• Tidak ada hasil yang ditemukan

PASAL 33 UNDANG – UNDANG DASAR 1945

C. Hak Atas Tanah Adat di Kabupaten Simalungun 1. Hukum Pertanahan di Simalungun

2. Masyarakat Hukum Adat Simalungun

Sebelum membicarakan apa yang disebut dengan hak atas tanah adat (Simalungun) perlu diketahui subjek239

239

Pasal 2 ayat (2) PMNA/KBPN No.5/1999, Kriteria adanya Hak Ulayat maka etnis Simalungun sebagai

si Pukkah Huta Pakon si Mada Talun (Pembuka Kampung dan Pemilik Tanah Ulayat, Syamsudin Manan Sinaga,

Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Simalungun, Makalah pada Seminar “Menguak Hak Ulayat Simalungun, Fakultas Hukum Universitas Simalungun dan Yayasan Pelpem GKPS, Pematangsiantar, 15 Desember 2012.

dari hak tersebut yaitu masyarakat adat (persekutuan hukum adat). Dikenal 2 konsep besar yang sering diterjemahkan sama yaitu Indigenous peoples (pribumi) maupun tribal peoples (suku bangsa). Pada jaman Hindia Belanda terdapat istilah ‘inlanders’ yang diterjemahkan sebagai Bumi Putera berdasarkan Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling, dimuat dalam Staatsblad tahun 1855 Nomor 1 jo 2 yang membagi penduduk Hindia Belanda dalam golongan : Eropa, Timur Asing, dan Bumi Putera. Penggolongan ini memperbaiki apa yang ada dalam Regelment op het beleid op Regering van Nederland Indie. Golongan pertama

dan kedua tunduk pada sistem hukum Eropa sedangkan golongan Bumi Putera tunduk pada hukum adat mereka kecuali apabila diinginkan lain. Yang dimaksudkan adalah orang-orang setempat (inlanders, natives, indigenous) yang tunduk pada hukum adat mereka masing-masing.240

Pada awalnya Perserikatan Bangsa Bangsa mengartikan indigenous people sebagai:

“Descendents of those who inhabited in a country or a geographical region at the time when people of different cultures or ethnic region arrived, the new arrival later becoming dominant through conquest, occupation, settlement or other means”

Yang dimaksudkan adalah kaum Indian di seluruh kawasan Amerika (dari Kanada sampai Chili), Maori di Selandia Baru, Aborigin di Australia dan suku Sami di Eropa Utara (Nordik).

International Labour Organization mengadakan konvensi tentang indigenous people pada 1957, dan yang terakhir diperbaiki pada 1989 yang cakupannya lebi luas dari aspek ketenagakerjaan karena termasuk juga aspek-aspek : anti diskriminasi, perlindungan tradisi dan budaya. Pasal 1 (1.b) Konvensi International Labour Organization Nomor 169 Tahun 1989241

masyarakat di negara-negara merdeka yang dianggap sebagai bangsa pribumi yang penetapannya didasarkan pada asal-usul (keturunan) mereka di antara penduduk lain yang mendiami suatu negara atau suatu wilayah geografis di mana suatu negara terletak, pada waktu terjadi penaklukan atau penjajahan atau penerapan batas-batas Negara yang baru tanpa menilik pada status hukum mereka, dan masih tetap memiliki sebagian atau seluruh bentuk kelembagaan sosial, ekonomi, budaya, dan politik mereka.

merumuskan bahwa Indigenous People adalah:

Hal ini diartikan bukan hanya kaum Indian, Maori, Aborigin dan Sami, namun juga tribal groups yang dalam konteks Indonesia termasuk ‘suku terasing’. Demikian juga pendapat dari Amnesti Internasional.

Pasal 1 (1.a) Konvensi mengistilahkan tribal people sebagai :

240 Sandra Moniaga, dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia:Tanggung Jawab

Negara, Peran Institusi Nasional & Masyarakat (Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 1998), hal.135.

Kosakata masyarakat adat juga merupakan sebutan tandingan terhadap berbagai sebutan yang merendahkan, seperti suku terasing, masyarakat terbelakang, dan perambah hutan, yang digunakan secara resmi oleh pemerintah, Arianto Sangaji, Kritik terhadap Gerakan Masyarakat Adat di Indonesia dalam Jamie S.Davidson, David Henley, Sandra Moniaga, Adat Dalam Politik Indonesia, (Jakarta:KITLV, YOI, 2010), hal.347.

241

Sebutan masyarakat adat cenderung merupakan terjemahan dari indigenous people dan atau tribal

people, sesungguhnya memiliki akar sejarah yang cukup panjang dalam perbincangan internasional. ILO, sebuah

badan antar pemerintahan dengan struktur tripartit yang terdiri atas perwakilan pemerintah, pengusaha-pengusaha nasional dan organisasi-organisasi buruh sudah menaruh perhatian dengan isu pekerja asli (indigenous worker) sejak 1920an. Sekitar tiga decade kemudian ILO memperkenalkan perjanjian pertama tentang “indigenous and

tribal population” dikenal dengan konvensi ILO 107. Konvensi ini direvisi menjadi konvensi ILO 169 yang

dikeluarkan pada tahun 1989 Kingsburry dalam Jamie S. Davidson, David Henley, Sandra Moniagra, Adat Dalam

“mereka yang berdiam di negara-negara merdeka di mana kondisi-kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari masyarakat lainnya di negara tersebut, dan yang statusnya diatur seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus.”

Dari rumusan ini jelas terdapat warga Indonesia yang dapat dikategorikan baik sebagai indigenous maupun tribal people.242

Menurut peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Petanahan Nasional No.5 Tahun 1999 (PMNA/KBPN No.5 / 1999) tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Pasal 1, angka (3), “Masyarakat Hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya, sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.”

Ada 4 (empat) elemen yang membentuk masyarakat adat tersebut, yaitu :

a. Sekelompok orang yang masih terikat dengan spiritualitas nilai-nilai sikap dan perilaku tertentu dan yang membedakan mereka sebagai kelompok sosial terhadap kelompok sosial yang lain.

b. Wilayah hidup tertentu yang di dalamnya ada tanah, hutan, laut dan SDA lainnya yang bukan semata-mata diperlakukan sebagai barang produksi sehari-hari (sumber mata pencaharian), tetapi menjadi bagian utuh dari sistem religi dan sosial budaya kelompok sosial tersebut.

c. Praktek-praktek yang berbasis pada pengetahuan (kearifan) tradisional yang terus menerus diperkaya / dikembangkan sesuai kebutuhan keberlanjutan hidup mereka.

d. Aturan dan tata kepengurusan hidup bersama (hukum dan kelembagaan adat) yang berkembang sesuai dengan sistem nilai bersama yang diterima dan berlaku di dalam kelompok sosial tersebut.243

Masyarakat hukum adat (adat rechtsgemeenschap, Belanda) oleh pakar-pakar hukum adat Belanda pada umumnya diterima secara umum atau kenyataan di hampir

242 Stephanus Djuweng dan Sandra Moniaga, Kebudayaan dan Manusia yang Majemuk. Apakah Masih

Punya Tempat di Indonesia? Kata Pengantar Konvensi International Labour Organization 169 mengenai Bangsa

Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-negara Berkembang, (Jakarta:ELSAM dan LBBT, 1994), hal.135.

243

Abdon Nababan, Masyarakat Adat Dalam Disain Hubungan Pusat-Daerah : Peluang dan Tantangan

untuk mengembalikan otonomi asli komunitas adat, dalam P.Panggabean, Pemberdayaan hak MAHUDAT (Masyarakat Hukum Adat) Mendukung Kegiatan Otonomi Daerah, (Jakarta : Permata Aksara, 2011), hal.55.

Pertanyaan Abdon tentang hal ini : lembaga mana yang sah mewakili masyarakat adat? Bagaimana mereka mendapatkan dan mempertahankan keabsahan tersebut? Bagaimana mereka menghasilkan keputusan yang mengikat ke dalam dan ke luar? Apakah pranata adat yang ada saat ini masih menyediakan norma dan mekanisme untuk menangani berbagai permasalahan yang muncul saat ini? Bagaimana keputusan-keputusan ini ditegakkan? Bagaimana posisi dan relasi komunitas adat ini dengan struktur administrasi Negara dan pihak-pihak luar non Negara seperti perusahaan atau Organisasi Non-Pemerintah (ORNOP).

seluruh Indonesia. Khususnya di daerah-daerah di mana hukum adat masih berlaku, dalam hal ini di Kabupaten Simalungun244

Sejarah sebelum dan sesudah pemerintahan Belanda berkuasa di Simalungun, kita mengenal Sistem Harajaan dalam pemerintahan (Zelfbesturende Landschappen = Swapraja) Raja Marompat, yang kemudian dimekarkan pada tahun 1907 menjadi Raja Napitu: Siantar, Tanah Jawa, Pane, Dolok Silau, Raya, Poerba, dan Silimakuta.

.

Potret susunan pemerintahan tradisional di kerajaan-kerajaan itu boleh dikatakan sama, sebagai contoh (sifatnya bertingkat dan berlapis):245

Harajaan Siantar dengan pemekarannya : Harajaan Bandar dan Harajaan Sidamanik berasal dari satu leluhur (Partiga-tiga Sipunjung), bermarga Damanik. Dalam hukum adat kedudukannya setaraf, juga mengenai pertanahan berkaitan dengan masyarakat hukum adatnya. Pembagian/ struktur pemerintahan Landschaap Siantar dan Distrik (Partuanon Bandar dan Sidamanik) di samping Siantar Proper, adalah ciptaan Pemerintahan Hindia Belanda dalam rangka uniformisasi/ restrukturisasi pemerintahan swapraja di Simalungun). Menurut hukum adat yang berlaku di Kerajaan Siantar, bertalian dengan “adatrecht-gemeenschappen”, terdapat Masyarakat Hukum adat yang bertingkat atau berlapis:

1. Lapis Atas: Urung Siantar

2. Lapis Tengah: Partuanon (Sipolha, Silampuyang, Dolok Malela, dan lain-lain) 3. Lapis Bawah: Huta (Naga Huta, Siantar)

Urusan pertanahan secara internal, cukup diselesaikan oleh Pemerintahan Huta atau Desa, namun apabila ada urusannya dengan pihak luar (bukan kaula/warga masyarakat hukum adat), maka diurus oleh lapis yang lebih tinggi, misalnya Pemerintahan Partuanon (Lapis Tengah).

Bila urusannya tidak terselesaikan oleh Pemerintahan Partuanon, maka akhirnya diangkat persoalannya pada masyarakat hukum adat Lapis Atas, yakni Kepala Urung (Landschaap) atau pemerintahannya. Dengan demikian, ada semacam “check and balances” di antara pemerintahan masyarakat hukum yang berlapis-lapis itu.

Pertanyaan mungkin timbul lagi: “Kenapa di Simalungun terdapat masyarakat hukum yang berlapis itu?” Untuk dapat memberi penjelasan, menurut sejarah

244

Masyarakat Hukum Adat Simalungun adalah warga masyarakat asli Simalungun karena kesamaan tempat tinggal (territorial) dan atau atas dasar keturunan (genealogis) yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat Simalungun, Rosnidar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Adat Simalungun, makalah pada Seminar “Menguak Hak Ulayat Simalungun”, op cit.

245

pertumbuhan atau perkembangan kerajaan Partuanon masing-masing Urung (Landschaap). Misalnya, bagaimana sejarah pembentukan Harajaan Siantar, Bandar dan Sidamanik. Perlu diingat, Harajaan Siantar memiliki sejarah pembentukannya sendiri sejak asal mulanya sampai pada pemekarannya menjadi tiga urung (landschaap): Siantar, Bandar, dan Sidamanik.246

Partuanon Silampuyang yang bermarga Saragih, juga mempunyai sejarah pembentukannya yang khas. Partuanon Silampuyang menurut sejarahnya, lebih dahulu ada atau eksis, sebelum pembentukan atau pendirian Harajaan Siantar, kira-kira akhir abad XV.

Untuk pengetahuan lebih jelas, baik untuk dibaca: “Verhandeling tanah partuanon Silampuyang yang diberikan menjadi erfpacht Perkebunan Marihat oleh Raja Siantar, Tuan Riahkadim (Tuan Waldemar Damanik) pada tahun 1919”.

Pendirian Tuan Silampuyang bahwa, yang berhak menentukan status tanah dalam lingkaran masyarakat Hukum Adat Silampuyang adalah dirinya, bukan Raja Siantar semata-mata, akhirnya diakui atau dibenarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda dahulu. Keputusannya : Perkampungan Silampuyang dan tanah-tanah keperluan rakyatnya dikembalikan sebagian kepada Tuan Silampuyang. Pertimbangannya dapat diduga, karena di Kerajaan Siantar berlaku Masyarakat Hukum Adat berlapis. Jadi, berbeda masyarakat hukum adat di Siantar dengan di Tapanuli.

Di Siantar, hampir sama dengan masyarakat hukum adat yang ada di Penyabungan dan di Sipirok, berbeda dengan masyarakat hukum adat di Toba, yang titik sentralnya (heavy-nya) berada di Huta atau Desa.

Dalam perkembangan terakhir, kadang-kadang Huta pun tidak lagi merupakan Masyarakat Hukum Adat di Simalungun. Jadi yang tinggal kemudian adalah Masyarakat Hukum Partuanon (Parbapaan) dan masyarakat Hukum Urung (landschaap) atau Partuanon Banggal.