• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. BERBAGAI ATURAN HUKUM DALAM PENGELOLAAN

4.2 Aturan Masyarakat

4.2.2 Aturan Yang Berlaku Dalam Pengelolaan Keramba Jaring

Dalam mendirikan bangunan telah ditetapkan oleh aturan-aturan secara normatif dari pemerintah. Aturan itu dicantumkan dalam undang-undang RI melalui Menteri kelautan dan perikanan Nomor KEP. 02/MEN/2004 tentang perizinan usaha perikanan, pasal 5 ayat 1 yang menyebutkan:

“setiap warga Negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia termasuk koperasi yang melakukan usaha pembudidayaan ikan sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 2 (usaha pembudidayaan ikan meliputi: pembudidayaan ikan di air tawar, , pembudidayan ikan di air paya, pembudidayaan ikan di laut) wajib memiliki izin usaha perikanan

Pemberlakuan undang-undang ini tidak diberlakukan di Haranggaol, sampai pada saat ini masyarakat tidak memiliki surat izin usaha perikanan.

Selama 15 masyarakat tidak memiliki surat izin, namun demikian mata pencaharian ini tetap bertahan bahkan mampu mendobrak perekonomian masyarakat. Izin bukanlah satu-satunya yang tidak diberlakukan, ada banyak persoalan yang terjadi di desa ini. Minimnya kesadaran dari pihak masyarakat sebagai pengelola lingkungan danau memperkeruh kondisi lingkungannya.

Pada sub bab di atas telah dijelaskan mengenai peraturan pemerintah untuk mengelola Danau Toba. Akan tetapi tampaknya tidak berjalan dengan baik, diketahui masih belum terdaftarnya keramba jaring apung sebagai jenis mata pencaharian resmi di Haranggaol. Bukan hanya itu, data resmi di kantor kelurahan pun tidak ditemukan berapa orang jumlah masyarakat yang memiliki keramba jaring apung. Data yang penulis sampaikan pada bab sebelumnya adalah hasil perhitungan dengan informan. Kebenaran data ini dikatakan oleh bapak Gerhad Saragih selaku ketua asosiasi petani keramba Haranggaaol.

Asosiasi Petani keramba Dearma adalah sebuah wadah yang menampung aspirasi masyarakat Haraggaol. Mengetahui permasalahan dan melindungi hak- hak pengelolaan Haranggaol. Meskipun asosiasi ini tidak berbadan hukum dan belum memiliki agenda kerja yang jelas, setidaknya asosiasi ini sudah memiliki jumlah para petani keramba jaring apung yang tersebar di desa-desa Haranggaol.

Jumlah daya dukung lingkungan di Haranggaol yang belum diketahui memperburuk keadaan seperti penurunan kualitas perairan. Air danau yang jernih dan dapat dipergunakan untuk keperluan rumah tangga tinggal kenangan, karena saat ini air danau berubah menjadi keruh, berbau amis serta terdapat tumpukan

enceng gondok. Penurunan kualitas lainnya adalah keadaan di atas keramba, bagi yang baru pertama kali berkunjung ke kolam akan dipusingkan oleh bau pakan, amisnya ikan sampai bangkai ikan dan bau binatang peliharaan yang ikut menjaga keamanan danau.

Sejauh mata memandang danau, pendatang/pengunjung akan melihat deretan keramba jaring apung. Hanya ada setapak jalur perairan yang disisakan untuk jalur para petani mengontrol ikan dikolam. Kapal bermotor merupakan sarana yang digunakan para petani untuk mencapai kolam.

Luas danau yang telah digunakan untuk lokasi perikanan di Haranggaol adalah 50.050 meter², perhitungan ini dapat berubah sewaktu-waktu karena para petani bebas mendirikan keramba. Sampai peneliti meninggalkan desa ini jumlah keramba jaring apung masih pada luas tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui tabel berikut:

Luas danau untuk Keramba Jaring Apung

No Luas /unit Jumlah unit Luas permukaan danau yang digunakan untuk keramba

1 5×5 meter 2.000 10.000 meter ²

2 5×5 meter 3.000 15.000 meter ²

3 5×5 meter 2.800 14.000 meter ²

Jumlah 10.010 50.050 meter ²

Sumber: Perhitungan Pribadi bersama Informan di Lapangan (Hepi Yohana, 2014)

Persatu unit keramba terdiri dari dua lobang yang masing-masing lobang berukuran 5×5 meter². Total petani yang bermata pencaharian keramba jaring apung adalah 361 kepala keluarga dengan jumlah keramba yang berbeda- beda. Pada bab sebelumnya peneliti sudah mencantumkan data mengenai jumlah keramba jaring apung yang dimiliki.

Aturan pengelolaan perikanan dengan budidaya secara ideal yang diterapkan oleh undang-undang tidak ditemui di Haranggaol. Melemahnya undang-undang tersebut berganti dengan kekuatan pengelolaan yang dilakukan oleh para petani. Pemberian makan ikan tanpa takaran, perawatan ikan, pembiaran bangkai ikan, sampai pada pembangunan keramba jaring apungnya dikelola berdasarkan kemampuan pribadi dan solidaritas sesama petani.

Melemahnya sebuah konteks sosial dalam sebuah masyarakat mempengaruhi konteks sosial lainnya, saling mneguatkan atau bahkan saling bertolak belakang sehingga mengendurkan konteks lainnya. Moore menyebutkan hal ini sebagai semi otonom dalam hukum. Popsil (1971:97-126) menyebutkan bahwa hukum formal memang memiliki hak sah untuk melakukan pemaksaan agar hukum berjalan sebagai patokan. Akan tetapi sudah diakui pula bahwa antara negara dan individu terdapat aneka bidang sosial kecil yang terorganisasi dimana

individu berpartisipasi. Dalam penelitian ini bidang sosial kecil adalah para petani yang mempunyai adat kebiasaan, aturan-aturan dan cara masing-masing dalam memaksa atau mendorong perkembangan dan pengelolaan keramba jaring apung di Haranggaol.

Bidang sosial yang kecil ini melonggarkan hukum normatif karena mempertahankan ekonomi sehingga pengelakan terhadap hukum normatif tidak dapat terhindarkan (Weber 1954: 38 dalam Moore 151). Begitupula yang terjadi di Haranggaol, perekonomian yang menurun drastis akibat krisis moneter, penurunan jumlah wisata, pertanian yang terserang hama, sampai serangan virus koi herves dan penanganan yang tidak tepat sasaran oleh pemerintah membuat menguatnya pengaturan-pengaturan oleh individu-individu di lingkungan sosial Haranggaol. Sementara pengaturan-pengaturan oleh individu-individu ini muncul dari banyaknya pilihan transaksi yang bertumpuk menjadi nilai-nilai baru bagi para petani keramba.

Pilihan-pilihan inilah yang kemudian masih menguat hingga saat ini, petani mengabaikan persoalan lingkungan demi pemenuhan ekonomi. Memang jarang sekali terjadi kecendrungan memilih hukum normatif dan mengorbankan kepentingan ekonomi demi bertingkah laku sesuai hukum, kecuali kalau penegakan hukum formal yang berlaku sangat berdasarkan hukum adat yang kuat.

Undang-undang perikanan dan ketetapan pemerintah melemah dan menguatkan sistem pengelolaan yang lain bernama solidaritas. Solidaritas ini disebabkan oleh rasa kekeluargaan yang dimiliki oleh para petani ikan. Karena memang desa ini adalah sebuah desa genealogis teritorial, ikatan marga menjadikan solidaritas mereka menguat disamping itu pengalaman virus koi herves pada tahun 2004 menjadikan mereka semakin sadar untuk saling berbagi informasi.

Solidaritas yang dilakukan oleh para petani ikan berupa pertukaran pengalaman seperti kiat-kiat yang dilakukan dalam usaha meraih keuntungan saat panen berlangsung (pengurangan intensitas kematian ikan dalam keramba, penjagaan ikan dengan menggunakan binatang peliharaan, pakan yang digunakan, pembelian bibit dan lainnya yang berhubungan dengan pembudidayaan ikan). Pertukaran pengalaman ini mereka lakukan saat pagi hari atau sore hari sesudah pulang dari kolam.

Atas nama solidaritas pula, ketika ada permasalahan mengenai keramba jaring apung para petani seolah bersatu padu untuk menyelesaikannya. Hal ini terlihat ketika terjadi kesalahpahaman antara peneliti dengan isteri Toja Saragih.

Berita mengenai peneliti ingin mengusut perizinan keramba jaring apung sangat cepat tersebar di warung tempat kumpulnya para petani. Ada semacam ketakutan di hati mereka akan terjadinya penggusuran keramba jaring apung ini, memang hal ini sejalan dengan Moore menyebutkan bahwa meskipun bidang sosial pada arena sosial terkecil memiliki kekuatan akan tetapi ia rentan terhadap kekuatan lainnya. Kekuatan lain ini adalah pemerintah sebagai penguasa negara.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Danau Toba adalah sebuah danau yang terletak di Provinsi Sumatera Utara dan membentang di antara tujuh kabupaten, masing-masing: Kabupaten Simalungun, Kabuparen Dairi, Kabupaten Karo, Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasudutan. Masing-masing kabupaten tersebut memiliki otonomi daerah dalam mengelola Danau Toba untuk kepentingan masyarakat dengan memikirkan aspek keberlanjutan.

Perairan Danau Toba dengan luas sekitar 110.260 Ha, disamping mempunyai potensi pariwisata juga mempunyai potensi yang cukup tinggi untuk dikembangkan sebagai sektor perikanan. Akan tetapi unsur hara perairan Danau Toba adalah perairan danau yang kurang subur atau miskin unsur hara, sehingga pengembangan perikanan yang sesuai adalah sistem intensif ataupun intesif agar tercapai optimalisasi produktifitas35.

Pengembangan perikanan dengan sistem semi intensif ataupun intensif ini adalah yang dikembangkan oleh masyarakat di Haranggaol, Kabupaten

      

35

(Sumber: Ir. Hasan Sitorus, MS dalam Makalah Pembangunan Perikanan berwawasan Lingkungan di Perairan Danau Toba yang diselenggarakan oleh Partungkoan Batak Toba (Parbato) Medan, Yayasan Del Jakarta dan Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba pada tanggal 6 April 2002 di Medan)

Simalungun dengan menggunakan keramba jaring apung sebagai media pembesarannya. Meskipun hasil yang diperoleh menjadi optimal secara materi namun perkembangan kegiatan perikanan yang seperti ini berimpilkasi terhadap meningkatnya buangan sisa pakan dan fases ikan ke badan air yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap kehidupan akuatik. Misalnya terjadi kematian massal ikan di perairaan danau.

Serangan virus koi herves pada tahun 2004 yang menyebabkan kematian ikan secara missal sebenarnya adalah dampak dari pengelolaan yang tidak memikirkan aspek lingkungan. Masyarakat dibutakan oleh peningkatan ekonomi dari hasil panen ikan, sehingga tidak ada pola yang diberlakukan untuk menjaga keadaan danau agar tetap lestari. Kebutaan ini juga di dukung oleh keapatisan sikap pemerintah Kabupaten Simalungun yang hanya mencanangkan program tanpa adanya realisasi, tumpang tindih dan ketidaksinergian antara mendukung atau menolak program perikanan juga menjadikan masyarakat semakin tidak percaya kepada pemerintah.

Kini, keadaan di Haranggaol menjadi kompleks. Perikanan yang menaikkan taraf kehidupan namun menurunkan wisatawan menjadi dua hal yang bertolak belakang. Pemerintah pada sektor pariwisata dan masyarakat pada sektor perikanan. Masing-masing pihak memiliki kekuatan secara hukum. Pemerintah memiliki kekuatan hukum normatif dan masyarakat memiliki kekuatan hukum adat. Sebenarnya kedua stakeholders ini dapat saling berkoeksistensi dalam menciptakan keberlanjutan Danau Toba sebagai pariwisata maupun perikanan. Seperti yang disebutkan oleh Sally Falk Moore (1969:177) sebenarnya tidak ada

hukum yang bersifat otonom penuh yang ada ialah semi otonom, dimana masing- masing pihak saling mengendurkan diri dan saling mengikat untuk membuat suatu tatanan hukum yang baru.

Pernyataan tersebut juga terlihat dalam kasus penelitian ini, dimana pemerintah dengan segala otoritas tertinggi seharusnya memiliki kekuatan untuk melarang bahkan menutup perikanan yang kian lama kian memperburuk keadaan lingkungan. Akan tetapi pemerintah juga harus memikirkan masyarakat sebagai suatu kesatuan dari lingkungan hidup Haranggaol. Masyarakat memiliki kekuatan secara hukum dan dilindungi oleh undang-undang, sehingga yang diperlukan adalah pemahaman konsep yang sama mengenai persoalan.

Persoalan lingkungan ini tidak sepenuhnya salah masyarakat. Hal ini disebabkan banyak faktor. Diantaranya adalah:

1. Ketidak seriusan pemerintah menegakan peraturan, sehingga para petani membangun kekuatan aturan yang berbasis ekonomi tanpa aspek lingkungan,

2. Tingkat pendapatan dari keramba jaring apung menaikkan tingkat kehidupan di Haranggaol terbukti bahwa kehidupan masyrakat berubah, tidak ada lagi masyarakat tingkat bawah. Hal ini dibuktikan tingkat pertukaran uang sangat cepat. Bayangkan saja jika seorang petani yang memiliki 100 lobang keuntungannya 5juta perenam bulan. Perbulannya petani mengantungi delapan puluh tiga juta rupiah.

3. Menjamurnya keramba Haranggaol disebabkan tidak dapat dimaksimalkan fungsi lahan pertanian dan kematian pariwisata, sementara keramba jaring apung menjanjikan keuntungan yang berlipat.

4. Tidak berkoeksistensinya pemerintah dengan seluruh stakeholder di Haranggaol menjadikan persoalan semakin sulit dipecahkan. Pembiaran pemerintah setelah terjadi serangan virus koi herves membuat masyarakat tidak percaya terhadap pemerintah.

5. Masyarakat Haranggaol memerlukan bukti nyata dari usaha pemerintah memperhatikan kehidupan mereka. jika janji pemerintah sudah dipenuhi dan ada kolaborasi para petani keramba akan bersinergi dengan pemerintah untuk membangun Haranggaol yang maju.untuk langkah awalnya mereka sudah memenuhi pemerintah untuk merelokasi keramba sesuai standart yang diberlakukan pemerintah.

6. Masyarakat perlu memiliki kesadaran terhadap daya dukung dan daya tampung perairan danau toba, perlu mengelola keramba dengan aturan- aturan yang normatif dan menjalin kerjasama dengan pemerintah untuk menjadi mata pencaharian ini menjadi mata pencaharian yang berkelanjutan.

Dokumen terkait