• Tidak ada hasil yang ditemukan

PASAL 33 UNDANG – UNDANG DASAR 1945

C. Hak Atas Tanah Adat di Kabupaten Simalungun 1. Hukum Pertanahan di Simalungun

3. Hak Atas Tanah Adat di Kabupaten Simalungun

Menurut Hukum Adat Simalungun, pada mulanya pemilikan tanah adalah hak milik Marga yang dikuasai oleh Raja dari salah seorang anak keluarga marga tersebut. Rakyat hanya mempunyai hak pakai (hak massamod) disebut: “Galunggung”.

Hak massamod (Galunggung) bagi rakyat berlaku turun-temurun dan dapat diwariskan, juga dapat dijual. Sebenarnya Kabupaten Simalungun yang penduduknya

246

etnis Batak, berada di Pantai Timur Sumatera Utara ini sangat berbeda dengan daerah Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan maupun Karo247

Penduduk dapat membuka perladangan/persawahan dengan sekuat kemampuannya dengan ketentuan tanaman keras di atas tanah tersebut adalah milik Marga oleh salah seorang Raja dari marga tersebut. Sebagai Pemerintah tertinggi di wilayahnya masing-masing penduduk diwajibkan mendapat persetujuan dari Raja untuk massamod yang baru dan setiap penjualan hak massamod dari rakyat kepada orang lain harus diketahui oleh Raja, untuk itu yang bersangkutan memberikan suatu pertanda berupa hasil dari atau peliharaan atau uang tunai (tidak ada ketentuan).

.

Masyarakat adat Simalungun adalah masyarakat Batak Simalungun di wilayah Kabupaten Simalungun yang berprinsip Tolu Sahundulan Lima Saodoran (kedudukan nan tiga, barisan nan lima, Tondong, Sanina, Suhut, Anak Boru Jabu, Anak Boru Mintori).

Hak bersama atas tanah disebut “rahatan ni huta”. Rahatan ni huta termasuk juga hutan yang berdekatan dengan kampung, dimana kayu-kayunya tidak boleh diambil oleh penduduk kecuali untuk keperluan kampung itu umpamanya untuk balai desa, lumbung desa.248

Pada mulanya ada beberapa fase yang dilalui untuk dapat mengusahakan sebidang tanah yaitu:

a. Fase penebangan kayu

Pada fase ini ditentukan waktunya, kemudian pembakarannya dan pada saat ini melekatlah suatu hak atas pemakaian tanah, yaitu ladang yang disebut “juma tombakan”.

b. Fase dimana ladang yang dipakai untuk tahun kedua, ketiga disebut “gas-gas”. Gas-gas adalah tanah yang tidak produktif (unsur haranya habis). Gas-gas kebalikan dari “juma roba” (hutan yang masih perawan, sangat subur karena belum pernah ditanami).

c. Fase untuk pertama kalinya ditinggalkan gas-gas tadi, disebut “bunga talun” sedangkan apabila ditinggalkan untuk kedua kalinya disebut “talun”(Tanaman

247

Moshedayan Pakpahan, Tanah Adat di Daerah-Daerah Indonesia, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional, 1998), hal.6.

248

yang tidak ada di suatu tempat tetapi hanya di satu talun). Bunga Talun ada di daerah Gulting, Sondi Raya.

d. Perladangan yang karena ditinggalkan, tapi masih ada di atasnya tanam-tanaman muda, disebut “galunggung” (bukit-bukit, perladangan).

Hak memperusahai / memakai atas tanah ini melekat apabila terus-menerus dikerjakan. Dalam waktu 2 (dua) tahun berturut-turut tidak dikerjakan maka hak itu “kembali” kepada Penghulu/Kepala Adat, yang kemudian dapat memberikannya kepada orang lain yang memerlukannya. Sebagai catatan, bahwa tanaman-tanaman keras biasanya tidak boleh ditanami di sini, agar pada waktunya (secara rotasi) dapat kembali berladang ke daerah kawasan hutan perkampungan ini, kecuali di tepi gubuk ladang (sopou juma).

Dalam hal perladangan tersebut oleh Penghulu diberikan kepada orang lain, oleh karena pemegang hak pakai semula tidak memerlukannya, maka tanam-tanaman keras tadi (biasanya pohon durian dan petai) oleh si pemakai yang memperoleh kemudian itu, harus membersihkan sekeliling tersebut jelasnya lingkungan tanaman-tanaman itu tidak turut boleh diperladanginya, istilah dalam bahasa Simalungun “i-salagsagi”.

e. Tempat tanaman-tanaman keras disediakan di luar pagar disebut ”partoguh” atau “bidei” dari perkampungan dan tempat ini disebut “pohon” diberi ganti kerugian.

f. Hak “Panunggu” atau “Pangayakan” hanya terdapat pada tanah sawah yaitu tanah sebelah kiri dan kanan sawahnya ditambah bagi orang yang bersawah paling ujung ialah tanah sebelah hulunya.

g. 1) “Rahatan ni Huta”, hutan yang berdekatan dengan kampung (merupakan hak bersama atas tanah).

2) “Hak Parjalangan sahuta” yaitu tempat penggembalaan hewan. 3) “Hak bong-bongan sahuta” : kolam tempat mengambil ikan.

4) “Hak Panambunan sahuta” yaitu pekuburan bersama. Adakalanya pengemuka masyarakat di kampung itu dikuburkan atau menyediakan terlebih dahulu bangunan kuburannya di “pohonnya”. dan cara ini

dibolehkan, mengingat status tanah “pohon” itu dikerjakan secara turun-temurun. 249

Sekali lagi kalau diurutkan “Hak Tanah” menurut Hukum Adat Simalungun adalah sebagai berikut:

1. Hak Tombakan 2. Hak Gas-gas 3. Hak Bunga Talun 4. Hak Talun

5. Hak Pohon 6. Hak Panunggu

7. 1) Hak Rahatan ni Huta 2) Hak Parjalangan

3) Hak Bong-bongan Sahuta 4) Hak Panambunan Sahuta

Jadi Hak Atas Tanah Adat yang terdiri atas Hak Ulayat dan hak perseorangan atas tanah (adat) di Kabupaten Simalungun masih eksis250

Berikut ini bukti bahwa masih terdapat objek hak ulayat (tanah atau yang dipersamakan dengan tanah,misalnya: tano reben, tano roba, harangan, parmahanan, parjalangan sahuta, parsinumbahan / pamelean, bong-bongan sahuta, dan lain-lain, juga masih terdapat subjek hak ulayat yaitu “huta” dan “marga”, seperti di bawah ini :

, Meskipun dari segi objek (adanya bong-bongan sahuta, tapian, juma na bolak, dan lain-lain). Masyarakat Hukum Adat masih ada tapi “lemah”, ditandai dengan adanya pimpinan adat dalam acara-acara ritual seperti pesta, Hukum Adat Simalungun juga masih dipakai meskipun di sana-sini sudah mengalami pergeseran (pen).

1) Bong-bongan sahuta 249

Jahutar Damanik, Jalannya Hukum Adat Simalungun, (Medan: PD Aslan, 1974), Hal.23.

250

Rosnidar Sembiring, Keberadaan Hak Ulayat di Kabupaten Simalungun, tesis, (Medan : PPS USU, 2001), hal. 16. Bahwa menurut PMNA No. 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat : Harus ada subjeknya (Masyarakat Hukum Adat), Objeknya (Tanah dan yang dipersamakan dengan Tanah), Hubungan Subjek dan Objek tersebut.

Gambar 8 : Bong- Bongan Sahuta

Bong-Bongan Sahuta adalah kolam ikan bersama, berawal dari Parawangan ni Horbou ( tempat pemandian kerbau), kemudian melebar terus sehingga menjadi Bong-bongan , oleh warga karena dia hanya mengandalkan air hujan dan pintu keluar air pun tidak ada, maka dimanfaatkan untuk menanam benih ikan sehingga jika tiba masa kemarau panjang, airnya akan menjadi surut, saat itulah warga setempat “mandurung”, mananggok/ mengambil ikan. Saat ini oleh Huta, dibuat sebagai tempat pemancingan ikan, uang pemasukannya dimasukkan menjadi kas desa/Huta. Ini terdapat di Huta Kampung Baru, desa Dolog Huluan, kecamatan Raya dan dusun Baringin Raya, kelurahan Pam.Raya. Luas Bong-bongan itu ± 15 rantai (6000 meter) sedangkan daratannya ± 5 rantai (2000 meter) jadi luas keseluruhan 8000 meter yang merupakan milik Huta

Gambar 9 : Parmahanan Huda pakon Horbou Tuan Damak Raya.

(Parmahanan/penggembalaan kuda dan kerbau milik Tuan Damak/Pangulu Damak). Parmahanan adalah tempat penggembalaan hewan seperti kerbau dan kuda.

Gambar 10

: Horbangan

(Horbangan/Pintu masuk ke Parmahanan). Gambar di atas adalah horbangan/harbangan yaitu pintu masuk ke Parmahanan Damak Nagori Siporkas kecamatan Raya kabupaten Simalungun.

Gam bar 11 : Tem

pat merawat hewan (kuda / kerbau).

Parmahanan lebih “sistematis”, terawat / rapih daripada Parjalangan Sahuta.

3) Parjala ngan Sahuta

Gambar 12 : Parjalangan Sahuta

Parjalangan Sahuta hampir sama dengan Parmahanan : sama-sama tempat penggembalaan ternak. Hanya bedanya dalam Parmahanan lebih terawat, mempunyai sistem, sedangkan dalam parjalangan sahuta tidak terawat, bebas. Sama-sama memiliki pintu yang disebut “horbangan”. Yang memiliki parjalangan sahuta adalah Huta. Sipukkah horbangan disebut “si jolom horbangan”. Sistem ini diterapkan dalam hukum perkawinan adat, yang membuka pintu adalah “para pemuda”, biasanya diberi sirih/demban. Ini terdapat di daerah/dusun Mappu, Nagori Siporkas, kecamatan Raya.251

4) Parsinumbahan

Gambar 13 : Parsinumbahan / Pamelean

Parsinumbahan adalah tempat

penyembahan masyarakat sebelum adanya agama berupa “pohon yang sangat besar”, luasnya ± 4 rantai (5000m), di dalamnya saat ini masih terdapat patung-patung yang disembah dulu, yang disebut “pamelean”. Parsinumbahan (pamelean) ini terdapat di Siloting. Parsinumbahan adalah milik Marga (Saragih Garingging).

5) Paridian ni Raja

251

Observasi dan hasil wawancara dengan Ernawati Br Purba, 27 Januari 2013 di dusun Mappu Nagori Siporkas kec.Raya, Gamotnya bernama Dedy Saragih Garingging (35 tahun), memiliki 6 ekor kerbau yang

Gambar

14 : Paridian ni Raja

Paridian ni Raja Raya (Tuan Rondahaim Saragih Garingging).

Ada 2 (dua) tempat, masing-masing punya pintu masuk untuk laki-laki dan perempuan, beserta umbul ni bah (mata air) dari sebuah batu, terletak di Aman Raya Kelurahan Pematang Raya, kecamatan Raya. Pancurannya sudah diubah semula bentuk bambu sekarang menjadi bentuk pipa besi. Sebagai bukti sejarah, tempat pemandian umum (dalam hal ini meskipun umum, yang berhak masuk hanyalah marga-marga Garingging, karena pemiliknya adalah Marga (Saragih Garingging) (Keturunan Raja Rondahaim) oleh Pemkab Simalungun sudah direnovasi, di atasnya ada Parsinumbahan juga Pamelean yang sudah dibeton. Ketika ada acara besar/acara adat seperti Rondang Bittang, sebelum pembukaan acara tersebut, biasanya Bupati beserta jajarannya “maranggir” (mandi dengan menggunakan air jeruk purut).

Ada yang disebut istilah dalan ni bah : jalan ke pemandian seperti gambar berikut ini;

Gambar 15 : Dalan ni Bah

Kemudian Pinggir ni bah : tepian sungai

Umbul ni bah : mata air seperti gambar berikut ini ;

berkandang di belakang rumahnya. Dari jam 12.00-17.00 setiap hari “ngangon”/ngurusi kerbaunya, kerbau-kerbau tidak akan dikeluarkan jika di desa tersebut ada “pesta”.

Gambar 16 : Umbul ni Bah Jika musim kemarau, debit airnya tetap sehingga bisa digunakan untuk sumber air penduduk setempat. Airnya sangat jernih seperti air AQUA. Paridian ni Raja Raya ini merupakan hak milik komunal marga (marga Saragih Garingging).

6) Losung

Losung atau lesung adalah tempat menumbuk padi, terletak pada “martokkarang”/sopou/ rumah panggung : inganan ni losung (tempat losung) terdiri dari 4 (empat) tiang tetapi tidak menggunakan paku (hanya dipahat), ada gambar tulisan dari Raja Sulaiman. Atapnya terbuat dari ijuk (arribut) sekarang sudah diganti “seng”. Keempat tiang tersebut terbuat dari kayu pokki (sama seperti kayu pembuatan losung).

Gambar 17 : Martokarrang / Sopou : rumah panggung tempat losung berada.

Gambar 18 : Losung Jantan.

Losung ini dibentuk / dipahat dari kayu pokki, mempunyai kepala layaknya (menyerupai) manusia. Ini adalah losung berjenis kelamin “jantan”252

Gambar 19 : Losung Betina

kelihatan dari bentuk telinganya yang lebih panjang. Losung-losung ini terletak di huta Sambual desa Nagori Raya Bayu. Di desa ini terdapat 27 kepala keluarga (KK) berjarak 8 km, dengan medan (area) yang sulit dicapai. Losung ini sudah berusia ± 100 tahun lebih terdiri dari 14 (empat belas) lubang (jantan maupun betina), dan terbuat dari kayu pokki. Tinggi losung ± “satohot” (1 lutut).

Ini adalah losung berjenis kelamin betina, mempunyai lubang juga berjumlah 14 (empat belas), yang membedakannya hanya telinga, telinga losung betina lebih pendek sementara telinga losung jantan lebih panjang, sedangkan mata & hidung sama.

252

Menurut sejarahnya, pembuatan losung dikerjakan di hutan, kayunya adalah kayu pokki, setelah selesai dikerjakan, secara gotong-royong ditarik dengan menggunakan roda oleh masyarakat dan diiring nyanyian “aloi-aloi”. Andalu / alu : alat penumbuk dimiliki oleh masing-masing warga , panjangnya ± 2 atau 3 m. Losung ini mempunyai nilai “magisch” diyakini warga jika ada yang berniat tidak baik, misalnya mencuri maka ia tidak akan bisa keluar dari desa tersebut.

Biasanya yang ditumbuk pada losung tersebut adalah : padi, kopi, bumbu-bumbu masakan jika ada pesta, dan hasil yang ditumbuk pada losung tersebut terasa lebih wangi serta tidak mengurangi kadar gizinya jika dibandingkan dengan jika ditumbuk/digiling dengan menggunakan mesin. Ada kebiasaan (adat) masyarakat setempat, jika ingin memakan daging ayam, maka ayamnya tidak boleh dibawa dari luar (luar desa tersebut), harus ayam dari daerah / huta Sambual, tujuannya untuk mencegah warga dari berbagai penyakit, seperti penyakit flu burung pada hewan. Jika pun dijual, harganya akan lebih mahal, padi atau kopi yang ditumbuk pada losung tersebut daripada jika padi dan kopi itu digiling dengan menggunakan mesin.