diatur kriteria mengenai suatu masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, yaitu jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain :

a. Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemenschap); b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;

Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati

d. Masih mengadakan pungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Penetapan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat tersebut sebaiknya diterangkan dalam Peraturan Daerah dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pihak ahli hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, tokoh masyarakat yang bersangkutan, serta instansi dari pihak lain yang terkait.262

262

Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta:LPHI,2005), hal.129

Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tidak secara jelas mengakui hak para warga masyarakat hukum adat untuk membuka hutan ulayatnya dan mengusahakan tanah bekas hutan yang dibukanya. Kata-kata yang digunakan adalah hak masyarakat hukum adat untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku, yang secara tegas disebut terbatas pada mengadakan pungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Pernyataan dalam Pasal 68 Undang-Undang ini, setiap orang, jadi bukan hanya warga suatu masyarakat hukum adat saja, berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penerapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dinyatakan, bahwa Pemerintah bersama pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk mengupayakan kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya.

Namun demikian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tidak memberikan solusi mengenai penyelesaian masalah hilangnya hak masyarakat hukum adat263

8) Pasal 67 Ayat (2) : “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.

yang hutan ulayatnya selama orde baru diberikan kepada para pengusaha pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Bahwa dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan oleh pemegang HPH, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas hak ulayat itu “dibekukan”, kenyataannya dihapuskan. Pengambilan kayu dan hasil hutan lainnya oleh warga masyarakat hukum adat yang ada di belakang rumahnya, yang semula menurut ketentuan hukum adat merupakan haknya, tanpa izin pemegang HPH, menjadi suatu tindak pidana.

9) Pasal 67 Ayat (3) : “Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Proses peminggiran terhadap hak-hak masyarakat lokal diyakini sudah terjadi sejak lama dan secara turun-temurun, dimana mereka telah menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan yang ada di sekitarnya. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat sekitar hutan, mereka telah turun-temurun menggantungkan hidupnya dari hutan, telah menjadi masyarakat asing di tanah kelahirannya / leluhurnya sendiri. Dampak yang jelas-jelas terjadi pada masyarakat sekitar hutan sekurang-kurangnya dapat berwujud :

263

Disebabkan karena pengakuan terhadap eksistensi atau keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya sendiri masih tidak konsisten. Ketidakkonsistenan tersebut dikarenakan belum ada kriteria yang baku mengenai keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya di suatu wilayah. Maria S.W Sumardjono, Harmonisasi kedudukan Hak Ulayat Dalam Peraturan Perundangan di Indonesia, makalah, Materi kuliah hukum Sumber Daya Alam, hal.2.

a. Peminggiran secara ekonomis yang berwujud : masyarakat lapar tanah (tuna kisna) karena 80%264 tidak memiliki tanah dan hanya tergantung pada pekerjaan mencari rencek / kayu bakar yang semakin sulit untuk mengimbangi tingginya harga bahan kebutuhan pokok, langkanya pekerjaan265

b. Peminggiran secara sosial yang berwujud terputusnya akses pendidikan, pelayanan kesehatan dan fasilitas umum lainnya, sehingga sering dikeluhkan mahalnya biaya trasnportasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan biaya pendidikan, pelayanan kesehatan, dan lain-lain.

dan terbatasnya keahlian yang memaksa mereka hanya tergantung pada hutan di tengah semakin sulitnya bercocok tanam di tengah hutan. Masyarakat miskin atau kantong-kantong kemiskinan di sekitar kawasan hutan yang terus-menerus bertambah, sedangkan lapangan pekerjaan di sekitar hutan sangat tergantung pada musim menanam, musim tebang, dan lain-lain.

c. Peminggiran secara politis yang berwujud tidak pernah terserapnya aspirasi politik masyarakat dalam kegiatan demokrasi.

d. Peminggiran secara kultural yang berwujud ketertinggalan dari berbagai bentuk informasi ke arah perubahan yang lebih positif.

Dampak langsung berwujud banyaknya kasus penjarahan hutan jati, penguasaan secara massal tanah kawasan hutan Perhutani, pembabatan secara massal tanaman jati muda.266

g. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004.

Dalam Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup sub ke 2 : “Pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan pemeliharaan lingkungan hidup melalui pendekatan keagamaan, adat, dan budaya.

h. TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Hukum Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat dikeluarkan pada tahun 2001 melalui Ketetapan MPR Republik Indonesia No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pasal 4 TAP MPR No.

264

Subadi, Penguasaan dan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan, (Jakarta: PT Prestasi Pustakarya, 2010), hal.134.

265

Pekerjaan menanam dan tebang kayu, hanya bersifat musiman yang tidak bisa dijadikan handalan dalam penopang hidup Rumah tangga yang permanen.

266

IX/MPR/2001 tersebut menentukan antara lain dalam sub j : “Mengakui, Menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/ sumber daya alam”

Pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat terdapat dalam berbagai peraturan termasuk Peraturan Daerah (PERDA) yang menggunakan landasan hukum yang berkaitan dengan kewenangan pembuatan Perda maupun landasan hukum yang berkaitan dengan materi yang diatur dalam Perda tersebut. Contoh beberapa daerah yang mengatur tentang pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat adalah Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 tentang Hak Ulayat Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy : Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat. Daerah yang sedang membuat Rancangan Peraturan Daerah Hak Ulayat Tobelo, Rancangan Peraturan Daerah Hak Ulayat Halmahera Utara267.

i. Undang-undang No. 22/2009 tentang Minyak dan Gas Bumi serta kritikan terhadapnya.

1) Pasal 34 Ayat 1 : “Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah negara di dalam Wilayah Kerjanya, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

2) Pasal 34 Ayat 2 : “Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara :

(a) jual beli, tukar-menukar, ganti-rugi yang layak;

(b) pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara”.

3) Penjelasan Pasal 34 Ayat (2) : “Yang dimaksudkan dengan pengakuan dalam ketentuan ini adalah pengakuan atas adanya hak ulayat masyarakat hukum adat di suatu daerah, sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan melalui musyawarah dan mufakat berdasarkan hukum adat yang bersangkutan”. Pengaturan perundang-undangan dalam bidang energi dan sumber daya mineral di Indonesia juga mengalami beberapa kali pengaturan. Pertama kali Undang- undang yang mengatur bidang pertambangan adalah Undang-Undang No. 10 Tahun

267

Adonia Ivonne Laturette, Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional, disertasi, (Surabaya : Unair, 2011), hal. 131.

1959 tentang Pembatalan Hak-hak Pertambangan. Kemudian pada tahun 1961, diundangkan Undang-Undang No. 11 tahun 1961 tentang Tambahan Atas Lampiran Undang-undang No. 10 Tahun 1959, dengan pertimbangan masih ada hal-hal pertambangan yang diberikan sebelum tahun 1949 dan hingga tanggal 25 April 1959 tidak atau belum dikerjakan serta masih termasuk dalam daftar hak-hak pertambangan yang dibatalkan. Kemudian pada tahun 1967 regulasi pertambangan diperkuat dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Sampai sebelum memasuki Tahun 1971, segala bidang usaha pertambangan menggunakan Undang-undang No. 11 Tahun 1967. Barulah pada tahun 1971 dibentuklah Undang-undang yang lebih spesifik yaitu Undang-undang No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara yang kemudian dicabut dengan Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi268

Kritikan terhadap Undang-Undang No. 4 Tahun 2009/ Undang-undang Minerba ini sebagai pengganti Undang-undang No. 11 Tahun 1967 itu tak ubah