• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STATUS HUKUM HAK ATAS TANAH ADAT DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN NASIONAL (di Kabupaten Simalungun)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II STATUS HUKUM HAK ATAS TANAH ADAT DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN NASIONAL (di Kabupaten Simalungun)"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

STATUS HUKUM HAK ATAS TANAH ADAT DALAM SISTEM HUKUM PERTANAHAN NASIONAL (di Kabupaten Simalungun)

A. Deskripsi tentang Kabupaten Simalungun

1. Tinjauan mengenai historis (sejarah) Simalungun

Stagnasi penulisan sejarah Simalungun109 disebabkan oleh beberapa hal110 yaitu: a) Minimnya sumber-sumber tertulis yang merupakan rangkaian peristiwa sejarah di Simalungun, sehingga mengalami kesulitan untuk membentangkan, mendeskripsikan, serta menjelaskan peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau itu. b) Di antara sumber tertulis yang ada umumnya dibukukan setelah masuknya era perkebunan111 sehingga era praperkebunan tersebut tidak diketahui, jika pun ada dari segi tradisi tulis, umumnya dilakukan oleh datu atau guru bolon112 dan isinya merupakan mantera-mantera atau pengobatan tradisional. Lain daripada itu manuskrip113 (partikkian) yang ada tidak mengisahkan angka tarikh atau tahun yang jelas, dan pengarang yang anonimus. Sementara itu, sumber-sumber pengelana asing114

109

Nama dan penamaan Simalungun sesungguhnya masih relatif baru. Peta yang dibuat oleh D.B. Hagen (eincompassauf namen) tahun 1883, belum mencantumkan nama Simalungun meskipun wilayah dimaksud adalah Simalungun sekarang. Dalam tradisi Kesultanan Melayu disebut “Batak Dusun” untuk menyebut Simalungun. Demikian pula ketika RMG memulai penginjilannya (1903) disebut “Timor landen”. Pada waktu itu, dikenal Batak Timur yakni orang Batak yang terletak disebelah timur Danau Toba (Negeri Timur). Sebenarnya kurang tepat apabila nama Simalungun sekarang dikaitkan dengan kepribadian orang Simalungun sebagai “Simou-mou

malungun” atau meratap, sunyi, sepi, dan tertutup.

, juga tidak menyebutkan nama “Simalungun” secara pasti, walaupun di

110

Asumsi ini tentu saja didasarkan pada minimnya buku-buku standard tentang Simalungun. Demikian pula bahwa, kebanyakan buku tersebut ditulis oleh bukan sejarahwan akademis tetapi oleh sejarahwan non akademis ataupun budayawan. Tulisan yang dihasilkan cenderung untuk konsumsi kerabat (kalangan tertentu) yang kurang dapat dijadikan rujukan dalam pembahasan ilmiah. Namun demikian, sejumlah Theolog sudah banyak mencoba mengurai sejarah masyarakat dan kebudayaan Simalungun dari perspektif theology khususnya Kristen.

111

Kebiasaan bagi orang Belanda adalah mengirimkan ilmuwan khususnya etnolog dan filolog ke daerah yang akan dikuasainya. Masuknya pengusaha perkebunan asing di Sumatera Timur (1862), Simalungun (Sejak 1875) meninggalkan sepenggal noktah tentang Simalungun. Umumnya tulisan tersebut adalah nota penjelasan para penguasa daerah dan pengembangan wilayah perkebunan. Laporan komprehensif tentang Simalungun diperoleh dari J. Tidemann (1922), yakni kontrolir afdeeling Simeoloengen, itupun ditulis dalam kerangka pengetahuan kolonial terhadap sejarah etnis, kebudayaan dan topografis untuk perluasan perkebunan. Dalam kata pengantarnya, Tidemann mengemukakan terimakasih penyambung lidahnya kepada masyarakat yakni Johannes Hutapea khususnya dalam pengumpulan informasi tentang masyarakat Simalungun pada saat itu.

112

Periksa, JE. Saragih, Pustaka Laklak Museum Simalungun No 252, (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen P dan K, 1981). Salinan terhadap naskah-naskah Pustaha Simalungun seperti yang dikerjakan oleh Vorhooeve tahun 1938 belum dipublikasikan, demikian pula nota-nota penjelasan daerah Simalungun dalam catatan kolonial belum pernah diterbitkan, dan jikapun diterbitkan masih terlalu singkat, sehingga keadaan ini menambah sulit historiografi Simalungun berdasarkan sumber tertulis.

113

Manuskrip yang ada seperti Parpadanan Na Bolag (PNB), Parmongmong Bandar Syahkuda (PBS), Partikkian Bandar Hanopan (PBH), tidak terdapat klan dan tarikh peristiwa tersebut, demikian pula penulisnya yang anonimus. Lain daripada itu, analisis teks terhadap manuskrip ini belum pernah dilakukan hingga saat ini.

114

Periksa William Marsden, History of Sumatera, (Kuala Lumpur: Oxford University of Press, 1966), John Anderson, Mission to the East Cost of Sumatera, (Kuala Lumpur: Oxford in Asia, 1971). Ma Huan, Ying-Yai Shen-Lan: The Overal Survey of the Ocean Shores 1433, (Cambridge: Hakluyt Society, 1970), Tome Pires, The Summa Oriental of

(2)

kemudian hari wilayah yang dimaksud adalah Simalungun, c) Kebanyakan buku-buku tentang Simalungun pada masa sekarang, baik yang diterbitkan (ber-ISBN) ataupun masih dalam bentuk laporan tesis atau disertasi adalah tinjauan theology (Kristen) sehingga analisis terhadap kesejarahannya masih terbatas pada aspek theologis115, d) Minimnya Sarjana-sarjana penulis sejarah dan sosial berpredikat (master dan doktor116) yang menggeluti dunia kesejarahan ini sehingga literatur sejarah menjadi jarang dijumpai di toko buku, e) Di antara buku-buku yang ada cenderung ditulis untuk keperluan pribadi atau keluarga117 yang dalam pembentangannya kurang menjelaskan kaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya atau juga dari satu wilayah dengan wilayah lainnya, f) Kerancuan daripada sejarah Simalungun sekarang dengan sumber terbatas itu berdampak pada pola penulisan yang mengadopsi penulis awal118 tanpa adanya dialog sumber sehingga makin lama makin terasa biasnya, g) Tradisi menulis yang belum memasyarakat119, dan h) Minimnya penyelidikan lintas disiplin ilmu120

Tomme Pires: An account of the east from the Red Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1512-1515, (Armando Corteasao, ed) Germany: Lessing Druckerij, Edwin M. Loeb (ed), 1935. Sumatera: Its History and People Singapore: Oxford University, atau juga Anthony Reid (ed) 1995. Witnessses to Sumatera: A Travelers Anthology. Kuala Lumpur: Oxford University. Atau juga WP. Groeneveltd (ed). 1960. Historical Notes on Indonesia and Malay: Compiled from Chinese Sources. Jakarta: Bharata. Kong Yuanzhi. 2007. Cheng Ho Muslim Tionghoa: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (Hembing W, Ed). Jakarta: Obor

115

Lihat misalnya.Martin Lukito Sinaga, Identitas Postkolonial Gereja Suku Indonesia: Studi Tentang JW. Saragih, (Yogyakarta: LkiS, 2006), atau Martin Lukito Sinaga dan Juandaharaya Dasuha, Tole den Timorlanden das Evanggelium: Sejarah 100 Tahun Injil di Simalungun, ( Pematangsiantar: Kolportase GKPS, 2003) Satu buku yang diterbitkan tentang Simalungun adalah buah karya Arlin Dietrich Jansen. Gonrang Simalungun: Struktur dan Fungsinya dalam Masyarakat Simalungun, (Medan : Bina Media, 2003).

116

Kebanyakan tema-tema penelitian yang ditulis oleh penulis asing tentang Simalungun adalah ekonomi pertanian dan perkebunan serta politik. Masih jarang dijumpai penulis yang mengurai sejarah Simalungun. Lain daripada itu kebanyakan para intelektual (professor, doktor, maupun magister) adalah berlatar belakang ilmu Paedagogis (ilmu pendidikan), Pertanian, Hukum, dan Tehnik, Kesehatan dan Theologi. Sedang dalam bidang ilmu sejarah, anthropologi maupun sosiologi (rumpun ilmu sosial lainnya) terutama yang aktif menulis buku masih jarang. Bilapun ada penulis sejarah cenderung bukan dalam kerangka akademis.

117 Lihat dan periksa buku-buku yang ditulis tentang Simalungun masih terfokus pada riwayat Raja dan

Kerajaan, seperti Sejarah Kerajaan Raya, Kerajaan Siantar Sang Na Ualuh Damanik, Kerajaan Purba Pakpak, Kerajaan Panei Purba Dasuha dst, yang ditulis untuk keperluan keluarga. Demikian pula buku biografi atau semacam memoir yang ditulis dengan penjelasan minim tentang Simalungun.

118 Bandingkan dengan pendapat Michael Faucault yang mengemukakan bahwa dalam masyarakat

biasanya terdapat berbagai wacana yang berbeda, namun karena penguasa memilih wacana tertentu yang kemudian mendominasi wacana lainnya, maka wacana-wacana lainnya akan terpinggirkan dan termarginalkan. Lihat Michael Faucault, What is an author?. In: Josue Harari (ed), Textual Strategies: Perspectives in Post

Structuralis Criticism, (London: Methuen 1979). Maksud daripada pernyataan ini adalah ada-nya semacam

fenomena penulisan buku dengan merujuk pada penulis luar Simalungun di mana rujukan tersebut sebenarnya bertentangan dengan keadaan Simalungun dan apalagi dengan penjelasan yang sangat dangkal. Contoh, penulis Simalungun masih saja merujuk bahwa klan dan asal usul orang Simalungun berasal dari Pusuh Buhit, tradisi Raja dan Kerajaan khususnya Raja Maropat adalah bentukan Singamangaraja, Nama dan penamaan Simalungun adalah sebagai (orang) yang ‘Malungun’, ‘Sunyi’, ‘Sepi’, (Sima-sima, Simou dan Malungun) padahal tidak punya dasar sama sekali.

119

Walaupun dengan analisis dan rujukan yang terbatas, beberapa diantaranya telah mencoba menulis seperti Sortaman Saragih, Orang Simalungun, (Jakarta: Citama Vigora, 2007).

120

Berdasarkan diskusi tak resmi dengan Kepala Museum Negeri Sumatera Utara dan Balai Arkeologi Medan, demikian pula tinggalan (artifak) arkeologis yang banyak di temukan di Simalungun, namun penelitian untuk mendapatkan data yang akurat seperti ekskavasi, geomorphologis, carbodanting atas tinggalan tersebut belum pernah dilakukan. Contoh fort of Nagur, Catur Nagur, arca raja yang menunggang Gajah maupun tinggalan

(3)

2. Nama Simalungun dalam perdebatan121

Masih menjadi pertanyaan, darimana asal kata “Simalungun” ?. Sebagai pedoman adalah sebagai berikut :

a. Pendapat dari U. Hamdar (Urich H. Damanik) :

Simalungun berasal dari kata : Si-ma-lungun, yaitu bertitik tolak dari pemecahan secara etimologis bahwa Si adalah kata penunjuk, ma adalah awalan, lungun artinya sunyi atau rindu.

b. Pendapat Kasim Sipayung :

Simalungun berasal dari Siou-ma-lungun, dengan penjelasan bahwa Siou adalah daerah atau wilayah, ma adalah awalan lungun adalah sunyi atau rindu. Malungun berarti yang sunyi atau yang dirindui. Iou artinya Negeri. Dalam pergaulan sehari-hari kata ini tidak banyak dipakai tetapi dalam Kidung mengandung arti “kasih sayang” dan “kerinduan”, misalnya jika seorang anak meninggal dunia maka ibunya akan meratap dengan kalimat “juppa ma parsirangan”, “madaoh ma pardomuan”, “lahoma tunas mardomu nadaoh, marlangit anak-anak martamoh pulau-pulau” artinya : kinilah kita berpisah, tak akan bertemu lagi (karena) dikau pergi ke “negeri jauh” dengan bumi dan langit yang terasing. Jadi Simalungun berarti daerah tersayang yang (menjadi) sunyi.

c. Pendapat T. Ms. Purbaraya :

Simalungun berasal dari kata Silou-ma-lungun, yakni dengan menghubungkan sejarah runtuhnya Kerajaan Silou Tua sebagai lanjutan dari Kerajaan Nagur dan lain-lain yang berhubungan dengan perpindahan penduduk (migra-si) dan wabah penyakit sampar.

d. Pendapat T.B.A. Purba Tambak :

Simalungun berasal dari kata : Simou dan Lungun. Simou artinya samar-samar yakni antara nampak dan tidak nampak dengan terang, tetapi jelas ada. Ibarat Sima (kuman) tidak dapat dilihat dengan terang tetapi jelas ada.

Lungun artinya sunyi atau lengang, karena wilayah itu dulunya adalah

terdiri dari hutan belantara yang sunyi dan lengang dimana penduduknya hampir tidak kelihatan

e. Pendapat D. Kenan Purba :

Kata Simalungun berasal dari kata Sima-lungun. Sima artinya sisa, lungun artinya kesedihan, maka Simalungun artinya Sisa dari Kesedihan. Dalam

tradisi megalitik lainnya belum pernah diteliti sehingga belum didapat informasinya. Jika pun ada, masih terbatas pada segi arsitektur seperti yang dilakukan oleh Claire Holt dan Ery Soedewo. Lihat, Buletin Sangkakala, (Medan: Balai Arkeologi. 2005).

121

Pemberian nama Simalungun masih memerlukan penelitian dari ahli bahasa, sejarah dan budaya Simalungun : Bukan Sibalungun, bukan Simelungun, melainkan Simalungun, demikian O.J Sinaga dari Tiga Balata, SIB, 15 Januari 1977 dalam Kenan Purba dan J.D Poerba, Sejarah Simalungun, (Jakarta : Bina Budaya Simalungun, 1995), hal. 1.

(4)

bahasa daerah Simalungun biasa disebut : “Sima-sima ni lungun” yang akhirnya dilafazkan menjadi Simalungun.

Asal kata Simalungun karena itu, berasal dari bahasa Simalungun, “lungun” artinya sunyi/ sepi. Bila penjelasan ini diceritakan di tempat orang lain, maka menurut tata bahasa Simalungun ditambah dengan kata “ma” (malungun), menunjukkan kondisi territorial yang sunyi sepi itu. Dalam perkembangan tata bahasa Simalungun, bila kata sebutan tentang sesuatu benda atau wilayah menjadi nama, biasanya ditambah “si” misalnya : si Anu jika wilayah Simarjarunjung, Simalungun.122

“Malungun” menggambarkan keadaan asli, bahwa tanah yang sangat luas itu

masih jarang manusia penghuninya, penuh dengan binatang-binatang buas, tempat burung-burung bersarang. Belum ada jalan manusia, hanya padang belantara (harangan toras/ hutan belukar), sungai (bah), bukit-bukit gunung dan lembah-lembah.

Legenda yang bersifat “mythos”, ada seorang bidadari berasal dari kahyangan, sepanjang hidupnya merasa kesepian (malungun) karena merindukan sesuatu yang tak kunjung datang. Dari segi panorama, nun jauh mata memandang disebut mar-sima-sima artinya sima : lungun menjadi “Simalungun”. Itulah asal mula munculnya istilah/ nama Simalungun.

3. Masuknya orang Tapanuli ke Simalungun

Dimulai pada abad ke 19, kampung halaman Batak Toba sudah mulai sesak akibat pertambahan alamiah, angka kematian mulai menurun, sedang angka kelahiran menjadi meningkat.123 Jumlah penduduk bertambah dengan cepat dan sejalan dengan itu tekanan penduduk terhadap lahan pertanian, terutama dalam persawahan menjadi masalah yang pelik di daerah Dataran Tinggi Toba124

122

Ibid, hal. 14

. Di berbagai wilayah, luas lahan persawahan yang diusahai penduduk semakin sempit. Pembukaan dan perluasan persawahan baru semakin tidak mungkin karena berbagai hal, diantaranya faktor sumber air dan iklim. Hasil yang diperoleh dari lahan kering pun kurang memuaskan. Berbagai :tantangan” di kampung halaman harus dihadapi. Sementara itu cita-cita untuk selalu mengejar 3H (Hagabeon, Hamoraon, dan Hasangapon) tidak pernah padam dalam diri setiap orang. Berbagai keterbatasan yang dihadapi di wilayah sendiri mendorong mereka meninggalkan kampung halamannya. Pada awalnya tidak sedikit dari kaum tani yang bekerja keras membuka hutan dan

123

(5)

membangun kampung baru dengan menghadapi tantangan yang berat tanpa memperhitungkan risiko di daerah lain.

Pada tahun 1912 atas kerjasama Pemerintah Hindia Belanda dengan zending Kristen didatangkanlah orang-orang dari Toba, Angkola, dan Mandailing, dengan menjanjikan fasilitas-fasilitas tertentu asal mau membawa rombongan dalam jumlah besar ke Simalungun terutama untuk membuka areal persawahan.

Pada tahun 1920 telah ada orang Toba sebanyak 21.832 orang dan Mandailing sebanyak 4.699 orang yang tersebar di daerah-daerah persawahan di Simalungun. Sesuai dengan janji yang diumbar oleh Pemerintah Hindia Belanda dan sejalan dengan Politik Devide Et Impera, maka bagi suku-suku pendatang, diangkatlah pimpinan-pimpinan yang diambil dari kalangan mereka sendiri. Untuk memimpin orang-orang Toba diangkatlah Andreas Simangunsong dengan gelar Jaihutan (Raja Ihutan). Demikian juga jabatan-jabatan di pemerintahan seperti Pangulu Balei (Kepala Kantor Raja), Kerani, Guru dan lain-lain banyak yang diberikan kepada suku-suku pendatang tanpa memperhatikan perimbangan dengan penduduk setempat.

Hal ini mendapat tantangan keras dari Raja-raja Simalungun, sehingga akhirnya pada tahun 1921 jabatan Jaihutan, Pangulu dan Kepala Rodi untuk orang-orang Toba dihapuskan.

Selain itu pemerintah Kolonial Belanda memberikan lokasi tanah persawahan bagi orang-orang Jawa, terutama bagi mereka yang telah habis masa kontraknya di perkebunan, maka berdirilah perkampungan orang Jawa di Bandar dan Sidamanik, perkampungan seperti ini disebut Javakolonisasi.

Keseluruhan kegiatan tersebut di atas adalah untuk memperbesar persaingan (tidak jarang jadi permusuhan) antara penduduk setempat dengan para pendatang sesuai dengan kepentingan politik Belanda.

Sesuai dengan sifat orang Simalungun yang suka menyendiri, mudah tersinggung, dan tidak mengenal pertanian sawah, akhirnya mereka mudik ke daerah-daerah yang relatip lebih kurus (kurang subur atau gersang), karena daerah-daerah-daerah-daerah subur dan yang dapat dijadikan persawahan hampir seluruhnya diduduki orang-orang pendatang.

Dengan kata lain, setelah tersebar berita tentang keadaan Simalungun di Tapanuli, yang dibawa oleh petugas mission, beberapa waktu kemudian telah ada yang memberanikan diri untuk melihat keadaan daerah itu, ada yang naik sampan dari Balige menuju Sungkean Samosir terus ke Parapat dan dari Panahatan melewati hutan terus ke Tigadolok dan sampai ke Siantar setelah empat hari perjalanan. Sesudah melihat keadaan daerah tersebut, mereka memutuskan untuk membuka perkampungan. Untuk menambah tenaga dan mempertahankan diri dari serangan musuh, beberapa orang disuruh pulang dan sekaligus memberi kabar kepada keluarganya dan teman-teman sekampung agar mereka ikut dalam perjalanan

124

O.H.S Purba dan Elvis F. Purba, Migrasi Batak Toba, di luar Tapanuli Utara : Suatu Deskriptif. (Medan : Monora, 1998), hal. 1

(6)

berikutnya. Demikian pula berita yang diwartakan pekabar Injil melalui majalah mingguan Immanuel sangat cepat tersebar dan menarik perhatian, terutama bagi keluarga yang tidak memiliki lahan yang luas. Sejak itu, beberapa rombongan, sebagian naik sampan dari Balige ke Panahatan terus ke Tigadolok dan sebagian berjalan kaki dari Lumban Julu terus ke Tigadolok dan dari sana menuju arah Siantar. Perjalanan yang melelahkan dengan melewati hutan yang diselang-selingi terik matahari dan hujan tidak menjadi penghambat bagi mereka memasuki daerah Simalungun.

Pada tahun 1904 di Pematang Bandar telah dimulai membuka persawahan yang diprakarsai oleh missioner G.K. Simon. Proyek ini hanya berjalan beberapa lama karena hasilnya sangat sedikit dan akhirnya tutup125

Disamping dorongan dari diri sendiri, missioner Jerman juga mendukung perpindahan sebagian orang Batak Toba ke Simalungun dengan maksud untuk memberi contoh dalam cara bercocok tanam di persawahan dan sekaligus untuk memberi teladan cara hidup Kristiani. Tahun 1905 orang-orang dari Tapanuli sudah makin banyak yang pindah, ada yang menuju Panai, Bandar dan Tanah Jawa. Petani-petani yang sudah membuka perladangan berusaha mengubahnya menjadi persawahan. Pada tahun itu juga petani-petani yang tinggal di dekat Siantar berhasil menggali tali air dari Sungai Bah Biak secara gotong royong dengan berpedoman pada teknologi irigasi yang mereka bawa dari kampung asalnya. Sejak pembukaan tali air tersebut, persawahan mulai ada. Nama tempat persawahan itu pun, yang semula adalah perladangan (juma) berubah menjadi Juma-Saba, yang bermakna perladangan (juma) berubah menjadi persawahan (saba), yaitu di derah Simpang Empat yang sekarang.

. Ketika itu untuk membentuk persawahan sangat sukar karena saluran irigasi belum ada. Oleh karena itu orang Batak Toba kurang berminat tinggal disana.

Dalam beberapa tahun, areal pertanian pangan yang dibuka petani-petani Batak Toba sudah menunjukkan hasil yang lumayan. Keberhasilan tersebut ternyata mendapat perhatian dari pemerintah Kolonial. Mereka mengetahui bahwa petani-petani tersebut sungguh-sungguh mengerjakan lahan pertaniannya dan melihat semangat petani-petani yang datang belakangan membuka lahan pertanian pangan. Sadar akan kesungguhan dan keagresifan petani-petani tersebut, serta sesuai dengan politik mereka, pemerintah kolonial melalui Kontrolir Batubara mengadakan perjanjian dengan raja Bandar, agar orang Batak Toba diberi kesempatan memasuki daerah Bandar dalam rangka membuka persawahan126

Sejak perjanjian tersebut semakin banyak kaum tani dari Tapanuli menuju Bandar, walaupun kemudian hari banyak yang pindah kembali. Tahun 1906 petani-petani dari Toba Holbung, Silindung, dan Humbang datang untuk membuka persawahan. Mula-mula mereka tiba di Bandar Meratur dan dari sana menyebar ke

125

M.Joustra, van Medan Naar Padang En Terugi, (Leiden:S.C van Doesburq, 1915), hal.39

126

(7)

daerah sekitarnya127. Pada tanggal 31 Desember 1906, sudah terdapat sebanyak 94 orang Kristen Batak, terdiri dari 40 laki-laki dewasa, 11 perempuan dewasa dan 43 anak-anak yang datang dari Tapanuli tinggal di Pematang Bandar128. Pada tahun yang sama, di Juma-Saba sudah diadakan kebaktian yang dipimpin oleh evangelis Theopilus Pasaribu129

Tahun 1907 sudah terdapat beberapa keluarga Batak Toba yang datang dari Toba Holbung, Humbang, dan Silindung tinggal di daerah Panai130. Selain ke daerah Panai, banyak pula yang menuju Siantar, kearah Dolok Merlawan dan daerah lainnya di Simalungun. Sebaliknya perpindahan ke Tanah Jawa ketika itu mendapat hambatan. Mereka tidak diijinkan oleh pemerintah, yaitu kontrolir yang lama memerintah dan mengawasi rakyat di daerah itu131. Pada bulan September 1907 tujuh raja Simalungun menandatangani Korte Verklaring132. Penandatanganan perjanjian tersebut merupakan pengakuan terhadap kedaulatan Belanda di sana dan ketika itu raja-raja tersebut berjanji tidak akan melakukan hubungan-hubungan politik dengan negeri-negeri asing serta setuju untuk mengikuti undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Sejak itulah dirintis perluasan perkebunan di Simalungun133

4. Pemerintahan Swapraja

. Pembukaan perkebunan tersebut membuka kesempatan yang lebih luas lagi bagi kaum terdidik Batak Toba mendapatkan pekerjaan di daerah itu. Dalam kurun waktu 3 Tahun, beberapa daerah di Simalungun sudah dihuni orang-orang Batak Toba.

Sesudah penandatangan Korte Verklaring tahun 1907, sistem pemerintahan di Simalungun sudah berubah, dari kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri berubah menjadi Swapraja yang disebut Landschap berada dalam Onder Afdeling Simalungun di bawah pemerintahan Hindia Belanda.134

Dengan adanya perubahan tersebut maka peranan Harajaan (dewan kerajaan) tidak ada lagi, karena semua kekuasaan telah dipusatkan pada Raja sebagai Kepala Landschap.

Sejak tahun 1904 kerajaan-kerajaan Dolok Silau, Raya, Purba dan Silimakuta termasuk daerah dalam penguasaan Pemerintah Belanda, dikepalai oleh seorang

127

Sihombing, P.T.P., Saratus Taon Huria Kristen Batak Protestan, (Medan : Philemon & Liberty,1961), hal. 56.

128

H.Marbun, Barita Djujur Taon-Laporan Tahunan (1946-1960), (Doloksanggul, Humbang, Bandar,

Asahan, D. Serdang, Medan-Atjeh dan Medan TImur), (Medan;Lembaga Penelitian Universitas HKBP

Nomensen,1990) , hal. 77

129

Panitia Jubileum, Buku Sejarah HKB P Pematangsiantar, Pesta Jubileum 75 Taon 29 September

1907-29 September 1982, (Pematangsiantar; Grafina,1982) hal. 16. 130

Sihombing, loc cit

131

A.A Sitompul, Perintis Kekristenan di Sumatera Bagian Utara, (Jakarta:BPK Gunung Mulia,1986), hal.159

132

Reid, Anthony, The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern

Sumatera. (Kuala Lumpur : Oxford University Press,1979), hal. 101. 133

Liddle, R, William, Ethnicity, Party, and National Integration: An Indonesian Case Study, (New Haven : Yale University Press, 1970), hal. 25

(8)

Controleur bernama V.CJ Westenberg yang berkedudukan di Bangun Purba, sedangkan kerajaan-kerajaan Siantar, Tanah Jawa dan Pane telah terdahulu (sejak akhir tahun 1890) pengaruh Pemerintah Belanda dibawah pimpinan seorang Controleur yang berkedudukan di Labuhan Ruku daerah Batu Bara.135

Pelaksanaan Pemerintahan oleh Belanda dilakukan dengan cara tournee ke Daerah-daerah dan di mana perlu menyelesaikan sesuatu persoalan langsung di lapangan, ataupun para Raja-raja dan pembesar-pembesarnya datang berkumpul untuk berrapat (Harungguan Nabolon). Harungguan Na Bolon pada waktu dalam hubungan ada sesuatu sengketa, maka dijadikan merupakan sidang pengadilan sedangkan penuntut umum (Jaksa) pertama untuk daerah Hukum Saribu Dolok ialah Ingat-dolok Saragih (Tuan Sinasih) dan untuk daerah hukum P.Siantar Jaksa pertama ialah Manase Sitompul.

Hasil penerimaan/pendapatan dari Pemerintah Belanda ialah Candu yang merupakan hadiah mengurangi ketegangan Politik. Pada akhir tahun 1909 daerah Karo disatukan dengan Pemerintahan daerah kerajaan Simalungun di bawah pimpinan Assintent-Resident Westenberg yang berkedudukan di Saribu Dolok (Westenberg sebelumnya conroleur di Bangun Purba). Untuk daerah Simalungun didudukkan seorang Controleur bertempat di P.Siantar dan kemudian Controleur untuk daerah Karo bertempat di Kabanjahe (tahun 1911).

Pada tahun 1910 didirikanlah markas Tentera Belanda di Seribu Dolok, tetapi pada pertengahan tahun 1911 dipindahkan ke Sidikalang.

Di daerah Simalungun Atas, Politik Pemerintahan tidak begitu pesat perkembangannya, sedangkan di daerah Simalungun Bawah dengan adanya penanaman karet, pertumbuhannya cepat sekali, sehingga kedudukan Assistant – Resident pada tahun 1912 dipindahkan dari Seribu Dolok ke P.Siantar. Demikianlah sejak pertengahan tahun 1920 daerah Simalungun termasuk daerah penanaman modal asing.

Sesudah penandatanganan “kontrak pendek” dengan pemerintah Belanda pada tahun 1907, maka kekuasaan Raja-Raja di Simalungun dengan berangsur-angsur menjadi kurang, sekalipun dinamakan pemerintahan itu diserahkan seluas-luasnya mengurus rumah tangganya sendiri. Hanya bayangan nama “Raja” sesungguhnya merupakan “Kepala Adat” dimana kekuasaannya telah dibatasi oleh Pemerintah Belanda. Dengan surat keputusan Pemerintah Belanda Lembaran Negara 1914 No.24 yang pelaksanaannya untuk daerah Simalungun baru disahkan pada tahun 1917, maka berlakulah peraturan-peraturan yang diperbuat oleh pemerintah Belanda mengenai wewenang dari Raja-Raja Simalungun dan pengaturan mengenai peradilannya.

Mulai tahun ini dibangun kantor Raja di tiap-tiap kerajaan untuk melaksanakan administrasi Pemerintahan. Pada tiap-tiap kantor diangkat seorang kepala kantor yang dinamakan “penghulu balai” dan bertindak juga selaku jaksa (penuntut Umum) dalam perkara pidana pada Pengadilan Swapraja tingkat “kerapatan urung”. Yaitu pelanggaran denda di antara 20-60 rupiah uang Belanda dan ancaman

135

(9)

hukuman penjara selama 14 hari sampai 5 bulan dan dalam bidang perkara perdata bertindak selaku panitera yang memutuskan perkara dengan nilai harga 50-100 rupiah uang Belanda.

Onder Afdeling Simalungun dibagi habis dalam 7 Kerajaan, dan Kerajaan dibagi atas beberapa Distrik (semua ada 16 Distrik) dan selanjutnya Distrik dibagi habis dalam beberapa Kampung (huta). Adanya Kerajaan/ Landschap dan Distrik di Simalungun pada waktu itu adalah sebagai berikut :

No Landschap Distrik

1 Siantar 1. Siantar

2. Bandar 3. Sidamanik

2 Tanoh Jawa 4. Tanoh Jawa

5. Bosar Maligas 6. Jorlang Hataran 7. Dolog Panribuan

8. Girsang Sipangan Bolon

3 Panei 9. Panei

10. Dolog Batu Nanggar

4 Raya 11. Raya

12. Raya Kahean

5. Dolog Silou 13. Dolog Silou

14. Silou Kahean

6. Purba 15. Purba

7. Silima Kuta 16. Silima Kuta

Dalam hal perubahan kewenangan raja-raja berdasarkan besluit Gubernement tahun 1914 No 24 ditetapkan hak-hak dan wewenang Raja-Raja Simalungun termasuk Peradilan Swapraja/Landraad sebagai pengganti Kerapatan atau Harungguan, tetapi baru mulai berlaku pada tahun 1917.

Pada tahun 1917 gedung Kantor para Kepala Landschap (Raja) di Simalungun dibangun dan pada setiap kantor diangkat seorang Pangulu Balei (Kepala Kantor) yang sekaligus merangkap sebagai jaksa pada tingkat Kerapatan Urung.

Sedangkan hirarki dan tingkat-tingkat peradilan yang ada di Simalungun waktu itu adalah sebagai berikut :

a. Tingkat Huta (Kampung) tugas peradilan dipegang oleh Kepala Kampung (Pangulu) dibantu oleh beberapa orang pengetua (Partuha Maujana).

(10)

b. Tingkat Parbapaan (gabungan beberapa kampung) peradilan diadakan melalui Kerapatan Balei yang diketuai oleh Parbapaan dan anggota-anggotanya adalah para Pangulu yang ada di wilayahnya.

c. Tingkat Landschap (Kerajaan) melalui Kerapatan Urung yang langsung diketuai oleh Raja (Kepala Landschap) dibantu oleh Pangulu Balei dan beberapa Gamot Harajaan.

d. Pengadilan Tertinggi di Onder Afdeling Simalungun disebut Kerapatan Na Bolon yang langsung diketuai oleh Controleur dan anggotanya adalah ke 7 Raja-raja Simalungun. Tugasnya ialah untuk menyelesaikan perkara atau sengketa di antara Raja-raja Simalungun. Tetapi hakekatnya kepada Badan tersebut dibebankan juga tugas-tugas pelaksanaan pengaturan otonomi dan medebewind (tugas perbantuan).

Controleur mempunyai tugas ganda, yaitu sebagai Zelfbestuur (Pemerintah di Daerahnya) dan sebagai Voorzitter (Hakim).

Dalam sistem Swapraja ini Raja-raja merasa kuasanya dikukuhkan, akan tetapi mereka tidak sadar bahwa mereka telah menjadi alat kolonial. Sebagai bukti, raja-raja sudah ditugaskan memungut belasting (pajak) dan bagi rakyat yang tidak mampu membayar pajak dipaksa untuk melaksanakan pekerjaan Rodi (Kerja Paksa).

5. Asal Usul Orang Simalungun

a. Marga

Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu : 1) 2) Sinaga 3) Saragih 4) Damanik

Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar (raja-raja yang pernah berkuasa di Simalungun), untuk

(11)

tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).

Keempat raja itu adalah : Raja Nagur bermarga Damanik

Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).

Raja Banua Sobou bermarga

Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.

Saragih

Raja Banua Purba bermarga Purba

Purba menurut bahasa, berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pengatur, pemegang undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana.

Raja Saniang Naga bermarga Sinaga

Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penyebab Gempa dan Tanah Longsor.

Dilihat dari perkembangan marga-marga Dilihat dari perkembangan marga-marga di Simalungun bahwa marga Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba (Sisadapur) hanyalah merupakan marga pokok saja. Hal itu dapat kita lihat dari perkembangan berikutnya berdasarkan hubungan kekerabatan dari raja-raja atau partuanon dahulu, maka di masing-masing kerajaan terdapat tambahan marga-marga yang baru sebagai berikut :

a. Di bekas Kerajaan Purba : Marga Lingga, Silalahi dan Haloho

b. Di bekas Kerajaan Raya : Marga Sipayung, Silalahi, Sinurat dan Sitopu

c. Di bekas Kerajaan Tanoh Jawa : Marga Manurung, Butar-butar, Sirait, Sitorus dan Margolang.

d. Di bekas Kerajaan Siantar : Marga Dabahu (Naibaho), Dasopang, Dasalak bahkan dari etnis Melayu, Banjar, dan Sipirok/Mandailing.

e. Di bekas Kerajaan Dolog Silou : Marga Sipayung, Tarigan, Sembiring, Ginting dan Munthe.

(12)

g. Di bekas Kerajaan Silimakuta : Marga Tarigan, Sembiring, Silalahi, Simanjorang dan Situngkir.136

b. Perkerabatan Simalungun

Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal silsilah karena penentu partuturan (perkerabatan) di Simalungun adalah hasusuran (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acara-acara adat). Hal ini bisa dilihat saat orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” (apa marga anda) tetapi “hunja do hasusuran ni ham?” (dari mana asal usul anda?).

Hal ini dipertegas oleh pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei” (dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun tak berarti, asal penuh kasih).

Sebagian sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanon Silappuyang, Raja Panei dari Putri Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja Siantar dan Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging.

Adapun perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai

partuturan

a). Tutur Manorus / Langsung

. Partuturan ini menentukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi ke dalam beberapa kategori sebagai berikut :

Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri b). Tutur Holmouan / Kelompok

Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun

c). Tutur Natipak / Kehormatan

Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat.

Menurut penelitian G. Ferrand seorang antropolog dari Amerika menyimpulkan bahwa kedatangan penduduk ke Nusantara terjadi dalam 2 periode. Periode pertama disebut “protomelayu/ proto Simalungun” yang datang sekitar 1000 tahun SM, diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari

(13)

Raja dinasti Damanik, yang diperkirakan menjadi penduduk pertama Nusantara. Pada awalnya protomelayu banyak mendiami pesisir pantai di pulau-pulau Nusantara. Kelompok ini antara lain adalah Batak (termasuk Simalungun), Toraja, Dayak dan Nias.137

Periode kedua datang sekitar tahun 500 SM dan disebut “deuteromelayu / deutero Simalungun”, datang dari suku-suku di sekitar Smalungun yang bertetangga dengan suku asli Simalungun. Kelompok ini termasuk orang Jawa, Madura dan Makasar. Kedatangan “deutromelayu” ini mendesak protomelayu sehingga suku “protomelayu” semakin bergerak dan berpindah ke pegunungan di pulau-pulau Nusantara.

Dikisahkan, pada waktu perpindahan gelombang “protomelayu”, ada sekelompok penduduk yang hijrah (pindah) dari India Selatan secara estafet. Awalnya kelompok ini berangkat dari India Selatan menuju Champa (baca : Siam = Thailand sekarang).; Setelah beberapa puluh tahun tinggal di Champa, komunitas ini diserang oleh suku Mongolia dari utara. Kaum pria banyak dibunuh dan wanitanya dikawini para pria Mongolia. Dari hasil perkawinan campuran ini terlahirlah suatu turunan ras baru berkulit sawo matang.

Setelah peristiwa serangan tersebut sebagian dari kelompok ini berpindah lagi dan berpencar menuju pulau-pulau di sekitarnya (yakni Indonesia dan Philipina sekarang). Di Nusantara ada kelompok yang menuju Sulawesi dan ada yang menuju Sumatera. Mereka yang mendarat di Sulawesi tersebut, beranak-pinak menjadi suku Toraja. Sementara kelompok yag pindah menuju Sumatera mendarat di Batubahra (Sekarang : Batubara) dan dari sana mulai menyebar ke seluruh pelosok Sumatera bagian Utara. Kelompok inilah yang beranak-pinak menjadi leluhur orang Simalungun (termasuk Batak lainnya).138

Sementara kelompok ketiga berpindah menuju Tagalog (Philipina). Di sana beranak-pinak dan kelak menjadi leluhur orang Philipina. Bukti budaya sebagai fakta otentik hingga kini masih ada ditemui persamaan budaya dalam ketiga kelompok ini. Misalnya pemakaian kain perca putih (simalungun = porsa), yang diikatkan pada kepala seperti slayer pada saat kematian orang tua yang sudah lanjut usia. Juga adanya budaya makan sirih serta meratakan gigi (mangkihir ipon). “Mangkihir ipon” adalah tradisi meratakan gigi dengan cara memotongnya dengan alat kikir. Setelah diratakan, untuk menghilangkan rasa ngilu, gigi dioles dengan getah kayu (Simalungun : saloh) sehingga gigi kelihatan berwarna hitam. Budaya ini ditemukan pada semua kelompok keturunan di atas.

Budaya “mangkihir ipon” di Simalungun masih ditemukan pada saat kedatangan orang Jawa ke Simalungun. Oleh sebab itu dulu orang Simalungun

137 MD.Purba, Museum Simalungun, [(s.l): (s.n), 1978], menjelaskan bahwa Nagur sebagai leluhur

Simalungun datang dalam gelombang protomelayu ke Nusantara

138 Penelitian (disertasi) tentang gen yang dilakukan oleh Del tri Munir dosen USU di Leiden

menyimpulkan bahwa gen HLA yang terdapat pada Orang Mongolia dan orang Batak, Thailand, Toraja dan Philipina adalah berasal dari induk yang sama

(14)

menyebut orang Jawa dengan sebutan “si bontar ipon” (si gigi putih) karena giginya putih atau tidak hitam sebagaimana gigi orang Simalungun.139

Pada gelombang Proto Simalungun di atas, juga disebutkan bahwa Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara. Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir.

.

Pustaha Parpandanan Na Bolag (Pustaka Simalungun Kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau.140

6. Filosofi Hidup orang Simalungun

Pandangan Religi Tradisional Simalungun

Sebelum masuknya agama Islam maupun Kristen di daerah Simalungun, orang Simalungun sudah menganut agama animisme parhabonaron. Keyakinan ini secara umum merupakan warisan Hindu yang tertanam secara turun-temurun. Animisme parhabonaron adalah suatu keyakinan yang mempercayai bahwa semua makhluk (benda) mempunyai kekuatan (power) yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia di sekitarnya.

Menurut J.Tideman orang Simalungun pada saat itu meyakini semua makhluk, tumbuh-tumbuhan atau benda tertentu mempunyai kekuatan gaib. Dan mereka mempercayai bahwa ada Tuhan pencipta langit dan bumi beserta segala isinya dikenal dengan nama Naibata (dewata). Pemahaman akan Naibata bagi orang Simalungun saat itu adalah sebagai suatu oknum yang maha adil. Selain oknum Naibata orang Simalungun juga menyembah roh-roh bernama Sinumbah dan Simagot.

Habonaran Do Bona

Ada suatu pemahaman yang sangat kental pada keyakinan leluhur orang Simalungun bahwa Naibata itu maha kuasa, maha adil dan maha benar. Manusia juga dituntut untuk bersikap benar. Segala sesuatu harus didasarkan kepada hal yang benar. Inilah prinsip dasar dari filosofi “Habonaron Do Bona” pada orang Simalungun.

Falsafah Habonaron Do Bona merupakan filosofi hidup bagi orang Simalungun. Habonaron Do Bona arti harfiahnya adalah “kebenaran adalah dasar segala sesuatu”. Artinya mereka menganut aliran pemikiran dan kepercayaan bahwa segala sesuatu harus dilandasi oleh kebenaran, sehingga enak bagi semua pihak. Mereka dituntut senantiasa harus menjaga kejujurannya (kebenaran) di hadapan sesama manusia.

139 G.Ferrand dalam Sortaman Saragih, Orang Simalungun, op cit, hal.23 140

(15)

Bersumpah

Untuk membuktikan kejujuran, dulu sering dilakukan “bersumpah” atau dalam bahasa Simalungun disebut marbija. Apabila orang lain mencurigai seseorang melakukan kejahatan, maka orang tersebut biasa mengangkat sumpah dengan mempertaruhkan sesuatu yang sangat berharga padanya. Semisal jiwa anaknya. Jika terbukti melakukan kejahatan tersebut maka anaknya akan menjadi tumbal. Dalam marbija ini seseorang harus jujur karena jikalau bersumpah palsu, diyakini tumbal sumpahnya menjadi nyata. Orang tidak berani berdusta hanya untuk menutupi kesalahan sesaat.

Di samping marbija, di Simalungun dulu ada suatu cara menguji kejujuran yakni dengan menyerukan atau mengucap “si pittor bilang” kepada Naibata. Artinya biarlah Naibata yang akan membalaskan kepada pelaku kejahatan tersebut.

Nilai-nilai falsafah ini terasa sangat positif dalam membentuk keharmonisan hidup dengan sesama. Falsafah ini membimbing manusia untuk hidup dalam kejujuran dan ketentraman.

Hal “Habonaron Do Bona” ini juga dijunjung oleh para pemimpin seperti raja-raja yang ada di Simalungun. Raja sendiri tidak bertindak dengan seenaknya. Para orangtua juga selalu menanamkan prinsip hidup “Habonaron Do Bona” kepada anak-cucunya. Harus bijaksana dalam bergaul di tengah masyarakat.

Dari filosofi “Habonaron Do Bona”, tercermin prinsip-prinsip hidup yang banyak diungkapkan. Berupa kata-kata nasehat dan prinsip hidup dalam bentuk ungkapan, pepatah, kiasan dan perumpamaan. Secara umum prinsip Habonaron Do Bona menanamkan kehati-hatian, hidup bijaksana, matang dalam berencana sehingga tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.

Menurut MD. Purba sebagai penjabaran Habonaron Do Bona dapat disebutkan dalam 8 nilai kebenaran yang dianut pada saat itu yakni :

a. Berpandangan yang benar

Orang Simalungun diajarkan untuk tetap teguh berpandangan yang benar. Jangan ada niat jahat untuk merugikan orang, jangan merugikan orang yang pernah memberikan pertolongan kepadanya, jangan suka mencari-cari kesalahan orang lain. Namun harus juga selalu member arti kepada sesama manusia dan jangan saling memburukkan.

b. Berencana (berniat) yang benar

Habonaron Do Bona mengajarkan orang Simalungun untuk tidak menjadi manusia provokator dan hidup tanpa aturan, tanpa perhitungan dalam segala hal. c. Berbicara yang benar

(16)

Orang Simalungun selalu diajarkan untuk hidup dengan cara yang benar. Jangan pernah membodohi orang lain sebab bisa merugikan diri sendiri, Jangan terlalu banyak bicara kalau tidak benar adanya.

d. Bekerja (bertindak) yang benar

Orang Simalungun diajarkan untuk melakukan pekerjaan yang benar dan tidak menjadi pekerjaan yang sia-sia. Sekali kebijakan diputuskan, pantang untuk surut melakukannya.

e. Berkehidupan yang benar

Habonaron do Bona mengajarkan sikap kepada orang Simalungun untuk hidup yang benar. Jangan sampai hidup tersisih karena tidak disenangi orang lain, jangan sampai dibenci orang lain.

f. Berusaha (berkarya) yang benar

Orang Simalungun diajarkan untuk hidup dengan pekerjaan yang terencana dan target yang benar. Hidup harus direncanakan supaya dapat mencapai kemajuan. Janganlah hanya hidup tanpa ada kemajuan.

g. Berprinsip yang benar

Orang Simalungun diajarkan Habonaron do Bona untuk hidup dengan prinsip yang benar. Punya pendirian yang teguh dengan prinsip yang benar. Punya pendirian yang teguh dan idealis yang positif. Jangan mudah terpengaruh oleh hal yang tidak baik. Perkembangan agamapun awalnya sangat sulit di Simalungun, tetapi setelah dianut, kian susah untuk mengubah pilihannya (mengganti agama). h. Berpikiran yang benar

Dalam hal berpikir, Orang Simalungun diajarkan untuk menganut pola pikir yang benar dalam hidup bersama dengan orang lain. Tidak boleh hanya menang sendiri. Harus memikirkan perasaan dan harapan orang lain.

Filosofi dalam budaya adat

Kepribadian dan karakter Orang Simalungun juga dapat dilihat dari falsafah adat yang berkembang dalam masyarakat. Tatanan dan manajemen sosial tercermin dalam cara pelaksanaan adat. Secara prinsip, dalam adat Simalungun adalah suatu tatanan kehidupan yang digambarkan dalam “3 sahundulan 5 saodoran”.

Tolu sahundulan artinya adalah bahwa dalam masyarakat Simalungun, secara manajemen untuk menentukan suatu keputusan ditentukan oleh kesepakatan dari tiga pihak keluarga. Mereka duduk bareng untuk berembuk dan memutuskan bentuk

(17)

kebijakan yang akan diambil. Ketiga pihak tersebut yakni : Suhut (pihak tuan rumah), tondong (pihak keluarga si istri), boru (pihak keluarga si suami).

Aplikasi prinsip adat ini bagi orang Simalungun adalah, setiap orang memiliki ikatan kekeluargaan yang begitu luas dan begitu kuat. Untuk merencanakan sesuatu program kerja, harus terlebih dahulu mengundang dan meminta pendapat dari empat pihak keluarga lain. Di sisi lain hal ini membuat kebijakan yang lamban dan tidak dapat cepat disimpulkan. Prinsip ini terbawa-bawa dalam semua sisi kehidupan orang Simalungun, lebih banyak berembuk dari pada berbuat.

Filosofi ayam dalam adat

Satu hal yang sangat penting dicermati dalam tatanan adat Simalungun adalah menggunakan “ayam” sebagai makanan adat. Simalungun tidak mengenal ternak babi dalam pelaksanaan adat. Pada zaman dahulu, keluarga raja pada umumnya memakai sapi atau kerbau sebagai makanan adat. Karena dalam acara pesta kerajaan, banyak hadirin.

Alasan memilih ayam sebagai makanan ternak karena ada beberapa sifat dan prinsip ayam yang pantas untuk ditiru oleh manusia yakni, mengerami telurnya, melindungi anaknya, dan disiplin terhadap waktu. Selain itu, alasan pemakaian ayam sebagai makanan adat mencerminkan pola hidup Orang Simalungun yang disiplin, rela berkorban demi anak dan selalu melindungi anak. Akan tetapi resiko yang terlalu melindungi anak sering menjadikan orang tua kurang mendidik anak, dan justru dominan membela anak. Konsekwensinya adalah anak menjadi kurang mandiri dan kurang mampu untuk bersaing dengan orang di sekitarnya.141

7. Simalungun dalam Angka

a. Tinjauan mengenai letak geografis daerah Kabupaten Simalungun

Kabupaten Simalungun yang merupakan salah satu Daerah di Propinsi Sumatera Utara, terletak antara: 020360 – 030180 LU , 980320 – 990350

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang/Serdang Bedagai BT dengan ketinggian 369 meter di atas permukaan laut dengan batas-batas sebagai berikut:

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan/Batu Bara - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir - Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo

Kabupaten Simalungun yang secara Adminstratif Pemerintahan terdiri dari 31 Kecamatan dengan 345 Desa, 22 Kelurahan dengan perincian sebagai berikut: 4.386,60 km2(6,12%) dari luas wilayah Propinsi Sumatera Utara.

(18)

Tabel 3

Luas Daerah Menurut Kecamatan.142

No. Kecamatan Sub Regency Luas/Area (Km2) Rasio Terhadap Jumlah/Ratio on Total 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Silimakuta Pematang Silimahuta P u r b a Haranggaol Horison Dolok Pardamean Sidamanik Pematang Sidamanik Girsang Sipangan Bolon Tanah Jawa Hatonduhan Dolok Panribuan Jorlang Hataran P a n e i Panombeian Panei R a y a Dolok Silau Silau Kahean Raya Kahean Tapian Dolok

Dolok Batu Nanggar S i a n t a r

Gunung Malela Gunung Maligas Hutabayu Raja

Jawa Maraja Bah Jambi Pematang Bandar Bandar Huluan B a n d a r Bandar Masilam Bosar Maligas Ujung Padang 77,50 68,20 172,00 34,50 99,45 83,56 125,19 123,00 213,95 275,80 154,30 92,25 72,30 82,20 335,60 288,45 220,50 226,25 116,90 126,10 79,11 108,97 58,52 156,13 73,72 95,00 102,35 109,18 97,72 294,40 223,50 0,02 0,02 0,04 0,01 0,02 0,02 0,03 0,03 0,05 0,06 0,04 0,02 0,02 0,02 0,08 0,07 0,05 0,05 0,03 0,03 0,02 0,02 0,01 0,04 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,07 0,05 Kabupaten Simalungun 4.386,60 1,00

Sumber : Buku Rencana Tata Ruang Kabupaten Simalungun (2004-2014)

142

(19)

Tabel 4

Banyaknya Nagori (Desa) dan Kelurahan menurut Kecamatan 2009143 No. Kecamatan Sub Regency Nagori

Village Kelurahan Urban Jumah Total 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Silimakuta Pematang Silimahuta P u r b a Haranggaol Horison Dolok Pardamean Sidamanik Pematang Sidamanik Girsang Sipangan Bolon Tanah Jawa Hatonduhan Dolok Panribuan Jorlang Hataran P a n e i Panombeian Panei R a y a Dolok Silau Silau Kahean Raya Kahean Tapian Dolok

Dolok Batu Nanggar S i a n t a r

Gunung Malela Gunung Maligas Hutabayu Raja

Jawa Maraja Bah Jambi Pematang Bandar Bandar Huluan B a n d a r Bandar Masilam Bosar Maligas Ujung Padang 5 8 9 4 11 12 9 2 19 9 14 9 12 10 17 10 16 10 9 14 17 16 9 12 8 10 10 13 9 16 16 1 - 1 1 - 1 1 3 1 - - 1 1 - 1 - - 1 1 1 - - - 1 - 2 - 2 - 1 1 6 8 10 5 11 13 10 5 20 9 14 10 13 10 18 10 16 11 10 15 17 16 9 13 8 12 10 15 9 17 17 Kabupaten Simalungun 345 22 367

Sumber : BPMN Kab. Simalungun

b. Tinjauan mengenai keadaan iklim Kabupaten Simalungun

Keadaan iklim Kabupaten Simalungun bertemperatur sedang, suhu tertinggi terdapat pada bulan Juni dengan rata-rata 25,90 C. Rata-rata suhu udara tertinggi per tahun adalah 30,00 C dan terendah 21,00

143

Ibid, hal. 21

(20)

Kelembaban udara rata-rata perbulan 84,0% dengan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Maret yaitu 87% dengan penguapan rata-rata 3,18 mm/hari.

Dalam satu tahun rata-rata terdapat 15 hari hujan dengan hari hujan tertinggi terdapat pada bulan Maret sebanyak 23 hari hujan, kemudian bulan Desember sebanyak 19 hari hujan. Curah hujan terbanyak terdapat pada bulan September sebesar 478 mm.

c. Tinjauan mengenani penduduk di Kabupaten Simalungun

Penduduk Kabupaten Simalungun tahun 2009 sebanyak 859.879 jiwa yang terbagi laki-laki sebanyak 430.913 jiwa dan perempuan 428.966 jiwa dan tersebar di 31 kecamatan, dengan perbandingan penduduk laki-laki dan penduduk perempuan (sex ratio) sebesar 100,45.

Jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan Bandar yaitu sebesar 67.807 jiwa dan terkecil berada di Kecamatan Haranggaol Horisan yang hanya sebesar 5.883 jiwa.

Kecamatan yang memiliki luas wilayah yang terbesar terdapat di kecamatan Raya dengan luas 335.60 Km dan wilayah terkecil di kecamatan Haranggaol Horisan (34.50 Km), wilayah yang paling padat penduduknya terdapat di kecamatan Bandar Masilam (621.00 jiwa/Km), disusul kecamatan Gunung Maligas (440.00) jiwa/Km) dan Siantar (415.00 jiwa/Km).

d. Tinjauan mengenai pendidikan di Kabupaten Simalungun

Sarana pendidikan yang tersedia di Kabupaten Simalungun untuk tingkat SD s/d SMA baik negeri maupun swasta berjumlah 1.043 sekolah. Ditingkat SD jumlah sekolah negeri sebanyak 806 buah dan sekolah swasta 45 buah, dengan jumlah guru SD Negeri sebanyak 8.576 orang dengan rasio murid terhadap guru sebesar 12, sedangkan untuk SD swasta jumlah guru 400 orang dengan rasio murid terhadap guru yang lebih tinggi dibandingkan dengan SD negeri yakni sebesar 7.

Pada tingkat SMP, jumlah sekolah negeri sebanyak 51 sekolah dan sekolah swasta sebanyak 88 sekolah, dengan jumlah guru untuk SMP negeri sebanyak 1.929 orang dan SMP swasta sebanyak 1.229 orang atau dengan rasio murid terhadap guru masing-masing sebesar 8 baik untuk SMP negeri dan 13 untuk SMP swasta.

Untuk tingkat SMA, jumlah sekolah negeri sebanyak 20 sekolah dengan jumlah guru 768 orang dan rasio murid terhadap guru sebesar 11, sedangkan jumlah sekolah swasta sebanyak 30 sekolah dengan jumlah guru 579 orang dan rasio murid terhadap guru sebesar 13.

Untuk tingkat SMK negeri hanya ada 2 yakni di Kecamatan Raya dengan jumlah guru 70 orang dan murid sebanyak 673 orang dan Kecamatan Bandar

(21)

Masilam dengan jumlah guru 11 orang dan murid sebanyak 61 orang, sementara untuk SMK swasta jumlah sekolah mencapai 27 sekolah dan jumlah guru 427 orang dan murid sebanyak 8.978 orang.

B. Sistem Hukum Pertanahan Nasional 1. Sistem Hukum Tanah Nasional

Menurut Ludwig Von Bertalanffy, yang dimaksud sistem adalah complex of elements in mutual interaction.144 Sejalan dengan Ludwig Von Bertalanffy, Geoffrey Samuel menyatakan bahwa system is method of comprehending an object, not through reductionism and causality as such, but through, a global unity interrealtion between elements.145

hukum merupakan sistem berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peratuaan hukum, asas hukum, dan pengertian hukum.

Sudikono Mertokusumo menyatakan bahwa:

146

Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo147

sistem merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain yaitu kaedah apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum merupakan sistem normatif. Dengan kata lain, sistem hukum adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan kerjasama ke arah tujuan kesatuan.

menyatakan bahwa :

Wu Min Aun memberikan ruang lingkup tentang unsur-unsur dalam sistem hukum yaitu:

144

Ludwig von Bertalanffy, General System Theory, Foundations, Development, applications,( New York: Braziller, 1972), hal. 34.

145

Geoffrey Samuel, The Foundations of Legal Reasoning, SA, (Vormgevers: Tilburg, 1994), hal. 124.

146

Sudikno Mertokusumo – I, Mengenal Hukum, Op Cit. hal.115.

147

(22)

In legal system, the most important areas of social organization are the people's attitude to the following :

a. political system ; the way society is governed.

b. economic system ; the ownership, production and distribution of society's resources.

c. Moral standards ; what constitutes acceptable and unacceptable behaviour.

d. Social intercourse; relationships between people.148

Tiga komponen utama yang dimiliki oleh sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence M Friedman, yaitu Legal Structure, Legal Substance, and Legal Culture.149

1) Struktur hukum merupakan representasi dari aspek institusional (birokrasi) yang memerankan tugas pelaksanaan hukum dan pembuatan undang – undang;

Ketiga komponen tersebut saling menentukan satu sama lainnya, demikian juga saling berpengaruh satu sama lainnya. B.F. Sihombing menjabarkan struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum dalam kaitannya dengan sistem hukum, yaitu:

2) Substansi hukum merupakan refleksi dari aturan-aturan yang berlaku, norma, dan perilaku masyarakat dalam sistem tersebut;

3) Budaya hukum dimaksudkan sebagai sikap atau apresiasi masyarakat terhadap hukum dan system hukum. Ke dalam budaya hukum adalah kepercayaan terhadap hukum, nilai (value), idea tau gagasannya dan harapan-harapannya.150

Riduan Syahrani memberikan pengertian tentang sistem hukum, yaitu : “Suatu kesatuan peraturan-peraturan hukum yang terdiri atas bagian-bagian (hukum) yang mempunyai kaitan (interaksi) satu sama lain tersusun sedemikian rupa menurut asas-asasnya, yang berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.”151

148

Wu Min Aun, The Malaysian Legal System, (Longman Malaysia: Selangor Darul Eksan, 1990), hal. xv.

149

Lawrence M Friedman, American Law, Op Cit, hal. 5-6.

150

B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan, Op Cit, hal. 32.

151

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, , 1999), hal. 169-170.

(23)

Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa dalam sistem hukum terdapat unsur-unsur hukum dimana antara unsur-unsur hukum yang satu dengan unsur-unsur hukum yang lain saling berkaitan dan saling berpengaruh serta tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, sehingga membentuk suatu pengertian tentang hukum.

Secara yuridis ruang lingkup agraria dimuat dalam UUPA, meliputi bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ruang lingkup agraria disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA, yaitu "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuban Yang Maha . Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional".

Pengertian Hukum Agraria dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria.152

Agraria terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria, sedangkan kaidah hukum yang tidak tertulis terdapat Hukum Adat yang berkaitan dengan agraria.

Kaidah hukum yang tertulis adalah Hukum Agraria.

Berdasarkan ruang lingkupnya, Hukum Agraria bukan merupakan satu perangkat bidang hukum, melainkan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak penguasaan atas sumber daya agraria. Boedi Harsono menyatakan bahwa kelompok bidang hukum dalam Hukum Agraria, yaitu:

a. Hukum Tanah

152

Sudikno Mertokusumo – II,Penemuan Hukum, Op.Cit, hal. 12.

Hukum Tanah mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi.

(24)

b. Hukum Air c.

Hukum Air mengatur hak-hak penguasaan atas air. Hukum Pertambangan.

d.

Hukum Pertambangan mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian.

Hukum Perikanan

e.

Hukum Perikanan mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air

Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur Dalam- Ruang Angkasa mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.

Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur Dalam Ruang Angkasa.

153

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Hukum Agraria pada dasarnya adalah suatu hukum yang mengatur perihal tanah beserta segala seluk beluk yang. ada hubungannya dengan pertanahan, misalnya hal perairan, perikanan, perkebunan, pertambangan, dan sebagainya.154

Dari pendapat Boedi Harsono dan Purnadi Purbacaraka menunjukkan bahwa dalam Hukum Agraria tidak terdapat satu bidang hukum, melainkan berbagai bidang hukum yang di dalamnya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pertanahan.

Bumi sebagai salah satu unsur dari agraria, meliputi permukaan bumi (tanah), termasuk pula tubuh bumi di bawahnya, serta bagian bumi yang berada di bawah air. Tanah merupakan pengertian yuridis dari permukaan bumi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, sedangkan tanah dalam pengertian hak adalah hak atas tanah yang mempunyai batas-batas dan berdimensi dua yaitu panjang dan lebar.

Pengertian tanah dalam UUPA ada kesamaan dengan pengertian land dalam

153

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,,op cit, hal. 8.

154

Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi – sendi Hukum Agraria, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 9.

(25)

Pasal 5 National Land Code Malaysia 1965, yaitu :

1. the surface of the earth and all substances forming that surface; 2. the earth below the surface and all substances there in;

3. all vegetation and other natural product, whether or not requiring the priodical application of labour th their production, and whether on or below the surface;

4. all things attached to the earth or permanently fastened to any thing attached to the earth, wheter on or below the surface; and

Land covered by water

Salah satu bidang dalam Hukum Agraria adalah Hukum Tanah. Effendi Perangin–angin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan- peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan- hubungan hukum yang konkrit dengan tanah.155 Pengertian hukum tanah yang lebih lengkap dikemukan oleh Boedi Harsono, yaitu:

keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, ada yang tertulis ada pula yang tidak tertulis, yang semuanya mempunyai obyek pengaturan yang sama,yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan-hubungan hukum yang konkrit, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.156

Hukum Tanah sebelum Indonesia merdeka adalah Hukum Tanah Kolonial yang mempunyai sifat dualisme hukum, yaitu pada saat yang sama berlaku Hukum Tanah Barat yang diberlakukan bagi orang-orang yang tunduk pada Hukum Barat, dan

155

Effendi Perangin-angin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari sudut Pandang Praktisi Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1989), hal.95.

(26)

Hukum .Tanah Adat yang diberlakukan bagi orang-orang yang tunduk pada Hukum Adat. Dalam rangka mewujudkan unifikasi (kesatuan) hukum, Hukum Adat tentang tanah dijadikan dasar bagi pembentukan Hukum Tanah Nasional. Hukum Adat dijadikan dasar dikarenakan hukum tersebut dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia, sehingga Hukum Adat tentang tanah mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan Hukum Tanah Nasional. Supriadi menyatakan bahwa "Pembangunan Hukum Tanah Nasional secara yuridis formal menjadikan Hukum Adat menjadi sumber utama, sehingga bahan yang dibutuhkan dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional sumbernya tetap mengacu kepada Hukum Adat, baik berupa konsepsi, asas-asas, lembaga- lembaga hukum, dan sistem hukumnya.”157

Unsur-unsur Hukum Tanah Nasional yang dimuat dalam UUPA, adalah : 1) Hukum Adat

Ketentuan yang menunjukkan bahwa Hukum Adat sebagai unsur Hukum Tanah Nasional disebutkan dalam Pasal 5 UUPA, yaitu

"Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perUndang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama".

156

Boedi Harsono, Op.Cit., hal. 31.

Hukum Adat yang menjadi dasar pembentukan Hukum Agraria Nasional bukan Hukum Adat yang murni, melainkan Hukum Adat dengan

157

(27)

persyaratan dan pembatasan tertentu yang telah disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan dan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Ketentuan lain dalam UUPA yang menunjukkan bahwa Hukum Adat sebagai unsur dalam Hukum Tanah Nasional, adalah Pasal 56, yaitu

"Selama Undang-undang mengenai Hak Milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuanketentuan Hukum Adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak atas tanah yang memberi wewenang, sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20 sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini”.

2) Hukum Barat

Pasal 50 ayat (1) UUPA menetapkan bahwa "Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Milik diatur dengan Undang-undang". Untuk mengisi kekosongan hukum tentang ketentuan Hak Milik ditetapkan oleh Pasal 56 UUPA, yaitu selama Undang-undang tentang Hak Milik belum terbentuk, maka berlaku ketentuan Hak Milik menurut Hukum Adat setempat.

Ketentuan yang menunjukkan bahwa Hukum Barat sebagai unsur Hukum Tanah Nasional disebutkan dalam Dictum Memutuskan UUPA di bawah perkataan 'Dengan Mencabut" Angka 4, yaitu "Buku II Kitab Undangundang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini". Pasal 57 UUPA menyatakan bahwa

(28)

"Selama Undang-undang mengenai Hak Tanggungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan- ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam S. 1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S. 1937 —190".

Pasal 25, Pasal 33, dan Pasal 39 UUPA menetapkan bahwa Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dbebani Hak Tanggungan. Selanjutnya dalam Pasal 51 UUPA ditetapkan bahwa "Hak Tanggungan yang 'dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 diatur dengan Undang-undang.

3)

Hypotheek merupakan lembaga jaminan dalam Hukum Barat yang obyeknya dapat berupa tanah diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Pemberlakuan Hypotheek yang obyeknya berupa tanah dengan maksud untuk mengisi kekosongan hukum selama Undang-undang tentang Hak Tanggungan belum terbentuk. Setelah berlangung selama 36 tahun sejak berlakunya UU PA, yaitu tanggal 24 September 1960, diundangkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda yang Berkaitan Dengan Tanah. Sejak diundangkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996, maka Hypotheek yang obyeknya berupa tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, Hypotheek yang obyeknya berupa tanah berlaku selama 36 tahun sejak diundangkan UUPA.

Hukum Islam

Ketentuan yang menunjukkan bahwa Hukum Islam sebagai unsur dalam Hukum Tanah Nasional disebutkan dalam Pasal 49 ayat (3) UUPA, yaitu "Perwakafan tanah Hak Milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

(29)

Hak atas tanah tidak hanya direncanakan dan dipergunakan untuk keperluan Negara, tetapi juga dapat direncanakan dan dipergunakan untuk keperluan keagamaan, peribadatan, pendidikan, dan sosial. Lembaga wakaf tidak terdapat dalam Hukum Adat maupun Hukum Barat, melainkan ada di dalam Hukum Islam. Dalam wakaf tanah Hak Milik terdapat perbuatan hukum oleh pemiliknya untuk menyerahkan tanah Hak Milik selama-lamanya guna kepentingan peribadatan, sosial, dan pendidikan. Dengan wakaf, maka terputus sudah hubungan hukum untuk selama-lamanya antara pemilik tanah dengan tanahnya.

Peraturan Pemerintah yang melaksanakan ketentuan Pasal 49 ayat (3) UUPA adalah Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Hak Milik. Perwakafan tanah Hak Milik yang diatur dalam Hukum Islam dimasukkan menjadi bagian dari Hukum Tanah Nasional melalui, pendaftaran wakaf tanah Hak Milik kepada Kantor Pertanahan

Antara sistem hukum nasional, sistem hukum tanah nasional, hukum tanah nasional, dan Hak Pengelolaan mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain. Keterkaitan itu dapat dijelaskan, yaitu pada mulanya sistem hukum nasional adalah sistem hukum adat yang bersifat tidak tertulis. Dengan masuknya agama Islam di

Kabupaten/Kota sebagai tanda bukti pendaftaran wakaf tanah Hak Milik diterbitkan Sertipikat Wakaf T'anah Hak Milik oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.

(30)

Indonesia, masyarakat hukum adat meresap agama Islam ke dalam hukum adatnya. Selanjutnya dengan masuknya Belanda yang menjajah Indonesia, maka hukum Barat diberlakukan kepada masyarakat Indonesia. Dengan demikian, sistem hukumnya adalah sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum Barat. Setelah Indonesia merdeka berubahlah sistem hukum nasional, yaitu sistem hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Setiap bidang hukum yang akan merupakan bagian dari sistem hukum nasional itu wajib bersumber kepada Pancasila dan Undang -undang Dasar 1945.158 Sistem hukum suatu bangsa - negara tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai yang terdapat dalam bangsa - negara yang bersangkutan. Lebih-lebih apabila bangsa - negara itu mempunyai pandangan hidup yang berbeda dengan bangsa atau negara lain.159 Sistem hukum nasional menurut Sudikno Mertokusumo, “160

Seluruh peraturan hukum dalam suatu negara dapat dikatakan sebagai satu sistem hukum, seperti sistem hukum Indonesia. Dalam sistem hukum Indonesia terdapat berbagai macam bidang hukum yang masing masing mempunyai sistem sendiri-sendiri, sehingga ada sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum tata negara, dan sebagainya. Kemudian dalam sistem hukum perdata (Barat), misalnya terdapat lagi sistem hukum orang, sistem hukum benda, sistem hukum perikatan, dan

adalah keseluruhan tata hukum nasional dapat disebut sistem hukum nasional”. Kemudian masih dikenal sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum tata negara. Selanjutnya dikenal sistem hukum keluarga, sistem hukum benda, sistem hukum perikatan. Sejalan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo, Riduan Syahrani mengemukakan bahwa :

158

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum, Op.Cit, hal. 57-64.

159

Moh. Busyro Muqoddas, Salman Luthan, Muh. Miftahudin, Politik Pembangunan Hukum Nasional, (Yogyakarta : UII Press, 1992), hal. 33.

160

(31)

sistem hukum pembuktian.161

Dalam sistem hukum nasional, tidak hanya terdapat sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum tata negara, tetapi juga sistem hukum internasional, sistem hukum administrasi, dan sistem hukum agraria. Dalam sistem hukum agraria terdapat sistem hukum tanah, sistem hukum air, sistem hukum kehutanan, sistem hukum pengairan, sistem pertambangan. Dengan demikian, sistem hukum tanah nasional merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Dalam sistem hukum tanah nasional yang merupakan bagian dari sistem Hukum Agraria tersebut terdapat hak penguasaan atas tanah, pendaftaran tanah, pencabutan hak atas tanah, hak tanggungan, wakaf tanah hak milik, penatagunaan tanah, dan landreform. Dalam sistem hukum .tanah nasional terdapat hak penguasaan atas tanah, yang di dalamnya terdapat hak menguasai negara atas tanah, hak atas tanah, dan hak pengelolaan. Dengan demikian, hak pengelolaan sebagai bagian dari hak penguasaan atas tanah merupakan unsur, dalam hukum tanah nasional.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa sistem Hukum Tanah Nasional, adalah keseluruhan dari unsur-unsur, bagian-bagian, atau elemen-elemen yang merupakan kaedah dari Hukum Tanah Nasional yang berkaitan erat, berinteraksi, atau bekerja sama satu dengan yang lain. Kaedah-kaedah dalam Hukum Tanah Nasional sebagai unsur-unsurnya ada yang berasal dari Hukum Adat tentang tanah, Hukum Islam khususnya dalam wakaf tanah Hak Milik, dan Hukum Barat dalam ketentuan-ketentuan mengenai Hypotheek yang berakhir sejak diundangkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

161

Gambar

Gambar 1 : Harangan
Gambar 3 :Tanoh rih
Gambar 6  :  Tanoh /  Tano  Reben
Gambar 8 : Bong- Bongan Sahuta
+6

Referensi

Dokumen terkait

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081, Fax. Prodi Asal : Pendidikan

Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Laporan

Untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu pendidikan di SMP Negeri 4 Ungaran yang sudah baik, perlu adanya pengadaan alat-alat praktikum (khususnya seni tari) yang lebih

Apakah unit Pengelola program studi wajib menyelenggarakan program pembelajaran sesuai standar isi, standar proses, standar penilaian yang telah ditetapkan dalam rangka

Pelayanan Terpadu adalah serangkaian kegiatan untuk melakukan perlindungan bagi anak korban kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran yang dilaksanakan

Berdasarkan hasil perhitungan beban kerja dengan metode NASA-TLX diperoleh hasil bahwa pegawai keuangan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro masuk dalam kategori

Evaluasi ini dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling atau konselor dengan melihat proses yang terjadi dalam kegiatan bimbingan klasikal, meliputi :.. Guru bimbingan dan

Pengkajian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa suatu modul Dedekind yang dibangun secara hingga atas order modul merupakan modul Dedekind atas gelanggang $