• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Sistem Hukum Pertanahan Nasional 1. Sistem Hukum Tanah Nasional

2. Konsep Hukum Tanah Nasional

Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal yang tersusun dalam suatu sistem berdasarkan alam pemikiran hukum adat mengenai hubungan hukum antara masyarakat hukum adat tertentu162 dengan tanah ulayatnya. Konsepsi hukum tanah adat adalah konsepsi asli Indonesia yang tertitik tolak dari keseimbangan antara kepentingan bersama dan kepentingan perseorangan. Oleh karena itu, dapat juga disebut sebagai konsepsi Pancasila163

Dalam hubungannya dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat, tertanam keyakinan bahwa setiap kelompok masyarakat hukum adat tersedia suatu lingkungan tanah sebagai peninggalan atau pemberian dari sesuatu kekuatan gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang zaman. Artinya bukan hanya untuk kepentingan suatu generasi, tetapi untuk generasi berikutnya dari kelompok masyarakat hukum adat tersebut.

karena memposisikan manusia dan masyarakatnya dalam posisi yang selaras, serasi, dan seimbang dan tidak ada pertentangan antara masyarakat dan individu.

164

162

Van Vollenhoven, “Het Adatrecht van Nederlandsh Indie,” jilid 1 Bagian I (Leiden:E.J Brill, 1904-1933), hal.27. Dalam buku ini dikemukakan adanya 19 macam lingkungan hukum adat (rechtskring). Suatu deskripsi yang baik mengenai hubungan masyarakat hukum adat dengan lingkungan tanahnya terjadi di beberapa masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan. Masyarakat hukum adat tersebut merupakan kesatuan – kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Dalam hal ini lihat dalam Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Tinta Mas, 1970).

163

Padmo Wahyono, Bahan – Bahan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, (Jakarta: Aksara Baru, 1984), hal. 28-29.

164

Arie Sukanti Hutagalung, “Konsepsi Yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional,” (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2003), hal. 15.

Falsafat hukum adat tersebut mengandung konsepsi hukum adat mengenai pertanahan yang kemudian diangkat menjadi konspesi hukum tanah nasional yang menurut Boedi Harsono, terwakili dalam satu kata kunci, yaitu komunalistik religius.165 Konsepsi hukum adat yang bersifat komunalistik religius ini memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa oleh para warga negara secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan.166

Sifat komunalistik dalam konsepsi hukum tanah nasional tercermin dalam rumusan Pasal 1 ayat (1) UUPA yang menyebutkan : “ seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”. Sementara itu, sifat religius konsepsi hukum tanah nasional terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menyebutkan : “ seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa`adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.167

Konsepsi ini sedikit berbeda dengan hukum adat, yaitu hanya menyangkut wilayah cakupannya. Dalam hukum adat, tanah

165

Ibid., hal. 23.

ulayat merupakan tanah bersama para

166

Konsepsi hukum tanah nasional yang bersifat komunalistik religious ini disimpulkan oleh Boedi Harsono, dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan (2) UUPA yang mengatur tanah hak bersama bangsa Indonesia, dihubungkan dangan ketentuan Pasal , Pasal 6, dan Pasal 16 ayat 1 UUPA yang mengatur hak-hak atas tanah. Hal ini berarti bahwa hukum tanah nasional menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga-lembaga hukum, dan sistem hukum adat. Sunaryo Basuki, Diktat Hukum Agraria Jilid 1 (Jakarta: Universitas Indonesia, 2005), hal. 2. Pembahasan lebih mendalam dapat dibaca dalam Boedi Harsono, “Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah

Nasional Dalam Hubungannya dangan TAP MPR RI No.IX/MPR/2001,” (Jakarta: Universitas Trisakti, Maret

2002), hal. 49.

167

warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sedangkan dalam hukum tanah nasional, semua tanah dalam wilayah negara Indonesia adalah tanah bersama seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia.168

Dibandingkan dengan konsepsi Hukum Tanah Barat dan Konsepsi Tanah Feodal, konsepsi hukum tanah barat berlandaskan konsepsi liberal yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada individu guna memenuhi kebutuhannya masing-masing. Keadaan itu menimbulkan paham individualism yang ajarannya memberi tekanan pada nilai utama pribadi, sehingga masyarakat hanyalah merupakan suatu sarana untuk mencapai tujuan pribadi, dimana menurut konsep Burgerlijk Wetboek (BW) dalam sistem hukum Belanda, hak perorangan disebut Hak eigendom sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi.169 Sebagai hak yang paling sempurna, pemilik Eigendom atas tanah dapat berbuat apa saja terhadap tanah tersebut, baik menjual, menggadaikan, menghibahkan, bahkan merusaknya asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain170, artinya sebagian hak orang lain, hak eigendom atas tanah adalah merupakan hak prima yang bersumber pada kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, yang mempunyai hak untuk menikmati dan memiliki kekayaan alam yang diciptakan Tuhan baginya. Konsepsi ini tersirat dalam kalimat kedua dari Declaration Of Independence Amerika Serikat, dinyatakan antara lain : “…that all men are created equal..” dan dikaruniai hak-hak “Life, Liberty and pursuit of happiness.”171 sedangkan Konsepsi Hukum Tanah Nasional yang didasarkan pada hukum adat jelas merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia. Konsepsi hukum tanah Eropa yang didasarkan pada semangat individualisme dan liberalisme172

168

Boedi, Sejarah, Op.Cit., hal. 229.

tentu tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang komunal dan religius.

169

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. Ke-31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), Pasal 570. Ketentuan ini sempat berlaku di Indonesia (Hindia Belanda) sebagai daerah jajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka dan terbit UUPA, ketentuan buku II kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai Hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini. Sementara itu, ketentuan mengenai Hypotheek dicabut berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dangan tanah yang menyebutkan bahwa ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dangan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.

170

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2001), hal. 69.

171

Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, (Jakarta Selatan : Republika, 2008), hal.51

172

Ternyata konsep individualism liberal tersebut tidak membawa kemakmuran yang merata pada rakyat. Kemakmuran hanya dinikmati oleh sebagian kecil rakyat yaitu yang memiliki tanah dan alat – alat produksi. Maka, timbulah pemikiran baru, yaitu bahwa Negara turut campur tangan dalam kehidupan ekonomi dan sosial yang dikenal konsep welfare state. Seiring dangan itu, muncul pula pemikiran berdasarkan konsepsi komunikasi

Konsepsi tanah feodal juga tidak sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia karena hak penguasaan tanah yang tertinggi adalah hak milik raja173. Semua tanah yang terdapat di seluruh wilayah kekuasaan raja adalah milik sepenuhnya dari raja yang bersangkutan. Di negara-negara yang tidak lagi menganut bentuk kerajaan, maka hak penguasaan atas tanah yang tertinggi ada pada negara sebagai pengganti kedudukan raja.174

Berdasarkan pembahasan tentang sejumlah konsepsi di atas, tentu tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa konsepsi hukum tanah nasional merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia. Penyempurnaan terhadap hukum tanah nasional selayaknya dilakukan dengan tetap mempertahankan konsepsi yang lahir dan digali dari akar budaya nasional tanpa menutup diri dari perubahan-perubahan yang berlangsung sejak beberapa dasawarsa terakhir seperti era globalisasi, otonomi daerah, dan hak asasi manusia.

Menurut Arie Sukanti Hutagalung175

dangan kekuasaan absolute pada Negara. Lihat dalam Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal. 61-78 dan Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2000), hal. 146-223.

penyempurnaan Hukum Tanah Nasional juga diperlukan dalam menghadapi era globalisasi, yang dewasa ini sudah terasa pengaruhnya di bidang kegiatan-kegiatan yang memerlukan penguasaan tanah, misalnya ada tuntutan untuk lebih dipermudah cara memperoleh tanah yang diperlukan dunia usaha. Tata cara perolehan tanah kini sudah dipermudah, dengan

173 Seperti misalnya berlaku di Inggris, hak-hak penguasaan atas tanah yang lain bersumber pada hak milik Raja tersebut, dengan sendirinya tidak ada yang setingkat hak milik, Muchtar Wahid, op cit, hal.54.

174

Arie Soekanti Hutagalung, Konsepsi,Op.Cit., hal. 31.

175

Arie Soekanti Hutagalung, Pergulatan Pemikiran dan Aneka Gagasan Seputar Hukum Tanah Nasional

dimungkinkannya perubahan Hak Milik yang sudah bersertifikat menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai secara langsung. Dalam hal suatu perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas memerlukan tanah yang berstatus Hak Milik, tidak lagi perlu ditempuh tata cara permohonan hak baru berupa Hak Guna Bangunan yang diawali dengan acara pelepasan Hak Milik tersebut oleh pemiliknya yang memerlukan waktu dan biaya

Konsepsi komunalistik religius yang telah dianut sejak 24 September 1960, di samping telah teruji hingga saat ini hendaknya perlu juga dilestarikan untuk mewujudkan cita-cita politik Agraria nasional yang tercantum dalam Pasai 33 Undang-Undang Dasar 1945.176

a. Hak Bangsa Indonesia