• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Kritis Tentang Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat Dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional (Studi Di Kabupaten Simalungun)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pandangan Kritis Tentang Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat Dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional (Studi Di Kabupaten Simalungun)"

Copied!
370
0
0

Teks penuh

(1)

PANDANGAN KRITIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH ADAT DALAM

SISTEM HUKUM PERTANAHAN NASIONAL (STUDI DI KABUPATEN SIMALUNGUN)

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Dibawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM & H.,M.Sc (CTM).,Sp.A.(K)

Untuk Dipertahankan Dihadapan

Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara

Oleh :

Rosnidar Sembiring

088101005/ S-3 Hk

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

(Promosi Doktor)

JUDUL DISERTASI : PANDANGAN KRITIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH ADAT DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN NASIONAL (STUDI DI KABUPATEN SIMALUNGUN)

NAMA : Rosnidar Sembiring Nomor Pokok : 088101005

PROGRAM : Doktor (S3) Ilmu Hukum

MENYETUJUI : KOMISI PEMBIMBING

(Prof. Dr. Runtung, SH.,M.Hum Promotor

)

(Prof. Dr. Usman Pelly, MA) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH.,MS.,CN Co-Promotror Co-Promotor

)

Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Dekan

(3)

KOMISI PENGUJI

Prof. Dr. Tan Kamello, SH.,MS

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.,M.Hum

(4)

KOMISI PENGUJI

Prof. Dr. Tan Kamello, SH.,MS

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.,M.Hum

(5)

KATA PENGANTAR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim Alhamdu lillahi Rabbil ‘Aalamiin,

Assalamualaikum wr.wb, salam sejahtera dan selamat siang.

Puji dan syukur ke hadirat Allah swt, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-NYA sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian hingga promosi doktor pada hari ini. Semoga karunia yang saya peroleh mendapat ridho Allah swt dan membawa manfaat bagi saya dan keluarga, masyarakat dan almamater saya, Universitas Sumatera Utara.

Sebagai insan yang senantiasa memegang budi baik sesama dan rasa syukur kepada Illahi, izinkan saya menyampaikan terimakasih :

1. Kepada Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc (CTM)., Sp.A (K), Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah menerima saya dalam mengikuti program Doktor dalam Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Adat dan fasilitas yang diberikan selama pendidikan hingga mengikuti promosi Doktor pada hari ini.

(Kepada Prof.Ir.Zulkifli Nasution, MSc, Ph.D, Pembantu Rektor 1 Universitas Sumatera Utara.

2. Kepada Prof.Dr.Runtung, SH,M.Hum. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, saya mengucapkan terimakasih serta penghormatan atas kesempatan, bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada saya selama menjalani pendidikan di Program Doktor, sekaligus atas kesediaan beliau untuk menjadi Promotor dalam disertasi ini. Meskipun kesibukan beliau telah cukup banyak menyita waktu dan tenaga, tetapi beliau masih menyempatkan diri untuk membimbing dan mentransfer ilmu dan pengetahuan yang dimiliki, sehingga sangat membantu penulisan disertasi ini. Pemikiran beliau yang sistematis dan pemeriksaan yang sangat detail, misalnya : masalah penomoran, telah membuka inspirasi penulis untuk menyelesaikan bab demi bab. Untuk semua keikhlasan hati beliau, semoga Allah lah yang membalasnya dengan melimpahkan rakhmat dan hidayah kepada beliau dan keluarga.

(6)

Utara; Salamuddin, ST, Juliani, SH, Rafika Suryani, SH, kak Sri Rahayu, SH, Suherman, SE, Fitri Idayani Lintang, SE, Suhendra Sibarani, SH, Isniar Handayani, Johan, SH, Wiwik Kusdianingsih, SE atas segala pelayanan, pengarahan dan dorongan yang diberikan kepada kami selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU. 4. Kepada Prof.Dr.Tan Kamello, SH,MS, Prof.Dr.Syafruddin Kalo, SH, M.Hum,

dan Prof.Dr.Yulia Mirwati,SH,CN,MH selaku penguji luar komisi, saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan dan waktu yang diberikan untuk memberikan penilaian dan saran-saran dalam menyelesaikan disertasi ini. Kepada seluruh staf pengajar program Doktor S3 Ilmu Hukum USU, saya mengucapkan terimakasih atas ilmu pengetahuan, pengalaman dan bantuan yang diberikan kepada saya. Kepada seluruh staf pengajar termasuk Ikatan Staf Pengajar Wanita (ISPW) FH USU yang hadir pada hari ini (Chairul Bariah, SH,M.Hum, Liza Erwina,SH, M.Hum, Zulfi Chairi, SH,M.Hum, Syamsiar Yulia, SH,CN, Latifah, SH, Dra. Zakiah, MPd, Puspa Melati Hasibuan, SH,M.Hum, Maria, SH,M.Hum, Suria Ningsih, SH,M.Hum, Zaidar, SH, M.Hum., Mariati Zendrato, SH.M.Hum, Rafiqoh Lubis, SH.M.Hum, dan lainnya. Khusus kepada adinda Afrita, SH, M.Hum, yang selalu berbagi dalam suka dan duka sehubungan dengan pendidikan yang sedang dijalani, semoga Allah mewujudkan cita-cita adinda dalam waktu yang tidak lama. Dr. Utary Maharani Barus,SH,M.Hum, Dr.Idha Aprilyana Sembiring, SH.M.Hum, Dr.Marlina,SH.M.Hum), seluruh sahabat saya, rekan-rekan di program Doktor Ilmu Hukum USU. Khusus kepada alm.Syamsiar Yulia,SH,CN, yang meninggal pada hari Kamis, 28 Maret 2013, terimakasih kak atas kebersamaan selama ini. Semoga Allah

mengampuni segala dosa-dosanya, amin. Secara khusus, saya ingin

menyampaikan rasa hormat yang ikhlas kepada bang Hayat,SH karena hati yang tulus dan jujur selalu membimbing dan membela saya, terimakasih bang, semoga Allah tetap memberi kesehatan dan umur yang panjang kepada abang, pak Kalelong Bukit, SH, Zulkifli Sembiring, SH,M.Hum, Amsali Sembiring, SH,M.Hum, Syarifuddin Siba, SH.M.Hum, terutama kepada abanganda Malem Ginting, SH,M.Hum., atas bantuannya, Dt. Syaiful Azam, SH,M.Hum, Azwar Mahyuzar, SH,M.Hum, Mulhadi,SH,M.Hum, Boy dan Eko, dan lainnya.

Juga staf administrasi FH USU; Efraim Purba,STh, MTh, Juni Surbakti, SH, MKN, Sadli Damanik, Amd, Sarno,SH, Rosmawaty,SH, Syamsinar,SH, Misyani, Annisa,SE. mengucapkan terimakasih yang tak terhingga atas kerjasama dan dukungan yang saling menguatkan yang terjalin selama ini; Asmadi Lubis, SH, MKN, Sutrisno, SH,MKN, Kompol Bachtiar Marpaung, SH,S.Sos, M.Hum, Marianne Ketaren, SH,MKN, Sutiarnoto, SH, MH, Abul Khair, SH, M.Hum, Asmin Nasution, SH, M.Hum, Megarita, SH,CN,M.Hum,

(7)

akan pernah saya lupakan dalam hidup ini antara lain informasi agar saya bisa “promosi” pada hari ini). Beliau juga meminjamkan beberapa literatur karena memang sama-sama menulis tentang hukum tanah adat. Terimakasih bang, semoga Allah mengabulkan apa yang menjadi cita-cita abang dan keluarga, amin.

5. Terimakasih yang tulus kepada Prof.Dr.Bismar Nasution,SH,MH dan Prof.Dr.Ningrum Nastasya Sirait, SH,MLI selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi S3 FH USU pada saat saya ditest ujian masuk dan dinyatakan lulus sebagai mahasiswa S3 di awal tahun 2009. Saya meyakinkan beliau berdua bahwa tulisan ini meskipun kajian hukum adat yang terkesan obsolete,

tradisional, tapi tetap up to date bahkan kajian ini sedang menjadi persoalan besar yang dihadapi bangsa ini hari ini. Satu jaminan saya bagi Prof.Ningrum waktu itu adalah penguasaan bahasa Simalungun yang saya miliki, karena pernah bersekolah di Pematang Raya, akan menambah kevaliditasan dan keakurasian data nantinya (dan memang sangat membantu selama saya berada di lapangan bersama masyarakat adat, yang masih ada mengenal saya).

6. Terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tinggi nya saya ucapkan kepada Prof.Dr.Usman Pelly,MA selaku Kopromotor penulisan disertasi ini. Masukan-masukan dan pemikiran-pemikiran beliau telah cukup banyak memperkaya materi dalam disertasi ini. Beliau terkadang menelepon, menanyakan tentang kesulitan saya dalam menulis disertasi ini dan menyuruh datang untuk mengambil bahan-bahan yang saya butuhkan, yang sudah dipersiapkan. Dengan senang hati diajak berdiskusi dan meminjamkan buku-buku dari perpustakaannya. Untuk semua kebaikan dan bantuan beliau, saya berdoa semoga Allah swt membalas yang lebih baik lagi kepada beliau dan keluarganya.

Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS,CN selaku Kopromotor dalam penulisan disertasi ini. Selama bimbingan, saya banyak menerima cucuran ilmu pengetahuan utamanya di bidang “agraria”, beliau juga banyak meminjamkan literatur kepada saya. Motivasi dan nasehat yang tak henti-hentinya, saya peroleh darinya. Satu hal yang tidak mungkin saya lupakan adalah ucapan beliau yang mengatakan : “Ros, ketika orang-orang mendebatkan tentang “hak ulayat”, mereka akan “mencari” kamu karena kamu intens menuliskan tentang itu, jadilah pakar di bidang hak ulayat”, Semoga ucapan yang menjadi doa beliau diijabah oleh Allah Swt. Untuk semua kebaikan dan keikhlasan beliau, hanya kepada Allahlah saya berharap agar Dia memberikan rakhmatNya kepada beliau dan keluarga. Juga para staf beliau : Dr.T.Devi Keizerina,SH,CN,M.Hum, Fatimah, Lisa, Sari, dan lainnya yang banyak membantu saya.

(8)

agar saya memilih FE (Akuntansi) Universitas Indonesia sesuai cita-cita awal saya tapi atas nasihat ayahanda tercinta, saya harus memilih FH USU.

Seluruh alumni SMANTIG Pematangsiantar; Prof.Dr.Sunarmi,SH,M.Hum, yang selalu mengingatkan saya tuk memprioritaskan “disertasi” dari yang lain, agar disertasi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya, Dr.Hasim Purba,SH,M.Hum, Dra.Hennita Purba,MPd, Junedi Sirait,SH (Anggota DPRD Bogor), Drs.H.Suayatno (Wakil Bupati Bengkalis), Darlainy Nasution,SE, MM, khusus buat kelas 3 IPS4; bu Salmi, Dilla Haryanti Tarigan,SH,MH, Nurlely, Normadiah, Hanum, Massa Hati Silalahi, Rita Elfrida, Wahyu Ilahi, Syawal Naibaho, Dayat, dan lainnya.

8. Kepada kakak Hj.Farida Tarigan yang karena motivasi awal darinya untuk mengambil program S3. Beliau juga seperti “ibu” bagi saya, karena tak lelah dan berharap atas keberhasilan saya. Kepada Hj.Khalida Djalil,SE, teman seperjuangan di masa S1, terimakasih atas doa, bantuan, motivasi kalian berdua. Semoga Allah membalas yang lebih baik bagi hidup dan kehidupan kalian dan keluarga. Kepada ibu-ibu Dharma Wanita Persatuan FH USU : kak Ros Budiman, kak Hafsah Sulung, kak Ani Husni, kak Ayu Ikhsan, mba Ani Sulaiman, Yunita Hasibuan, kak Lely Armansyah dan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan. Semoga silaturakhim di antara kita tetap terpelihara dengan baik. 9. Seluruh guru-guru saya dari SD sampai Perguruan Tinggi yang tidak bisa saya

sebutkan satu persatu, karena ilmu dan nasehat mereka lah saya bisa berdiri di tempat ini, saat ini, khusus buat Prof.Dr.M Solly Lubis, SH yang sudah saya anggap seperti orang tua saya sendiri. Beliau tidak pernah lelah diajak berdiskusi tentang hak ulayat, masyarakat adat, adakah political will dari Negara dan pemerintah untuk ini? Begitu selalu yang dipertanyakan beliau. Pertanyaan lainnya selalu ditujukan melalui staf administrasi tentang mengapa saya terlambat mengambil program S3, Saya jawab : Pak, 3 tahun lamanya saya disuruh suami untuk “sekolah”, barulah saya mau. Musibah atas sakit menahun dan berpulangnya putri saya yang kedua, alm. Diva, menyisakan luka yang sangat mendalam dan sulit berkonsentrasi waktu itu. Lantas beliau menjawab : sekarang apakah karena suami kamu bersekolah, saya jawab : utamanya, karena Allah, kedua karena niat saya sendiri dan selanjutnya karena keluarga. Terimakasih pak atas motivasinya, semoga impian saya bisa produktif menulis buku seperti bapak, bisa terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama. Saya berharap semoga Allah tetap memberi kesehatan dan lindunganNya buat bapak dan keluarga.

(9)

kepada ibunda Prof.Hj.Rehgena Purba, SH, MS, yang telah memberi dukungan moril mulai dari S2 sampai hari ini.

11. Prof.Dr.Sulistiowati Irianto, MA, (Guru Besar FH UI) yang telah mengikutsertakan saya dalam grup Socio Legal Study dan membantu saya dalam beberapa literatur. Terimakasih ibu, semoga ibu semakin kuat dalam menghadapi hidup ini dan Tuhan selalu memberkati ibu.

12. Kepada Abanganda Dr.Oloan Sitorus, SH,MH (Ketua STPN BPN, Yogyakarta) dan Abdon Nababan (Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Jakarta). Beliau berdua ini selalu dengan lapang hati berdiskusi (sampai jauh malam melalui telepon (by phone) tentang apa saja berkaitan dengan disertasi ini dan banyak mengirim bahan-bahan literatur / yang terkait via email. Penulis juga bangga dipertemukan dalam 2 (dua) kali kesempatan menjadi narasumber bersama Abdon Nababan dalam seminar sehari tentang hak ulayat dan masyarakat adat, terutama di lokasi penelitian disertasi ini (kabupaten Simalungun). Juga kepada abanganda Dr. Jaminuddin Marbun, SH.M.Hum (Dekan FH Dharma Agung). Atas bantuan dan motivasinya, semoga Allah membalasnya.

13. Rekan-rekan Ikatan Alumni FH USU angkatan 85 : H.Erwin Adhanto,SH, Erna Herlinda,SH,M.Hum, Bachtiar Sinaga, SH., yang banyak membantu di lapangan, Rita Manurung,SH, Hirim Tiarma Pasaribu,SH (Inggris), M.Joni,SH,MH, Idha Deliana,SH,MH, Yusnawati, SH,CN, Nuriani, SH, Rifka Daulay,SH, Maslem Simarmata,SH, Sujono,SH, Fatimah, SH, MH, dan lainnya yang tidak bisa saya sebut satu per satu.

14. Rekan-rekan Ikatan Alumni PPS Program Ilmu Hukum S2 USU : Dr.Supandi,SH,M.Hum, Dr.Surya Perdana Ginting,SH,MH, Dr.Iman Jauhari,SH,M.Hum, Susilawati,SH,M.Hum, Muskibah,SH,M.Hum (Jambi), Rajin Sitepu, Roswita Sitompul,SH,M.Hum, Rosmalinda Sitorus,SH,M.Hum, dan lain-lain.

15. Prof.Dr.Jan Michelle Otto, Dr.Mr.Adriaan Badneer, dan rekan-rekan dari grup

Socio Legal Study : Dr.Asri Wijayanti, SH, MH (Surabaya), yang telah banyak membantu pengiriman bahan-bahan yang terkait dengan disertasi ini dan mengikutsertakan penulis dalam pelatihan penyelesaian sengketa tanah di Universitas Airlangga, Surabaya. Rina Oktoberina,SH,MA (Bandung), Nanda Amalia,SH,M.Hum (Aceh), mba Santi & Tity Wahju Setiawati,SH, M.Hum (Semarang), Imam Koeswayono, SH, MH (Unibraw, Malang), Muktiono,SH, M.Phil (Unibraw, Malang), Fachrizal Afandi,S.Psi (Unibraw, Malang), Fully Handayani,SH,MA (FH UI), Tri Lisiani Prihatina, SH, MA, Phd., Sonya Claudia Siwu,SH,MH,LLM (Unair, Surabaya), dan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

(10)

Uli Pulungan, SH,M.Hum, Marasamin Ritonga, SH, Syafril Warman,SH, Borkat,SH, Ahsanul Fuad Saragih, SH,MA, Afrizon,SH dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebut satu per satu. Tetaplah : “Yakin Usaha Sampai”. 17. Anak-anak saya : Kevin, Hardyles, SH, Reka, Irfan, Yuni, Yuyun, dan lainnya

atas perhatian, waktu yang diberikan atas penyelesaian disertasi ini. Khusus kepada tulang/ito Reoko Putra Panjaitan, SH,MKN atas setiap motivasi dan doa agar saya segera menyelesaikan disertasi ini, semoga Allah membalas semua kebaikan kalian.

18. Terimakasih disampaikan kepada seluruh ibu-ibu komplek Villa Mutiara Johor 1; Bu Srik, Ira, Bunda, bu Ita Jauzi, Henny, kak Erni, bu Lisa, Rani dan lainnya yang telah membantu saya mengontrol anak-anak saya ketika saya tidak ada di rumah, terima kasih atas kekeluargaan yang mendalam dan kebersamaan kita selama ini, semoga Allah memberi rahmatNya kepada kita semua.

Khusus kepada bu Santi dan bu Rina yang menggantikan posisi saya mengajar anak-anak saya dalam pelajarannya selama saya studi. Peran dan dedikasi yang tinggi dari kedua ibu ini sangat membantu dalam pelajaran anak saya. Untuk itu, saya dan keluarga mengucapkan terimakasih yang tulus kepada keduanya, semoga apa yang dicita-citakan mereka berdua dikabulkan oleh Allah swt. 19. Terimakasih yang tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga

disampaikan kepada bapak alm. MR Djariaman Damanik, (yang meninggal pada hari Minggu, 3 Maret 2013), mantan ketua PT Denpasar, ketua PT Medan. Beliau juga salah seorang anak dari Raja Damanik sedangkan istri beliau, alm. Martha br Saragih, adalah juga salah seorang putri dari Raja Silampuyang. Dengan beliau berdua, penulis selalu berdiskusi, di mana saja (Siantar ataupun Medan) dan kapan saja (pagi, sore, bahkan malam). Beliau selalu menelephone saya tentang kesulitan saya dan menanyakan sudah sampai sejauh mana, karena dirasa terlalu lama untuk datang ke rumahnya hanya untuk berdiskusi. Terkadang penulis tersipu malu manakala beliau mendatangi saya, di fakultas hanya untuk menyerahkan buku-buku, Acte Consessie, dll, serta menerjemahkan langsung kepada saya bahasa Belandanya. Alasan berbuat demikian karena beliau menyatakan : “tulisan anak sudah merupakan tanggung jawab saya.” Benarlah beliau berdarah biru, beliau adalah anak Raja, (salah seorang Raja Marpitu) yang jiwa, perasaan, hatinya selalu ada di Simalungun meskipun raga ini ada dimana-mana (terkadang di Bali, Medan bahkan di luar negeri). Beliau salah satu pengetua adat di Simalungun meskipun oleh Negara dianggap “tidak” karena tidak berada di wilayah setempat. Ompung, Bapak…maafkan saya bila disertasi yang utuh ini tidak sempat bapak baca, tapi saya yakin bapak melihat dan mengetahuinya. Semoga Tuhan melapangkan jalannya. Terimakasih juga kepada para responden dan narasumber, Camat, Lurah, gamot dan seterusnya yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

(11)

hari-hari saya selama di lapangan Alm. Tuan Manuel Panjaitan/Alm. Hj. Nurmiah br Sibarani (nek ito/eda), tulang Sahat Panjaitan/D. br Hutajulu, Tulang saya ini adalah popparan ni (keturunan dari) Raja Tuan Nakhoda Pajaitan, yang turut membesarkan dan mendidik saya dari kecil, kakak saya, Hj.Hidayani Sembiring (semoga secepatnya diberi kesembuhan), beserta suami H.Mhd.Djamil dan adik-adik saya Ir.Sry Rezeky Sembiring, T.Ivo Sembiring,S.Psi/Ir. Bambang Sucipto, sepupu saya Ica dan Yul, tante Ida/pa Etek, pak tua, pak tengah, pak uda Indra Sembiring, bibi uda/ bunde Hj. Rukiah Sembiring/ Hj.Ibrahim Lubis, tulang Palit Nasution,SE, MM, atas segala doanya dan seluruh keluarga yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Juga kepada ponakan-ponakanku Tika, Putri, Arif dan lain-lain, semoga kalian bisa mengikuti jejak ‘mama/wak’.

Kepada suami tercinta, Ir.Suhadianto,MT, yang telah dengan sabar menghadapi saya, beliau adalah motivator ulung dan hebat, yang pernah saya kenal, dan anak-anakku tersayang : .Ridho Eko Prasojo, alm Diva Wahyuni, Mhd.Zaman Baskoro. Terimakasih atas kebersamaan kita, kasih sayang, pengertian, dan kesabaran yang merupakan sesuatu yang sangat berarti dalam penyelesaian disertasi ini. Maafkan mama jika selama studi ini bukanlah “ibu yang baik”, karena kurang memperhatikan pelajaran-pelajaran kalian. Untuk itu kepada Allah mama mohon ampun dan kepada kalian mama mohon dimaafkan. Semoga kelak keberhasilan ini menjadi motivasi bagi kalian untuk dapat juga meraihnya kelak dan menjadi anak-anak yang sholeh.

Terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu kegiatan promosi ini, kepada hadirin dan undangan sekalian yang telah meluangkan waktu dan perhatian, saya ucapkan terimakasih dan mohon maaf atas segala kekurangan. Semoga Allah swt senantiasa melimpahkan rahmatNYA kepada kita semua. Wabillahi taufiq wal hidayah, wasalamu’alaikum wr.wb, salam sejahtera dan selamat siang.

Medan, April 2013

(12)

PANDANGAN KRITIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH ADAT DALAM

SISTEM HUKUM PERTANAHAN NASIONAL (STUDI DI KABUPATEN SIMALUNGUN)

Rosnidar Sembiring1 Runtung2 Usman Pelly3 Muhammad Yamin4

ABSTRAK

Sengketa atau konflik bukan suatu keadaan yang statis, sengketa bersifat ekspresif, dinamis, dan dialektis. Istilah sengketa atau konflik berasal dari kata

dispute atau conflict, kebanyakan di berbagai negara dipakai secara bergantian. Tulisan ini memfokuskan sengketa pertanahan, yang berdasarkan keputusan BPN RI No.34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan adalah : “Perbedaan nilai, kepentingan, pendapat, dan atau persepsi antara orang perorangan dan atau badan hukum (privat atau publik) mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu, atau status keputusan tata usaha Negara menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu.”Perkembangan sengketa pertanahan secara kuantitas maupun kualitas selalu mengalami kenaikan, bahkan di seluruh wilayah Indonesia, dari tahun ke tahun, jumlah kasus tanah terus meningkat. Dalam kurun 2 (dua) tahun saja, jumlah kasus tanah yang dilaporkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI meningkat 5000% (lima ribu persen). Antara tahun 2005 sampai dengan Agustus 2011, Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg) menerima 5.767 berkas kasus sengketa tanah. Kasus ini terbanyak ketiga setelah berkas masalah hukum (9.602) dan berkas masalah ketenagakerjaan (8.474). Wilayah yang tercatat paling sering bersengketa pada tahun 2012 ini adalah Jawa Timur (36 kasus), Sumatera Utara (25 kasus), Sulawesi Tenggara (15 kasus), Jawa Tengah (12 kasus), Jambi (11 kasus), Riau (10 kasus), Sumatera Selatan (9 kasus), dan sisanya tersebar di provinsi lainnya.

1

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2

Guru Besar Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3

Guru Besar Antropologi, Universitas Negeri Medan

4

(13)

Perumusan permasalahan disertasi ini adalah :

1. Bagaimanakah status hukum hak atas tanah adat di kabupaten Simalungun dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional?

2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya sengketa hak atas tanah adat di kabupaten Simalungun?

3. Bagaimana upaya yang dilakukan dalam hal menyelesaikan sengketa hak atas tanah adat di kabupaten Simalungun?

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian disertasi ini bersifat penelitian hukum normatif (doctrinal) dan empiris (non-doctrinal) dengan pendekatan socio legal study, jadi diawali dari penelusuran peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum lainnya tentang Sistem Hukum Pertanahan Nasional, UU sektoral tentang Sumber Daya Agraria dengan berbagai kritikan terhadapnya kemudian secara empiris tentang perilaku hukum sehingga akhirnya bisa memperoleh faktor penyebab sengketa tanah adat sekaligus upaya penyelesaiannya. Lokasi penelitian, sengketa yang berkaitan dengan hak atas tanah adat di Kabupaten Simalungun juga banyak terjadi, namun ada 4 (empat) kasus besar yang dianalisis dalam tulisan ini yaitu :

1. Sengketa Hak Atas Tanah Adat di Desa Bangun Dolok, kelurahan Parapat, kecamatan Panei, kabupaten Simalungun.

2. Sengketa Hak Atas Tanah Adat Masyarakat Silampuyang

3. Sengketa Hak Atas Tanah Adat pada Masyarakat Kebun Bangun (Kasus Tanjung Pinggir), klaim pelepasan eks HGU PTPN III Kebun Bangun, kota Pematangsiantar.

(14)

masyarakat adat setempat, tetua-tetua adat, untuk berdiskusi (secara ilmiah / non-ilmiah) tentang Simalungun atau tentang penyelesaian sengketa hak atas tanah adat, membuat peraturan daerah tentang hak partuanon yang berasaskan hukum adat simalungun (asas, prinsip, lembaga, misal : prinsip habonaron do bona , dan lain-lain) sehingga tercipta hukum yang benar-benar menyentuh (legal empathy) sekaligus melaksanakan reformasi di bidang agraria dengan prinsip think globally but act locally.

(15)

CRITICAL VIEWS ON THE SETTLEMENT INDIGENOUS LAND DISPUTE IN LAND NATIONAL LEGAL SYSTEM (STUDY IN DISTRICT OF SIMALUNGUN)

Rosnidar Sembiring5 Runtung6 Usman Pelly7 Muhammad Yamin8

ABSTRACT

Dispute or conflict is not a static situation, the dispute is expressive, dynamic and dialectical. Disputes or conflicts term derived from the word dispute or conflict, mostly in various countries used interchangeably. This paper is focused on land disputes, the decision based on BPN RI 34 Year 2007 regarding Technical Guidelines Handling and Settlement of Land Problems are:

"The difference in values, interests, opinions, and or perception between individuals or legal entity (private or public) on the status or the status of the acquisition and possession and or usage status or utilization of certain parcels of land, or the status of state administrative decisions regarding the acquisition, possession or use of the land or the use of certain. "

The development of land disputes in quantity and quality always increases, even in the whole of Indonesia, from year to year, the number of land cases continues to increase. Within 2 (two) years, the number of reported cases of land by the National Land Agency (BPN) RI increased 5000% (five thousand percent). Between 2005 to August 2011, the Ministry of the State Secretariat (Kemensesneg) received 5767 land dispute case file. The case is the third highest after the file legal matters (9602) and file labor issues (8474). Areas that recorded most often disputed in 2012 was East Java (36 cases), North Sumatra (25 cases), South East Sulawesi (15 cases), Central Java (12 cases), Edinburgh (11 cases), Riau (10 cases) , South Sumatra (9 cases), and the rest scattered in other provinces. Areas that recorded most often disputed in 2012 was East Java (36 cases), North Sumatra (25 cases), South East (15 cases), Central Java (12 cases), Edinburgh (11 cases), Riau (10 cases) , South Sumatra (9 cases), and the rest scattered in other provinces.

5

Lecturer at the Faculty of Law, University of North Sumatra

6

Customary Law Professor at the Faculty of Law, University of North Sumatra

7

Professor of Anthropology, State University of Medan

(16)

In accordance with research sites, disputes relating to customary land rights in the District of Simalungun too much going on, but there are 4 (four) major cases analyzed in this paper are:

1. Indigenous Land Rights Dispute in Bangun Dolok Village, Parapat village, Panei sub, Simalungun district.

2. Indigenous Land Rights Dispute of Peoples of Silampuyang.

3. Indigenous Land Rights Dispute in Kebun Bangun Community (Tanjung Pinggir Case), claims the release of the concession of Right of Cultivation of PTPN III Kebun Bangun, Pematangsiantar city.

Based on what has been described above, defined some of the problems that this dissertation focused and directed, namely:

1. How is the legal status of customary land rights in the Simalungun district in the National Land Law System?

2. What factors led to the emergence of customary land rights disputes in the Simalungun district?

3. How efforts in resolving disputes over customary land rights in the Simalungun district?

The research method used in this dissertation research is normative legal research (doctrinal) and empirical (non-doctrinal) socio-legal approach to study, so the search begins from the written regulations or other legal materials on the System of National Land Law, Law Sector of Agricultural resources with various criticisms against him then the empirical laws of behavior that could eventually acquire customary land disputes factor once effort to completion.

(17)

Simalungun customary law (principle, principles, institutions, eg the principle of habonaron do bona, etc.) so as to create laws that really existed (legal empathy) simultaneously implement reforms in the agrarian sector with the principle of think globally but act locally.

(18)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ……… i

KOMISI PEMBIMBING DAN TIM PENGUJI ………. i

KATA PENGANTAR ………. ii

ABSTRAK ………... viii

ABSTRACT ……… xi

DAFTAR ISI ……… xiv

DAFTAR TABEL ……… xvii

DAFTAR GAMBAR ……… xviii

BAB I : PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Perumusan Masalah ……… 30

C. Tujuan Penelitian ……… 32

D. Manfaat Penelitian ……… 33

E. Kerangka Teori dan Konsep ……….. 34

1. Kerangka Teori ……… 34

2. Konsep ………. 52

F. Metode Penelitian ……… 59

1. Pendekatan ………. 59

2. Jenis, Sifat, dan Teknik Penelitian ………. 62

G. Asumsi ……… 66

H. Sistematika Penulisan ……… 67

BAB II : STATUS HUKUM HAK ATAS TANAH ADAT DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN NASIONAL (di Kabupaten Simalungun) ………. 69

A. Deskripsi Tentang Kabupaten Simalungun ……… 69

1. Tinjauan mengenai historis (sejarah) Simalungun ………… 69

2. Nama Simalungun dalam perdebatan ……… 72

3. Masuknya orang Tapanuli ke Simalungun ……….. 73

4. Pemerintahan Swapraja ……… 79

(19)

6. Filosofi Hidup orang Simalungun ……… 90

7. Simalungun dalam Angka ………. 96

B. Sistem Hukum Pertanahan Nasional ……… 101

1. Sistem Hukum Tanah Nasional ……… 101

2. Konsep Hukum Tanah Nasional ……… 112

3. Objek Hukum Tanah Nasional ………. 117

4. Prinsip-prinsip Hukum Tanah Nasional ……….. 123

C. Hak Atas Tanah Adat di Kabupaten Simalungun ………….. 142

1. Hukum Pertanahan di Simalungun ……… 142

2. Masyarakat Hukum Adat Simalungun ……….. 156

3. Hak Atas Tanah Adat di Kabupaten Simalungun ……… 162

4. Hak Atas Tanah Adat dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional dan Kritikan Terhadapnya ……… 176

5. Transaksi yang dikenal dalam Hukum Adat ……… 216

BAB III : FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA SENGKETA HAK ATAS TANAH ADAT DI KABUPATEN SIMALUNGUN ……… 241

A. Pengertian Sengketa Pertanahan ……… 241

1. Pengertian Sengketa Hukum Atas ……… 241

2. Dasar-dasar dan Landasan Penyelesaian Sengketa Pertanahan 242

3. Asas-asas yang harus diperhatikan dalam menyelesaiakan sengketa tanah khususnya adalah asas penguasaan dan pemilikan tanah ……… 246

B. Tipologi Sengketa Pertanahan ……… 248

1. Sengketa Pertanahan yang bersifat politis ………. 257

2. Sengketa Pertanahan yang beraspek sosial-ekonomis ……….. 261

3. Sengketa Pertanahan yang bersifat keperdataan ……… 262

4. Sengketa Pertanahan yang bersifat administratif 263 C. Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Pertanahan ……… 278

D. Tipologi dan Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Pertanahan di Kabupaten Simalungun ……… 290

1. Kasus 1 : Sengketa Hak Atas Tanah Adat di Desa Bangun Dolok, Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun ……… 299

2. Kasus 2: Sengketa Hak Atas Tanah Adat Masyarakat Silampuyang 310 3. Kasus 3 : Sengketa Hak Atas Tanah Adat pada Masyarakat Kebun Bangun (Kasus Tanjung Pinggir), klaim pelepasan eks HGU PTPN III Kebun Bangun, Kota Pemantangsiantar. ……… 334

(20)

BAB IV : PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH ADAT

DI KABUPATEN SIMALUNGUN ……… 377

A. Temuan Desa Tanpa Sengketa Tanah (Desa Sipoldas dan Desa Bangun Das Meriah,Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun) .……….. 378

B. Penyelesaian Sengketa Tanah menurut Musyawarah Mufakat (Hukum Adat Simalungun) ………. 385

C. Penyelesaian Sengketa Melalui Instansi Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Simalungun ……… 399

D. Penyelesaian Kasus/sengketa hak atas tanah adat melalui litigasi (Badan peradilan) di Kabupaten Simalungun ……… 407

1. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat di Desa Bangun Dolok Kelurahan Parapat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun ……… 407

2. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat Masyarakat Silampuyang ……… 414

3. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat Kebun Bangun (Kasus Tanjung Pinggir, klaim Pelepasan Eks HGU PTPN-III Kebun Bangun Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara) ……….. 421

4. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat dan Konflik tanah yang berkembang antara Masyarakat dengan perkebunan Bandar Betsy ……… 426

BAB V : PENUTUP ……… 433

A. Kesimpulan ………. 433

B. Saran ……… 447

DAFTAR PUSTAKA ……… 450

(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 1 Sengketa Regional Berdasarkan Jenis Sengketa……… 5 Tabel 2 Permasalahan Tanah yang diterima oleh Provinsi Sumatera

Utara Tahun 2011.. ……… 8 Tabel 3 Luas Daerah Menurut Kecamatan ……… 97 Tabel 4 Banyaknya Nagori (Desa) dan Kelurahan menurut

Kecamatan 2009 ……… 98 Tabel 5 Permasalahan Pertanaha oleh BPN ……… 255 Tabel 6 Objek/Tanah yang Dituntut oleh Kelompok Tambun Nabolon (ha) 337 Tabel 7 Objek/Tanah yang Dituntut oleh Kelompok Tanjung Pinggir…… 338 Tabel 8 Objek/Tanah yang dituntut oleh Kelompok Kandang Lembu…… 340 Tabel 9 Objek/Tanah yang dituntut oleh Kelompok Gurilla (ha)………… 341 Tabel 10 Luas Wilayah menurut Huta (Dusun) Tahun 2012 ……… 389 Tabel 11 Luas Wilayah berdasarkan pada jumlah Kepadatan Penduduk

per Huta………. 390 Tabel 12 Banyaknya Penduduk dirinci Menurut Jenis Kelamin……… 390 Tabel 13 Banyaknya Penduduk Berdasarkan Agama……… 391 Tabel 14 Banyaknya Sarana Ibadah Menurut Agama dan Huta Tahun 2009 392 Tabel 15 Banyaknya Jumlah Penduduk berumur 10 Tahun ke atas menurut

(22)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 1 Harangan 149

Gambar 2 Sappalan 150

Gambar 3 Tanoh rih 150

Gambar 4 Parbalogan 151

Gambar 5 Sawah Lombang 151

Gambar 6 Tanoh reben 152

Gambar 7 Tanoh roba 152

Gambar 8 Bong-bongan sahuta 167

Gambar 9 Parmahanan huda pakon horbou Tuan Damak 168

Gambar 10 Horbangan 169

Gambar 11 Tempat merawat hewan (kuda/kerbau) 169

Gambar 12 Parjalangan Sahuta 170

Gambar 13 Parsinumbahan 171

Gambar 14 Paridian ni Raja 171

Gambar 15 Dalan ni bah 172

Gambar 16 Umbul ni bah 173

Gambar 17 Martokkarang/sopou ni losung 174

Gambar 18 Losung jantan 174

(23)

PANDANGAN KRITIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH ADAT DALAM

SISTEM HUKUM PERTANAHAN NASIONAL (STUDI DI KABUPATEN SIMALUNGUN)

Rosnidar Sembiring1 Runtung2 Usman Pelly3 Muhammad Yamin4

ABSTRAK

Sengketa atau konflik bukan suatu keadaan yang statis, sengketa bersifat ekspresif, dinamis, dan dialektis. Istilah sengketa atau konflik berasal dari kata

dispute atau conflict, kebanyakan di berbagai negara dipakai secara bergantian. Tulisan ini memfokuskan sengketa pertanahan, yang berdasarkan keputusan BPN RI No.34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan adalah : “Perbedaan nilai, kepentingan, pendapat, dan atau persepsi antara orang perorangan dan atau badan hukum (privat atau publik) mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu, atau status keputusan tata usaha Negara menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu.”Perkembangan sengketa pertanahan secara kuantitas maupun kualitas selalu mengalami kenaikan, bahkan di seluruh wilayah Indonesia, dari tahun ke tahun, jumlah kasus tanah terus meningkat. Dalam kurun 2 (dua) tahun saja, jumlah kasus tanah yang dilaporkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI meningkat 5000% (lima ribu persen). Antara tahun 2005 sampai dengan Agustus 2011, Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg) menerima 5.767 berkas kasus sengketa tanah. Kasus ini terbanyak ketiga setelah berkas masalah hukum (9.602) dan berkas masalah ketenagakerjaan (8.474). Wilayah yang tercatat paling sering bersengketa pada tahun 2012 ini adalah Jawa Timur (36 kasus), Sumatera Utara (25 kasus), Sulawesi Tenggara (15 kasus), Jawa Tengah (12 kasus), Jambi (11 kasus), Riau (10 kasus), Sumatera Selatan (9 kasus), dan sisanya tersebar di provinsi lainnya.

1

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2

Guru Besar Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3

Guru Besar Antropologi, Universitas Negeri Medan

4

(24)

Perumusan permasalahan disertasi ini adalah :

1. Bagaimanakah status hukum hak atas tanah adat di kabupaten Simalungun dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional?

2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya sengketa hak atas tanah adat di kabupaten Simalungun?

3. Bagaimana upaya yang dilakukan dalam hal menyelesaikan sengketa hak atas tanah adat di kabupaten Simalungun?

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian disertasi ini bersifat penelitian hukum normatif (doctrinal) dan empiris (non-doctrinal) dengan pendekatan socio legal study, jadi diawali dari penelusuran peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum lainnya tentang Sistem Hukum Pertanahan Nasional, UU sektoral tentang Sumber Daya Agraria dengan berbagai kritikan terhadapnya kemudian secara empiris tentang perilaku hukum sehingga akhirnya bisa memperoleh faktor penyebab sengketa tanah adat sekaligus upaya penyelesaiannya. Lokasi penelitian, sengketa yang berkaitan dengan hak atas tanah adat di Kabupaten Simalungun juga banyak terjadi, namun ada 4 (empat) kasus besar yang dianalisis dalam tulisan ini yaitu :

1. Sengketa Hak Atas Tanah Adat di Desa Bangun Dolok, kelurahan Parapat, kecamatan Panei, kabupaten Simalungun.

2. Sengketa Hak Atas Tanah Adat Masyarakat Silampuyang

3. Sengketa Hak Atas Tanah Adat pada Masyarakat Kebun Bangun (Kasus Tanjung Pinggir), klaim pelepasan eks HGU PTPN III Kebun Bangun, kota Pematangsiantar.

(25)

masyarakat adat setempat, tetua-tetua adat, untuk berdiskusi (secara ilmiah / non-ilmiah) tentang Simalungun atau tentang penyelesaian sengketa hak atas tanah adat, membuat peraturan daerah tentang hak partuanon yang berasaskan hukum adat simalungun (asas, prinsip, lembaga, misal : prinsip habonaron do bona , dan lain-lain) sehingga tercipta hukum yang benar-benar menyentuh (legal empathy) sekaligus melaksanakan reformasi di bidang agraria dengan prinsip think globally but act locally.

(26)

CRITICAL VIEWS ON THE SETTLEMENT INDIGENOUS LAND DISPUTE IN LAND NATIONAL LEGAL SYSTEM (STUDY IN DISTRICT OF SIMALUNGUN)

Rosnidar Sembiring5 Runtung6 Usman Pelly7 Muhammad Yamin8

ABSTRACT

Dispute or conflict is not a static situation, the dispute is expressive, dynamic and dialectical. Disputes or conflicts term derived from the word dispute or conflict, mostly in various countries used interchangeably. This paper is focused on land disputes, the decision based on BPN RI 34 Year 2007 regarding Technical Guidelines Handling and Settlement of Land Problems are:

"The difference in values, interests, opinions, and or perception between individuals or legal entity (private or public) on the status or the status of the acquisition and possession and or usage status or utilization of certain parcels of land, or the status of state administrative decisions regarding the acquisition, possession or use of the land or the use of certain. "

The development of land disputes in quantity and quality always increases, even in the whole of Indonesia, from year to year, the number of land cases continues to increase. Within 2 (two) years, the number of reported cases of land by the National Land Agency (BPN) RI increased 5000% (five thousand percent). Between 2005 to August 2011, the Ministry of the State Secretariat (Kemensesneg) received 5767 land dispute case file. The case is the third highest after the file legal matters (9602) and file labor issues (8474). Areas that recorded most often disputed in 2012 was East Java (36 cases), North Sumatra (25 cases), South East Sulawesi (15 cases), Central Java (12 cases), Edinburgh (11 cases), Riau (10 cases) , South Sumatra (9 cases), and the rest scattered in other provinces. Areas that recorded most often disputed in 2012 was East Java (36 cases), North Sumatra (25 cases), South East (15 cases), Central Java (12 cases), Edinburgh (11 cases), Riau (10 cases) , South Sumatra (9 cases), and the rest scattered in other provinces.

5

Lecturer at the Faculty of Law, University of North Sumatra

6

Customary Law Professor at the Faculty of Law, University of North Sumatra

7

Professor of Anthropology, State University of Medan

(27)

In accordance with research sites, disputes relating to customary land rights in the District of Simalungun too much going on, but there are 4 (four) major cases analyzed in this paper are:

1. Indigenous Land Rights Dispute in Bangun Dolok Village, Parapat village, Panei sub, Simalungun district.

2. Indigenous Land Rights Dispute of Peoples of Silampuyang.

3. Indigenous Land Rights Dispute in Kebun Bangun Community (Tanjung Pinggir Case), claims the release of the concession of Right of Cultivation of PTPN III Kebun Bangun, Pematangsiantar city.

Based on what has been described above, defined some of the problems that this dissertation focused and directed, namely:

1. How is the legal status of customary land rights in the Simalungun district in the National Land Law System?

2. What factors led to the emergence of customary land rights disputes in the Simalungun district?

3. How efforts in resolving disputes over customary land rights in the Simalungun district?

The research method used in this dissertation research is normative legal research (doctrinal) and empirical (non-doctrinal) socio-legal approach to study, so the search begins from the written regulations or other legal materials on the System of National Land Law, Law Sector of Agricultural resources with various criticisms against him then the empirical laws of behavior that could eventually acquire customary land disputes factor once effort to completion.

(28)

Simalungun customary law (principle, principles, institutions, eg the principle of habonaron do bona, etc.) so as to create laws that really existed (legal empathy) simultaneously implement reforms in the agrarian sector with the principle of think globally but act locally.

(29)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sengketa yang juga dikenal konflik adalah dua kosa kata yang tidak sama, tetapi sulit untuk dibedakan sehingga di dalam penggunaannya adakalanya dilakukan secara bergantian9

Sengketa adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat, dan atau persepsi antara orang perorangan atau badan hukum (privat atau publik) mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu atau status Keputusan Tata Usaha Negara menyangkut penguasaan, pemilikan, dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu.

.

Konflik adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat atau persepsi antara warga atau kelompok masyarakat dan atau warga atau kelompok masyarakat dengan badan hukum (privat atau publik), masyarakat dengan masyarakat mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu atau status Keputusan Tata Usaha Negara menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu, serta mengandung aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya.10

Studi kepustakaan menunjukkan bahwa di kalangan ahli sosiologi (termasuk sosiologi hukum) pengkajian lebih terfokus pada istilah konflik (conflict), sedangkan di kalangan ahli antropologi hukum terdapat kecendrungan untuk memfokuskan pada istilah sengketa (dispute).11

Sengketa bisa terjadi antar individu, antara individu dengan kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok. Tentang pembagian sengketa ini Roy. J. Lewicki dkk, mengklasifikasikan berdasarkan jumlah atau kelompok manusia yang mengadakan interaksi didalamnya, ke dalam empat bentuk yaitu :12

1. Intrapersonal or Intrapsychic Conflict, konflik ini terjadi dalam diri individu tersebut. Sumber-sumber konflik dapat meliputi pendapat, pikiran, emosi, penilaian, predisposisi sesuatu. Misalnya seorang karyawan marah pada atasannya

9

Runtung, Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif: Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Berastagi, disertasi, (Medan : PPS USU, 2002), hal. 74. Istilah sengketa atau konflik yang berasal dari kata dispute atau conflict kebanyakan di berbagai Negara dipakai secara bergantian (pen).

10

http://d5er.wordpress.com/2010/12/21/perbedaan-sengketa-konflik-dan-perkara/

11

Lihat Valerine J.L. Kriekhoff, “Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum)”, dalam T.O. Ihromi (Ed), AntropologiHukum Sebuah Bunga Rampai (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1993) hal. 224.

12

(30)

(Bos), tetapi dia takut mengutarakannya karena atasan tersebut dapat memberhentikannya. Disini terdapat konflik batin dalam diri si karyawan.

2. Interpersonal Conflict (Konflik antar Individu) adalah konflik yang terjadi di antara majikan dan karyawan, suami-isteri, saudara kandung, atau kawan sekamar. 3. Intragroup Conflict, konflik yang terjadi dalam kelompok kecil di antara team dan anggota panitia dengan keluarga, kelas, kelompok-kelompok persaudaraan, dan perkumpulan mahasiswa-mahasiswi.

4. Intergroup Conflict, konflik yang terjadi antar group, seperti antara serikat-serikat kerja dengan pengelola, perseteruan keluarga, kelompok masyarakat dengan pemerintah yang berkuasa.

Dalam ranah hukum, dapat dikatakan bahwa sengketa adalah masalah antara dua orang atau lebih dimana keduanya saling mempermasalahkan suatu objek tertentu. Hal ini terjadi di karenakan kesalahpahaman atau perbedaan pendapat atau persepsi antara keduanya yang kemudian menimbulkan akibat hukum bagi keduanya13

Berdasarkan Keputusan Kepala BPN RI No. 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.

.

Sengketa pertanahan adalah perbedaan nilai, kepentingan, pendapat, dan atau persepsi antara orang perorangan dan atau badan hukum (privat atau publik) mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu, atau status keputusan tata usaha negara menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu.

Dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan,

Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis.

Sengketa tanah dapat berupa sengketa hak ulayat, sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan. Walaupun tindak pidana menjadi sengketa yang paling sering terjadi secara nasional. Kejadian sengketa tanah meningkat menjadi 19 persen di luar Pulau Jawa, dimana masyarakat pedesaan lebih sering berhadapan dengan perusahaan perkebunan, kehutanan dan pertambangan, sebuah sumber utama ketegangan.

Tabel di bawah membandingkan angka di tingkat nasional dengan hasil di tingkat regional.

Tipe Konfl ik Indone Sumatera Jawa/Bali Kalimantanulawe NTB/NTT Maluk

13

(31)

Tabel 1

Sengketa Regional berdasarkan jenis sengketa

Tipe Sengketa Indonesia Sumatera Jawa / Bali

Kalimantan Sulawesi NTB/ NTT

Sumber : Asia Foundation (2001), World Bank (2004), UNDP (2007), Justice for All ? An assessment of Access to Justice in Five Provinces of Indonesia.

Sifat sengketa/ konflik bukan suatu keadaan yang statis. Sengketa bersifat ekspresif dinamis, dan dialektis.14

Perkembangan sengketa pertanahan, secara kuantitas selalu mengalami kenaikan, penyebabnya antara lain adalah luas tanah yang tetap, sementara jumlah penduduk yang memerlukan tanah untuk memenuhi kebutuhannya selalu bertambah dan adanya akumulasi sengketa kepentingan antara pemilik tanah (perorangan, masyarakat adat, badan hukum swasta, pemerintah) dengan perseorangan atau badan hukum swasta lainnya.

14

(32)

Di Indonesia15

Henry Rustandi Butarbutar juga menuturkan, data itu berdasarkan inventarisasi kasus yang dihimpun dari setiap Kanwil BPN di Indonesia. Tren kasus pertanahan memang meningkat, terutama tanah perkebunan. Sedangkan sengketa yang menyangkut tanah aset negara tidak sebanyak sengketa tanah perkebunan.

, dari tahun ke tahun jumlah kasus tanah terus meningkat. Dalam kurun dua tahun saja, jumlah kasus tanah yang dilaporkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia meningkat lima ribu kasus. Menurut Kasubdit Sengketa Pertanahan BPN RI, Henry Rustandi Butarbutar, pada tahun 2007 jumlah laporan sengketa yang masuk hanya 2.615 kasus. Namun pada tahun 2009, jumlahnya melonjak 300 persen menjadi lebih dari tujuh ribu kasus di seluruh Indonesia.

Henry Rustandi Butarbutar mengatakan, sebagian besar sengketa pertanahan itu terjadi antara perusahaan perkebunan, baik PTPN maupun non PTPN, dengan masyarakat16

Senada dengan data BPN di atas, Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kemensesneg, Yoseph Indrajaya, mengatakan masalah pertanahan masih kerap kali disampaikan masyarakat. Sejak tahun 2005, masalah pertanahan yang diadukan cenderung tidak menurun. Antara Januari 2005 hingga Agustus 2011, Kementrian Sekretariat Negara (Kemensesneg) menerima 5.767 berkas kasus sengketa tanah. Kasus ini terbanyak ketiga setelah berkas masalah hukum (9.602) dan berkas masalah ketenagakerjaan (8.474).

. Sengketa itu terjadi karena tanah yang diklaim milik perusahaan perkebunan, diduduki atau digarap oleh warga. Pendudukan itu pun terjadi karena warga menganggap lahan milik perkebunan itu diterlantarkan. Jumlah sengketa tanah yang semakin bertambah tidak selamanya karena ada lahan baru yang diperebutkan. Malah sebaliknya, satu lahan dapat diklaim oleh banyak pihak, sehingga jumlah kasusnya menjadi banyak.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pun mencatat bahwa sengketa pertanahan meningkat dari tahun ke tahun. Menurut KPA, sedikitnya sengketa lahan terjadi di atas area seluas 472.084,44 hektare dengan melibatkan 69.975 kepala keluarga sepanjang 2011. Sejumlah kasus berdasarkan kuantitas kasus adalah perkebunan (97 kasus), kehutanan (36 kasus), infrastruktrur (21 kasus), pertambangan (8 kasus), dan pertambakan (1 kasus). Jumlah total mencapai 163 kasus sengketa/ sengketa tanah dengan korban jiwa sebanyak 22 orang yang tersebar di 25 provinsi.

15

Benhard Limbong, Op Cit. hal 59.

16

Ketika persoalan tanah sampai pada sengketa antara pemerintah dengan rakyat, penguasa/investor dengan rakyat ujung-ujungnya rakyat tidak pernah menang, terlepas dari menurut hukum itu benar, karena rakyat miskin tidak pernah dapat menunjukkan alat bukti hak atas tanah yang berupa sertifikat. Rakyat miskin hanya dapat mendalilkan bahwa :

a. Mereka sudah tinggal di situ bertahun-tahun lamanya, beranak cucu.

b. Mereka telah lama mengerjakan lahan di situ untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka

(33)

Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 106 kasus sengketa tanah dan menewaskan 3 warga.

Adapun wilayah yang tercatat paling sering bersengketa di tahun 2012 ini adalah Jawa Timur (36 kasus), Sumatera Utara (25 kasus), Sulawesi Tenggara (15 kasus), Jawa Tengah (12 kasus), Jambi (11 kasus), Riau (10 kasus), Sumatera Selatan (9 kasus) dan sisanya tersebar di provinsi lainnya. Bahkan permasalahan tanah yang diterima oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011 adalah sebagai berikut:

Tabel 2

Permasalahan Tanah yang diterima oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011

No KABUPATEN/ KOTA JUMLAH

1 Medan 46

2 Binjai 39

3 Langkat 53

4 Deli Serdang 304

5 Serdang Bedagai 17

6 Karo 2

7 Tebing Tinggi 2

8 Batu Bara 8

9 Pematang Siantar 5

10 Simalungun 40

11 Asahan 25

12 Tanjung Balai 6

13 Dairi 2

14 Toba Samosir 4

15 Samosir 1

16 Humbang Hasundutan 5

17 Pakpak Barat 1

18 Tapanuli Utara 2

19 Sibolga 1

20 Tapanuli Tengah 7

21 Tapanuli Selatan 6

22 Padang Sidempuan 4

23 Labuhan Batu 24

24 Labuhan Batu Selatan 17

25 Labuhan Batu Utara 24

26 Mandailing Natal 20

27 Padang Lawas Utara 7

28 Padang Lawas 19

29 Nias 2

(34)

JUMLAH 697

Sumber : Seminar Hukum; Konflik Pertanahan di Sumatera Utara, Balai Raya Tiara Convention Hall, Medan, 21 April 2012

Sengketa antara hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah dan Negara telah berlangsung sejak lama17. Sebanyak 2.913 kasus sengketa dan perkara pertanahan hingga saat ini masih menunggu penyelesaian melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dari total 7.491 kasus sengketa tanah yang dilaporkan kepada BPN, hingga akhir tahun 2009 baru diselesaikan sebanyak 4.578 kasus18

Banyaknya tuntutan masyarakat terhadap eks HGU PTPN II, III, IV sebagai tanah ulayat dan tanah garapan yang telah diusahai dan dikuasai secara turun temurun menimbulkan konflik horizontal maupun vertikal yang mengarah pada tindakan anarkis.

.

Eks HGU PTPN II seluas + 5.873,06 ha dengan perincian :

1. Keputusan Kepala BPN No : 42/HGU/BPN/2002 tanggal 29 November 2002 seluas 3,366,55 ha terletak di kabupaten Deli Serdang.

2. Keputusan Kepala BPN No : 43/HGU/BPN/2002 tanggal 29 November 2002 seluas 1,210,87 ha terletak di kabupaten Langkat

3. Keputusan Kepala BPN No : 44/HGU/BPN/2002 tanggal 29 November 2002 seluas 238,52 ha terletak di kabupaten Binjai

4. Keputusan Kepala BPN No : 10/HGU/BPN/2002 tanggal 6 Februari 2004 seluas 1.057,12 ha terletak di kabupaten Deli Serdang.

Sampai saat ini permasalahan eks HGU PTPN II sebgaian belum dapat diselesaikan walaupun telah dilakukan Memorandom Of Understanding (MOU) antara BPN Provinsi Sumatera Utara dengan PTPN II untuk melakukan pengukuran ulang terhadap HGU PTPN II yang diberikan perpanjangannya, namun sampai saat ini belum tercapai kesepakatan untuk finalisasi terhadap pelaksanaan MOU tersebut. Dengan kondisi ini dikhawatirkan proses permohonan pelepasan dari Menteri Negara BUMN terhadap Eks HGU dimaksud akan terkendala.19

Eks HGU PTPN III seluas ± 5.987,90 ha terletak pada 7 (tujuh) Kabupaten/kota se Sumatera Utara yang belum mendapat pelepasan asset dari Menteri Negara BUMN RI dengan perincian sebagai berikut :

17

Mochammad Tauhid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Bagian Kedua, (Jakarta: Tjakrawala, 2012), hal.17.

18

file:///C:/Documents%20and%20Settings/user/My%20Documents/Sengketa%20tanah/2.913.Sengketa .Tanah.Menunggu.Penyelesaian.htm, diakses tanggal 09 November 2010.

19

(35)

1. Sk HGU No: 3/HGU/BPN/2005 tanggal 13 Januari 2005 seluas 16,84 ha terletak di Kabupaten Simalungun.

2. SK HGU No: 147/HGU/BPN-RI/2009 seluas 0,86 ha terletak di Kabupaten Simalungun.

3. SK HGU No: 92/HGU/BPN-RI/2009 seluas 8,84 ha terletak di Kabupaten Simalungun

4. SK HGU No: 115/HGU/BPN/2003 seluas 1.051,82 ha terletak di Kabupaten Labuhan Batu

5. SK HGU No: 117/HGU/BPN/2005 seluas 42,73 ha terletak di Kabupaten Labuhan Batu

6. SK HGU No: 118/HGU/BPN/2005 seluas 461,12 ha terletak di Kabupaten Labuhan Batu.

7. SK HGU No: 119/HGU/BPN/2005 seluas 363,25 ha terletak di Kabupaten Labuhan Batu.

8. SK HGU No: 116/HGU/BPN/2005 seluas 338,10 ha terletak di Kabupaten Labuhan Batu.

9. SK HGU No: 187/HGU/BPN/2004 seluas 260,74 ha terletak di Kecamatan Siais Kabupaten Tapanuli Selatan.

10. SK HGU No: 179/HGU/BPN/2004 seluas 215,99 ha terletak di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan.

(36)

12. SK HGU No: 113/HGU/BPN/2005 seluas 717,38 ha terletak di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan.

13. SK HGU No: 10/HGU/BPN/2005 seluas 586,44 ha terletak di Pijorkoling Kabupaten Tapanuli Selatan.

14. SK HGU No: 34/HGU/BPN/2008 seluas 3,19 ha terletak di Kecamatan Marancar Kabupaten Tapanuli Selatan.

15. SK HGU No: 184/HGU/BPN/2004 seluas 61,42 ha terletak di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Serdang Bedagai.

16. SK HGU No: 181/HGU/BPN/2004 seluas 209,55 ha terletak di Dolok Masihul Kabupaten Serdang Bedagai.

17. SK HGU No: 2/HGU/BPN/2005 seluas 545,48 ha terletak di Kotarih Kabupaten Serdang Bedagai.

18. SK HGU No: 91/HGU/BPN/2009 seluas 265,60 ha terletak di Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai.

19. SK HGU No: 90/HGU/BPN/2009 seluas 1,65 ha terletak di Bandar Kabupaten Serdang Bedagai.

20. SK HGU No: 37/HGU/BPN/2009 seluas 1,03 ha terletak di Serba Jadi Kabupaten Serdang Bedagai.

21. SK HGU No: 9/HGU/BPN/2005 seluas 67,52 ha terletak di BP Mandoge Kabupaten Asahan.

(37)

23. SK HGU No: 146/HGU/BPN/2009 seluas 35,49 ha terletak di Buntu Pane Kabupaten Asahan.

24. SK HGU No: 93/HGU/BPN/2009 seluas 69,34 ha terletak di Air Batu Kabupaten Asahan.

25. SK HGU No: 35/HGU/BPN/2009 seluas 0,69 ha terletak di Sei Suka Kabupaten Batubara.

26. SK HGU No: 102/HGU/BPN/2005 seluas 574,53 ha terletak di Kota Pematang Siantar.20

Artinya jika HGU telah berakhir, akibat hukumnya “tanah” akan kembali kepada Negara (karena hak menguasai Negara), sedangkan asset berupa mesin-mesin, pabrik-pabrik, hasil produksi (jika produktif) harus “diangkat”, dalam arti diselesaikan berdasarkan Keputusan Menteri Negara BUMN RI.

Eks HGU PTPN IV seluas ± 1.641,94 ha terletak di 6 Kabupaten/kota se-Sumatera Utara yang belum dapat pelepasan asset dari Menteri Negara BUMN RI dengan perincian sebagai berikut :

1. SK HGU No: 14/HGU/BPN/2003 seluas 15,37 ha terletak di Hutabayu Raja Kabupaten Simalungun.

2. SK HGU No: 15/HGU/BPN/2003 seluas 233,53 terletak di Bosar Maligas Kabupaten Simalungun

3. SK HGU No: 20/HGU/BPN/2003 seluas 26,01 terletak di Panei Kabupaten Simalungun

4. SK HGU No: 19/HGU/BPN/2003 seluas 138,29 ha terletak di Panei Tongah Kabupaten Simalungun.

20

(38)

5. SK HGU No: 21/HGU/BPN/2003 seluas 73,73 ha terletak di Bosar Maligas Kabupaten Simalungun.

6. SK HGU No: 5/HGU/BPN/2005 seluas 0,77 ha terletak di Hatonduhon Kabupaten Simalungun.

7. SK HGU No: 12/HGU/BPN/2006 seluas 55,86 terletak di Siantar Kabupaten Simalungun.

8. SK HGU No: 14/HGU/BPN/2006 seluas 3,11 ha terletak di Jorlang Hataran Kabupaten Simalungun.

9. SK HGU No: 48/HGU/BPN/2008 seluas 22,17 ha terletak di Gunung Maligas Kabupaten Simalungun.

10. SK HGU No: 54/HGU/BPN/2008 seluas 386,56 ha terletak di Silau Kahean Kabupaten Simalungun.

11. SK HGU No: 77/HGU/BPN/2008 seluas 410,46 ha terletak di Sosa dan Huta Raja Tinggi Kabupaten Tapanuli Selatan.

12. SK HGU No: 180/HGU/BPN/2004 seluas 5,50 ha terletak di Dolok Merawan Kabupaten Serdang Bedagai.

13. SK HGU No: 40/HGU/BPN/2005 seluas 15,31 ha terletak di Tebing Tinggi dan Dolok Merawan Kabupaten Serdang Bedagai.

14. SK HGU No: 18/HGU/BPN/2003 seluas 53,32 ha terletak di Air Batu Kabupaten Asahan.

(39)

16. SK HGU No: 22/HGU/BPN/2007 seluas 22,83 ha terletak di BP Mandoge Kabupaten Asahan.

17. SK HGU No: 164/HGU/BPN/2009 seluas 3,31 ha terletak di Galang Kabupaten Deli Serdang.

18. SK HGU No: 163/HGU/BPN/2009 seluas 3,51 ha terletak di Bangun Purba Kabupaten Deli Serdang.

19. SK HGU No: 36/HGU/BPN/2009 seluas 0,34 ha terletak di Galang Kabupaten Deli Serdang.

20. SK HGU No: 17/HGU/BPN/2003 seluas 166,50 ha terletak di Limapuluh Kabupaten Batubara.

Izin lokasi yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten kepada perusahaan perkebunan seringkali mengabaikan keberadaan penduduk yang telah lama bermukim pada lokasi yang diberikan izin. Kemudian adanya tumpang tindih kepemilikan lahan, diserahkannya ganti rugi/ganti untung/tali asih yang diberikan oleh perusahaan perkebunan kepada masyarakat tidak sesuai dan sering salah sasaran. Selain itu juga, masih banyak perusahaan perkebunan yang menguasai dan mengusahai sebuah lahan dalam kurun waktu yang cukup lama namun belum memiliki Surat Keputusan HGU. Kondisi-kondisi tersebut di atas menimbulkan konflik berkepanjangan dan menimbulkan tindakan-tindakan anarkis seperti pemukulan, penangkapan, pengrusakan tanaman dan lain-lain sehingga akan menggangu keamanan dan kenyamanan berusaha.21

Satuan tugas (Satgas) Mafia Hukum hingga Mei 2010 menerima sebanyak 1670 pengaduan dari masyarakat. Bahkan kasus sengketa tanah menempati peringkat pertama dibandingkan kasus korupsi dan kasus-kasus lainnya.

Sengketa/ sengketa tentu membutuhkan perhatian ekstra. Tidak sedikit, kasus-kasus sengketa tanah tersebut berujung pada bentrokan fisik hingga menyebabkan kematian, karena bermuara pada keadilan, sengketa, dan kemiskinan.

Dalam sebuah diskusi di akhir september tahun 2010, menteri Pertanian RI, Suswono mengatakan bahwa petani padi di Indonesia, kepemilikan sawahnya rata-rata hanya 0,2 hektar. Di beberapa daerah memang ada beberapa petani yang luas

21

(40)

lahannya sampai 50 hektar bahkan ada yang lebih, tetapi jumlahnya hanya sedikit kurang dari 1% sedangkan yang terbanyak antara 0,2 - 0,7 hektar.

Patut diterima jika ribuan petani, nelayan, mahasiswa, perangkat desa, dan warga berunjuk rasa di sejumlah daerah22. Mereka menuntut reforma agraria dan penuntutan kasus pertanahan, reformasi di bidang pertanahan dengan memberikan hak – hak rakyat di bidang pertanahan yang dijamin dalam Undang – Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok pokok Agraria ( UUPA )23

Beberapa sengketa pertanahan yang terjadi yang menarik perhatian publik : .

Kasus di Mesuji, Lampung adalah satu dari sekian banyak kasus pertanahan di Indonesia dimana tak ada bentuk kepedulian pemerintah atau negara untuk melindungi rakyatnya.

Di Jambi, Kamis 12/01-12, sekitar 500 orang petani dari sejumlah daerah menuntut pengakuan hak kelola atas lahan yang saat ini diperebutkan dengan sejumlah perusahaan24

Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, sekitar 100 orang dari 17 elemen masyarakat dan mahasiswa dalam aksi mereka meminta perampasan tanah milik rakyat oleh penguasa dan pemodal dihentikan

.

25

Sengketa Pertanahan pada dasarnya dapat dilihat, adanya sengketa yang timbul di antara warga masyarakat, sengketa antara warga masyarakat dengan perusahaan perkebunan dan sengketa antara warga masyarakat dengan instansi ataupun lembaga pemerintah

.

26

Untuk menyelesaikan permasalahan dan sengketa pertanahan diperlukan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan sebagai pedomannya.

. Salah satu ciri sengketa pertanahan yang cukup banyak menarik perhatian adalah sengketa yang terkait dengan masalah tanah adat. Sengketa/sengketa tanah adat ini antara lain menyangkut sengketa hak ulayat masyarakat hukum adat maupun sengketa tanah adat hak perseorangan dari warga masyarakat hukum adat, karena pengaturan mengenai apa itu hak ulayat, tanah adat dan masyarakat adat belum tegas.

Penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk kepentingan apapun harus ada landasan haknya dan agar tanah dapat dipergunakan secara baik dan benar perlu ditunjang oleh aturan-aturan hukum di bidang pertanahan.

22

Kompas, Pulihkan Hak Tanah Rakyat, 13 Januari 2012

23

Henry Saragih, juru bicara Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-hak Rakyat Indonesia menjelaskan, aksi dilakukan serentak di 27 Provinsi se-Indonesia, unjuk rasa dilakukan pada Kamis, 12 Januari 2012 di sejumlah daerah.

24

Sarwadi, Ketua Serikat Petani Indonesia ( SPI ) Jambi: sengketa terjadi hampir di semua Kabupaten di Jambi serta melibatkan petani dan perusahaan. Namun, hingga kini tak satu sengketa pun terselesaikan dengan tuntas. Petani justru sering menjadi korban penganiayaan oleh aparat.

25

Dwitho Frasetiandy, Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ( WALHI) Kalsel, 2008 s/d sekarang, ada 28 kasus sengketa sosial yang terkait perkebunan sawit di Provinsi itu belum termasuk kasus pertambangan. Modusnya berupa penyerobotan tanah masyarakat oleh penguasa. Mereka mendapat izin dari Kepala Daerah. Di Kabupaten Jember, Jatim, Solidaritas Petani Jember untuk Mesuji & Bima mendesak Pemerintah segera menyelesaikan sengketa agraria antara masyarakat dengan Pengusaha dan Pemerintah.

26

(41)

Demikian pula yang terjadi di daerah Kabupaten Simalungun, salah satu Kabupaten yang berada di daerah Sumatera Utara, berbatasan dengan :

Sebelah Utara : Kabupaten Serdang Bedagai/Deli Serdang. Sebelah Barat : Kabupaten Karo

Sebelah Selatan : Kabupaten Toba Samosir Sebelah Timur : Kabupaten Asahan/ Batubara Di Tengah : Kota Pematangsiantar27

Di Kabupaten Simalungun kasus-kasus tanah itu ada yang sudah diselesaikan melalui jalur hukum bahkan sampai kepada tingkat kasasi namun Keputusan Mahkamah Agung (MA) itu belum/tidak dapat dieksekusi sampai saat ini.

.

Berikut beberapa contoh kasus tanah yang terjadi:

1. Penyelesaian sengketa hak atas tanah adat oleh MARI No. 2143 K/PDT/2005 Perkara Kasasi Perdata antara Manatar Sinaga dkk melawan Keturunan Amani Marhilap di daerah Girsang Simpangan Bolon, kelurahan Parapat, Kabupaten Simalungun. Tapi sampai hari ini keputusan MA ini belum di eksekusi. Kasus ini adalah sengketa tanah adat antara masyarakat adat versus masyarakat adat. 2. Kasus Silampuyang yang melibatkan masyarakat versus Perseroan Terbatas

Perkebunan Nusantara (PTPN) IV Marihat.

3. Kasus Sengketa Bandar Betsy (daerah PTPN– IV Gunung Pamela yang terletak antara Tebing Tinggi - Pematangsiantar.

4. Kasus Tanjung Pinggir antara Masyarakat Versus Pemerintah Kota Pematangsiantar.

Kajian atas pandangan kritis mengenai penyelesaian sengketa hak atas tanah adat Simalungun di atas menjadi sangat relevan dengan kondisi saat ini dan sangat aktual untuk diteliti secara mendalam disebabkan beberapa hal:

1. Terbukti bahwa kelompok-kelompok masyarakat terus mengklaim dirinya sebagai Subjek hak ulayat (masyarakat hukum adat Simalungun). Ini otomatis

27

(42)

menimbulkan sengketa untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah adat mereka bahkan sudah sampai jalur hukum. Ini terbukti dari putusan Pengadilan Negeri sampai ke tingkat Kasasi walaupun eksekusinya belum/ tidak dilaksanakan28

2. Sengketa yang berkepanjangan ini belum menemukan solusi hukum yang tepat untuk paling tidak memperkecil sengketa hak atas tanah adat tersebut, walaupun menurut adat Simalungun, semula dikenal hak bersama atas tanah yang disebut hak Partuanon, terkait dengan “rahatan ni huta

.

29

3. Out put dari kebijakan Pemerintah dan Legislator yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan menjadikan sengketa tanah yang terus-menerus

.

30

Dengan perkataan lain, negara lebih menekankan kepada pertumbuhan ekonomi nasional daripada kesejahteraan masyarakat lokal.

.

Sengketa-sengketa dengan wujud negatif, sengketa yang dilakukan dengan pertentangan, demonstrasi, pengambilalihan lahan, secara paksa yang menuju pada tindakan anarkhis bahkan membawa korban nyawa dan harta.

Terjadinya sengketa menyangkut hak atas tanah adat tersebut antara lain disebabkan faktor:

1. Ada perbedaan persepsi antara masyarakat dan negara mengenai hak atas tanah. Negara berpendapat, bahwa negara yang mempunyai hak menguasai atas tanah berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.

28

Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Simalungun Nomor 26/Pdt/G/2006/PN Sim.,dan Putusan MARI No.2143 K/PDT/2005.

29

Rahatan Ni huta yaitu hutan yang berdekatan dengan kampung, dimana kayu-kayunya tidak boleh diambil oleh penduduk, kecuali untuk keperluan kampung itu, umpamanya untuk Balai Desa, Lumbung Desa sedangkan untuk perseorangan harus mendapat izin dari Penghulu, tapi bisa juga (saat ini), tempat berkumpulnya warga untuk bermusyawarah.

30

(43)

Sebaliknya Masyarakat Adat berpendapat, bahwa mereka memiliki hak ulayat atas tanah berdasarkan hukum adat.

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 mengatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sementara itu, Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) menyatakan, bahwa hak-hak masyarakat hukum adat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara. Rumusan yang terdapat dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tersebut ternyata menimbulkan perbedaan penafsiran, terutama apa yang dimaksud dengan kepentingan nasional dan negara, dan siapakah sebenarnya yang tepat menentukan kepentingan nasional dan negara tersebut bagi masyarakat setempat.Sebaliknya masyarakat adat berpendapat, bahwa memiliki hak ulayat atas tanah tersebut sudah sejak lama bahkan sebelum negara Indonesia ada31

Menurut masyarakat adat, hak atas tanah dipandang secara keseluruhan merupakan

.

hak komunal, namun tetap memungkinkan penguasaan tanah Penjelasan UUPA meskipun dengan gamblang menyatakan bahwa Pasal 3 tidak dimaksudkan untuk mereplikasikan Domeinverklaring pada masa kolonial

secara individual, dengan berbagai syarat dan atas ijin Kepala Adat.

32 , gagasan tentang hak menguasai negara membolehkan pemberian hak atas tanah-tanah nirgarapan dan/atau nirhunian yang tidak bersertifikat hak milik kepada pihak lain tanpa persetujuan masyarakat lokal yang berkepentingan dan tanpa mengeluarkan kewajiban hukum untuk membayar kompensasi ‘yang layak’ pada pemegang hak sebelumnya. Hak menguasai ini juga telah digunakan untuk menjustifikasi berlanjutnya pembedaan zaman kolonial antara tanah negara ‘bebas’ dan ‘tidak bebas’. Tanah negara bebas mencakup wilayah Indonesia yang sangat luas. Sementara tanah negara yang ‘tidak bebas’ mencakup sebagian besar tanah nirgarapan dan/atau nirhunian yang tidak bersertifikat hak milik yang berada dalam wilayah yang ditetapkan sebagai milik negara33. Meskipun masyarakat yang mendiami wilayah ini biasanya diperbolehkan untuk tetap tinggal di situ, hak-hak hukum mereka tetap tidak begitu jelas dan pemanfaatan atas tanah itu sering kali sangat terbatas, khususnya di daerah yang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan (negara). Khususnya karena pembatasan inilah muncul banyak konflik di berbagai penjuru Indonesia34

31

Maria S.W Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta: Kompas, 2001),hal. 54.

.

32

Lihat UUPA, Penjelasan Umum, Pasal 2.

33

Peter Burns, The myth of adat, Journal of Legal Pluralism, (Leiden: KITLV Press, 1989), hal.19-32.

34

(44)

Jika terjadi sengketa maka keseimbangan dalam masyarakat akan terganggu sehingga harus dipulihkan pada keadaan semula agar kepentingan manusia kembali terlindungi (restitutio in integrum). Perlindungan kepentingan itu tercapai dengan adanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam masyarakat35

Secara filosofis, peraturan ini diperlukan supaya kehidupan bersama bisa diatur dengan baik dan semua orang dapat menikmati ketentraman dan keadilan. Dengan demikian jarak antara hukum dan keadilan tidak jauh. Jika setiap orang menyadari bahwa hukum itu untuk keadilan maka mereka akan dengan rela menaatinya dan tidak akan menganggap hukum sebagai larangan belaka melainkan sebagai cita-cita hidupnya

.

36

2. Kebutuhan pembangunan ekonomi menimbulkan konflik antara negara dan masyakat adat. Pada masa Orde Baru, sengketa atau konflik yang terjadi terkait dengan kebijakan pemerintah yang memberikan keleluasaan kepada pemilik modal dalam melakukan berbagai investasi dengan maksud meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah telah menempatkan pemerintah dan swasta sebagai aktor dominan dalam proses pembangunan yang akhirnya menyebabkan munculnya sengketa atau konflik.

.

3. Adanya anggapan tentang ketiadaan konsepsi perlindungan terhadap penduduk lokal, terjadi karena tidak ada rumusan atau batasan yang tegas mengenai apa yang disebut dengan masyarakat hukum adat

35

Sudikno Mertokusumo-I, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1996a), hal.3-4.

Gambar

Tabel 1 Sengketa Regional berdasarkan jenis sengketa
Tabel 2 Permasalahan Tanah yang diterima oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara
Luas Daerah Menurut Kecamatan.Tabel 3 142
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

merupakan harta bersama yang belum dibagi waris maka perjanjian jual beli tanah tersebut batal demi hukum (nieteg atau null and ab initio) dengan kata lain batal sejak

Mekanisme pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dalam kaitannya dengan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah oleh Badan

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA DATA FISIK SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH DIKANTOR PERTANAHAN KOTA SURAKARTA.. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan

Dengan demikian maka dalam hal pembatalan sertipikat hak milik atas tanah baik sebagai pelaksanaan Putusan Pengadilan yang menjadi dasar bagi Aparatur Badan

Data Yuridis (yuridis tanah), mengenai haknya; siapa pemilik/pemegang haknya, kategori status hak tanah, ada atau tidak adanya hak-hak pihak lain yang membebani. Jadi

oleh orang lain, atau pihak lain yang merasa hak atas tanah tersebut adalah. miliknya, maka para pihak yang berperkara mengajukan

Suatu kebiasaan keidupan orang yang terdapat hak atas tanah adat tersebut berada pada sekelompok orang dan diatur pemanfaatannya oleh pimpinan dari kelompok, maka hak

d. Masih mengadakan pungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Penetapan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat