• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Sejarah dan Perkembangan Keramba Jaring Apung

Dahulu sebagian besar masyarakat Haranggaol menggantungkan hidup dari agraris (pertanian) dan pariwisata. Kejayaannya redup di antara tahun 1998 sampai 2002. Memang pada tahun 1998 terjadi krisis besar-besaran di Indonesia sehingga menyebabkan ketakutan bagi para wisatawan lokal terutama wisatawan mancanegara untuk berpariwisata. Keadaan keamanan yang tidak kondusif, serta krisis moneter yang melanda seluruh aspek kehidupan menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya kemunduran ini.

Belum selesai masalah krisis moneter terjadi lagi kerusakan infrastruktur sehingga jarak yang di tempuh ke daerah Haranggaol menjadi semakin lama. Dahulu daerah Haranggaol dijadikan tempat persinggahan para turis sebelum menyeberang ke Parapat dan Tigaras. Mereka menginap satu atau dua hari di penginapan warga, bahkan tak jarang mereka tinggal bersama masyarakat sekitar. Namun tidak ada lagi cerita mengenai si bottar mata22 yang berkunjung untuk menikmati keindahan alam Haranggaol. Kini semua tinggal cerita. Hal ini di ungkapkan oleh Ibu Purba (34 tahun) dalam wawancara kami di kantor kelurahan:

“Ramai-ramainya pariwisata di Harangaol ini sekitar tahun 1996 atau 1997 lah, pokoknya sebelum moneter waktu itu. Memang tujuan orang itu ke Parapat atau Tigaras tapi mereka singgah dulu kemari

       22

untuk menikmati keindahan alam desa ini. mereka nginap di hotel- hotel dekat pantai Sigumba-gumba sama Tuhulan atau nginap di rumah warga. Kalo pagi-pagi mereka ikut ke ladang, atau sekedar jalan-jalan keliling pekan. Walau gak lama orang itu disini, tapi pernahlah ada cerita si bottar mata itu singgah ke kampung KJA ini, katanya sambil tertawa.” (Sumber: Ibu Purba, 42 Tahun)

Pada tahun-tahun kejayaan pariwisata terdengar pula kejayaan pertanian dari Desa Haranggaol. Pertanian bawang putih, mangga dan pisang merupakan komuditi andalan dari desa ini. Topografi lahan yang berbukit-bukit serta bebatuan tidak menjadi halangan bagi para petani saat itu. Mereka menyelesaikan persoalan tersebut dengan membuat lahan bertingkat serta pemberikan pupuk secara maksimal.

Hasil panen mereka pun sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari seperti petani umumnya. Hasil pertanian masyarakat kemudian di jual dua kali seminggu, yakni setiap hari senin dan kamis di “tiga”. Tiga adalah pekan dalam bahasa Simalungun. Tiga yang adakan di dekat pantai ini bernama Tiga Langgiung23. Tiga ini dikunjungi oleh toke-toke (pemilik modal) dari Parapat, Samosir, Muara, dan daerah lain yang berada di pinggiran Danau Toba bahkan toke dari Medan mengambil stok bawang dari desa ini.

Sejak akhir tahun 2001, para petani bawang merah dan bawang putih di desa-desa pesisir Danau Toba, baik di Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, maupun Toba Samosir, gagal panen akibat hama yang menyerang tanaman bawang mereka. Semula hama tersebut hanya terjadi di Desa Tongging. Namun, kemudian meluas ke Simalungun, Dairi, hingga Toba Samosir. Serangan hama

      

23

tersebut terjadi karena tidak adanya pola tanam pada masyarakat, keuntungan yang berlipat saat panen membuat masyarakat cepat-cepat menanam bawang. Padahal seharusnya tanah yang telah di pupuk harus diberikan jedah waktu untuk istirahat, sehingga tidak ada sisa peptisida yang berlipat dan merusak tanaman bawang.

Solusi untuk lahan yang berbatuan tersebut akhirnya membawa petaka bagi penduduk, hasil panen tidak lagi mencukupi kebutuhan jangankan menyekolahkan anak, untuk makan saja tidak bisa. Saat itu untuk makan masyarakat diberikan bantuan beras 10 kg perkeluarga dari bupati Simalungun Ir John Hugo Silalahi. Gagal panen dari lahan 5-6 rante dengan hasil panen 2 ton dan harga tujuh ribu pada saat itu cukup membuat masyarakat frustasi, sementara hidup harus terus berlangsung. Meski terus mengupayakan perbaikan dengan menggunakan pemupukan dan penyemprotan pestisida. Namun hasilnya nihil. Tetap saja akar, batang dan daun bawang menjadi busuk bahkan gosong. Para petani sudah mencoba menanam berkali-kali paskah serangan hama tersebut namun yang terjadi modal mereka tertanam dan utang menanti mereka.

“Petani di sini sudah mengupayakan sebisanya untuk pertanian, tapi tampaknya bukan solusi yang didapatkan, namun petaka semakin menanti. Hidup harus terus berlangsung, itu mulanya banyak orang yang melirik keramba”, kata Toja Saragih (36 Tahun).

Keramba jaring apung sebenarnya sudah ada sejak tahun 1998 di Haranggaol, hanya saat itu keramba dimiliki oleh beberapa orang saja. Hal ini disebabkan karena pertanian dan pariwisata masih memberikan pendapatan yang teratur bagi masyarakat. Pada tahun 2002 perkembangan keramba sangat signifikan, didominasi petani bawang dan pebisnis pariwisata yang beralih

matapencaharian atau sekedar mencoba peruntungan baru dengan membuat keramba di pinggir danau dekat rumah mereka.

Usaha baru yang digeluti para petani akhirnya membuahkan hasil. Modal awal yang di gelontorkan untuk pembuatan keramba, pembelian bibit ikan dan proses pembesaran ikan yang disisihkan dari hasil pertanian sebelumnya mendapat keuntungan yang berlipat. Dalam keramba yang berukuran 5x5 meter, kedalam 5-10 meter dan 4 lobang kolam (kolam adalah istilah masyarakat untuk menyebutkan keramba) menghasilkan keuntungan 5 juta perlobangnya. Dalam kurun waktu 4-5 bulan petani sudah menghasilkan keuntungan 20 juta dari 4 lobang keramba sekali panen.

Keuntungan yang diperoleh menarik masyarakat yang tidak memiliki keramba untuk membangun keramba. Sehingga akhirnya hampir 80 persen masyarakat Haranggaol memiliki kolam. Kemudian penghasilan keramba jaring apung mampu membangkitkan kembali perekonomian masyarakat bahkan menjadi lebih baik. Rumah-rumah penduduk yang dahulu hanya papan telah berganti menjadi rumah batu. Seluruh masyarakat telah memiliki kendaraan bermotor dan yang paling penting adalah mampu menyelokahkan anak-anak mereka kembali sampai Perguruan Tinggi di kota besar dan ternama.

Perjalanan keramba jaring apung tidak selalu berjalan dengan mulus. Sama seperti pariwisata dan pertanian, keramba juga memiliki pasang surut permasalahan. Mulai dari harga pakan sampai petaka yang paling menyedihkan yakni virus koi herves yang menyerang ikan pada Oktober 2004. Ribuan ikan mati, bau busuk yang di rasakan hampir sepekan dan modal yang terpendam

adalah cerita yang paling menyakitkan hati para petani. Seperti yang dituturkan oleh informan dilapangan:

“Saat itu, saya tidak hanya sebagai pemilik keramba namun saya juga menjual pupuk dari PT Charoen Phokpan yang di Haranggaol, aku jadi pemasok untuk kawan-kawan petani. Boleh ngutang, pokoknya kalo ada uangnya baru bayar harganya beda sikitlah kalo ngutang. Jadi waktu ada virus koi itu, tertimbun uang pellet, tertimbun uang kolam. Hampir stroke lah aku karena itu. Tapi kekmana lah ku bikin? Sampai sekarang masih ada utang orang itu sama aku. Yah dicicil sikitlah bagi mereka yang sadar. Yang gak sadar kubiarkan aja gitu. Tapi itulah jadi tak mau lagi aku melanjutkan usahaku itu. Ngeri ku rasa” tutur Pak Rezky Saragih (46 tahun).

Virus koi herves kembali menyurutkan ekonomi petani keramba jaring apung. Banyak petani yang terlilit hutang karena gagal panen. Ribuan ikan mas mati di kolam dan puluhan juta uang petani hilang tertelan kejamnya alam. Suasana di Desa Haranggaol kembali bermuram durja. Saat melihat ikan-ikan mati dikolam mereka hanya bisa membersihkan, dan membuangnya.

Saat itu pemerintah langsung datang ke lokasi kejadian. Dan memerintahkan segera dilakukan pembersihan bangkai ikan yang mati di sekitar danau. Tidak hanya masyarakat yang bergotong royong membersihkan bangkai- bangkai ikut serta alat berat milik Dinas Pekerjaan Umum Simalungun. Dari perairan tersebut di keluarkan sekitar 100 ton ikan mas yang dikuburkan di pinggir Danau Toba. Melihat hal tersebut maka pemerintah menyarankan

pemberhentian kegiatan perikanan di Haranggaol, sampai diketahui penyebab pasti kejadian ini24.

Kejadian ini cukup membuat dilema para petani keramba jaring apung. Menurut Pak Resky (56 Tahun): “kematian ikan saat itu pertama kali dialami seorang petani bernama Makdhin Saragih. Saat itu benih yang ditanamnya sekitar 10.000 ekor mati seketika, sekitar seminggu kemudian petani bermarga Sialoho mengalami kejadian yang sama sampai akhirnya hampir 50% petani lain mengalami gagal panen. Awalnya memang bibit ikan yang terjangkit, akan tetapi tidak lama kemudian hampir seluruh ikan mati. Bibit ikan yang pertama kali mati berasal dari tempat yang sama yakni ikan Jawa”.

Untuk mengikuti saran dari pemerintah, masyarakat cukup berat hati. Pasalnya tidak ada mata pencaharian yang akan menopang kehidupan mereka. Lahan pertanian tidak lagi menjanjikan pasca serangan hama, belum lagi masalah kesulitan air irigasi saat musim kemarau. Pariwisata mati suri, tidak ada yang cukup menjanjikan selain keramba jaring apung. Meski trauma dan dilanda ketakutan akan terulang kejadian yang sama, petani terus berusaha membenahi usaha perikanan sampai cerita keberhasilan Gerhad Saragih memotivasi petani lain.

“Kami sebenarnya udah hampir menyerah, alias mau gulung tikar. Karena adek gak lihatnya kekmana kematian ikan kami. Waktu itu aku masih mengelola kolam milik bapakku Cuma 4 lobang kolamnya. Dari 4 lobang itu: 2 lobang yang hampir panen sekitar sebulan setengah lagilah panen. 2 lobang lagi baru dua minggu kami tanam sekitar 16 ribu bibit. Dari 16 ribu bibit itu mati semua. Bayangkanlah waktu itu harga perekor

      

24

sumber: http://news.liputan6.com/read/89549/pemkab-simalungun memusnahkan-ikan-mas-di- danau-toba diakses 16 april 2014

dua ratus delapan puluh rupiah kali 16 ribu. Kurang lebih 4,5juta ilang tanpa bekas uang itu. Sewaktu kudengar punya amang tua Makdin mati ikannya, ku sarankan dipanen ikan kami. Memang tekor juganya tapi gak kek yang lainlah. Hasil panen itulah kami putar untuk buat modal setelah virus itu. Memang, sempat juganya aku malas tapi ku lihat pak tua itu tetap semangat aku pun semangatlah” (Sumber: Toja Saragih, 36 Tahun )

Semangat untuk kembali memperoleh keuntungan demi menyambung hidup terus dilakukan petani. Keadaan kembali normal pada tahun 2005. Tanpa bantuan pemerintah, petani terus mengembangkan usaha perikanan di wilayah Haranggaol. Hingga saat ini terdapat 10.010 petak keramba di dua zonasi Simarbabi dan Tuktuk Sipalu dengan wilayah tiga dusun yakni Bandar Saribu, Haranggaol Pekan dan Tangga Batu. Jumlah petani yang memiliki keramba jaring apung pun terus bertambah. Hingga saat ini terdapat 361 petani dengan ratusan pekerja yang sering disebut dengan anggota.

Dokumen terkait