• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Kehidupan Masyarakat di Sekitar Hutan

3.4. Aturan-Aturan dalam Pengelolaan Hutan

Pasca banjir 2003 lalu, proses pemulihan Bahorok, khususnya Bukit Lawang. Daerah ini merupakan daerah terparah terendam banjir bandang. Pembangunan berfokus pada pembangunan jembatan, pondok latih, proteksi sumber-sumber air, serta mempertahankan potensi alam setempat, membangun hubungan antar masyarakat untuk memberdayakan sumber daya yang ada, dan pendekatan kembali pada budaya-budaya setempat.

Pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar adalah untuk kemajuan pariwisata di Bukit Lawang. bukan hanya di kawasan yang rusak saja yang dibenahi, namun lahan hutan juga dibuka untuk membangun sejumlah penginapan. Seperti yang penulis amati beberapa bulan lalu di samping penginapan Yusman, dulunya tidak terdapat bangunan penginapan. Pada saat penulis kembali ke lokasi penelitian, bangunan penginapan sudah dibangun. Hal ini menunjukkan aturan-aturan dalam pengelolaan tanah oleh masyarakat dan pemerintah setempat sebagai pihak pengesah, tidak sesuai. Karena dari yang saya lihat dan berdasarkan penuturan salah seorang masyarakat Lina, 42 tahun menyatakan : “Penginapan-penginapan yang dibangun di kawasan hutan memang dibolehkan, tapi yang di lurusan Taman Nasional itu gak boleh, yang di seberang sungai baru boleh dibangun”. Penginapan yang baru dibangun itu, terletak di seberang sungai yang juga merupakan zona penyangga yang dekat dengan TNGL.

Seharusnya, pembangunan penginapan di kawasan itu tidak boleh dilakukan, sebab lahan tersebut merupakan kawasan TNGL. Namun kenyataannya pembangunan tersebut telah selesai, dan yang mengesahkan tanah

tersebut adalah pihak Kecamatan. “Pengurusan tanah dilakukan di Camatlah dan Camat yang mengesahkan,” seperti yang dituturkan oleh Pak Siregar. Kepemilikan dan penggunaan lahan diurus oleh pihak Kecamatan, namun seakan-akan pihak kecamatan tidak melihat apakah kawasan tersebut merupseakan-akan kawasan TNGL atau tidak.

Kejadian seperti ini seharusnya tidak terjadi, bila pola pengaturan dalam menentukan lokasi pembangunan dapat dikordinasi dengan baik. Bukan hanya oleh masyarakat tapi juga pemerintah setempat. Masyarakat tidak memiliki aturan-aturan dalam kepemilikan lahan, namun masyarakat hanya berpedoman pada peraturan Pemerintah. Seperti penetapan zona-zona mana yang boleh di gunakan oleh masyarakat dan yang tidak boleh di pakai oleh masyarakat untuk kesejahteraannya.

Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat di sekitar Taman Nasional (peraturan pemerintah) bukan hanya terjadi di Bukit Lawang, tapi juga masyarakat sekitar Taman Nasional lain di Indonesia. Seperti TNBG (Taman Nasional Batang Gadis) yang ada di Mandailing Natal Sumatera Utara. Masyarakat sekitar hutan memang sudah sejak dulu memandang hutan sebagai hutan larangan atau masyarakat mengenal dengan istilah ‘Harangan Rarangan’. “Hutan larangan dalam konsepsi tradisional adalah bagian dari hutan hutan kawasan milik suatu kampung (huta) yang tidak boleh dibuka untuk lahan pertanian atau kayunya tidak boleh diambil untuk keperluan perabot rumah (Edi Ikhsan, Zulkifli Lubis, dkk,2005).

Aturan-aturan tersebut tidak tercantum atau tidak dapat dibuktikan melalui peraturan pemerintah. Namun hal tersebut merupakan aturan yang tidak tertulis

tetapi aturan itu tercipta berdasarkan konsep masyarakat dalam memandang hutan, sebagai hal yang dianggap keramat dan masyarakat mempercayai hal tersebut. Keberadaan hutan larangan dan lubuk larangan, yang dilembagakan melalui mekanisme tabu dan kepercayaan akan kekuatan-kekuatan supranatural yang ada di sekitarnya. Dalam kenyataan pada umumnya berada di tempat-tempat yang sangat disignifikan bagi terpeliharanya kelestarian lingkungan (Edi Ikhsan, Zulkifli Lubis, dkk,2005).

Tidak jauh berbeda dengan konsep masyarakat dalam melestarikan hutan, khususnya hutan yang ada di TNGL. Walaupun aturan-aturan tersebut tidak terkonsep dari budaya masyarakat dalam memandang hutan. Akan tetapi aturan yang bersumber pada peraturan pemerintah tentang zona-zona yang boleh dan tidak boleh dimasuki oleh masyarakat. Peraturan-peraturan tersebut oleh masyarakat sekitar tetap di hargai sebagai suatu hal dalam proses terciptanya kelestarian hutan, karena sebagian masyarakat mencari nafkah dari hutan.

Adapun peraturan perundang-undangan dalam hal pengelolaan hutan, dan tindak pidana bila merusak hutan yang harus dipatuhi oleh masing-masing masyarakat adalah :

1. Pasal I UU No. 19 tahun 2004 menyebutkan penambahan pasal 38A “Semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud." Pasal ini kemudian memberikan makna bahwa segala bentuk perijinan di kawasan hutan akan tetap berlaku. Pasal 68 ayat 1 menyebutkan Masyarakat berhak menikmati

kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. Masyarakat dapat : a. Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; c. Memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; d. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.

2. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 69

1) . Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan.

2). Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau pemerintah.

Pasal 70

1). Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan. 2). Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai

kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna.

3). Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat pemerintah dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.

4. Tindakan pidana gangguan fungsi Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata yang dilakukan dengan sengaja yang melanggar UU No. 5 Tahun 1990 Pasal 33 jo Pasal 40 maka dikenakan sanksi pidana 5 tahun atau denda paling banyak 100 juta rupiah

Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 1, menyatakan :

1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dankesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

2. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

3. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta

keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

4. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.

5. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.

6. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan tampung lingkungan hidup. 7. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup

untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya.

BAB IV

Peran Masyarakat Dalam Menjaga Kelestarian Hutan

Dokumen terkait