• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : STATUS HUKUM HAK ATAS TANAH ADAT DALAM

A. Deskripsi Tentang Kabupaten Simalungun

3. Masuknya orang Tapanuli ke Simalungun

Dimulai pada abad ke 19, kampung halaman Batak Toba sudah mulai sesak akibat pertambahan alamiah, angka kematian mulai menurun, sedang angka kelahiran menjadi meningkat.123 Jumlah penduduk bertambah dengan cepat dan sejalan dengan itu tekanan penduduk terhadap lahan pertanian, terutama dalam persawahan menjadi masalah yang pelik di daerah Dataran Tinggi Toba124

122

Ibid, hal. 14

. Di berbagai wilayah, luas lahan persawahan yang diusahai penduduk semakin sempit. Pembukaan dan perluasan persawahan baru semakin tidak mungkin karena berbagai hal, diantaranya faktor sumber air dan iklim. Hasil yang diperoleh dari lahan kering pun kurang memuaskan. Berbagai :tantangan” di kampung halaman harus dihadapi. Sementara itu cita-cita untuk selalu mengejar 3H (Hagabeon, Hamoraon, dan Hasangapon) tidak pernah padam dalam diri setiap orang. Berbagai keterbatasan yang dihadapi di wilayah sendiri mendorong mereka meninggalkan kampung halamannya. Pada awalnya tidak sedikit dari kaum tani yang bekerja keras membuka hutan dan

123

membangun kampung baru dengan menghadapi tantangan yang berat tanpa memperhitungkan risiko di daerah lain.

Pada tahun 1912 atas kerjasama Pemerintah Hindia Belanda dengan zending Kristen didatangkanlah orang-orang dari Toba, Angkola, dan Mandailing, dengan menjanjikan fasilitas-fasilitas tertentu asal mau membawa rombongan dalam jumlah besar ke Simalungun terutama untuk membuka areal persawahan.

Pada tahun 1920 telah ada orang Toba sebanyak 21.832 orang dan Mandailing sebanyak 4.699 orang yang tersebar di daerah-daerah persawahan di Simalungun. Sesuai dengan janji yang diumbar oleh Pemerintah Hindia Belanda dan sejalan dengan Politik Devide Et Impera, maka bagi suku-suku pendatang, diangkatlah pimpinan-pimpinan yang diambil dari kalangan mereka sendiri. Untuk memimpin orang-orang Toba diangkatlah Andreas Simangunsong dengan gelar Jaihutan (Raja Ihutan). Demikian juga jabatan-jabatan di pemerintahan seperti Pangulu Balei (Kepala Kantor Raja), Kerani, Guru dan lain-lain banyak yang diberikan kepada suku-suku pendatang tanpa memperhatikan perimbangan dengan penduduk setempat.

Hal ini mendapat tantangan keras dari Raja-raja Simalungun, sehingga akhirnya pada tahun 1921 jabatan Jaihutan, Pangulu dan Kepala Rodi untuk orang- orang Toba dihapuskan.

Selain itu pemerintah Kolonial Belanda memberikan lokasi tanah persawahan bagi orang-orang Jawa, terutama bagi mereka yang telah habis masa kontraknya di perkebunan, maka berdirilah perkampungan orang Jawa di Bandar dan Sidamanik, perkampungan seperti ini disebut Javakolonisasi.

Keseluruhan kegiatan tersebut di atas adalah untuk memperbesar persaingan (tidak jarang jadi permusuhan) antara penduduk setempat dengan para pendatang sesuai dengan kepentingan politik Belanda.

Sesuai dengan sifat orang Simalungun yang suka menyendiri, mudah tersinggung, dan tidak mengenal pertanian sawah, akhirnya mereka mudik ke daerah- daerah yang relatip lebih kurus (kurang subur atau gersang), karena daerah-daerah subur dan yang dapat dijadikan persawahan hampir seluruhnya diduduki orang-orang pendatang.

Dengan kata lain, setelah tersebar berita tentang keadaan Simalungun di Tapanuli, yang dibawa oleh petugas mission, beberapa waktu kemudian telah ada yang memberanikan diri untuk melihat keadaan daerah itu, ada yang naik sampan dari Balige menuju Sungkean Samosir terus ke Parapat dan dari Panahatan melewati hutan terus ke Tigadolok dan sampai ke Siantar setelah empat hari perjalanan. Sesudah melihat keadaan daerah tersebut, mereka memutuskan untuk membuka perkampungan. Untuk menambah tenaga dan mempertahankan diri dari serangan musuh, beberapa orang disuruh pulang dan sekaligus memberi kabar kepada keluarganya dan teman-teman sekampung agar mereka ikut dalam perjalanan

124

O.H.S Purba dan Elvis F. Purba, Migrasi Batak Toba, di luar Tapanuli Utara : Suatu Deskriptif. (Medan : Monora, 1998), hal. 1

berikutnya. Demikian pula berita yang diwartakan pekabar Injil melalui majalah mingguan Immanuel sangat cepat tersebar dan menarik perhatian, terutama bagi keluarga yang tidak memiliki lahan yang luas. Sejak itu, beberapa rombongan, sebagian naik sampan dari Balige ke Panahatan terus ke Tigadolok dan sebagian berjalan kaki dari Lumban Julu terus ke Tigadolok dan dari sana menuju arah Siantar. Perjalanan yang melelahkan dengan melewati hutan yang diselang-selingi terik matahari dan hujan tidak menjadi penghambat bagi mereka memasuki daerah Simalungun.

Pada tahun 1904 di Pematang Bandar telah dimulai membuka persawahan yang diprakarsai oleh missioner G.K. Simon. Proyek ini hanya berjalan beberapa lama karena hasilnya sangat sedikit dan akhirnya tutup125

Disamping dorongan dari diri sendiri, missioner Jerman juga mendukung perpindahan sebagian orang Batak Toba ke Simalungun dengan maksud untuk memberi contoh dalam cara bercocok tanam di persawahan dan sekaligus untuk memberi teladan cara hidup Kristiani. Tahun 1905 orang-orang dari Tapanuli sudah makin banyak yang pindah, ada yang menuju Panai, Bandar dan Tanah Jawa. Petani- petani yang sudah membuka perladangan berusaha mengubahnya menjadi persawahan. Pada tahun itu juga petani-petani yang tinggal di dekat Siantar berhasil menggali tali air dari Sungai Bah Biak secara gotong royong dengan berpedoman pada teknologi irigasi yang mereka bawa dari kampung asalnya. Sejak pembukaan tali air tersebut, persawahan mulai ada. Nama tempat persawahan itu pun, yang semula adalah perladangan (juma) berubah menjadi Juma-Saba, yang bermakna perladangan (juma) berubah menjadi persawahan (saba), yaitu di derah Simpang Empat yang sekarang.

. Ketika itu untuk membentuk persawahan sangat sukar karena saluran irigasi belum ada. Oleh karena itu orang Batak Toba kurang berminat tinggal disana.

Dalam beberapa tahun, areal pertanian pangan yang dibuka petani-petani Batak Toba sudah menunjukkan hasil yang lumayan. Keberhasilan tersebut ternyata mendapat perhatian dari pemerintah Kolonial. Mereka mengetahui bahwa petani-petani tersebut sungguh-sungguh mengerjakan lahan pertaniannya dan melihat semangat petani-petani yang datang belakangan membuka lahan pertanian pangan. Sadar akan kesungguhan dan keagresifan petani-petani tersebut, serta sesuai dengan politik mereka, pemerintah kolonial melalui Kontrolir Batubara mengadakan perjanjian dengan raja Bandar, agar orang Batak Toba diberi kesempatan memasuki daerah Bandar dalam rangka membuka persawahan126

Sejak perjanjian tersebut semakin banyak kaum tani dari Tapanuli menuju Bandar, walaupun kemudian hari banyak yang pindah kembali. Tahun 1906 petani- petani dari Toba Holbung, Silindung, dan Humbang datang untuk membuka persawahan. Mula-mula mereka tiba di Bandar Meratur dan dari sana menyebar ke

125

M.Joustra, van Medan Naar Padang En Terugi, (Leiden:S.C van Doesburq, 1915), hal.39

126

daerah sekitarnya127. Pada tanggal 31 Desember 1906, sudah terdapat sebanyak 94 orang Kristen Batak, terdiri dari 40 laki-laki dewasa, 11 perempuan dewasa dan 43 anak-anak yang datang dari Tapanuli tinggal di Pematang Bandar128. Pada tahun yang sama, di Juma-Saba sudah diadakan kebaktian yang dipimpin oleh evangelis Theopilus Pasaribu129

Tahun 1907 sudah terdapat beberapa keluarga Batak Toba yang datang dari Toba Holbung, Humbang, dan Silindung tinggal di daerah Panai130. Selain ke daerah Panai, banyak pula yang menuju Siantar, kearah Dolok Merlawan dan daerah lainnya di Simalungun. Sebaliknya perpindahan ke Tanah Jawa ketika itu mendapat hambatan. Mereka tidak diijinkan oleh pemerintah, yaitu kontrolir yang lama memerintah dan mengawasi rakyat di daerah itu131. Pada bulan September 1907 tujuh raja Simalungun menandatangani Korte Verklaring132. Penandatanganan perjanjian tersebut merupakan pengakuan terhadap kedaulatan Belanda di sana dan ketika itu raja-raja tersebut berjanji tidak akan melakukan hubungan-hubungan politik dengan negeri-negeri asing serta setuju untuk mengikuti undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Sejak itulah dirintis perluasan perkebunan di Simalungun133