• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Kehidupan Masyarakat di Sekitar Hutan

3.2. Kondisi Hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)

Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser terbentang sepanjang lebih dari 100 km, mengikuti gugusan Bukit Barisan. Luas TNGL adalah 792.675 Ha, luas tersebut adalah menurut Menteri pertanian tahun 1980. Sementara menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 46/Kpts/VI-Sek/84 luasnya adalah 1.095.192 Ha, dengan ketinggian antara 0-3.381 m dpl.

Kawasan TNGL mempunyai perwakilan-perwakilan tipe ekosistem habitat yaitu hutan lumut dengan luas ± 13.480 Ha. Hutan pegunungan vulkanik dengan luas ± 101.000 Ha, hutan pegunungan kapur dengan luas ± 381.484 Ha. Hutan

basah di dataran rendah ± 223.768 Ha, hutan basah dataran rendah di batuan dengan luas ± 25.616 Ha, dan hutan lembab dataran rendah di batuan alluvium dengan luas ± 11.209 Ha. hampir setengah kawasan TNGL terdapat sekurang-kurangnya separuh dari 95 jenis Dipterocarpaceae (misalnya pohon jenis meranti, keruing, shorea). Salah satu jenis yang menonjol adalah jenis pohon kapur (Dryohalanops aromatika). Terdapat beberapa pohon buah-buahan yang bisa dimakan, diantaranya jenis jeruk hutan, durian hutan (Durio Exyleyanus dan Durio Zibethinus), duku, limus, rukem, dan rambutan (Nephelium Lappaceim). Selain itu juga terdapat jenis bunga langka yaitu Raflesia Atjehensis.

Penetapan Taman Nasional Gunung Leuser sebagai suaka margasatwa adalah pada tanggal 6 Maret 1980. Awalnya tahun 1928, FC. Van Heurn mengusulkan untuk membentuk Taman Nasional di derah Aceh Barat. Kawasan yang diusulkan adalah seluas 928.000 Ha. Tujuannya adalah untuk melindungi seluruh satwa liar di Sumatera dan merupakan contoh perwakilan flora dan fauna Sumetera bagian Utara. Namun pada tahun 1938 Sultan Langkat menetapkan Suaka Marga di Langkat Barat seluas 51.900 Ha dengan nama suaka marga. Pada tahun 1976 Direktur PPA mengusulkan perluasan dengan menambah daerah seluas 142. 800 Ha. Kemudian pada tahun 1980, berdasarkan pengumuman Menteri Pertanian tanggal 6 Maret 1980 ditetapkannya SM Gunung Leuser menjadi Taman Nasional Gunung Leuser dengan luas 792.675 Ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 096/Kpts/II/84, yang menyatakan bahwa TNGL sudah mulai ditata sebagaimana layaknya.

Kawasan hutan pada umumnya memiliki 2 zona yaitu : Zona Budidaya dan Zona Lindung. Kawasan TNGL terbagi atas 4 zona, diantaranya : 1) Zona

Pemanfaatan (Intensive use zon) yaitu kawasan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan; 2) Zona Rimba (willderness zone) yaitu kawasan yang boleh dimasuki oleh masyarakat tapi dengan pengawasan petugas kehutanan; 3) Zona Inti (sactuary zone) yaitu kawasan yang sama sekali tidak boleh di masuki oleh siapapun termasuk petugas kehutanan, kecuali memang ada persetujuan dan dengan tujuan tertentu petugas diperbolehkan masuk ke kawasan inti; 4) Zona Penyangga (buffer zone) yaitu kawasan yang dekat dengan Taman Nasional dan zona pemanfaatan. Dalam zona penyangga ini sering di masuki oleh masyarakat sekitar hutan. Kawasan zona penyangga ini boleh dimasuki oleh masyarakat dengan catatan tidak boleh merusak kelestarian ekosistem hutan. Zona-zona yang ditetapkan dalam kawasan TNGL dibagi berdasarkan 2 zona yang ada pada umumnya. Hal ini dilakukan agar memperjelas zona-zona mana yang boleh dimasuki oleh masyarakat sekitar dan mana yang tidak boleh dimasuki oleh masyarakat.

TNGL dibentuk untuk melindungi lebih dari 1 juta hektar hutan tropis dan merupakan jantung dari ekosistem Leuser yang luasnya lebih dari 2,6 juta hektar. Hutan dalam hal ini merupakan gudang buah-buahan dan dedaunan yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk makanan dan pengobatan. Di dalam kawasan hutan juga terdapat banyak kandungan karbon yang tersimpan dalam pepohonan, yang merupakan sebuah kontribusi dalam mengurangi dampak perubahan iklim pada bumi. Masyarakat lokal, pengelola Taman Nasional, Pemerintah lokal dan lembaga-lembaga nasional dan internasional saling bekarjasama untuk melestarikan hutan. Artinya bahwa partisipasi dari masyarakat baik lokal maupun berskala nasional sangat dibutuhkan.

Bila mengandalakan pihak pengelola TNGL seperti ranger yang ada di TNGL, yang hanya berjumlah ± 7 orang dalam pengawasan hutan, hal tersebut tentu tidak maksimal. Dengan perbandingan luas hutan yang mencapai ratusan ribu hektar. Untuk itu, peranan masyarakat setempat sangat dibutuhkan dalam hal melestarikan ekosistem hutan yang ada di TNGL. Sejumlah asumsi menyebutkan bahwa kerusakan hutan banyak dilakukan oleh oknum tertentu yang mengambil hasil dari hutan berupa kayu secara illegal. Dengan minimnya petugas penjaga hutan, bukan tidak mungkin kerusakan yang terjadi di Taman Nasional akan terus berlangsung.

Petugas dan pengelola Taman Nasional menolak bila di katakan terjadi kerusakan hutan di TNGL. Seakan para pengelola tidak mau disalahkan dengan adanya illegal logging di kawasan TNGL. Padahal sejumlah lembaga-lembaga baik nasional maupun internasional yang banyak melakukan riset di TNGL tentang kerusakan yang terjadi di TNGL menyebutkan 20 persen hutan di TNGL sudah rusak. Data WALHI tahun 2003 menyebutkan bahwa kerusakan hutan di Bukit Lawang telah mencapai 17.726 Ha dari luas Taman Nasional Gunung Leuser yang mencapai 1.095.192 Ha. Hal tersebut terjadi karena kurangnya kesigapan pengelola Taman Nasional sehingga terjadi pencurian kayu di sekitar TNGL.

Saat ini keadaan Taman Nasional sudah banyak mengalami peningkatan, namun tetap tidak mengabaikan tugas pengelola dan masyarakat sekitar dalam mengawasi hutan. Dengan dibukanya kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi orangutan untuk wisatawan yang datang ke Bukit Lawang, merupakan satu wadah dalam melestarikan hutan. Datangnya wisatawan asing yang dipandu

oleh guide lokal ke TNGL, juga memaksimalkan pengawasan hutan. Setiap hari selalu saja ada turis yang datang ke TNGL. Turis tersebut bukan hanya ingin melihat orangutan namun juga melihat bagaimana habitat dari orangutan tersebut.

Sekilas memang hal ini tidak penting, namun keberadaan orangutan di TNGL membawa pengaruh yang luar biasa bagi kelangsungan ekosistem hutan. Dengan kedatangan turis-turis asing ke TNGL praktek pencurian kayu akan berkurang, karena setiap harinya masyarakat dan juga petugas TNGL ikut mengelilingi hutan untuk mencari orangutan tersebut. Bukan itu saja, pihak media yang juga banyak menyoroti orangutan yang ada di Taman Nasional, serta-merta juga menyoroti seperti apa habitat dari orangutan ini yaitu hutan.

Peranan hewan langka ini, memberikan pengaruh baik bagi hutan, begitupun sebaliknya hutan memberi kontribusi yang baik bagi kehidupan orangutan. Namun kesemua itu, perlu campur tangan manusia, meskipun keadaan ini merupakan proses alam yang memang sudah seperti itu jalannya. Hubungan dan interaksi antara hutan dengan makhluk hidup yang ada didalamya, sudah berjalan apa adanya. Tetapi keberadaan manusia sebagai makhluk yang tertinggi dari makhluk hidup lain, sangat dibutuhkan untuk mengendalikan proses alam tersebut agar berjalan seimbang. Seperti hutan di TNGL, walaupun manusia yang melakukan kerusakan pada hutan, namun manusia juga yang harus membenahi hutan dengan pola pelestarian sebagaimana mestinya, agar menjaga keletarian hutan.

Dokumen terkait