• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Kehidupan Masyarakat di Sekitar Hutan

3.1.1. Hubungan Masyarakat dengan Hutan

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, dan merupakan salah satu bagian dari bumi yang paling penting. Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas dan memiliki kerapatan pohon yang sangat tinggi.

Hutan merupakan karunia dari Tuhan yang sangat bermanfaat bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup manusia karena dapat menghasilkan barang dan jasa serta menjaga kelestarian lingkungan. Sejak zaman dulu masyarakat sangat tergantung pada sumber daya hutan6

6

Manusia dapat bertahan karena kebutuhan manusia sudah disedikan oleh alam, manusia dapat makan, minum yang di dapat dari alam khususnya hutan. Hutan menyediakan kayu untuk

membuat rumah dan peralatan rumah-tangga, serta menyediakan hewan buruan untuk dikonsumsi , namun sekarang masyarakat tidak lagi menjaga keseimbangan antara apa yang diambil dari hutan dan yang ditinggal karena kelangsungan hidup mereka sangatlah tergantung pada apa yang tersedia di alam.

Hutan memiliki 2 fungsi yaitu: fungsi produksi (ekonomi) serta fungsi ekologi (perlindungan lingkungan). Adanya fungsi ini menuntut suatu pengelolaan hutan yang dapat mengakomodir keduanya yaitu manusia.

Hasil hutan berupa kayu dan hasil lainnya, mempunyai fungsi/nilai ekonomis yang tinggi dan sangat dibutuhkan oleh manusia. Untuk mencapai semua itu manusia memiliki kebudayaan yang dapat membantu manusia dapat bertahan hidup di lingkungannya.

Selain itu tuntutan fungsi lingkungan seperti penyangga ekosistem, perlindungan lapisan tanah, perlindungan daerah aliran sungai dan produksi air bersih, penyedia habitat dan makanan bagi berbagai jenis flora dan fauna. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar. Jika kita berada di hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembab, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Ini berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan. Semua tumbuhan dan satwa di dunia, dan juga manusia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat mereka berada. Manusia adalah makhluk, dan seperti makhluk lainnya, harus menjaga hubungan adaptasi dengan ekosisitem mereka agar bisa bertahan hidup (Meggers,1971 dalam Keesing,1989)

Jika suatu jenis tumbuhan atau satwa mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik di daerah tertentu, maka mereka akan dapat berkembang di daerah tersebut. Seperti halnya manusia yang hidup dengan segala keterbatasannya, namun untuk dapat terus bertahan (survive) manusia mengandalakan kebudayaannya. Dimana manusia mampu beradaptasi dengan lingkungannya, dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Walaupun manusia

mencapai adaptasi pada prinsipnya melalui mediun budaya, prosesnya sangat bergantung pada hukum-hukum yang sama dari seleksi alam yang mengatur adaptasi biologis (Meggers,1971 dalam Keesing,1989). Misalnya manusia ditempatkan di sekitar hutan bahkan di kaki gunung sekalipun, manusia dapat bertahan. Mengandalkan ide dan gagasannya untuk mencari cara bagaimana dapat hidup di lingkungan tertentu dengan memanfaatkan segala sesuatu yang ada di alam.

Manusia adalah mahkluk sosial yang diberikan anugrah untuk dapat berpikir dan manusia tidak dapat hidup sendiri. Untuk itu manusia sebagai satu individu mebutuhkan individu lainnya. Kumpulan individu yang saling berinteraksi dalam satu daerah atau lingkungan tertentu dinamakan masyarakat. Semua komunitas yang secara politik dan ekonomi bertalian (dan oleh karenanya mengandung semacam sistem sosial keseluruhan) dapat dianggap sebagai suatu masyarakat (Keesing,1989). Berdasarkan ciri-cirinya, suatu masyarakat mempunyai suatu sistem sosial keseluruhan, dimana para anggotanya memiliki tradisi budaya dan bahasa yang sama. Namun dalam suatu kehidupan sosial yang kompleks seperti halnya masyarakat Bukit Lawang, dapat terlihat golongan mayoritas etnis dan orang-orang pendatang yang kini saling berbaur namun tetap mempertahankan identitasnya sebagai satu suku.

Seperti masyarakat yang didominasi oleh suku Jawa, karena awal mulanya masyarakat Jawa yang berdomisili di Bukit Lawang walaupun daerah tersebut merupakan daerah kesultanan Melayu. Di kawasan Langkat memang didominasi oleh orang Melayu, namun di desa Bukit Lawang, masyarakat Jawa yang mendominasi. Hal tersebut tidak menyebabkan pengkotak-kotakan dalam

masyarakat yang dapat menimbulkan konflik. Antara masyarakat pendatang dan masyarakat yang mendominasi saling berbaur hingga membentuk satu masyarakat setempat yaitu masyarakat dari desa Bukit Lawang.

Menurut SK HKm yang menggunakan istilah ‘masyarakat setempat’ yang artinya kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam atau sekitar hutan, yang membentuk komunitas, yang didasarkan pada kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesejahteraan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama (Safitri, 2007).

Secara umum, manusia mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hutan. Manusia bertahan hidup (survive) dengan mengumpulkan makanan alami dan berburu di lingkungan hutan dengan mengandalkan kebudayaanya. Kebudayaan (culture) merupakan hasil kreasi manusia, sebagai refleksi dari akumulasi pengalaman dalam menghadapi lingkungan fisik dan sosial (Herkovits,1967:33 dalam Rimbo Gunawan dkk) Setelah pengetahuan manusia semakin berkembang karena manusia memiliki kebudayaan berdasarkan pengalamannya untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pada saat itu manusia hidup berpindah-pindah, namun lama-kelamaan manusia mulai berternak dan bercocok tanam, manusia tetap membutuhkan hutan secara langsung sebagai sumber berbagai macam keperluan, khususnya kayu untuk rekonstruksi rumah, alat-alat pertanian dan bahan bakar. Hal tersebut merupakan hasil dari kebudayaan.

Memasuki era kehidupan dimana uang sebagai alat untuk pertukaran barang dan jasa, hutan pun tetap dibutuhkan oleh manusia. Sejak perhatian

masyarakat terorientasi pada pasar, telah terjadi perubahan pengelolaan hutan. Orientasi tanaman tidak sebatas untuk mencukupi kebutuhan pemiliknya. Pasar adalah orientasi utama hutan saat ini. Bisa dikatakan proses komersialisasi telah menggeser pola pengelolaan hutan. Yang awalnya manusia menggunakan hutan sebagai pemenuhan kebutuhan kehidupannya sehari-hari, kini beralih pada pemenuhan kebutuhan ekonomi pasar dan orang-orang tertentu.

Masyarakat tetap membutuhkan jasa dari hutan, tetapi saat ini cara meperoleh hasil hutan tersebut adalah melalui kelompok lain atau lewat perantara yaitu pedagang dan penjual komoditas tersebut. Sekolah dan perkantoran membutuhkan kertas untuk kebutuhan masing-masing, namun mereka tidak butuh kayu ataupun ranting pohon. Sehingga dengan kebudayaan manusia membutuhkan pohon-pohon dari hutan, dan diproduksi sedemikian rupa hingga menghasilkan kertas. Rumah tangga membutuhkan alat-alat untuk menghiasi rumah, seperti kursi, meja dan lain-lain. Semua dihasilkan dari bahan baku kayu yang berasal dari hutan. Kesemua itu adalah rantai yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan saling menguntungkan. Dengan demikian hubungan antara masyarakat dengan hutan bersifat tidak langsung dan dalam kehidupan sehari-hari amat jarang diantara mereka yang melihat ataupun masuk hutan. Namun bila masyarakat yang hidup di sekitar hutan dan hidup dengan memanfaatkan hutan, mereka tetap survive dan beradaptasi dengan lingkungannya.

Seperti halnya masyarakat sekitar Bukit Lawang yang memanfaatkan hutan untuk tetap mempertahankan hidup mereka. Masyarakat memanfaatkan hutan untuk menarik wisatawan. Disamping itu, hutan di Bukit Lawang juga

merupakan kawasan TNGL. Masyarakat sekitar boleh memasuki kawasan hutan, namun di kawasan yang memang diperbolehkan seperti zona pemanfaatan dan zona penyangga. Hutan dalam kawasan zona penyangga dan zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Baik itu sebagai lahan pertanian maupun sebagai sarana pariwisata. Zona dalam kehutanan ada 2 yaitu zona budidaya dan zona lindung, dimana zona penyangga dan zona pemanfaatan termasuk kedalam zona budidaya.

Berdasarkan dari sejarah tentang awal mulanya masyarakat datang dan membentuk desa Perk. Bukit Lawang, masyarakat menentukan tempat hidupnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya yaitu kawasan sekitar hutan. Masyarakat mencari cara bagaimana memanfaatkan lingkungan mereka untuk dapat bertahan hidup. Pilihan masyarakat dalam memanfaatkan hutan adalah sebagai lahan pertanian dan perkebunan serta untuk mengembangkan periwisata.

Dokumen terkait